Kaidah Ke-39 : Perkara yang Diperintahkan Wajib Dikerjakan Seluruhnya
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Sembilan
يَجِبُ فِعْلُ الْمَأْمُوْرِ بِهِ كُلِّهِ, فَإِنْ قَدِرَ عَلَى بَعْضٍ وَعَجَزَ عَنْ بَاقِيْهِ فَعَلَ مَا قَدِرَ عَلَيْهِ
Perkara yang diperintahkan wajib dikerjakan seluruhnya, (namun) jika seseorang hanya mampu mengerjakan sebagiannya maka ia kerjakan apa yang ia mampu
MAKNA KAIDAH
Apabila seseorang diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu, maka akan ada tiga kemungkinan. Kemungkin pertama, ia mampu mengerjakannya dengan sempurna; Kedua, ia tidak mampu mengerjakannya sama sekali; Ketiga, ia mampu mengerjakan sebagian saja.
Jika ia mampu mengerjakannya dengan sempurna maka itulah yang harus ia lakukan. Jika ia tidak mampu mengerjakannya sama sekali, maka kewajibannya gugur. Jika ia mampu mengerjakan sebagian, maka ia harus mengerjakan apa yang dia mampu dari perintah tersebut, sedangkan bagian yang tidak ia mampu maka gugur kewajiban mengerjakannya.
Kaidah ini akan membahas keadaan ketiga dari tiga keadaan di atas[1].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Manzhumah al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah mengatakan :
وَيفْعَلُ الْبَعْضُ مِنَ الْمَأْمُوْرِ إِنْ شَقَّ فِعْلُ سَائِرِ الْمَأْمُوْرِ
Dan dikerjakan sebagian dari perkara yang diperintahkan
Jika kesulitan mengerjakan seluruh perkara yang diperintahkan [2]
Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, “Sesungguhnya orang yang diberikan beban mengerjakan suatu ketaatan dan ia mampu mengerjakan sebagiannya dan tidak mampu sebagian lainnya, maka ia kerjakan apa yang ia mampu dan gugur kewajiban dari apa yang tidak ia mampui.”[3]
Syaikh Dr. Khâlid bin ‘Ali al-Musyaiqih mengatakan, “Hukum asal dalam perintah-perintah (Allâh dan Rasul-Nya) adalah engkau mengerjakan semuanya. Jika tidak mampu maka engkau kerjakan apa yang engkau mampu darinya. Dan banyak contoh yang masuk dalam penerapan kaidah ini.”[4]
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu. [at-Taghâbun/64:16].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa setiap kewajiban yang tidak mampu dikerjakan oleh seorang hamba, maka kewajiban mengerjakannya gugur. Dan jika ia mampu mengerjakan sebagian perkara dan tidak mampu mengerjakan sisanya, maka ia kerjakan apa yang ia mampu dan gugur darinya apa yang tidak ia mampui.[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa-apa yang aku larang, maka tinggalkanlah. Dan apa-apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.[6]
Al ‘Allâmah Ibnu Hajar al-Haitsami ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Ini adalah kaidah Islam yang penting. Dan termasuk jawâmi’ul kalim yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena masuk di dalamnya perkara-perkara yang tidak terhitung.”[7]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah ini mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang sangat banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah, muamalah, dan selainnya. Berikut ini merupakan sedikit contoh darinya :
- Pada dasarnya, ketika seseorang berwudhu maka ia wajib menyiramkan air ke seluruh anggota wudhunya. Namun, apabila suatu ketika hanya ada sedikit air dan tidak cukup untuk berwudlu, maka yang wajib baginya adalah menggunakan air itu seadanya, dan anggota wudhu yang belum terkena air ia tayammumkan.[8]
- Pada dasarnya, seseorang wajib berdiri saat shalat. Jika ia tidak mampu berdiri maka shalat dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan berbaring. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu :
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ ، فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Dari ‘Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah terkena penyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana aku melaksanakan shalat ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka dengan berbaring.”[9]
- Pada dasarnya, kewajiban berdiri saat shalat berlaku sejak rakaat pertama sampai akhir. Namun, jika mampu berdiri di sebagian rekaat dan tidak mampu di rekaat lainnya, maka wajib berdiri pada rekaat yang ia mampu dan boleh duduk di rekaat yang tidak ia mampu.[10]
- Dalam pembayaran zakat fitri, asalnya seseorang wajib membayarkan zakat untuk dirinya dan orang yang ditanggungnya, seperti anak dan istrinya. Namun, jika makanan pokok yang ia miliki tidak cukup untuk membayar zakat seluruhnya, maka ia utamakan membayarkan zakat untuk dirinya dan orang yang paling dekat hubungan dengannya.[11]
- Seseorang yang melaksanakan shalat, sedangkan ia baru hafal sebagian dari surat al-Fâtihah. Maka yang wajib baginya ialah membaca surat tersebut sebatas yang dihafalnya.[12]
- Berkaitan dengan ibadah haji. Asalnya seseorang wajib melaksanakan haji dengan hartanya dan ia laksanakan sendiri tanpa mewakilkan. Namun jika ia tidak mungkinmenunaikannya dengan badannya sendiri maka yang wajib adalah ia mewakilkan orang lain untuk menghajikannya.[13]
- Jika seseorang melihat suatu kemungkaran dan tidak mampu menghilangkannya. Yang ia mampu hanya meringankan atau menghilangkan sebagiannya, maka wajib baginya untuk meringankan atau menghilangkan sebagian kemungkaran tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah keimanan.[14]
- Seseorang yang sholat dan tidak mampu melaksanakan sebagian syarat atau rukun sholat, maka ia melaksanakan sebagian syarat atau rukun yang ia mampu. Adapun sebagian syarat atau rukun sholat yang tidak ia mampui maka gugur kewajiban mengerjakannya.[15]
KETERANGAN TAMBAHAN
Para ulama menjelaskan bahwa apabila seseorang hanya mampu mengerjakan sebagian dari perkara yang diperintahkan, maka ada beberapa keadaan :
- Jika perkara yang dimampui itu sekedar wasîlah (perantara) dari ibadah yang lain, maka tidak wajib dikerjakan. Misalnya, di antara rangkaian amalan dalam ibadah haji adalah al halq (mencukur rambut). Dalam hal ini, timbul permasalahan jika seseorang memang kepalanya tidak tumbuh rambut, apakah ia wajib menjalankan alat cukur di kepalanya. Maka jawabannya tidak, karena hal itu hanya wasîlah dari ibadah lain yaitu mencukur rambut.[16] Demikian pula, berkaitan dengan khitan. Apabila seorang anak dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan, maka tidak wajib menjalankan pisau di bagian yang biasa dikhitan, karena hal itu hanyalah wasîlah kepada ibadah lainnya.[17]
- Jika perkara tersebut hanya sekedar pelengkap dan penyempurna ibadah yang lain, maka tidak wajib dikerjakan. Misalnya dalam pelaksanaan ibadah haji, sebagaimana dimaklumi bahwa di antara amalan dalam ibadah haji adalah bermalam di Mina dan melempar jumrah di sana pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah. Amalan ini merupakan pelengkap dan penyempurna dari wuquf di Arafah. Timbul permasalahan jika seseorang terlewat dari mengikuti wuquf di Arafah apakah tetap wajib baginya untuk pergi ke Mina, bermalam tiga hari di sana dan melempar jumrah. Maka jawabannya tidak, karena amalan tersebut sekedar pelengkap dan penyempurna dari ibadah lain yaitu wuquf. Sehingga tatkala seseorang terlewat dari pelaksanaan wuquf maka tidak wajib mengerjakan amalan yang menjadi pelengkapnya, semisal bermalam di Mina dan melempar jumrah di sana.[18]
- Jika perkara yang dimampui itu merupakan bagian suatu ibadah namun jika berdiri sendiri tidak tergolong ibadah yang disyariatkan, maka tidak wajib dikerjakan. Misalnya dalam ibadah puasa, asalnya seseorang wajib berpuasa sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Timbul permasalahan jika seseorang tidak mampu berpuasa sampai tenggelam matahari, ia hanya mampu berpuasa sampai waktu Zhuhur. Apakah ia wajib berpuasa sampai waktu zhuhur saja. Jawabannya tidak, karena perkara yang ia mampui itu bagian dari ibadah yang mana jika dipisahkan dan berdiri sendiri maka tidak termasuk kategori ibadah. Di mana puasa harus dilaksanakan sejak terbit fajar samapi tenggelam matahari.[19]
- Jika perkara tersebut bagian dari suatu ibadah dan jika berdiri sendiri pun merupakan ibadah yang disyaraiatkan, maka wajib untuk dikerjakan. Keadaan keempat inilah letak pembahasan kaidah ini, dan telah disebutkan contoh-contoh penerapannya di atas. Adapaun tiga keadaan sebelumnya tidak masuk dalam pembahasan kaidah ini.[20]
Demikian pembahasan singkat kaidah ini. Semoga bermanfaat dan semakin menambah pemahaman kita akan kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini. Wallâhu a’lam.[21]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Kaidah ini sering disebut dengan ungkapan الميسور لا يسقط بالمعسور. Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anhâ, Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim as-sadlan, Cet. I, Tahun 1417 H, Dar Balansiyah li an-Nasyri wa at-Tauzi’, Riyadh, hlm. 310.
[2] Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H, Dar Ibn al-Jauzi, Dammam, hlm. 43.
[3] Qawâ’id al-Ahkâm fii Mashâlihil Anâm 2/6. Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anhâ, hlm. 313.
[4] al-‘Aqdu ats-Tsamîn fi Syarh Manzhûmah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Syaikh Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-15.
[5] Taisîrul Karîmir Rahman, Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di, Tahun 1423 H/2003 M, Jam’iyyah
[6] HR. Muslim dalam Kitab al-Fadhâil, no. 1337.
[7] Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anhâ, hlm. 315.
[8] Lihat as-Syarhul Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, 1/381.
[9] HR. al-Bukhari dalam Kitab as-Shalah, Bab Idza Lam Yuthiq Qaiman Fa ‘ala Janbin, I/280.
[10] Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, hlm. 44.
[11] al-‘Aqdu ats-Tsamin fi Syarh Manzhumah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Syaikh Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-15.
[12] Lihat al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anhâ, hlm. 319.
[13] al-‘Aqdu ats-Tsamîn fi Syarh Manzhûmah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Penjelasan bait ke-15.
[14] HR. Muslim dalam Kitab al-Imân, no. 49.
[15] Lihat makalah berjudul Qâ’idah al-Maisûr Lâ Yasquthu bi al-Ma’sûr, Syaikh Dr. Nashir bin Muhammad al-Ghamidi, dimuat di Majalah al-Ushul wa an-Nawazil No.2, Rajab 1430 H.
[16] Lihat Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az Zamil, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa at-Tauzi’, hlm. 225-226.
[17] Lihat Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ’id, al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman, Cet. I, Tahun 1419 H/1998 M, Dar Ibni Affan li an-Nasyri wa at-Tauzi, Khubar, Jilid 1 Hlm. 43.
[18] Lihat makalah berjudul Qâ’idah al-Maisûr Lâ Yasquthu bi al-Ma’sûr, Syaikh Dr. Nashir bin Muhammad al-Ghamidi, dimuat di Majalah al-Ushul wa an-Nawazil No.2, Rajab 1430 H.
[19] Lihat Tuhfatu Ahli at-Thalab fi Tahrîr Ushûl Qawâ’id Ibni Rajab, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II, Tahun 1423 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, hlm. 10.
[20] Lihat Syarhul Qawâ’id as-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az Zamil, Dar Athlas Al Kahadhra’ li an-Nasyri wa at-Tauzi’, hlm. 226.
[21] Diangkat dari al-Qawâ’id wa al-Ushûl al-Jâmi’ah wa al-Furuq wa at-Taqâsîm al-Badi’ah an-Nafi’ah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Cet. II. 1422 H/2001 M, Dar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, Hlm. 91-93, dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke-39 : Perkara...