Pengadaan Kuburan

PENGADAAN KUBURAN[1]

Mau tidak mau kita memerlukan kebutuhan pokok semua umat manusia ini karena semua akan menghadapi kematian, memasuki “rumah” transisi tersebut, yaitu kubur. Ia merupakan pintu gerbang untuk keluar dari kehidupan dunia menuju alam akhirat.

Proses akhir yang dijalani oleh jenazah berakhir di kuburan, di dasar tanah dalam liang lahat. Inilah cara yang diajarkan oleh syariat Islam.

Prosesi pemakaman jenazah dalam tanah sebenarnya merupakan pemuliaan kepada jenazah itu sendiri, terutama kaum Muslimin. Karena, kita telah mengembalikannya ke tempat asal penciptaannya, yaitu tanah.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مِنْهَا خَلَقْنٰكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرٰى

Dari tanah Kami menciptakan kalian dan kepada tanah Kami akan mengembalikan kalian dan dari tanah pula Kami akan mengeluarkan kalaian pada kesempatan yang lain.  [Thâhâ/20:55].

Dengan dikuburkan dalam tanah, maka jenazah seorang Muslim menjadi terjaga dari pelecehan orang ataupun gangguan binatang buas. Karena, tidak boleh memperlakukan jenazah seorang Muslim seenaknya saja dengan cara mengutak-atik jasadnya, atau memotongnya, atau juga membakarnya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Mematahkan tulang jenazah sama seperti mematahkannya ketika ia masih hidup. (HR Abu Dawud, no. 3209, dan dinilai shahîh oleh Syaikh al-Albani dalam kitab, Ahkâm Janaiz, hlm. 233)

Karenanya jenazah yang sudah dikubur di suatu makam tidak boleh diganggu gugat lagi. Dia telah menempati tempat yang sudah menjadi haknya.

Imam Nawawi mengatakan, “Menggali kembali kuburan yang ada penghuninya tidak dibolehkan tanpa ada alasan yang dibolehkan oleh syariat. Hal ini telah disepakati oleh seluruh ulama mazhab Syafi’i.  Namun, dibolehkan menggali kembali kuburan tersebut bila sudah diyakini bahwa jenazah di dalamnya sudah hancur menjadi tanah. Dalam kondisi seperti ini, boleh untuk dikuburkan jenazah lain di dalamnya, boleh pula memanfaatkan tanah tersebut untuk pertanian, pembangunan, maupun bentuk investasi lainnya.

Bila tanah itu adalah tanah pinjaman, pemiliknya sudah boleh untuk memiliki kembali hak penuh pada tanah untuk dimanfaatkan sesukanya. Ini semua baru boleh dilakukan jika tidak ada lagi bekas jenazah di tanah tersebut baik berupa tulang-belulang ataupun bentuk lainnya.

Cara mengetahui kapan jenazah itu sudah hancur semuanya menjadi tanah, (hal ini) tidak ada standar waktu khusus. Perbedaannya tergantung pada kondisi tanah di masing-masing tempat. Maka, hendaklah ditanyakan kepada ahli khusus dalam bidang ini.[2]

Penyelenggaraan pengurusan jenazah bersifat fardhu kifayah bagi orang-orang yang diitinggalkan si mayit. Diantara yang merupakan tugas terakhirnya adalah menguburkannya.

Dalam hal penguburan ini terdapat perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam sabda beliau:

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

Segerakanlah penyelenggaraan jenazah. Karena, apabila jenazah itu adalah orang shalih, maka kalian telah berbuat baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu bukan orang baik, maka agar kalian segera meletakkan benda jelek dari pikulan kalian. (HR al-Bukhâri dan Muslim).

Dimanakah Jenazah Dikuburkan?
Para Ulama seluruh mazhab sepakat bahwa yang paling utama ialah menguburkan jenazah di kuburan umum, yaitu tempat yang sudah disediakan untuk kuburan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

  • Pertama, merupakan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka menguburkan para jenazah di pekuburan umum bagi penduduk Madinah yang disebut dengan pekuburan Baqi`. Terkecuali bagi jenazah para syuhada. Khusus untuk mereka, dikubur di tempat mereka gugur.
  • Kedua, dengan dimakamkan di kuburan umum, akan ada yang mengamalkan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu berziarah kubur, dan otomatis banyak yang berdoa bagi penghuni kubur tersebut. Sehingga besar harapan mereka akan mendapatkan manfaat dan barokah dari doa kaum Muslimin.
  • Ketiga, dengan dimakamkan di kuburan umum maka akan mudah terjaga dari perbuatan orang lain yang dikhawatirkan melecehkan kuburan Muslim, seperti menginjaknya, duduk di atasnya, atau dijadikan tempat pembuangan kotoran, dan lain-lain. Kuburan umum bisa disebut sebagai benteng penjaga kehormatan jenazah penghuninya.
Baca Juga  Hukum Membuat Tulisan Pada Kuburan dan Berjalan Di Sela-sela Kubur

Cara Pengadaan Makam
Pertama, dari tanah wakaf.
Pengadaan kuburan umum yang sudah terkenal di masyarakat dari masa ke masa adalah dari tanah wakaf. Mewakafkan tanah yang diperuntukkan untuk kuburan umum merupakan perbuatan sangat mulia dan menjadi amal jariyah seseorang. Karena wakaf tersebut dibutuhkan oleh setiap orang, dan setiap orang pasti akan menemui ajalnya.

Pengalihan hukum dari tanah pribadi menjadi tanah wakaf untuk kuburan dapat terjadi dengan dua cara.

  • Pertama, dengan adanya ucapan “wakaf” dari yang punya. Cara ini disepakati oleh para Ulama. Karena lafal “wakaf” sudah menunjukkan hukumnya dengan jelas.
  • Kedua, dengan perbuatan. Misalnya seseorang menjadikan tanah pribadinya sebagai kuburan, kemudian mengizinkan orang lain untuk dikuburkan di dalamnya. Menurut pendapat jumhur Ulama (selain mazhab Syâfi’iyyah), perbuatan seperti ini sudah bisa mengubah hukum tanahnya menjadi wakaf untuk kuburan umum.[3] 

Kedua, tanah pinjaman.
Jika seperti ini, pemilik tanah hanya meminjamkan penggunaan tanah untuk dikuburkan di sana. Tidak ada niatan dan ucapan untuk mewakafkannya.

Para Ulama Syâfiiyyah dan Hambaliyah membolehkan pengadaan makam model ini. Tapi, dengan konsekuensi, pemilik tanah sekarang tidak bisa lagi memanfaatkan tanahnya kecuali setelah jenazah dalam tanah tersebut sudah hancur menjadi tanah.

Berarti, seseorang yang memberikan pinjaman tanah untuk kuburan harus mengetahui dan sanggup memenuhi persyaratan ini. Jika tidak, maka akan berakibat fatal bilamana ia mau memanfaatkan tanahnya lagi dan meminta jenazah untuk dikeluarkan kuburan itu. Sedangkan mengeluarkan mayat dari kuburnya dilarang seperti yang sudah disebutkan dari ucapan Imam Nawawi rahimahullah.

Ketiga, membeli tanah untuk dijadikan kuburan.
Contohnya, seseorang menyediakan tanah dijual per kavling untuk dijadikan makam. Hal seperti ini dibolehkan karena pada hokum asal jual beli adalah halal. Juga tidak ada pelanggaran syariat yang terjadi di dalamnya. Karena, dengan dibelinya tanah kavling tersebut, maka ia telah menjadi hak milik si mayit.

Namun dalam hal ini harus diperhatikan dua hal.

  • Pertama, tidak boleh menjual kavling makam di tanah wakaf, karena tanah wakaf tidak boleh lagi dimiliki oleh seseorang. Ia menjadi milik Allâh Azza wa Jalla yang berhak dimanfaatkan bersama.
  • Kedua, bila ingin membeli kavling makam di tanah pribadi, dan kavling itu sudah pernah dikuburkan jenazah di dalamnya, maka tidak boleh membeli kavling itu sampai diyakini bahwa mayitnya sudah hancur dimakan tanah dan siap digali lagi untuk makam orang lain.

Keempat, menyewa tanah untuk makam.
Untuk kuburan model ini, kami belum mendapatkan pendapat para Ulama yang menerangkan secara langsung masalah menyewakan tanah untuk dijadikan makam. Mungkin saja, menurut hemat kami, karena kejadian ini belum terjadi pada zaman para Ulama terdahulu. Akan tetapi, dapat kita simpulkan hukum masalah ini dari gabungan antara hukum membeli tanah makam dan hukum meminjamkan tanah makam.

Kesimpulannya, boleh saja menyewakan tanah untuk dijadikan makam asalkan dengan akad yang pasti, jelas harganya dan jelas jangka waktunya. Jangan sampai jangka waktu berakhirnya masa sewa sebelum masa hancurnya jasad mayit di makan tanah. Sehingga berakibat dimanfaatkannya tanah untuk hal-hal lain yang pada akhirnya mengganggu atau merusak atau bahkan harus dikeluarkan jenazah itu dari tanah tersebut. Intinya, jangan sampai akad sewa melahirkan pelanggaran syariat terhadap jenazah Muslim di kemudian hari.

Apabila semua jenis makam ini ada di suatu daerah, maka yang paling afdhal adalah memilih tanah wakaf. Karena tanah tersebut tidak dimiliki oleh seorang pun.

Memindahkan Jenazah Dari Ke Tempat  Selain Tempat Kematiannya
Pada asalnya, disunnahkan untuk mengubur setiap jenazah di kuburan yang ada di daerahnya.

Ibnu Munzir rahimahullah berkata, “Setiap Muslim disunnahkan untuk dikubur di daerah tempat ia meninggal. Karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Muslimin di setiap daerah”.

Baca Juga  Adzab Kubur Penghapus Dosa?

Bila di derahnya ada beberapa tempat pemakaman kaum Muslimin, dan si mayit pernah mewasiatkan agar ia dikuburkan di salah satu pemakaman tersebut, maka wasiatnya ini boleh ditunaikan selama tujuan wasiat itu tidak bertentangan dengan syariat, dan dalam prakteknya tidak menimbulkan kemudaratan bagi jenazah ataupun bagi para kerabat mayit.

Adapun bila wasiatnya minta dipindah ke pemakaman di daerah lain yang jauh tempatnya, maka dalam hal ini secara global ada dua pendapat dari kalangan para Ulama.

  • Pendapat pertama, tidak boleh dipindahkan, dan di antara pendapat yang melarang ini ada yang mengatakan hukumnya haram, ada pula yang mengatakan hanya sebatas makruh.
  • Pendapat kedua, dibolehkan untuk dipindahkan, berarti boleh ditunaikan wasiat untuk itu. Namun pendapat ini mensyaratkan jika pemindahan itu ada maslahat yang hendak dicapai dan tidak menimbulkan mudarat.

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan, bahwa memindahkan jenazah untuk dikuburkan di daerah lain hukumnya harus disesuaikan dengan kondisi tertentu.

Bila dikuburkan di daerah tempat ia meninggal, dan tempat itu merupakan daerah orang kafir harbi dan tidak ada pemakaman orang Muslim di dalamnya. Ataupun dikhawatirkan jenazahnya akan diperlakukan tidak layak, mungkin dikeluarkan dari kuburnya, dibakar, atau dimutilasi, dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti ini wajib hukumnya memenuhi wasiat si mayit untuk dipindahkan ke tempat yang lebih baik.

Begitu pula bila makam di daerahnya pemakaman yang tidak terjaga dari pelanggaran syariat di dalamnya, seperti: makam dijadikan sebagai taman bermain, rawan terkena injakan, atau tendangan bola dan lain-lain; maka dalam kondisi ini wasiat si mayit dapat dikabulkan untuk dikuburkan di daerah lain.

Apabila yang dipindahkan jenazah para syuhada, maka hukumnya tidak boleh. Karena, ada hadits yang menerangkan bahwa para syuhada dikuburkan di tempat mereka meninggal.

Dalam hadits yang disampaikan oleh Jâbir bin Abdillâh Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika perang Uhud selesai, di antara para syuhada kaum Muslimin terdapat bapak dan paman Jabir. Ketika mereka hendak dibawa ke Madinah untuk dikuburkan di sana, tiba-tiba ada yang berseru :

أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَرْجِعُوْا بِالْقَتْلَى فَتَدْفَنُوْهَا فِي مَصَارِعِهَا حَيْثُ قُتِلَتْ

Ketahuilah, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kalian mengembalikan jenazah para syuhada untuk dikuburkan di tempat mereka gugur.

Jabir berkata: “Akhirnya kami pun mengembalikannya dan menguburkannya di tempat mereka wafat”.[4]

Apabila wasiat pemindahan bertujuan dengan alasan yang disahkan oleh syariat dan ada maslahat bagi jenazah, seperti minta untuk dikuburkan di daerah kelahirannya, maka wasiat seperti ini boleh untuk dipenuhi selama proses pemindahan tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar. Contohnya, pemindahan membutuhkan waktu lama sehingga mengakibatkan keterlambatan pemakaman; atau dalam proses pemindahan akan mengakibatkan jenazah membusuk ataupun rusak; atau proses pemindahannya mengeluarkan dana yang besar, dan lain-lain.[5]

Contoh wasiat yang bertentangan dengan syariat adalah, tujuan mau dikuburkan di tempat tertentu karena di pemakaman itu ada kuburan yang disembah orang musyrik, atau di pemakaman itu setiap kuburan akan didirikan bangunan di atasnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tulisan ini merupakan kesimpulan dari tesis karya Dr. Abdullâh bin Umar bin Muhammad as-Suhaibani dari Universitas Qasim, Saudi Arabia, Penerbit Dar Ibn Jauzi  .
[2] Majmu’ Syarh Muhazzab, 5/273.
[3] Mausû’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 44/116.
[4] HR Ahmad, dinilai shahîh oleh Syaikh al-Albani dalam kitabnya, Ahkâmul Janâiz, hlm. 139.
[5] Fatwa Arkanul-Islam, Syaikh Utsaimin, soal no. 339.