Kesucian Air Laut
KESUCIAN AIR LAUT
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Nusantara terkenal dengan lautan yang mengelilinginya dan memisahkan antar pulau-pulaunya. Lautan bagi penduduk Indonesia merupakan salah satu sarana yang menghubungkan dan mengantar mereka mengenal serta mengetahui pulau-pulau yang ada. Disamping lautan juga menjadi salah satu sumber rezeki bagi banyak penduduk Indonesia khususnya kaum Muslimin.
Hubungan lautan dengan kita sangat erat, baik berhubungan dengan airnya, hewannya maupun kandungannya. Sehingga sepantasnyalah kita mengenal hukum-hukum syariat seputar lautan dan kesuciannya dengan harapan dapat menjadi pencerahan terhadap kaum Muslimin umumnya dan para nelayan khususnya.
AIR LAUT SUCI MENSUCIKAN.
Para Ulama berbeda pendapat seputar hukum menggunakan air laut untuk bersuci. Yang râjih adalah pendapat yang menyatakan bahwa air laut itu suci dan mensucikan, artinya boleh digunakan dalam bersuci, baik ketika ada air yang lain atau pun ketika tidak air yang lain. Inilah pendapat mayoritas Ulama dari para sahabat, tabi’în dan yang setelah mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Radhiyallahu anhu , Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma dan Umar Radhiyallahu anhu . Diriwayatkan juga dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu , Abdullah bin Amru Radhiyallahu anhu . Ini pula pendapat Athâ’, Ibnu Sîrin, al-Hasan, ‘Ikrimah, Thâwûs, Ibrâhîm an-Nakha’i, Sufyân ats-Tsauri, al-Auzâ’i, Ahlu syam, Madinah, Kufah, Abu Ubaid dan Ishâq.[1]
Ini adalah pendapat madzhab fikih yang empat (al-madzâhib al-arba’ah). [2]
Diantara argumentasi pendapat ini adalah:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allâh tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al-Mâidah/5:6]
Kata air (مَآءً) dalam ayat bersifat umum, mencakup semua air kecuali yang dikhususkan oleh dalil. Air laut termasuk dalam keumuman air tersebut.
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allâh yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. [al-Mâidah/5:96]
Apabila hewan laut halal bagi kita maka demikian juga airnya, tentu suci.
3. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih [al-Furqân/25:48]
Ayat yang mulia ini menunjukkan pengertian semua air yang turun dari langit adalah suci mensucikan. Kata (مَاء) dalam ayat ini disampaikan dalam rangka pemberian nikmat (imtinân), karena Allâh menyebutnya dalam mengenalkan nikmat tersebut, seandainya tidak menunjukkan keumuman tentulah tampak tidak sempurna yang diinginkan.[3]
4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang air laut :
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasâ-i, Ibnu Mâjah, dan Ibnu Abi Syaibah, dan ini merupakan lafazhnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, dan Tirmidzi dan telah diriwayatkan pula oleh Malik, Syafi’i dan Ahmad].
Sebagian Ulama mengklaim adanya ijma’ tentang air laut itu suci mensucikan, diantaranya Ibnu Juzâ dari Ulama Madzhab Mâlikiyah dalam kitab al-Qawânin al-Fiqhiyah (hlm 44) menyatakan, “Air muthlaq adalah yang masih ada pada asal penciptaannya, maka ia suci mensucikan secara ijma’ baik airnya tawar atau asin, baik dari laut, langit atau tanah.”
Penukilan ijma’ seperti ini lemah dan tidak benar, sebab Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausâth 1/246 menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara Ulama yang aku hafal dan aku temui bahwa orang yang bersuci dengan air itu sah kecuali air laut, karena ada perbedaan pendapat dan berita dari para Ulama terdahulu.
Sedangkan Ibnu Abdilbarr dalam at-Tamhîd 16/221 menyatakan, “Sepakat mayoritas Ulama dan banyak sekali imam-imam fatwa di seluruh negeri dari kalangan ahli fikih bahwa air laut itu suci dan wudhu diperbolehkan dengannya kecuali yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin al-Khathab z dan Abdullah bin Amru bin al-‘Ash. Diriwayatkan keduanya memakruhkan berwudhu dengan air laut. Wallahu a’lam.
BILA AIR LAUT BERUBAH
Apabila air yang banyak seperti air sungai dan laut mengalami perubahan pada salah satu sifatnya; bau, rasa atau warnanya, maka perubahan ini memiliki dua keadaan:
1. Berubah dengan sebab najis. Jika ada benca najis yang bisa merubah salah satu sifat air, yaitu bau, rasa dan warna, maka hukumnya adalah najis menurut ijma’ para Ulama. [4]
2. Berubah dengan sebab benda suci. Dalam masalah ini ada tiga bentuk:
a). Sifat air laut tersebut berubah dengan sebab campuran benda suci yang dominan sehingga tidak lagi dinamakan air dan disebut dengan nama yang lain, misalnya minyak bumi atau selainnya karena minyak bercampur dengan air laut lebih dominan. Dalam keadaan ini mayoritas Ulama memandang air yang banyak atau air laut tersebut tidak sah menjadi alat bersuci. Ini yang shahih dari madzhab Hanafiyah dan pendapat Abu Yusuf. Ini juga adalah pendapat madzhab Mâlikiyah, asy-Syâfi’iyah dan Hambaliyah. Diantara argumen yang merajihkan pendapat ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-Mâidah/5:6]
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla mewajibkan tayammum bagi orang yang tidak menemukan air mutlak sehingga menunjukkan tidak bolehnya menggunakan (zat cair) selain air yang tidak dinamakan air secara mutlak.[5]
b). Sifat air laut tersebut berubah dengan sebab campuran benda suci yang tidak sampai menghilangkan penamaan sebagai air. Hal ini ada dua macam:
1. Campuran benda suci yang merubah sifat air tersebut termasuk yang susah sekali dipisahkan seperti warna hijau akibat air menggenang terlalu lama, atau lumut dan tumbuhan yang hidup didalamnya. Juga kadang dedaunan yang jatuh ke air atau kayu, tanah dan sebagainya yang terbawa banjir sehingga mengotori air dan merubah sebagian sifat-sifat airnya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat para Ulama akan kesucian air tersebut; karena air mutlak bercampur dengan benda suci dan tidak bisa dipisahkan dan tidak dominan juga, sehingga tetap dalam keadaan suci.[6]
2. Campuran benda sucinya tidak menghilangkan nama air darinya dan memungkinkan untuk untuk dipisahkan seperti minyak bumi dan sejenisnya. Pada masalah ini ada perbedaan pendapat para Ulama dalam dua pendapat:
a). Pendapat madzhab Mâlikiyah dan as-Syâfi’iyah serta Hambaliyah menyatakan tidak sah bersuci dengan air yang berubah sifatnya karena tercampur benda suci yang bisa dipisahkan.
b). Pendapat madzhab Hanafiyah dan salah satu riwayat dari imam Ahmad serta dirajihkan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan sah bersuci dengan air yang berubah sifatnya karena tercampur benda suci selama belum menghilangkan penamaan sebagai air. Inilah pendapat yang rajih dengan dasar:
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-Mâidah/5:6]
Kata (air) dalam ayat ini umum mencakup semua air tanpa membeda-bedakannya kecuali bila ada dalil lain yang membedakannya. Juga tidak ada pembedaan air dengan sebab susah atau tidaknya dipisahkan dari yang mencampuri air, sehingga berlaku secara umum.
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَقْبَلَ رَجُلٌ حَرَامًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَخَرَّ مِنْ بَعِيرِهِ، فَوُقِصَ وَقْصًا، فَمَاتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَأَلْبِسُوهُ ثَوْبَيْهِ، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُلَبِّي»
Seorang datang dalam keadaan ihram bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu terjatuh dari ontanya kemudian terinjak injak hingga mati. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandikanlah dengan air dicampur bidara dan kafanilah dengan dua kain ihramnya tersebut dan jangan tutupi kepalanya, karena dia kan datang dihari kiamat dalam keadaan bertalbiyah. [HR. Muslim]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mencampur air dengan bidara dan tetntunya mengakibatkan perubahan pada sifat airnya. Setelah dicampur, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan air yang sudah dicampuri daun bidara itu untuk memandikan mayit dalam rangka mensucikannya. Dengan demikian perubahan akibat campuran benda suci tersebut tidak menghilangkan sifat suci mensucikan air tersebut.
3. Hadits Ummu Hâni` Radhiyallahu anha yang berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اغْتَسَلَ وَمَيْمُونَةَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ، فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ
Sesunggunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dengan Maimunah dari satu bejana dalam bejana berisi bekas adonan roti. [HR Ibnu Mâjah no. 378 dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah 1/66].
Biasanya air berubah sifatnya karena tercampur bekas adonan dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakannya untuk bersuci.
Demikianlah kekuatan dalil ini merajihkan pendapat kedua ini. Wallahu a’lam.
3. Perubahan air laut atau air yang banyak dengan sebab yang tidak jelas. Dalam keadaan ini para ahli fikih sepakat tentang kesucian air laut, karena itu adalah asal hukumnya sehingga tidak hilang dengan sesuatu yang masih diragukan.
PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH KEHIDUPAN MANUSIA PADA AIR LAUT.
Dewasa ini limbah kehidupan manusia berupa kotoran, sampah dan air yang digunakan untuk mencuci, mandi dan keperluan manusia sehari-hari banyak yang terbuang atau melewati laut. Ada sebagiannya yang terproseskan sebelum masuk laut dan ada yang langsung masuk ke lautan.
Sudah dimaklumi limbah-limbah tersebut banyak yang membawa benda-benda najis. Apabila dibuang kelaut atau sungai umumnya tidak merubah sifat air karena luas dan banyaknya air laut tersebut. Namun kadang berubah satu bagian tertentu karena campuran najis tersebut. Maka bagian yang berubah karena najis tersebut adalah air najis.
Penulis kitab Mawâhib al-Jalîl Syarh Mukhtashar Khalîl, Syeikh Muhammad bin Muhammad bin Abdirrahman al-Maghribi (wafat tahun 954 H) pernah mengisyaratkan masalah ini yang beliau nukil dari Ibnu Rusyd, “Di teluk Iskandariyah (Mesir) berlayar kapal-kapal laut. Apabila air sungai Nil mengalir maka ia bersih dan bila hilang air sungai Nil tersebut berubah warna, rasa dan baunya. Kapal-kapal itu berlayar seperti biasanya dan toilet-toiletnya menumpahkan kotoran padanya. Tidak sepatutnya berwudhu dengan air tersebut kecuali diketahui secara pasti bahwa warnanya tidak berubah akibat pembuangan toilet-toilet tersebut dan seandainya berubah karena hal itu maka ia adalah najis menurut ijma’. Ketika tidak diketahui dengan jelas, maka yang lebih hati-hati dianggap najis. Seandainya mendapatkan perubahan warna namun tidak diketahui perubahannya disebabkan najis yang menyerupainya maka dianggap suci.[8]
Demikian dua masalah berkaitan dengan kesucian air laut yang disampaikan para ulama, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/130, Sunan ad-Daraquthni 1/35-36, dan al-Ausâth ibnu al-Mundzir 1/247 )
[2]. Lihat kitab Badâ’i’ ash-Shanâi’ 1/15, Ahkâm al-Qur`an Ibnul Arabi 1/43, al-Majmû’ 1/136 dan al-Mughni 1/22-23). Juga pendapat ibnu Hazm (lihat al-Muhalla 1/210).
[3]. (Lihat Bidâyatul Mujtahid 1/38-39, al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzab 1/110-111 dan al-Mughni 1/38).
[4]. Lihat al-Majmû’ 1/92
[5]. Lihat al-Majmû’ 1/102 dan al-Mughni 1/22-23.
[6]. Lihat Fathul Qadîr Ibnul Humaam 1/82, Mawâhib al-Jalîl 1/53, al-Majmû’ 1/168-169 dan al-Mughni 1/58.
[7]. Mawâhib al-Jalîl 1/53-54.
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah9 Makanan...
- /
- Kesucian Air Laut