Kaidah Ke-48 : Rasa Ragu Dari Orang yang Sering Ragu Itu Tidak Dianggap

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Delapan

لاَ يُعْتَبَرُ الشَّكُّ بَعْدَ الْفِعْلِ وَمِنْ كَثِيْرِ الشَّكِّ

Rasa ragu setelah melakukan perbuatan dan rasa ragu dari orang yang sering ragu itu tidak dianggap

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini merupakan cabang atau bagian dari kaidah “keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan sekedar keraguan”. Secara umum, kaidah ini menjelaskan tentang orang yang mengalami keragu-raguan dalam suatu amalan. Jika rasa ragu itu muncul setelah melakukan suatu amalan, maka rasa itu tidak perlu dihiraukan. Demikian pula, jika rasa ragu itu muncul dari orang yang sering ragu.

Sebelum membahas lebih jauh tentang kaidah ini perlu dipahami bahwa rasa ragu itu bisa muncul dari dua tipe orang. Pertama, dari orang yang sering ragu. Kedua, dari orang yang keraguannya biasa (normal).

Rasa ragu dari tipe orang pertama, tidak perlu dianggap, karena menurutkan rasa ragu dalam kondisi seperti itu akan menimbulkan kesusahan dan kesulitan yang berat baginya, serta termasuk takalluf (memaksa diri memikulkan beban yang ia tidak mampu). Bahkan orang seperti ini rasa ragunya perlu diobati dengan cara tidak memperdulikan rasa ragu yang muncul dan memantapkan hati saat beramal. Keraguan orang semacam ini tidak dianggap, maksudnya, tidak ada konsekuensi hukumnya.

Rasa ragu dari tipe orang kedua adalah apabila keraguan itu muncul dari orang yang keraguannya normal. Keraguan jenis ini tidak lepas dari dua keadaan. Pertama, rasa itu muncul saat sedang melaksanakan amalan. Kedua, rasa itu muncul setelah beramal.

Jika keraguan itu muncul setelah beramal maka ia tidak dianggap. Karena hukum asalnya, jika seseorang telah usai mengerjakan suatu amalan berarti amalan itu telah dilaksanakan secara sempurna. Keraguan yang muncul setelah beramal hanya sekedar bisikan syetan. Obat dari rasa ragu jenis ini ialah tidak memperdulikannya.

Adapun jika keraguan itu muncul di tengah-tengah saat beramal, atau akan melaksanakan ibadah, maka ketika itu keraguannya dianggap. Karena jika seseorang ragu, apakah ia sudah mengerjakan ibadah atau belum, maka hukum asalnya ia belum mengerjakannya.

Jadi, rasa ragu itu tidak dipedulikan dalam dua keadaan dan diperhitungkan dalam satu keadaan. Jika rasa ragu itu muncul dari orang yang sering ragu, maka itu tidak dianggap secara mutlak, baik munculnya saat pelaksanaan ibadah maupun setelahnya. Juga tidak dianggap, jika muncul dari orang yang normal namun munculnya setelah selesai beramal.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al ‘Utsaimîn rahimahullah menyebutkan dalam Manzhûmah Ushûlil-Fiqh wa Qawâ’idihi pada bait ke-38 :

وَالـشَّــكُّ بَــعْـدَ الْـفِـعْـلِ لَا يُــؤَثِّــرُ
وَهَــكَـذَا إِذَا الـشُّــكُــوْكُ تَــكْـثُــرُ
Dan keraguan setelah perbuatan tidaklah berpengaruh
Demikian pula jika keraguan itu sering terjadi [1]

Baca Juga  Kaidah Ke. 12 : Harus Ada Saling Ridha Dalam Setiap Akad

DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan: “Maksud ayat ini, Allâh Azza wa Jalla tidak membebani seorang pun diluar kemampuannya. Ini merupakan wujud kelembutan, kasih sayang dan kebaikan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya”[2]

Diantara perkara yang berat dan tidak mampu dipikul seorang hamba ialah apabila rasa ragu yang muncul dari orang yang mengalami penyakit ragu itu diperdulikan. Sehingga hal itu ditiadakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allâh.” [al-Mujâdilah/58 :10].

Keragu-raguan yang muncul dari orang yang sering ragu pada hakikatnya berasal dari setan[3]. Oleh karena itu, keraguan itu tidak perlu dihiraukan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa setan senantiasa menggoda dalam diri manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنَ اْلإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan berjalan di dalam diri manusia di tempat mengalirnya darah.[4]

Demikian pula, kaidah ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu hadits shahih tentang seorang laki-laki yang merasakan sesuatu di perutnya seolah-olah ia telah berhadats, sehingga ia ragu-ragu apakah telah berhadats ataukah belum, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا , أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

(janganlah ia keluar dari shalatnya sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya)[5]

Yaitu : janganlah ia keluar dari shalatnya hanya karena yang ia rasakan itu sampai benar-benar yakin bahwa ia telah berhadats. Hadits ini sekaligus merupakan dalil umum bahwa keyakinan tidak bisa dikalahkan hanya karena sekedar keragu-raguan.

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Banyak kasus yang masuk dalam penerapan kaidah mulia ini. Berikut beberapa contoh darinya :

  1. Seseorang selesai mengerjakan shalat Ashar, kemudian ragu-ragu apakah ia sudah tasyahud awal ataukah belum? Untuk orang ini, kita katakan bahwa keraguannya tidak perlu dihiraukan, baik rasa ragu itu muncul dari orang yang normal keraguannya maupun orang yang sering ragu. Kenapa tidak dihiraukan? Jawabnya, karena rasa itu ada setelah melakukan amalan. Kesimpulannya, shalat Asharnya sah dan tidak perlu menoleh kepada keraguan yang muncul, selama tidak ada indikasi yang menimbulkan rasa yakin bahwa ia memang belum duduk tasyahud awal.
  2. Seseorang yang tengah malempar jumrah ragu-ragu apakah sudah melempar enam kali atau tujuh kali. Jika keraguan itu muncul dari orang yang sering ragu, maka ia tidak perlu mempedulikan keraguaannya itu dan ia tinggal melakukan lemparan yang tersisa. Jika batu yang dipegangnya tidak tersisa, maka ia kuatkan hatinya bahwa lemparan jumrahnya itu telah sempurna. Adapun jika hal itu terjadi pada orang yang normal keraguannya, maka keraguannnya dianggap dan ia menambah lemparan yang ketujuh karena hukum asalnya lemparan ke tujuh itu adalah belum ada.
  3. Seseorang selesai wudhu kemudian ragu-ragu apakah sudah mengusap kepalanya ataukah belum? Keraguan yang demikian ini tidak perlu dihiraukan secara mutlak, karena keraguan tersebut muncul setelah selesai beramal.
  4. Seseorang sedang melaksanakan thawaf dan ia ragu-ragu apakah putaran thawaf yang sedang ia lakukan ini ke-5 atau ke-6? Pertama, apakah ia termasuk orang yang sering ragu-ragu atau tidak? Apabila ia orang yang sering ragu, maka hendaklah ia tidak memperdulikan rasa ragu itu dan ia memantapkan amalannya dengan menentukan bahwa ia sedang pada putara ke-6, tanpa menghiraukan keraguan yang muncul tersebut. Adapun jika keragu-raguan itu muncul dari orang yang keraguannya normal, maka keraguannya dianggap. Karena keraguan itu muncul di tengah-tengah pelaksanaan amalan, maka ia tentukan baru melaksananakan empat kali putaran, karena hukum asal putaran yang kelima belum ada sampai yakin bahwa itu telah dilaksanakan.
Baca Juga  Kaidah Ke. 13 : Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama

Wallâhu a’lam.[6]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Syarh Manzhûmah Ushûlil-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, hlm. 153.
[2] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Imam ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Cet. ke-5, Tahun 1421 H/2001 M, Jum’iyah Ihyaa’ at-Turats al-Islamiy, Kuwait, I/473.
[3] Lihat al-‘Aqdu ats-Tsamin fi Syarh Manzhûmah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Syaikh Khâlid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-38.
[4] HR al-Bukhâri dalam Kitab al-I’tikâf, Bab: Hal Yakhrujul Mu’takifu li Hawâijihi ila Bâbil-Masjid, no. 2035; Muslim dalam Kitab as-Salâm, no. 2175.
[5] HR al-Bukhâri dalam Kitab al-Wudhu’, Bab: Lâ Yatawaddha’ Minasy-Syak, No. 137; Muslim dalam Kitab al-Haidh, Bab: al-Wudhu’ min Luhûmil-Ibil, no. 361
[6] Diangkat dari Talqîhul-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarhil-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-4, dengan penyesuaian dan penambahan.

  1. Home
  2. /
  3. A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
  4. /
  5. Kaidah Ke-48 : Rasa...