Perhatian Rasulullah Terhadap Shalat Dua Rakaat Sebelum Subuh
PERHATIAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TERHADAP SHALAT DUA RAKAAT SEBELUM SUBUH
Shalat-shalat sunnat rawâtib (shalat yang menyertai shalat fardhu) tidak sama keutamannya. Shalat sunnat Subuh lah yang menempati urutan teratas. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya meski beliau berada dalam perjalanan. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa perhatian dan konsistensi beliau paling besar pada shalat sunnat Subuh. Oleh sebab itu, beliau tidak pernah melupakannya, baik saat berada di rumah ataupun bepergian.[1]
Ummul Mukminîn, ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ عَلَى شَيْئٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ تَعَاهُداً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ
Nabi tidak pernah menjaga shalat sunnat melebihi perhatian beliau terhadap dua rakaat sebelum Subuh [Muttaqa ‘alaih]
Hadits ini menunjukkan semangat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memelihara dua rakaat ini daripada shalat sunnat yang lain.
Dalam shalat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankannya dengan ringan, tidak lama. Di rakaat pertama, beliau membaca surat al-Kâfirûn. Sementara di rakaat terakhir, membaca surat al-Ikhlâsh. Dua surat yang memuat tauhid ‘ilmi dan ‘amali. Makna yang tersirat di dalamnya adalah agar saat memulai harinya, seorang Muslim telah mengikrarkan berlepas diri dari syirik dan kaum musyrikin dan sebaliknya, yaitu menyatakan kebanggaannya terhadap tauhid dan kaum muwahhidîn (orang-orang yang bertauhid). Ini karena shalat sunnat Subuh, seperti dikatakan Syaikhul Islam rahimahullah, laksana pembuka amaliah seorang Muslim.[2]
Untuk memotivasi umat agar menjalankan sunnah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan besarnya keutamaan ibadah shalat dua rakaat sebelum Subuh ini. Maka, rugilah orang yang melalaikannya, apalagi sampai tidak pernah mengerjakannya sama sekali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مَنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
Dua rakaat (sebelum) Subuh lebih baik daripada dunia seisinya [HR. Muslim].
Dalam riwayat lain,
لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مَنَ الدُّنْيَا جَمِيْعًا
Dua rakaat itu lebih aku cintai ketimbang seluruh dunia [HR. Muslim]
Demikianlah pahala besar yang telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla bagi orang yang menjalankan ibadah shalat sunnat Subuh. Siapa yang mau menyambutnya? Wallâhu a’lam
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1] Zâdul Ma’âd (1/304)
[2] Lihat Zâdul Ma’âd (1/306-307), Bahjatun Nâzhirîn (2/294)
KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWATIB
عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ قَالَتْ أَمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ
Dari Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma , istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang Muslim melakukan shalat sunnat karena Allah, (sebanyak) dua belas raka`at dalam setiap hari, kecuali Allah Azza wa Jalla akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga”. (Kemudian) Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma berkata: “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut”.[1]
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawâwi rahimahullah mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab keutamaan shalat sunnat rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau “Riyâdhus Shâlihîn”[2]
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini adalah.
- Shalat sunnat rawatib adalah shalat sunnat yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu.[3]
- Dalam riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas[4], yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh[5]. Adapun riwayat yang menyebutkan: “…Dua rakaat sebelum shalat Ashar”, ini adalah riwayat yang lemah[6] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya.[7]
- Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnat rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habîbah Radhiyallahu anhuma, perawi hadits di atas. Demikian yang diterangkan oleh para Ulama.[8]
- Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnat rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadhâ` (menggantinya) di waktu lain[9]. Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahîh.[10]
- Dalam hadits ini terdapat perintah untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-mata.
- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit”[11]
- Semangat dan kesungguhan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka. Wallahu a’lam. (Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni)
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1] HSR Muslim (no. 728).
[2] Riyâdhus Shâlihîn (bab no. 195, hal. 1409).
[3] Lihat keterangan Imam an-Nawâwi dalam “Shahîh Muslim” (1/502).
[4] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimîn dalam “Syarh Riyâdhish Shâlihîn” (3/282).
[5] HR an-Nasâ-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273) dan Ibnu Mâjah (1/361). Lihat Shahîh Sunan Ibnu Mâjah (no. 935).
[6] Dinyatakan lemah oleh Syaikh al-Albâni dalam “Dha’îful Jâmi’ish Shagîr” (no. 5672).
[7] Lihat kitab “Bughyatul Mutathawwi'” (hal. 22).
[8] Lihat misalnya kitab “Faidhul Qadîr” (6/166).
[9] Demikian keterangan yang kami dengar langsung dari guru kami yang mulia, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd.
[10] Lihat kitab “Bughyatul Mutathawwi'” (hal. 29, 33-34).
[11] HSR al-Bukhâri (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
- Home
- /
- B2. Topik Bahasan4 Uswah...
- /
- Perhatian Rasulullah Terhadap Shalat...