Adab Penduduk Kota Madinah Dan Orang Yang Berziarah

ADAB PENDUDUK KOTA MADINAH DAN ORANG YANG BERZIARAH

Menjadi salah satu penduduk kota Mekah atau Madinah atau sekedar berada di Mekah dan Madinah dalam waktu yang sangat terbatas merupakan kenikmatan yang diidamkan banyak kaum Muslimin. Karena dengan berada di dua tempat suci tersebut, mereka bisa meraup berbagai keutamaan ibadah yang dijanjikan, diantaranya pelipatgandaan nilai ibadah. Namun kenikmatan ini menjadi tidak berguna jika tidak disyukuri dengan memanfaatkannya untuk beramal shalih dan menjauhi perbuatan menyimpang dan maksiat. Berikut kami sajikan beberapa adab-adab yang harus diperhatikan ketika berada di kota Madinah, baik sebagai penduduk yang berdomisili di sana ataupun hanya sebagai peziarah. Adab-adab ini kami nukil dari kutaib yang ditulis oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr.

ADAB-ADAB PENDUDUK MADINAH
1. Hendaknya seorang mencintai kota Madinah, karena ia memiliki banyak keistimewaan dan juga karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintainya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahîhnya dari Anas Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

Sesunnga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila pulang dari safarnya lalu melihat dinding-dinding kota Madinah sudah dekat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercepat perjalanannya, apabila berada diatas tunggangan maka Beliau segera memacunya, dikarenakan kecintaan Beliau terhadap kota Madinah.”

2. Seorang Muslim hendaknya berantusias untuk berada di kota Madinah dalam keadaan istiqâmah dengan apa yang Allâh perintahkan, tetap taat kepada Allâh dan rasul-Nya, dan juga hendaknya ekstra berhati-hati agar tidak terjatuh dalam perbutan bid’ah dan maksiat. Karena kebaikan yang dilakukan di kota Madinah memiliki kedudukan yang sangat agung begitu pula bid’ah dan maksiat di kota Madinah sangat berbahaya bagi pelakunya. Orang yang berbuat maksiat di kota suci ini, dosanya lebih besar dan lebih berat dibandingkan dengan dosa yang dilakukan di tempat lain. Kejelekan yang dilakukan tidak dilipatgandakan nominal dosanya, akan tetapi dosa kejelekan tersebut akan membesar apabila dilakukan di tanah suci ini.

3. Seorang Muslim yang berada di kota Madinah hendaknya bersemangat untuk ikut serta dalam usaha meraih hasil maksimal dari perdagangan akhirat yang menjanjikan keuntungannya berlipat ganda. Yaitu dengan melakukan shalat-shalat yang bisa dilakukan di masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam demi mendapatkan pahala besar yang dijanjikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain selain Masjidil Haram [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

4. Hendaknya kaum Muslimin yang ada di kota Madinah yang penuh berkah ini menjadi teladan dalam kebaikan, karena mereka tinggal di kota yang terpancar darinya cahaya kebaikan. Dari sini pulalah para dai dan penyeru kebaikan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, para delegasi yang ditugaskan ke kota Madinah ini akan mendapati para penduduk kota ini sebagai contoh suri tauladan yang baik, bersifat dan berakhlak mulia serta agung. Jika demikian, saat delegasi itu kembali ke negaranya, dia akan pulang ke negerinya dengan membawa kesan positif serta bisa mengambil pelajaran dari pemandangan yang dia lihat. Namun sebaliknya, jika pemandangan yang dilihatnya buruk, maka dia akan kembali ke negeranya dengan membawa kesan negatif bahkan mungkin sambil mencela.

5. Hendaknya seorang Muslim yang sedang berada di kota Madinah ini mengingat bahwa dia sedang berada di di sebuah tempat yang baik, kota yang merupakan tempat turunnya wahyu serta tempat kembalinya keimanan, juga tempat aktifitas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para Shahabatnya g dari kalangan Muhajirin dan Anshâr. Mereka berjalan dan bergerak di kota ini di atas kebaikan, istiqâmah serta berpegang kepada kebenaran dan petunjuk. Hendaknya seorang Muslim yang sedang berada di kota Madinah ini waspada agar tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , misalnya melakukan sesuatu yang mengundang murka Allâh Azza wa Jalla atau mendatangkan bahaya atau akibat buruk di dunia dan akhirat.

6. Bagi orang yang diberi kesempatan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk tinggal di kota Madinah hendaknya berhati-hati agar jangan sampai melakukan perbuatan bid’ah dan maksiat atau melindungi pelakunya, karena itu akan membuatnya terkena laknat. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمَدِينَةُ حَرَمٌ ، فَمَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلا عَدْل

Kota Madinah adalah tanah suci, maka barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah dan maksiat atau melindungi pelakunya maka baginya laknat Allâh, laknat para malaikat dan laknat manusia seluruhnya. Pada hari kiamat nanti tidak diterima darinya amalan wajib maupun sunnah

Hadits ini diriwayat oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , hadits juga terdapat dalam kitab Shahîhain dari Ali Radhiyallahu anhu .

7. Hendaknya tidak memotong tumbuh-tumbuhan atau memburu binatang, berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَابَيْنَ لاَبَتَيْهَا لَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا، وَلا يُقْتَلُ صَيْدُهَا

Sesungguhnya Nabi Ibrâhîm menjadikan kota Mekah sebagai kota haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah sebagai kota yang haram antara dua bebatuan hitam, pepohonanya tidak boleh dipotong dan binatangnya tidak boleh diburu.

Hadits ini diriwayatkan Muslim dari hadits Jâbir Radhiyallahu anhu
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Saad bin Abi Waqqas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لابَتَيِ الْمَدِينَةِ أَنْ يُقْطَعَ عِضَاهَا أَوْ يُقْتَلَ صَيْدُهَا

Saya jadikan antara dua bebatuan hitam Madinah sebagai tanah haram. Pepohonanya tidak boleh dipotong dan binatangnya tidak boleh diburu.

Dalam Shahîhain dari Âshim bin Sulaiman al-Ahwal berkata: “Saya berkata pada Anas, “Apakah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan kota Madinah? Dia menjawab:

نَعَمْ مَا بَيْنَ كَذَا إِلَى كَذَا لَا يُقْطَعُ شَجَرُهَا مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Benar, antara ini dan itu, tidak boleh dipotong tumbuhannya. Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah atau maksiat maka baginya laknat Allâh dan para malaikat dan manusia seluruhnya.”

Dalam Shahîhain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu Seandainya aku mendapatkan kijang sedang diam, niscaya aku tidak akan mengejutkannya’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَابَيْنَ لاَبَتَيْهَا حَرَامٌ

Antara dua bebatuan hitam Madinah adalah sebagai tanah haram

Maksud pohon yang tidak boleh dipotong adalah pohon yang Allâh Azza wa Jalla tumbuhkan, adapun pohon yang ditanam oleh orang-orang maka mereka boleh dipotong.

Baca Juga  Kewajiban Kita Terhadap Al-Aqsha

8. Hendaknya kaum Muslimin yang tinggal di kota Madinah bersabar atas apa yang menimpanya seperti ekonomi yang susah, musibah ataupun kesulitan. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَاءِ الْمَدِينَةِ وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِي، إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ شَهِيدًا

Tidaklah seorang di antara umat saya bersabar akan rasa lapar dan kerasnya Madinah, melainkan saya akan menjadi pemberi syafa’at atau saksi baginya pada hari kiamat.

Didalam Shahîh Muslim pula dikisahkan bahwa Abu Sa’id Maula al-Mahri datang kepada Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu untuk meminta pendapat beliau Radhiyallahu anhu tentang keinginannya pindah dari Madinah, serta mengeluhkan harga barang-barang yang teramat mahal, ditambah lagi dengan beban tanggungan keluarga yang banyak. Dia mengabarkan bahwa sudah tidak mampubersabar akan kerasnya hidup di Madinah serta kesulitan tinggal di kotaMadinah. Maka Abu Said al-khudri Radhiyallahu anhu pun menasehatinya ‘Celaka engkau!! Saya tidak menganjurkan anda untuk keluar dari Madinah’ Saya pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda, (yang artinya) “Tidak ada seorangpun yang bersabar menghadapi kerasnya Madinah kemudian maninggal melainkan aku akan menjadi pemberi syafaat atau menjadi saksi baginya pada hari kiamat kelak, jika dia seorang Muslim.”

9. Hendaknya seorang Muslim tidak mengganggu atau menyakiti penduduk kota Madinah, karena mengganggu atau menyakiti seorang Muslim dimanapun hukumnya adalah haram, namun menyakiti di kota suci ini keharamannya lebih keras. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dalam Shahîhnya dari Saad bin Abi Waqqâs Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَكِيْدُ أَهْلَ المدينةِ أَحَدٌ بِسُوْءٍ إِلاَّ انْمَاعَ كَمَا يَنْمَاعُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

Tidak ada seorangpun yang membuat tipu daya terhadap penduduk Madinah, melainkan dia akan mencair sebagaimana garam mencair garam dalam air

Imam Muslim dalam Shahîhnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَرَادَ أَهْلَ هَذِهِ الْبَلْدَةِ بِسُوءٍ أَذَابَهُ اللَّهُ كَمَا يَذُوبُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ

Barangsiapa merencanakan keburukan bagi penduduk kota ini (Madinah) maka Allâh akan jadikan keburukannya itu lebur sebagaimana garam lebur dalam air

10. Hendaknya orang yang tinggal di kota Madinah tidak tertipu dengan statusnya sebagai penduduk kota Madinah, lalu mengatakan, “Saya termasuk penduduk kota Madinah. Saya berada dalam kebaikan.” Karena jika hanya berstatus penduduk Madinah saja, namun tidak memiliki amalan sholeh, tidak istiqâmah dalam ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta tidak menjauhi perbuatan dosa dan maksiat maka statusnya tersebut tidak bermanfaat sama sekali bahkan justru akan menjadi keburukan baginya. Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al- Muwatha’ bahwasanya Salman al-Fârisi Radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ الأَرْضَ لاَ تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الإِنْسَانَ عَمَلُهُ

Sesungguhnya tempat itu tidak membuat orang menjadi suci, namun yang meyucikan seseorang adalah amalannya.

Meskipun sanadnya terputus akan tetapi maknanya benar, karena ini sesuai dengan realita. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang bertakwa [Al-Hujurât/49:13]

Seperti yang telah diketahui umum bahwa kota Madinah sejak zaman dahulu sampai sekarang, penduduknya ada yang baik dan ada juga orang-orang yang jelek. Orang-orang yang baik, amalan mereka akan mendatangkan manfaat kepada mereka, sementara orang-orang yang jelek maka kota Madinah tidak akan bisa menyucikan diri mereka serta tidak pula mengangkat derajat mereka. Masalah ini sama seperti masalah nasab (garis keturunan). Orang yang memiliki garis keturunan yang baik tapi tidak memiliki amalan baik maka nasabnya itu tidak akan bermanfaat baginya di sisi Allâh Azza wa Jalla, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Barangsiapa diperlambat oleh amalnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya masuk surga. Hadits ini diriwayat oleh Muslim dalam kitab Shahîhnya.

11. Hendaknya seorang Muslim yang sedang berada di kota Madinah merasa bahwa dirinya sedang berada di kota yang terpancar darinya cahaya keimanan, tempat yang menjadi sumber tersebarnya ilmu yang bermanfaat ke seluruh penjuru alam. Jika dia merasa atau menyadari ini, maka dia akan bersemangat untuk mendapatkan dan meraih ilmu agama. Dengan Ilmu agama tersebut dia akan berjalan menuju Allâh di atas petunjuk dan juga bisa mengajak orang lain ke jalan tersebut sesuai dengan ilmu dan petunjuk. Terlebih lagi kalau dia menuntut ilmu di Masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ دَخَلَ مَسْجِدَنَا هَذَا يَتَعَلَّمُ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمُهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ دَخَلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَا لَيْسَ لَهُ

Barangsiapa masuk masjid kami ini, untuk mempelajari kebaikan (ilmu agama) ataupun mengajarkannya, maka dia seperti orang yang berjihad di sabîlillâh, namun barangsiapa masuk dengan tujuan selain itu maka dia seperti orang yang menonton sesuatu yang bukan untuk dirinya. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan yang lain. Hadits ini punya penguat riwayat Thabrani dari hadits Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu]

ADAB ORANG YANG BERZIARAH KE KOTA MADINAH
Penduduk Madinah diharuskan untuk beradab dengan adab-adab tertentu, begitu juga para peziarah kota Madinah. Para penziarah kota Madinah hendaknya menjaga adab-adab orang yang sedang tinggal di kota Madinah yang telah disebutkan di atas. Juga, seyogyanya orang yang datang berziarah ke kota Madinah berniat untuk menziarahi masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Janganlah kalian safar dalam rangka ibadah kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjib Nabawi), masjid al-Aqsha. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Hadits ini mengandung larangan bepergian menuju suatu tempat, baik masjid atau apapun yang lain dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla di tempat yang ia tuju tersebut kecuali bepergian ke tiga masjid di atas. Berdasarkan hadits yang terdapat di sunan Nasa’i juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata, ‘Saya bertemu Bashrah bin Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu lalu dia berkata, ‘Darimana kalian?’ Saya menjawab, ‘Dari Gunung Thûrr’. Dia berkata, ‘Kalau saja saya bertemu kalian sebelum kalian ke sana maka kalian tidak akan bisa ke sana.’ Saya bertanya, ‘Mengapa demikian?’ Dia menjawab, ‘Saya pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُعْمَلُ الْمَطِيُّ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ، الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي، وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak boleh menggunakan kendaraan untuk safar kecuali menuju tiga masjid; Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid di Baitul Maqdis

Ini adalah hadits shahih. Dengan hadits tersebut Bashrah bin Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu berdalil akan terlarangnya berpergian menuju masjid atau yang lainnya selain tiga masjid ini.

Baca Juga  Peringatan Terhadap Yahudi dan Nasehat Untuk Palestina

Maka bagi siapa yang sampai di kota Madinah ini, disyariatkan untuknya menziarahi dua masjid dan tiga pekuburan. Dua masjid yang dimaksud adalah Masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi) dan Masjid Qubâ, sebagaimana telah dijelaskan pada mabhats lain tentang dalil-dalil tentang keutamaan dan keistimewaan shalat pada kedua tempat tersebut.

Sedangkan tiga pekuburan yang dianjurkan untuk diziarahi adalah kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua Shahabatnya yaitu Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, pekuburan Baqi’ dan pekuburan Syuhada (Mujahidin) Uhud.

Apabila peziarah datang kekuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua Shahabatnya maka hendaknya dia datang dari arah depan dan menghadap kuburan, dengan catatan ziarah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan oleh syariat. Ziarah yang sesuai dengan tuntunan syariat yaitu dengan memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh adab dan suara yang pelan. Kemudian salam kepada Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan berdoa untuknya kemudian salam kepada Umar Radhiyallahu anhu dan berdoa untuknya.

Dan perlu diketahui juga bahwa kedua orang yang agung ini adalah khalifah yang mendapatkan petunjuk. Mereka berdua dimuliakan Allâh Azza wa Jalla melebihi yang lain. Abu Bakar Radhiyallahu anhu misalnya, beliau Radhiyallahu anhu adalah lelaki pertama yang beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Allâh Azza wa Jalla mengutusnya dengan membawa kebenaran dan petunjuk. Beliau Radhiyallahu anhu diberi kesempatan untuk menyertai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah selama tiga tahun setelah dinobatkan sebagai Rasûl. Disaat Allâh Azza wa Jalla mengizinkan Nabinya n untuk berhijrah ke kota Madinah, beliau menyertainya dalam perjalanan menuju kota Madinah dan turunlah ayat mengenai hal itu yang diabadikan dalam al-Qur’ân dan senantiasa dibaca, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allâh telah menolongnya (yaitu)) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada didalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allâh beserta kita.” Maka Allâh menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allâh jadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allâhlah itulah yang tinggi. Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[At-Taubah/9:40]

Abu Bakar Radhiyallahu anhu juga menyertai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah selama sepuluh tahun, mengikuti semua peperangan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat beliau memegang kekhalifahan. Beliau pun melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Tatkala Allâh Azza wa Jalla mewafatkannya, Allâh muliakan dia dengan dikuburkan disisi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga manakala dibangkitkan nanti dia dibangkitkan bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Tentu semua itu adalah karunia dari Allâh yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Adapun mengenai Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu masuk Islam setelah empat puluh orang lain sebelumnya masuk Islam dari kalangan laki-laki. Dahulunya Umar Radhiyallahu anhu adalah orang yang sangat keras terhadap Islam, namun setelah mendapatkan petunjuk dan hidayah, maka kekuatan dan kekerasannya ditujukan untuk orang kafir. Islamnya Umar sebuah power bagi kaum Muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu : ‘Kami senantiasa memiliki pamor sejak Umar memeluk Islam’ (Riwayat ini dibawakan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya.

Beliau Radhiyallahu anhu menyertai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah dan beliau Radhiyallahu anhu juga berhijrah menuju kota Madinah. Beliau Radhiyallahu anhu juga mengikuti semua peperangan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tatkala Abu Bakar menjadi khalifah, Umar Radhiyallahu anhu adalah tangan kanannya. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu memegang kekhalifahan sepeninggalan Abu Bakar Radhiyallahu anhu . Kekhalifahannya berlangsung selama sepuluh tahun. Beliau Radhiyallahu anhu melakukan berbagai penaklukan, sehingga semakin luaslah negara Islam, sehingga bisa mengalahkan dua imperium besar tatkala itu yaitu imperium Persia dan Romawi kuno. Harta kekayaan Kisra dan Kaisar yang ia dapatkan diinfakkan di jalan Allâh. Penaklukan Romawi dan Persia itu sesuai dengan apa yang telah dikabarkan sebelumnya oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semua itu menjadi nyata pada masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu anhu. Tatkala beliau Radhiyallahu anhu wafat, Allâh Azza wa Jalla memuliakannya juga dengan dikuburkan disisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga manakala dibangkitkan iapun akan dibangkitkan bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Semua itu adalah karunia dari Allâh yang Allâh berikan kepada siapa yang dikehendaki Nya.

Masih pantaskah ada orang yang benci dan mencela dua tokoh seagung dan sebaik mereka ini …?! Semoga Allâh Azza wa Jalla kita semua dari perbuatan hina.

Wahai Rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah engkau jadikan dalam hati kami rasa dengki terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami! Sesungguhnya engkau adalah maha baik lagi maha pengasih

Wahai Rabb kami! Janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk pada kami. Berikanlah kasih sayang-Mu! Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi’.

Ibnu Katsir menukil dalam kitab tafsirnya pada firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang kalian dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu atau dosa-dosamu yang kecil dan niscaya Kami masukkan kamu ketempat yang mulia (syurga) [An-Nisâ’/4:30]

Dari Abu Hatim dengan sanad yang sampai pada Mughirah bin Miqsam, dia berkata, “Mencela Abu Bakr dan Umar termasuk Radhiyallahu anhuma adalah dosa besar’. Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagian Ulama berpendapat akan kafirnya orang yang mencela para Shahabat’. Pendapat tersebut diriwayatkan dari Mâlik bin Anas rahimahullah. Muhammad bin Sirrin rahimahullah berkata, “Saya kira tidak akan ada orang yang mengaku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi mencela Abu Bakar dan Umar.” Ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi rahimahullah.

Demikian, sajian singkat tentang adab-adab yang perlu diperhatikan ketika seorang Muslim berada di Mekah atau Madinah. Semoga bermanfaat

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

  1. Home
  2. /
  3. A8. Palestina (Syam), Mekkah...
  4. /
  5. Adab Penduduk Kota Madinah...