Dialog Politik Dan Pemikiran Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Dialog Pertama Bersama Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.[1]

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut :

  1. Hubungan antara Rakyat dan Penguasa dan Batasan-batasan Syar’inya
  2. Anggapan bahwa Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sudah tidak layak, bahaya Khawarij dan Mu’tazilah
  3. Kewajiban Da’i adalah memberikan nasehat, berbuat aniaya terhadap orang kafir dan pelaku maksiat, kaidah-kaidah amar ma’ruf nahi mungkar.
  4. Hukum melanggar peraturan umum, mendo’akan penguasa adalah manhaj ahlus sunnah wal jama’ah

Inti Dialog Politik dan Pemikiran Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

  • Syaikh bin Baz menjelaskan kepada Majalah Syarq Ausath seputar manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah amar ma’ruf nahi mungkar, metodologi penyampaian nasihat serta batasan-batasan syar’inya.
  • Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dan rakyat menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah yang wajib ditempuh oleh para da’i sekarang ini.
  • Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan tidak meniru paham Khawarij dan Mu’tazilah.
  • Beliau menjelaskan bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri dalam perkara-perkara yang ma’ruf.
  • Jika penguasa memerintahkan kepada perkara yang mungkar, maka tidak wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan memberontak mereka.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَأَتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلاَ يَنْزِ عَنَّ يَدَّا مِنْ طَا عَةٍ فَإِنَّ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ مَاتَ مِيْتَةَ ال~جَاهِلِيَّةِ

Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jamaah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah

  • Tidak boleh memberontak penguasa kecuali dengan dua syarat:
    • Telah tampak kekafiran yang nyata pada penguasa itu dan memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah)
    • Memiliki kemampuan untuk menggantikan penguasa tersebut tanpa merugikan rakyat banyak.
  • Jika tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak meskipun telah terlihat kekafiran yang nyata. Hal itu demi menjaga kemaslahatan bersama.
  • Kaidah syar’i yang disepakati bersama adalah : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari sebelumnya, namun mesti perkara perkara yang benar-benar menghilangkan kejahatan itu atau menguranginya.
  • Tidak boleh memberontak penguasa jika akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, stabilitas keamanan terguncang, kesewenang-wenangan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan orang-orang yang semestinya tidak dibunuh, tentunya.
  • Wajib bersabar, patuh dan taat dalam perkara yang ma’ruf serta memberi nasihat kepada pemerintah, mendoakan kebaikan bagi mereka dan berusaha sekuat tenaga meminimalkan kejahatan dan menyebarkan sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.
  • Barangsiapa beranggapan pemikiran semacam ini merupakan kekalahan dan kelemahan, tentu saja merupakan kekeliruan dan kedangkalan pemahaman, berarti mereka tidak memahami sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengenalnya sebagaimana mestinya. Dalam usaha menghilangkan kemungkaran mereka hanya dibakar oleh semangat dan emosi dalam menghilangkan sehingga mereka melanggar rambu-rambu syariat sebagaimana halnya Khawarij dan Mu’tazilah.
  • Siapapun orangnya, baik pemuda ataupun bukan, tidak layak mencontoh Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
  • Wajib bagi yang memiliki semangat membela agama Allah dan para da’i untuk mengikat diri dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Mereka wajib memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan yang bagus dan dengan cara yang baik.
  • Tidak diperbolehkan membunuh kafir musta’min (orang kafir yang mendapat perlindungan keamanan dari pemerintah Islam) yang diterima oleh pemerintah yang berdaulat secara damai. Dan tidak boleh pula menghukum pelaku maksiat dan berbuat aniaya terhadap mereka, namun diangkat kejahatan mereka tersebut ke mahkamah syariat. Jika tidak ada, maka cukup dengan nasihat saja.
  • Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti peraturan lalu lintas dan imigrasi (seperti kewajiban SIM bagi para pengendara dan paspor), barangsiapa menganggap dirinya memiliki hak untuk melanggarnya maka perbuatannya itu batil dan mungkar.
  • Diantara konsekwensi bai’at adalah menasihati waliyul amri (penguasa), dan diantara bentuk nasihat itu ialah mendoakan bagi mereka taufiq dan hidayah.
  • Setiap rakyat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan.
  • Maksud didirikannya pemerintah ialah merealisasikan maslahat syar’i dan mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan darinya kebaikan namun dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar adalah dilarang.
  • Menolak mendoakan kebaikan bagi para penguasa menunjukkan kebodohan pelakunya.
  • Mendoakan kebaikan bagi penguasa merupakan ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling utama.

Persoalan yang paling penting dan termasuk tantangan umat Islam pada hari ini adalah persoalan yang berkaitan dengan pemerintahan, hubungan antara rakyat dan penguasa dan batasan-batasan syar’inya, yaitu bilakah seorang muslim dibolehkan memberontak penguasa? Apakah syarat-syaratnya menurut manhaj Ahlus Sunah wal Jamaah? Demikian pula persoalan yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi mungkar, metoda merubah kemungkaran dan bilakah seorang muslim dibolehkan merubah kemunkaran dengan tangannya? Serta bagaimanakah cara yang benar menurut syariat dalam berdakwa kepada agama Allah? Bagaimanakah manhaj para nabi dan rasul dalam masalah ini? Dan bagaimana pula sirah para Salafus Shalih dalam menyikapi persoalan yang kerapkali membuka kesempatan untuk melanggar batasan-batasan syariat dengan menambah-nambahi atau menguranginya?

Baca Juga  Mendo'akan Penguasa Adalah Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Disebabkan pentingnya persoalan ini bagi kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam maka kami pun berupaya mengetahuinya –semampu kami- melalui pertanyaan-pertanyaan yang sampai kepada kami dari para pembaca atau dari realita yang ada. Kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada tokoh-tokoh dakwah dan alim ulama yang terkemuka, yaitu Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Suatu hal yang perlu diketahui oleh semuanya adalah dialog yang telah lama diupayakan hingga baru sekarang dapat diwujudkan ini bukanlah disebabkan keengganan Syaikh. Namun justru sebaliknya, yaitu syaikh bin Baz dahulu menyambutnya. Akan tetapi kesibukan beliau yang sangat banyak sekali adalah penyebab sulitnya bertatap muka dengan beliau secara khusus.

Dalam pertemuan tersebut Samahatusy Syaikh bin Baz menegaskan wajibnya mentaati waliyul amri dalam perkara ma’ruf sebagai realisasi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[an-Nisaa/4:59]

Nash-nash dari mutiara hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan makna ayat di atas. Syaikh Ibnu Baz juga menjelaskan bahwa waliyul amri tidak wajib ditaati bila memerintahkan kepada perkara maksiat, namun tidak boleh memberontak waliyul amri dengan alasan tersebut.

Beliau juga menegaskan bahwa tidak dibenarkan memberontak penguasa kecuali dengan dua syarat :

  1. Telah tampak kekafiran yang nyata pada penguasa itu dan memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya) dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
  2. Kemampuan untuk menggantikannya tanpa menimbulkan mudaharat dan kerusakan yang lebih besar. Pemberontakan terhadap penguasa yang menyebabkan kerusakan yang lebih besar dan kejahatan yang lebih parah sehingga stabilitas keamanan terganggu, hak-hak terabaikan, peringatan terhadap orang-orang zhalim tidak dapat ditegakkan, orang-orang yang teraniaya tidak dapat ditolong, keadaan tidak dapat terkendali, maka hal itu merupakan kerusakan yang besar.

Beliau juga menjelaskan sebuah kaidah yang disepakati yaitu tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari sebelumnya, namun mesti perkara yang benar-benar menghilangkan kejahatan itu atau menguranginya. Adapun menolak kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar jelas dilarang berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Beliau juga menegaskan bahwa dalam kondisi semacam itu wajib banyak-banyak bersabar, patuh dan taat dalam perkara-perkara ma’ruf serta menasihati penguasa, dan berupaya menekan kejahatan dan meminimalkannya serta menyebar sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.

Usaha seperti itu akan mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Sebab dengan begitu keamanan dan keselamatan kaum muslimin dari kejahatan yang lebih besar dapat terjaga.

Ketika kami menjelaskan kepada beliau pandangan orang yang mengatakan bahwa cara seperti itu merupakan kekalahan dan kelemahan di hadapan sultan (penguasa), beliau mengomentari bahwa anggapan semacam itu merupakan kesalahan pelakunya dan kedangkalan pemahamannya. Berarti mereka tidak memahami sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengetahuinya sebagaimana mestinya. Syaikh Ibnu Baz menjelaskan bahwa yang mendorong mereka berkomentar demikian adalah semangat dan gairah menghilangkan kemungkaran, dan itulah yang menyebabkan mereka menyalahi syariat dalam masalah ini sebagaimana halnya Khawarij dan Mu’tazilah.

Beliau juga menjelaskan bahwa kecintaan dan semangat yang mendorong Khawarij bertindak demikian justru menyeret mereka dalam kebatilan sehingga mereka mengkafirkan kaum muslimin hanya karena melakukan maksiat, atau meyakini bahwa pelaku maksiat kekal dalam Neraka, hanya saja mereka mengatakan pelaku maksiat di antara dua kedudukan (tidak mukmin tidak juga kafir).

Secara jelas beliau menerangkan bahwa sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap pelaku maksiat adalah : “Pelaku maksiat tidaklah dihukumi kafir selama tidak menghalalkan perbuatan maksiat yang dilakukannya. Pelaku maksiat tergolong orang fasik dan lemah iman, sangsi hukum mesti ditegakkan atasnya”.

Beliau menegaskan bahwa orang yang mengkafirkan pelaku maksiat adalah orang yang mengikuti paham Khawarij dan merupakan keyakinan yang batil.

Kemudian beliau mengajak segenap kaum muslimin baik para pemuda maupun orang tua, agar tidak mengikuti paham Khawarij dan Mu’tazilah. Beliau berkata “Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka semestinya memegang teguh nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana adanya. Mereka tidak diperkenankan memberontak penguasa hanya karena penguasa itu jatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka semestinya menasihati penguasa dan berdakwah dengan cara yang penuh hikmah serta dengan pengajaran yang baik, dengan begitu mereka akan berhasil. Dengan begitu pula kejahatan akan berkurang dan nilai-nilai kebaikan akan tersebar. Beliau menegaskan bahwa begitulah manhaj yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Ibnu Baz mengajak para pemuda yang punya semangat membela agama Allah dan para da’i supaya memegang teguh hukum-hukum syar’i.

Baca Juga  Peringatan Bahaya Pemikiran Khawarij dan Mu'tazilah

Berkaitan dengan masalah sikap keras terhadap orang kafir yang tinggal dalam negeri kaum muslimin, beliau berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membunuh kafir musta’min (kafir yang dapat perlindungan keamanan oleh pemerintah kaum muslimin) yang diterima oleh pemerintah secara damai. Dan tidak boleh juga membunuh pelaku maksiat atau berbuat aniaya terhadap mereka. Namun merujuk kasus mereka itu kepada mahkamah syariat jika didapat pada diri mereka sesuatu yang menyalahi syariat. Dan apabila mahkamah syariat tidak ada, maka para da’i cukup memberi nasihat kepada penguasa hingga mereka menegakkan syariat Allah.

Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa para penegak amar ma’ruf nahi mungkar tidak berhak bertindak, membunuh atau memukul. Akan tetapi hendaknya mereka bekerja sama dengan pemerintah secara baik sehingga aparat pemerintah menegakkan syariat atas rakyatnya. Jika tidak, maka kewajibannya hanyalah memberi nasihat dan mengarahkan mereka kepada kebaikan.

Ketika kami mengajukan pertanyaan seputar permasalahan amar ma’ruf nahi mungkar dan apakah mengubah kemungkaran dengan tangan (tindakan) boleh dilakukan semua orang? Beliau menegaskan bahwa semua orang wajib mengubah kemungkaran, akan tetapi beliau mensyaratkan bagi orang yang ingin mengubahnya dengan tangan hendaknya tidak menimbulkan kejahatan atau kerusakan yang lebih parah dan lebih jelek.

Beliau berpendapat bahwa hak merubah kemungkaran dengan tangan adalah bagi orang yang layak untuk itu, yaitu waliyul amri. Adapun selain mereka tidak berhak menanganinya. Karena, kalau seseorang memaksakannya juga maka akan menimbulkan kejahatan yang lebih banyak antara dirinya dengan masyarakat dan pemerintah.

Ketika kami katakan kepada beliau bahwa ada sebagian orang yang berpendapat bahwasanya ia berhak melanggar peraturan yang dibuat pemerintah, seperti peraturan lalu lintas, pajak dan imigrasi dan lain-lain karena dinilainya tidak syar’i, maka dengan tegas beliau katakan :”Ini jelas sebuah kebatilan dan kemungkaran, mereka justru wajib patuh dan taat kepada peraturan yang bukan kemungkaran, peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan umum”.

Beliau kembali menegaskan bahwa wajib dan taat kepada peraturan tersebut, sebab hal itu termasuk perkara ma’ruf yang berguna bagi seluruh masyarakat. Beliau menjelaskan bahwa jika ada pajak-pajak yang tidak sejalan dengan syari’at, maka hendaknya anggota masyarakat merujuk aparat pemerintah dengan nasihat dan dakwah kepada agama Allah, disertai bimbingan kepada kebaikan.

Beliau menegaskan bahwa termasuk konsekuensi ba’iat adalah menasihati pemerintah. Dan termasuk menasihati pemerintah adalah mendoakan bagi mereka taufik, hidayah, keikhlasan niat dan amal-amal serta mendoakan mereka supaya mendapat aparat-aparat yang shalih.

Beliau menjelaskan bahwa di antara sebab penguasa menjadi baik dan sebab ia mendapat taufik dari Allah adalah mendapat aparat-aparat yang jujur yang membantunya menjalankan kebaikan, memperingatkannya apabila ia terlupa dan menolongnya apabila ia melaksanakan kebaikan.

Beliau kembali menegaskan bahwa seluruh individu masyarakat wajib saling bekerja sama dengan pemerintah dalam hal-hal perbaikan, penumpasan kejahatan, menegakkan nilai-nilai kebaikan dengan perkataan yang bagus dan cara yang baik. Disertai dengan bimbingan yang lurus yang diharapkan mendatangkan kebaikan bukan kejahatan.

Beliau menegaskan bahwa maksud menyelenggarakan pemerintahan adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak mafsadat. Oleh sebab itu, seluruh tindakan yang menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada maslahat tidaklah dibenarkan.

Beliau menegaskan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang untuk kebaikan namun dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dan lebih parah daripada kebaikan yang diinginkannya, tidaklah dibenarkan.

Ketika kami tanyakan kepada beliau tentang orang-orang yang menolak mendoakan penguasa, beliau menjawab : “Sikap tersebut adalah akibat kejahilannya”. Beliau menegaskan bahwa mendoakan penguasa merupakan ibadah yang paling agung dan utama serta termasuk keikhlasan kepada Allah dan ketulusan kepada sesama.

Beliau menyebutkan bahwa penguasalah orang yang pertama yang berhak didoakan, sebab kebaikannya adalah kebaikan bagi rakyat.

Beliau kembali menegaskan bahwa mendoakan penguasa termasuk bentuk nasihat dan ibadah yang utama.

Mengingat pentingnya pemasalahan ini, kami akan memuat nash dialog tanpa ada perubahan kalimat, berikut dialognya:

[Disalin dari kitab Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai. Penerbit Darul Haq – Jakarta, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_______
Footnote
[1]. Majalah Syarq Ausath, edisi 5289, tanggal 22/5/1993.

  1. Home
  2. /
  3. A8. Politik Pemikiran oleh...
  4. /
  5. Dialog Politik Dan Pemikiran...