Kaidah Ke-35 : Barangsiapa Terlepas Dari Hukuman Karena Suatu Sebab, Dilipatkan Pembayaran Gantinya

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Lima

مَنْ سَقَطَتْ عِنْدَهُ الْعُقُوْبَةُ لِمُوْجِبٍ ضُوْعِفَ عَلَيْهِ الضَّمَانُ

Barangsiapa terlepas dari hukuman karena suatu sebab, maka dilipatkan
pembayaran ganti rugi atasnya

MAKNA KAIDAH
Para Ulama menjelaskan bahwa perkara-perkara haram dalam syariat terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah perkara haram yang tidak ada hukuman duniawi di dalamnya. Yang kedua adalah perkara haram yang ada hukuman duniawi, baik berupa had, qishâs, kaffârah, ataupun dhamân. Untuk jenis kedua ini, siapa saja yang mengerjakannya maka ia berhak mendapatkan hukuman sesuai yang telah ditentukan dalam syariat, yaitu apabila terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya.

Kaidah di atas berkaitan dengan perkara haram jenis kedua. Apabila seseorang mengerjakan perkara haram yang mengakibatkan terjadinya hukuman duniawi atas dirinya, namun hukuman itu tidak bisa diterapkan karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena adanya penghalang, maka hukuman itu tidak diterapkan kepadanya, akan tetapi ia dikenakan hukuman lain yaitu dilipatkan kewajiban membayar al-ghurm (denda) sebagai hukuman atas perbuatannya mengerjakan perkara haram tersebut.[1]

DALIL YANG MENDASARINYA
Cukup banyak dalil yang mendasari kaidah ini, diantaranya adalah hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr bin al-Ash:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ التَّمْرِ الْمُعَلَّقِ؟ فَقَالَ: مَنْ أَصَابَ بِفِيهِ مِنْ ذِي حَاجَةٍ، غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً، فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَمَنْ خَرَجَ بِشَيْءٍ مِنْهُ، فَعَلَيْهِ غَرَامَةُ مِثْلَيْهِ وَالْعُقُوبَةُ، وَمَنْ سَرَقَ مِنْهُ شَيْئًا بَعْدَ أَنْ يُؤْوِيَهُ الْجَرِينُ، فَبَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ.

Dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiyallahu anhuma dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang kurma yang masih berada di pohon, maka beliau bersabda, “Barangsiapa membutuhkannya lalu memakan darinya, tanpa menyimpannya dalam baju, maka tidak mengapa baginya. Dan barangsiapa membawa keluar darinya, maka ia wajib menggantinya dua kali lipat dan mendapatkan hukuman. Dan barangsiapa mencuri darinya setelah diletakkan di tempat penjemuran, hingga mencapai harga perisai, maka ia diberi hukuman potong tangan.”[2]

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa apabila seseorang mengambil kurma yang masih berada di pohonnya dengan dibawa keluar, maka hal itu setara dengan kasus pencurian. Dan hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Akan tetapi, dalam kasus ini hukuman itu tidak bisa dilakukan karena tidak terpenuhi syaratnya, karena ia mengambil bukan dari tempat penyimpanannya[3]. Ketika hukuman itu terlepas darinya, maka dilipatkanlah kewajiban pembayaran denda yang harus dibayarnya.[4]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, terutama berkaitan dengan permasalahan jinâyât. Di antara contohnya adalah sebagai berikut :

  1. Orang yang mencuri sejumlah barang yang nilainya tidak sampai seperempat dinar, maka ia tidak dikenai hukum potong tangan. Karena di antara syarat diterapkannya hukum potong tangan ialah bahwa barang yang dicuri sudah sampai seperempat dinar atau lebih[5]. Namun, sebagai gantinya si pencuri wajib membayar denda sebesar dua kali lipat dari nilai barang yang dicuri.
  2. Seorang Muslim yang membunuh seorang kafir dzimmi[6] dengan sengaja dan terencana, tidak diterapkan kepadanya hukum qishâs. Karena di antara syarat diterapkannya hukum qishâs adalah kesetaraan agama antara si pembunuh dengan yang dibunuh. Dan sebagai gantinya, si pembunuh wajib membayar diyat yang setara dengan diyat pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang Muslim. Yaitu, dua kali lipat dari diyat standar yang ditetapkan atas pembunuhan yang dilakukan terhadap orang kafir dzimmi.[7]
  3. Tentang adh-dhâlah (binatang tersesat). Apabila seseorang menemukan binatang tersesat lalu disembunyikan dan tidak diumumkan[8], maka ia wajib membayar denda sebesar dua kali lipat dari harga binatang tersebut, dan tidak diterapkan hukum potong tangan atasnya. Kasus ini serupa dengan pencurian, namun hukum potong tangan tidak diterapkan karena tidak terpenuhi syaratnya, lantaran barang tidak diambil dari tempat penyimpanannya (al-hirz). Maka, ketika hukuman potong tangan terlepas darinya, dilipatkanlah kewajiban membayar denda. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Baca Juga  Kaidah Ke. 28 : Pengganti Menempati Posisi Yang Digantikan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ضَالَّةُ اْلإِبِلِ الْمَكْتُوْمَةُ غَرَامَتُهَا وَمِثْلُهَا مَعَهَا

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Unta tersesat yang disembunyikan wajib diganti dan ditambah yang semisal dengannya.”[9]

  1. Jika seseorang mencuri perhiasan emas yang tergantung di dinding, ia mencuri barang yang tidak disimpan di tempat penyimpanannya (al-hirz). Karena perhiasan tidak boleh diletakkan di tempat itu, harus diletakkan di tempat penyimpanan yang layak seperti kotak yang terkunci atau semisalnya. Maka, kita katakan bahwa pencuri itu tidak dihukum potong tangan, mencuri barang bukan dari tempat penyimpananya. Akan tetapi, dilipatkan denda yang harus ia bayarkan. Jika perhiasan itu bernilai 10.000 riyal misalnya, maka ia wajib mengganti dengan 20.000 riyal. Apabila perhiasan itu masih ada (belum dimanfaatkan oleh si pencuri), maka wajib baginya untuk mengembalikannya dan membayar 10.000 riyal tambahan.[10]
  2. Apabila seorang anak kecil (belum baligh) melakukan pembunuhan terhadap orang lain dengan sengaja, maka ia tidak dihukum dengan hukum qishâs. Sebab, di antara syarat diterapkannya hukum qishâs , pelaku pembunuhan sudah berusia baligh. Namun, sebagai gantinya wajib dibayarkan diyat sebanyak dua kali lipat.[11]
  3. Seseorang yang buta mata sebelah, mata kirinya buta, sedangkan mata kanannya normal. Jika ia memecahkan mata kanan seseorang yang kedua matanya normal, maka tidak dihukum dengan hukum qishâs, yaitu tidak dibalas dengan dipecahkan mata kanannya. Sebab, hal itu akan mengakibatkan ia tidak bisa melihat sama sekali. Namun, wajib baginya untuk membayar denda dua kali lipat dengan membayar diyat sempurna sebagai ganti dari setengah diyat.[12]

KETERANGAN TAMBAHAN
Apabila ada yang bertanya, “Apakah denda yang jumlahnya dilipatkan itu diberikan semua kepada pemilik barang yang dicuri ataukah setengahnya saja yang diberikan kepadanya?”

Berkaitan dengan pertanyaan ini, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa yang diberikan kepada si pemilik harta hanyalah setengah dari denda tersebut. Adapun setengahnya lagi dimasukkan ke Baitul Mal. Sebab, bila diserahkan semua kepada pemilik harta, maka semua orang akan berkeinginaan supaya hartanya diambil oleh orang lain. Yaitu, dengan meletakkan hartanya di selain tempat penyimpananya supaya dicuri orang, kemudian ia bisa mendapatkan pembayaran denda dengan nilai yang dilipatkan dari si pencuri. Maka, setiap harta yang diambil sebagai hukuman atas pelanggaran, dimasukkan ke Baitul Mal. Seperti denda yang diambil dari kasus pelanggaran peraturan lalu-lintas dan semisalnya yang dimasukkan ke Baitul Mal.[13]

Baca Juga  Kaidah Ke. 4 : Pelaksanaan Kewajiban Terkait Dengan Kemampuan

Wallâhu a’lam.[14]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Lihat Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah bi Syarhil Qawâ’idil Fiqhiyyah, Syaikh Walîd bin Rasyid as-Sa’idan, kaidah ke-60 dan Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn, hlm. 321.
[2] HR. Abu Dâwûd 4390, at-Tirmidzi 1289, Ibnu Mâjah 2597. Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ini, “Ini adalah hadits hasan.” Imam Ibnu Mulaqqin rahimahullah juga menghasankan hadits ini. Sedangkan Imam Ibnu Qaththân rahimahullah mendha’ifkannya.
[3] Jumhur Fuqâhâ’ dari madzhab Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, dan Hanâbilah berpendapat bahwa di antara syarat diterapkannya hukum potong tangan bagi pencuri adalah bahwa si pencuri mengambil barang dari tempat penyimpanannya. Sedangkan buah-buahan selama masih berada di pohonnya, maka masih termasuk kategori barang yang tidak disimpan di tempat penyimpanannya. (Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah 24/317)
[4] Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah, kaidah ke-60
[5] Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan al-Bukhâri no. 6790 dan Muslim no. 1684.
[6] Orang kafir dzimmi adalah orang kafir yang tinggal di negeri Islam dengan mendapatkan perlindungan dari negara dan wajib bagi mereka untuk membayar jizyah (upeti). (Lihat Mu’jam Lughatil Fuqahâ’ pada kata الذمة dan الذمي ).
[7] Pada pembunuhan karena khatha’ (tersalah), diyat pembunuhan terhadap seorang kafir adalah setengah diyat pembunuhan terhadap seorang muslim. Namun karena dalam kasus ini, si pembunuh melakukan pembunuhan dengan sengaja dan terencana, kemudian tidak bisa diterapkan qishâs karena syaratnya tidak terpenuhi, maka sebagai gantinya ia wajib membayar diyat dua kali lipat. (Lihat Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah, kaidah ke-60)
[8] Jika seseorang menemukan binatang yang tersesat, maka wajib baginya untuk mengumumkan penemuan tersebut dalam jangka waktu satu tahun, supaya si pemilik mengetahuinya. Kecuali binatang unta. Jika binatang yang hilang tersebut adalah unta maka tidak boleh diambil tetapi dibiarkan begitu saja karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengambilnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Zaid bin Khâlid al-Juhani Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan al-Bukhâri no. 2295 dan Muslim 1/1722
[9] HR. Abu Dâwûd no. 1473 dan al- Baihaqi no. 11284
[10] Syarh Manzhumah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi hlm. 321
[11] Talqîhul Afhâmil ‘Aliyyah, kaidah ke-60
[12] Lihat al-‘Aqduts Tsamîn fî Syarh Manzhûmah asy-Syaikh Ibni ‘Utsaimîn, Syaikh Khâlid al-Musyaiqih, penjelasan bait ke-93
[13] Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi hlm. 324
[14] Diangkat dari al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wat Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah. Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di. Tahqîq Syaikh DR. Khâlid al-Musyaiqih. Cet. II. Thn. 1422 H/2001 M. Dârul Wathan lin Nasyr. Riyad, hlm. 87-88 dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.

  1. Home
  2. /
  3. A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
  4. /
  5. Kaidah Ke-35 : Barangsiapa...