Kesucian Hewan Laut

KESUCIAN HEWAN LAUT

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Para Ulama sudah memberikan perhatian besar terhadap hukum-hukum berkenaan dengan hewan laut dan air. Hal ini mendorong seorang Muslim untuk mengetahui lebih banyak mengenai hukum kesucian dan kehalalan hewan laut dan juga kandungan laut lainnya.

Hewan laut atau air dibagi oleh para Ulama menjadi dua:

  1. Hewan air yang hanya hidup di dalam air dan bila keluar ke darat, ia akan mati, seperti hewan yang disembelih. Contohnya ikan dan sejenisnya.
  2. Hewan air yang dapat hidup di darat juga, dinamakan sebagian orang dengan istilah al-barma`i (yang hidup di dua alam), seperti buaya, kepiting dan sejenisnya. Mereka memandang pada habitatnya yang dominan, di air atau darat, sehingga akhirnya terjadi perbedaan pendapat mereka dalam menentukan apakah hewan tersebut adalah hewan laut sehingga berlaku padanya hukum ikan ataukah termasuk hewan darat yang berlaku padanya hukum hewan darat.

KEHALALAN MEMAKAN HEWAN LAUT ATAU AIR.
Para Ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:

1. Seluruh hewan laut halal. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah dan Syâfi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allâh Azza wa Jalla yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. [Al-Mâidah/5:96]

Ayat ini bersifat umum pada semua hewan laut.

2. Seluruh hewan laut atau air halal kecuali katak, buaya dan ular. Ini adalah pendapat madzhab Hambaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan sebagai dasar argumen oleh pendapat pertama. Binatang katak dikecualikan, karena dilarang membunuhnya dan mengecualikan buaya karena binatang buas lagi pemangsa dengan taringnya dan memangsa manusia. Sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.

3. Semua yang ada dalam laut diharamkan kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan kecuali yang sudah mati mengambang dipermukaan laut. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah. Mereka berdalil pada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. [Al-Mâidah/5:3].

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla tidak memerinci antara hewan laut dengan darat, sehingga berlaku umum. Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [Al-A’râf/7:157]

Selain ikan, semua hewan laut khabîts (buruk), seperti kepiting dan lain-lainnya.

4. Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan, apabila yang hewan darat yang serupa dengannya halal dimakan. Apabila hewan darat yang menyerupainya haram dimakan, maka hukumnya haram. Misalnya, babi laut diharamkan karena babi darat diharamkan, anjing laut haram karena anjing darat haram. Ini adalah satu di antara pendapat dalam madzhab Syafi’iyah dan satu pendapat dari madzhab Hambaliyah. Dalilnya adalah qiyâs (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama, maka diberi hukum yang sama.

Baca Juga  Asas Penetapan Halal dan Haram Dalam Islam

Pendapat Yang Rajih
Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh bin Fauzân Al-Fauzân merajihkan pendapat madzhab Malikiyah, karena kekuatan dalil mereka dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka. Kemudian beliau membantah pendapat yang lainnya dengan menyatakan:

Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai. (Al-Mâidah/5:3). Maka jawabnya adalah ini umum yang sudah dikhususkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut : (هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ) .

Sedangkan argumen mereka dengan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ( Al-A’râf/7:157) dalam mengharamkan kepiting, ular dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa diterima perihal ini semua adalah khabîts (buruk/menjijikkan). Sekedar klaim ini termasuk yang menjijikkan tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang membolehkan). Sedangkan qiyâs (analogi) mereka semua yang ada di laut dengan hewan darat yang dilarang, maka ini tidak sah karena menyelisihi nash syariat. [1]

Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah merajihkan keumuman ini dalam pernyataan beliau, “Yang benar adalah tidak dikecualikan satu pun dari hal itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali di air adalah halal baik yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan terdahulu”.[2]

Hukum Darah Ikan.[3]
Kehalalan memakan ikan sudah dijelaskan dalam banyak nash syariat dan disepakati para Ulama, hanya saja terjadi perbedaan pendapat dalam hukum darah ikan. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Sebab perselisihan mereka dalam darah ikan adalah sama dengan sebab perselisihan mereka dalam bangkainya. Ulama yang menjadikan bangkainya masuk dalam keumuman pengharaman, mereka menghukumi darahnya juga demikian. Ulama yang mengeluarkan bangkai ikan darinya, maka mengeluarkan darahnya dengan menganalogikannya dengan bangkai. [4]

Demikianlah para Ulama berbeda pendapat tentang kesucian darah ikan dalam dua pendapat:

1. Darah ikan hukumnya najis. Ini adalah pendapat Abu Yusuf rahimahullah dari ulama Hanafiyah, satu pendapat dari Malikiyah dan pendapat yang shahîh dari madzhab Syafi’iyah dan Abu Tsaur rahimahullah . Mereka berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allâh. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-An’âm/6:145].

Ayat yang mulia ini umum mencakup semua darah yang mengalir dan di antaranya adalah darah ikan, sehingga hukumnya najis seperti darah-darah lainnya.[5]

Argumentasi ini disanggah dengan menyatakan bahwa ayat di atas bersifat umum pada darah yang mengalir dan ada sebagian nash syariat yang mengecualikan darah ikan, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

«أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا المَيْتَتانِ: فَالْجَرَادُ والْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطِّحالُ وَالْكَبِدُ». أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَفِيهِ ضَعْفٌ.

Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, adapun dua macam bangkai adalah: (bangkai) belalang dan ikan, dan dua macam darah adalah limpa dan hati.” [HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah].

Dua darah ini dikecualikan dan Nabi n ketika menyampaikan kehalalan bangkai ikan, jelas mengetahui adanya darah pada ikan tersebut dan tidak melarangnya sehingga menunjukkan kesucian darahnya.

2. Darah ikan hukumnya suci. Ini pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan Muhammad bin al-Hasan rahimahullah dan menjadi pendapat madzhab Hanafiyah. Ini juga satu pendapat dalam madzhab Mâlikiyah dan dirajihkan Ibnul Arabi rahimahullah. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa argumen:

  • Bangkai ikan halal dan tidak disyariatkan menyembelihnya. Seandainya darah ikan najis tentulah disyariatkan menyembelihnya.
  • Ikan tidak memiliki darah hakiki, tapi merupakan air yang tercampur darah. Oleh karena itu, darahnya tidak menjadi hitam apabila dibiarkan terbuka di paparan sinar matahari.
  • Tabiat darah itu panas dan tabiat air itu dingin. Seandainya ikan memiliki darah, tentunya tidak kuat berdiam lama di air.
  • Darah ikan tidak jauh dari bangkainya dalam hukum. Bangkai ikan suci dan halal dimakan, maka demikian pula darahnya.
Baca Juga  Daging Import Dari Negeri Ahli Kitab

Pendapat kedua ini yang rajih karena argumentasi yang kuat. Wallâhu A’lam.

Menggunakan Bahan-Bahan Dari Laut Untuk Bejana[6] .
Sudah dimaklumi, ada beberapa benda berharga diambil dari laut, seperti mutiara, sebagian kerang dan batu permata serta sejenisnya. Dewasa ini, batu mulia dan bahan-bahan berharga dari laut banyak digunakan sebagai bahan buat bejana. Lalu, bagaimana hukumnya?

Para Ulama Fikih berselisih pendapat tentang kebolehannya, disebabkan perbedaan penentuan ‘illah (sebab hukum) larangan penggunaan bejana emas dan perak. Ad-Dasûqi dalam Hâsyiyah ad-Dasûqi rahimahullah (1/64) menyatakan, “Perbedaan pada bejana batu permata didasari perbedaan pada sebab hukum larangan menggunakan bejana-bejana emas dan perak. Ulama yang memandang sebab hukumnya dalam penggunaannya adalah berlebihan (mubadzir), maka lebih tegas melarang bejana batu permata. Ulama yang memandang larangannya karena bahan emas dan perak, maka membolehkan bejana batu permata tersebut.

Dari sebab perbedaan ini, maka muncullah tiga pendapat ulama fikih seputar bejana dari bahan-bahan bernilai tinggi selain emas dan perak.

1. Dilarang memiliki bejana dari bahan-ahan bernilai tersebut. Ini pendapat Mâlikiyah dan salah satu dari dua pendapat ulama Syâfi’iyah. Mereka berdalil bahwa memiliki bejana dari bahan bernilai tinggi seperti ini akan menghancurkan hati kaum fakir miskin, juga berisi kesombongan dan berbangga-bangga dengannya. Demikian juga ada sikap boros yang berlebihan dan merusak ekonomi masyarakat. Pengharaman bejana emas dan perak merupakan peringatan terhadap pengharaman sesuatu yang lebih mahal darinya.

2. Makruh memiliki bejana dari bahan-bahan bernilai tinggi ini. Inilah pendapat sebagian ulama malikiyah, sebagian Ulama Syâfi’iyah diantara mereka adalah Imam Nawawi rahimahullah.

3. Diperbolehkan memiliki bejana seperti ini. Inilah pendapat madzhab Hanafiyah, Hanâbilah dan satu pendapat pada madzhab Mâlikiyah. Mereka berdalil dengan tidak adanya larangan pada bejana ini, sehingga tetap kembali pada hukum asalnya yaitu boleh, seperti dijelaskan firman Allâh Azza wa Jalla :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (al-Baqarah/2:29) dan firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allâh yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya” [Al-A’râf/7: 32].

Selain itu, sebab yang mendasari hukum dilarangnya bejana emas dan perak berupa boros yang berlebihan dan kesombongan tidak terwujud dalam bejana ini, sehingga boleh dipergunakan karena tidak mengetahui nilainya kecuali orang-orang tertentu.

Pendapat yang ketiga inilah pendapat yang rajih Insya Allâh Azza wa Jalla , karena kuatnya argumentasi yang mereka pakai, karena kembali kepada hukum asal bejana tersebut.

Semoga beberapa hukum ini menambah pengetahuan dan wawasan kita dan menambah keyakinan kita akan kesempurnaan syariat Islam. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Ath’imah hlm. 78-79.
[2]. Syarhul Mumti’ 15/35.
[3]. Diambil dari Ahkâm al-Bahr hlm. 81-87.
[4]. Bidâyatul Mujtahid I/102.
[5]. Lihat Bidâyatul Mujtahid I/100.
[6]. Diambil dari kitab Ahkâm al-Bahr hlm. 90-95).