Kaya dan Sukses Dunia Akhirat, Mungkinkah?

KAYA DAN SUKSES DUNIA AKHIRAT, MUNGKINKAH?

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Kekayaan dan besarnya penghasilan sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah, glamour, cinta dunia yang berlebihan dan ambisi yang tidak pernah puas untuk terus mengejar harta. Karena itu, ada kesan orang-orang yang berduit sangat disibukkan dengan kekayaan mereka yang menyebabkan mereka lalai dari dzikrullâh (mengingat Allâh Azza wa Jalla ) dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kemudian.

Kenyataan ini tentu saja merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah harta tersebut. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  secara khusus memperingatkan umat dari besarnya bahaya fitnah harta dan kedudukan duniawi dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِه

Tidaklah dua ekor srigalaِ kelaparan yang dilepaskan kepada kambing, lebih besar kerusakan (bahaya)nya terhadap kambing tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya [1]

Timbulnya kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta dan kedudukan akan mendorong orang untuk terus mengejar dunia dan menjerumuskannya kepada hal-hal yang merusak agamanya. Sebab, umumnya sifat inilah yang membangkitkan dalam diri seseorang sifat sombong dan keinginan  berbuat kerusakan di muka bumi, yang sangat tercela dalam agama[2]. Allâh Azza wa Jalla   berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa [al-Qashash/28:83]

Kenyataan inilah yang seharusnya menjadikan seorang Muslim yang menghendaki kebaikan dan keselamatan dirinya, utamanya orang-orang yang diberikan kekayaan dan rezki yang berlimpah, untuk selalu waspada dan introspeksi diri, serta tidak terlalu percaya diri (bersandar kepada kemampuan diri) dalam hal ini, dengan merasa imannya kuat dan aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Cukuplah sikap percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti rapuhnya keimanan dalam hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allâh Azza wa Jalla kepada hamba tersebut!!

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “al-‘Aarifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allâh Azza wa Jalla dan agama-Nya) telah bersepakat (mengatakan) bahwa (arti) taufik itu adalah Allâh Azza wa Jalla tidak menyerahkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al-khudzlân (berpalingnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari hamba) adalah Allâh membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala)…”[3].

Inilah makna doa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “…(Ya Allâh!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan aku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata”[4].

Tidakkah orang yang beriman khawatir dirinya akan ditimpa kerusakan dalam agama dan imannya, sebagai akibat dari fitnah harta, padahal hamba Allâh Azza wa Jalla yang paling sempurna imannya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkhawatirkan hal ini menimpa umatnya? sebagaimana tertuang dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

وَلاَ تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ همِّنا

(Ya Allâh) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan[5]) sebagai target utama kami [6]

Fitnah Harta dan Dunia
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allâh lah pahala yang besar [at-Taghâbun/ 64:15][7].

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allâh, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka”[8].

Arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “…sehingga (akibatnya) dunia itu membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya dan kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla  dan balasan di akhirat[9].

Dalam hadits ini terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta (orang-orang kaya) supaya mereka bersikap waspada dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya[10].

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah kerakusan dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat  nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[11], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh Azza wa Jalla .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[12].

Sifat rakus inilah yang akan terus menyeretnya untuk terus mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya”[13].

Dalam hal ini, salah seorang ulama Salaf  berkata: “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan), hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[14].

Memanfaatkan Harta Untuk Meraih Takwa Kepada Allâh Azza wa Jalla
Perlu dicamkan di sini, bahwa ayat-ayat al-Qur`ân dan hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang berisi celaan terhadap harta dan dunia, bukanlah berarti celaan terhadap zat harta dan dunia itu sendiri. Akan tetapi, maksudnya adalah celaan terhadap kecintaan yang berlebihan terhadapnya sehingga melalaikan manusia dari mengingat Allâh Azza wa Jalla , dan tidak menunaikan hak Allâh Azza wa Jalla  padanya[15], sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih [at-Taubah/8:34]

Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi rahimahullah berkata: “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allâh Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allâh Azza wa Jalla . Berapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak melupakannya dari (beribadah kepada) Allâh Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nabi Sulaimân u, demikian pula (Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsmân (bin ‘Affân) Radhiyallahu anhu dan ‘Abdur Rahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu. Dan berapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[16].

Bahkan banyak ayat al-Qur`ân dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allâh Azza wa Jalla, di antaranya:

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang [an-Nûr/24  :37]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla ) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allâh Azza wa Jalla  adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla adalah kekal abadi”[17].

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allâh Azza wa Jalla ) dalam ayat ini”[18].

2. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hasad/iri[19] (yang terpuji) kecuali kepada dua orang: (yang pertama) orang yang Allâh anugerahkan kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allâh), (yang kedua) orang yang Allâh anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain)”[20].

3. Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dia berkata, “Ibuku (Ummu Sulaim) pernah berkata, “ (Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allâh untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Mâlik)”. Anas berkata, “Maka Rasûlullâh pun berdoa (meminta kepada Allâh) segala kebaikan untukku. Dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan: “Ya Allâh, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan kepadanya”. Anas berkata, “Demi Allâh, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang”. [21].

Baca Juga  Apakah Diperbolehkan Mengambil Gaji Dari Mengajar Ilmu Agama

Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan keturunan yang diberkahi Allâh Azza wa Jalla  dan tidak melalaikan manusia dari ketaatan kepada-Nya[22], karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam   tidak mungkin mendoakan keburukan untuk Sahabatnya, dan Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, Imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab ‘keutamaan Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu [23].

4. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) pernah datang menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu mereka berkata: “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allâh Azza wa Jalla ) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta…”. Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah karunia (dari) Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”[24].

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang menginfakkannya di jalan Allâh Azza wa Jalla . Bahkan di akhir hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memuji perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini, beliau berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allâh Azza wa Jalla ) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allâh Azza wa Jalla  (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”[25].

Antara Kaya dan Miskin
Muncul pertanyaan, siapakah yang lebih utama di sisi Allâh Azza wa Jalla , orang kaya yang bersyukur dengan kekayaannya atau orang miskin yang bersabar dengan kemiskinannya?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang lebih mengutamakan orang kaya yang bersyukur dan ada yang lebih mengutamakan orang miskin yang bersabar. Kedua pendapat ini juga dinukil dari ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah[26].

Kedua pendapat ini masing-masing memiliki dasar argumentasi dari al-Qur`ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang sama kuatnya, sehingga para ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) tidak menguatkan salah satu di antara dua pendapat tersebut, tapi mereka memilih pendapat yang menggabungkan keduanya, yaitu: yang lebih utama di antara keduanya adalah yang paling besar ketakwaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , berdasarkan keumuman makna firman-Nya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. [al-Hujurât/49:13]

Maka orang kaya yang lebih besar rasa syukurnya lebih utama dibanding orang miskin yang lebih sedikit kesabarannya dan sebaliknya.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dua murid beliau, Imam Ibnul Qayyim[27] dan Ibnu Muflih[28].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan kebanyakan (ulama) zaman sekarang tentang siapakah yang lebih utama, orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar? Sebagian dari Ulama dan ahli ibadah menguatkan pendapat pertama (orang kaya yang bersyukur lebih utama), sementara Ulama dan ahli ibadah yang lain menguatkan pendapat kedua (orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil dari Imam Ahmad.

Adapun para Sahabat dan Tabi’in, tidak ada satu pun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari dua golongan tersebut di atas yang lain.

Sejumlah Ulama lain berkata: “Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama dibandingkan yang lain kecuali dengan ketakwaan. Maka yang paling kuat iman dan takwanya itulah yang paling utama, kalau iman dan takwa keduanya sama, maka keutamaan keduanya pun sama.

Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari al-Qur`ân dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan (bahwa) keutamaan (manusia di sisi Allâh Azza wa Jalla  dicapai) dengan keimanan dan ketakwaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا

Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allâh lebih tahu (keadaan) keduanya [an-Nisâ/4:135]

Di antara para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum yang terdahulu dan pertama (masuk Islam) ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allâh Azza wa Jalla) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya (di sisi Allâh Azza wa Jalla) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya (setelah mereka).

Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan pada diri (dua Sahabat) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu.

Akan tetapi. terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain…”[29].

Teladan Sempurna dari Ulama Salaf
Generasi Salaf adalah sebaik-baik teladan dalam semua kebaikan dan keutamaan dalam agama ini, tidak terkecuali dalam memanfaatkan harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allâh Azza wa Jalla .

Berikut ini contoh-contoh sosok yang terkenal dengan sifat ini adalah:
1. Sahabat yang mulia ‘Utsmân bin ‘Affân bin Abil ‘Ash al-Umawi Radhiyallahu anhu  (wafat tahun 35 H), salah seorang dari Khulafâur Râsyidiin dan sepuluh orang Sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sahabat ini sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanannya.

Beliaulah yang membeli sumur Rûmah dari pemiliknya seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum Muslimin, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjanjikan bagi beliau balasan air minum di surga kelak.

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ingin memperluas Masjid Nabawi, ‘Utsmân Radhiyallahu anhu menyumbangkan hartanya untuk membeli tanah perluasan masjid tersebut.

Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan ‘Usrah dalam perang Tabuk, dengan menyumbangkan sebanyak 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda berkali-kali: “Tidak akan merugikan ‘Utsmân apa (pun) yang dilakukannya setelah hari ini”[30].[31]

2. Sahabat yang mulia ‘Abdur Rahmân bin ‘Auf al-Qurasyi Radhiyallahu anhu (wafat tahun 32 H), salah seorang dari sepuluh Sahabat yang dijamin masuk surga dan juga merupakan Sahabat yang sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanannya.

Imam az-Zuhri berkata: “Di masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Abdur Rahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu  pernah bersedekah dengan separuh dari harta beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah (lagi) dengan (harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di jalan Allâh Azza wa Jalla , setelah itu beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor unta (untuk keperluan berjihad) di jalan Allâh Azza wa Jalla . Sebagian besar hasil kekayaan beliau (diperolehnya) dari perdagangan[32].

3. ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hâsyimi al-Madani t (wafat tahun 94 H)[33], putra dari cucu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal, Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhu dan Imam besar dari kalangan Tabi’in (murid para Sahabat Radhiyallahu anhum), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam[34]. Beliau sangat terkenal dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai Zainul ‘abidin (perhiasan bagi para ahli ibadah)[35].

Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi[36].

Bahkan semasa hidupnya beliau menanggung biaya seratus keluarga miskin di Madinah, sampai-sampai orang menyangka beliau kikir dan suka menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan sedekah beliau[37].

4. Yunus bin ‘Ubaid bin Dinar al-Bashri rahimahullah (wafat tahun 139 H)[38], seorang imam panutan yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram)[39].

Beliau adalah seorang pedagang kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan beliau sebelum terjadi jual-beli[40]. Bahkan karena kejujuran, beliau pernah mengembalikan uang seorang pembeli yang membeli kain beliau dengan harga yang lebih tinggi, karena waktu itu yang menjualnya adalah keponakan beliau[41]. Begitu pula sebaliknya, jika beliau membeli barang dari seseorang, maka beliau akan membayarnya dengan harga yang sesuai, meskipun orang tersebut pada awalnya menawarkannya dengan harga yang lebih murah[42].

Diriwayatkan dalam biografi beliau, bahwa suatu saat harga kain di suatu daerah dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal. Menjadi kebiasaan, jika daerah tersebut harga kainnya naik, maka harga kain di Bashrah pun nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin ‘Ubaid t segera membeli sejumlah besar kain kepada pedagang kain lainnya dengan harga pasaran biasa. Setelah selesai membeli barang tersebut, beliau bertanya kepada penjual tersebut, “Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di daerah anu?” Penjual tersebut menjawab, “Tidak, kalau saja aku tahu tentu aku tidak akan menjualnya kepadamu”. Maka Yunus bin ‘Ubaid t berkata: “(Kalau begitu) kembalikan uangku padamu dan aku akan kembalikan barangmu”[43].

Baca Juga  Aturan Al-Qur'an Dalam Masalah Harta

5. ‘Abdur Rahmân bin Abân bin ‘Utsmân bin ‘Affân al-Umawi al-Madani, cucu Sahabat yang mulia, ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, Imam besar dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in), ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam[44].

Musa bin Muhammad at-Taimi rahimahullah memuji beliau dengan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat (seorang lelaki) yang lebih banyak menghimpun agama, kerajaan (kekuasaan) dan kemuliaan (nasab) melebihi ‘Abdur Raâmân bin Abân[45].

Beliau pernah membeli satu keluarga budak, kemudian memberikan pakaian untuk mereka semua, setelah itu beliau berkata kepada mereka: “Kalian (semua) aku bebaskan karena (mengharapkan) wajah Allâh Azza wa Jalla . Aku menjadikan kalian sebagai penolongku (menghadapi dahsyatnya) sakaratul maut”[46].

Beliau sangat rajin beribadah, sehingga ‘Ali bin ‘Abdullâh bin ‘Abbâs mengagumi dan meneladani beliau dalam kebaika[47].

6.‘Abdullâh bin Mubârak al-Marwazi rahimahullah (wafat tahun 181 H)[48], seorang imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat baik”[49].

Dalam biografi beliau disebutkan bahwa Imam Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memliki perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke Tanah Haram (Mekah). ‘Abdullâh bin Mubârak menjawab, “Sesungguhnya aku melakukan itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla ”[50].

Ucapan beliau ini benar-benar terbukti, karena beliau sangat terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun[51], membiayai semua perbekalan orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama beliau[52].

Termasuk kedermawanan beliau yang paling utama adalah menanggung biaya hidup beberapa Imam besar ahli hadits di jamannya, seperti Imam Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah[53] , agar mereka bisa lebih berkonsentrasi menyebarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama ahli hadits) yang memiliki keutamaan dan kejujuran, mereka (menyibukkan diri dengan) mempelajari hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar dan sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada mereka sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan mereka sendiri punya kebutuhan (untuk membiayai kelurga mereka). Jika kami tidak membantu (menanggung biaya hidup) mereka,  maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar dengan baik), tapi kalau kami mencukupi (biaya hidup) mereka, maka mereka (bisa lebih berkonsentrasi) menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak mengetahui setelah kenabian, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[54].

Jadilah Orang Kaya yang Zuhud
Menjadi orang yang zuhud bukanlah dengan harus menjadi miskin dan menyia-nyiakan harta yang ada, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla . Akan tetapi, bersikap zuhud adalah dengan menggunakan harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan petunjuk Allâh Azza wa Jalla , tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta dan kekayaan tersebut. Atau dengan kata lain, bersikap zuhud adalah dengan tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta dan kekayaan yang dimiliki, dengan bersegera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla .

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, “Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi”[55].

Salah seorang Ulama Salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allâh Azza wa Jalla daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai), maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu”[56].

Sifat inilah dimiliki dengan sempurna oleh para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang menjadikan mereka lebih mulia dan utama di sisi Allâh Azza wa Jalla dibandingkan orang-orang yang  datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala) daripada kalian”. Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu ‘Abdirrahmân? Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu  berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat”[57].

Penutup
Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan(tidak pernah merasa cukup) (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allâh tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allâh akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[58].

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan cinta kepada balasan yang kekal di akhirat, serta semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR at-Tirmidzi no. 2376, Ahmad 3/456, ad-Dârimi no. 2730 dan Ibnu Hibbân no.3228, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibbân dan Syaikh al-Albâni
[2] Lihat Faidhul Qadîr 5/445
[3] Al-Fawâid hlm. 133
[4] HR an-Nasâi dalam as-Sunan 6/147 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak no. 2000, dishahihkan oleh al-Hâkim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah 1/449, no. 227
[5] Tuhfatul Ahwadzi 9/334
[6] HR at-Tirmidzi no. 3502, dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albâni
[7] Faidhul Qadîr  2/507
[8] HR. al-Bukhâri no. 2988 dan Muslim no. 2961
[9] Lihat catatan kaki Shahîhul Bukhâri 3/1152
[10] Nasehat Imam Ibnu Baththâl yang dinukil dalam kitab  Fathul Bâri 11/245
[11] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân hlm. 84 – Mawâridul Amân
[12] HR. al-Bukhâri no. 6075 dan Muslim no. 116
[13] Ighâtsatul Lahfân (hlm. 83-84, Mawâridul Amân)
[14] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân (hlm. 83 – Mawâridul Amân)
[15] Lihat Tafsir al-Qurthubi 18/142 dan Aisarut Tafâsîr 4/271
[16] Al-Adâbusy Syar’iyyah 3/469
[17] Tafsir Ibnu Katsir 3/390
[18] Tafsir al-Qurthubi 5/156
[19] Maksudnya adalah gibthah yaitu mengharapkan nikmat yang Allâh k berikan kepada orang lain tanpa hilangnya nikmat tersebut dari diri orang itu. Lihat Syarhu Shahiihi Muslim 6/97
[20] HR. al-Bukhâri no. 73dan Muslim no. 816
[21] HR. al-Bukhâri no. 6018 dan Muslim no. 2481
[22] Tafsir al-Qurthubi 11/80
[23] Syarah Shahih Muslim 16/39-40
[24] HR. al-Bukhâri no. 807 dan 5970, dan Muslim no. 595
[25] Fathul Bâri 3/298
[26] Al-Adâbusy Syar’iyyah 3/468 dan ‘Uddatush Shâbiriin hlm. 146
[27] ‘Uddatush Shâbiriin hlm. 146 dan 149
[28] Al-Adâbusy Syar’iyyah 3/468-469
[29] Dinukil Imam Ibnul Qayyim dalam ‘’Uddatush Shâbiriin hlm. 149-150
[30] HR at-Tirmidzi no. 3701 dan al-Hakim no. 4553, dinyatakan shahih oleh al-Hâkim, disepakati oleh adz-Dzahabi, dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albâni.
[31] Tahdziibul Kamâl 19/450
[32] Tahdziibul Kamâl 17/327
[33] Siyaru A’lâmin Nubalâ 4/386 dan Shifatush Shafwah 2/93
[34] Taqriibut Tahdziib hlm. 400
[35] Siyaru A’lâmin Nubalâ 4/392
[36] Shifatush Shafwah 2/96
[37] Siyaru A’lâmin Nubalâ 4/394
[38] Biografi beliau dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 6/288 dan Shifatush Shafwah 32/517
[39] Taqribut Tahdzib hlm. 613
[40] Siyaru A’lâmin Nubalâ 6/290
[41] Ibid 6/289
[42] Ibid
[43] Ibid 6/293
[44] Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamâl 16/492 dan Siyaru A’lâmin Nubalâ 5/10
[45] Ibid
[46]  Tahdzibul Kamâl 16/493
[47] Siyaru A’lâmin Nubalâ 5/10-11
[48] Biografi beliau dalam Tahdzibul Kamâl 16/5 dan Siyaru A’lâmin Nubalâ  8/378
[49] Taqribut Tahdzib hlm. 271
[50] Tahdzibul Kamâl  16/20 dan Siyaru A’lâmin Nubalâ 8/387
[51] Siyaru A’lâmin Nubalâ 8/386
[52] Ibid 8/385-386)
[53] Ibid 8/386
[54] Tahdzibul Kamâl 16/20 dan Siyaru A’lâmin Nubalâ  8/387
[55] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulumi wal Hikam 2/384
[56] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).
[57] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam “al-Mushannaf” (no. 34550) dan Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliyaa'” (1/136) dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 279).
[58] HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Muamalah3 Rezeki...
  4. /
  5. Kaya dan Sukses Dunia...