Kaidah Ke-51: Barangsiapa Bersungguh-Sungguh, Dianggap Mengerjakan Amalan Secara Sempurna

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Satu

مَنِ اجْتَهَدَ وَبَذَلَ مَا فِي وُسْعِهِ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ وَكُتِبَ لَهُ تَمَامَ سَعْيِهِ   

Barangsiapa bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannyamaka tidak wajib mengganti dan dianggap mengerjakan amalan secara sempurna

MUQADIMAH
Agama Islam merupakan agama yang toleran dan mudah. Di dalamnya tidak ada kesulitan ataupun kesempitan. Semua yang diperinthakna Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuan kita, tidak ada yang keluar dari kemampuan kita.

Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak mampu melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara sempurna. Apabila ia tidak mampu melaksanakan perkara yang diperintahkan secara sempurna, maka yang wajib baginya ialah bersungguh-sungguh melaksanakannya dan mengerjakannya sesuai kemampuannya. Amalan yang ia kerjakan dalam keadaan seperti ini merupakan amalan yang sah.

Ketika seseorang telah mengerjakan perintah sesuai kadar kemampuannya, maka ia telah lepas dari beban perintah tersebut, meskipun ia tidak mengerjakannya secara sempurna. Tidak ada dosa baginya, dan tidak ada kewajiban mengulangi. Karena ia telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya secara syar’i. Bahkan termasuk kesempurnaan karunia Allâh Subhanahu wa Ta’ala , bahwa seorang mukallaf, jika telah melaksanakan perintah sesuai kadar kemampuannya, kemudian ada kekurangan dalam pelaksanaannya disebabkan ketidakmampuan, maka kekurangan itu tidak dianggap, dan ditulis pahala baginya semisal pahala orang yang mengerjakannya secara sempurna.

MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, kaidah ini menjelaskan bahwa seseorang yang telah bersungguh-sungguh mengerahkan upayanya untuk melaksanakan suatu amalan, dan ia melaksanakan amalan itu sesuai kadar kemampuannya, maka ia telah terlepas dari lingkup tuntutan pelaksanaan amalan tersebut. Sehingga tidak ada kewajiban mengganti atau mengulanginya lagi, dan tidak ada dosa atasnya ketika meninggalkan bagian amalan yang ia tidak mampu mengerjakannya, bahkan ia dianggap melaksanakan amalan tersebut secara sempurna.

DALIL YANG MENDASARINYA
Kaidah ini masuk dalam keumuman ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kemudahan dalam agama ini,  dan masuk pula dalam keumuman kaidah al masyaqqah tajlibu taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan).

Di antara dalil yang menjelaskannya ialah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maksud ayat ini adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani seorang pun diluar kemampuannya. Ini merupakan bentuk kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya.”[1]

Firman Allâh Azza wa Jalla ,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al-Baqarah/2:185].

Demikian pula Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Apa-apa yang aku larang kalian darinya maka tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian.[2]

Dalam hadits ‘Imran bin Hushain:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  عَنِ الصَّلاَةِ ، فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku pernah terkena penyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana aku melaksanakan shalat, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka dengan berbaring.”[3]

Baca Juga  Kaidah Ke-61 : Darurat Tidak Menggugurkan Hak Orang Lain

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Umat telah bersepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardhu, maka boleh baginya shalat dengan duduk. Tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalat itu, dan tidak pula berkurang pahalanya, berdasarkan khabar (dari Nabi)”[4]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Banyak kasus yang masuk dalam penerapan kaidah yang mulia ini. Berikut ini beberapa contohnya:

  1. Seseorang tidak tahu dengan jelas mana baju yang suci dan mana yang terkena najis. Ia tidak bisa membedakannya, dan tidak ada lagi pakaian yang lain, maka yang wajib baginya adalah berusaha keras untuk mengetahui mana yang suci dan mana yang terkena najis. Jika ia telah bersungguh-sungguh mencari tahu, sehingga ada dugaan kuat bahwa yang suci adalah yang ini (misalnya), maka ia boleh shalat dengan baju yang dipilihnya itu. Jika, diketahui setelah itu bahwa ia shalat dengan baju yang terkena najis maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalat, karena ia telah berusaha keras dan berusaha bertakwa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai kemampuannya.[5]
  2. Seseorang yang tidak mampu ruku’ dan sujud secara sempurna ketika shalat, maka yang wajib baginya ialah mengerjakan ruku’ dan sujud sesuai kemampuannya. Sehingga ketika ruku’ hendaklah ia menundukkan punggungnya dalam keadaan berdiri sekedar kemampuannya. Demikian pula ketika sujud ia pun menundukkan punggungnya sesuai kemampuannya dalam keadaan duduk. Ia tidak dibebani melebihi kemampuannya, tidak pula ada kewajiban mengganti amalan tersebut, dan amalannya tersebut tidak berkurang nilainya [6]
  3. Tentang orang yang menerima amanah untuk membawa barang orang lain, seperti orang yang mendapat titipan barang (al-wadi’), orang yang menemukan barang temuan (al-multaqith), orang yang meminjam (al-musta’ir), dan semisalnya. Apabila terjadi kerusakan pada barang yang diamanahkan itu, maka dalam hal ini tidak lepas dari dua keadaan. Pertama, si pembawa barang telah bersungguh-sungguh menjaga barang tersebut, akan tetapi karena takdir Allâh barang itu rusak, bukan karena keteledorannya. Dalam kasus ini ia tidak wajib mengganti barang tersebut. Karena ia telah mengerahkan segenap upaya dan kemampuannya. Kedua, barang itu rusak karena keteledorannya dan kurang bersungguh-sungguh dalam menjaganya. Dalam kasus ini ia wajib mengganti atau memberikan ganti rugi atas kerusakan tersebut, disebabkan kelalaiannya dalam mengerjakan kewajibannya.[7]
  4. Seseorang mujtahid yang berijtihad[8] dalam suatu permasalahan agama, dan mencurahkan kemampuannya untuk mengetahui status hukum permasalahan itu, kemudian ia beramal dengan hasil ijtihadnya itu. Apabila hasil ijtihadnya itu benar maka ia mendapat dua pahala, yaitu pahala ijtihadnya dan pahala keselarasannya dengan kebenaran. Adapun jika hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala, yaitu pahala ijtihad.[9] Dan amalan ibadah yang ia kerjakan berdasarkan hasil ijtihadnya itu tidak batal, meskipun hasil ijtihadnya itu tidak sesuai dengan kebenaran.
  5. Apabila telah datang waktu shalat, sedangkan seseorang berada di suatu tempat yang ia tidak mengetahui arah kiblat. Maka yang wajib baginya adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui arah kiblat, baik dengan bertanya, atau melihat tanda-tanda yang menunjukkan arah kiblat, atau dengan cara-cara lainnya. Setelah berupaya dan ada dugaan kuat akan arah kiblat, maka diperbolehkan baginya melaksanakan shalat menghadap ke arah tersebut. Apabila telah selesai mengerjakan shalat kemudian nampak bahwa arah yang ia pilih itu ternyata bukan arah kiblat yang benar, maka dalam kasus ini shalatnya sah, dan tidak wajib baginya untuk mengulanginya.[10] Karena dalam keadaan tersebut ia telah mengerahkan kemampuan dan upayanya. Sedangkan seseorang yang telah bersungguh-sungguh mengerahkan upaya dan kemampuanya maka tidak ada kewajiban mengganti. Dan ia dianggap mengerjakan shalat seperti orang yang mengerjakannya dengan menghadap kiblat.[11]
Baca Juga  Kaidah Ke. 24 : Yang Tercepat yang Lebih Baik

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Imam ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Cet. ke-5, Tahun 1421 H/2001 M, Jum’iyah Ihyaa’ at-Turats al-Islamiy, Kuwait, I/473.
[2] HR Muslim dalam Kitab al-Fadhâ-il, no. 1337.
[3] HR al-Bukhâri dalam Kitab ash-Shalah, no. 1117.
[4] Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Maram, Syaikh Abdullâh bin Abdurrahman al-Bassam, Cet. ke-5, 1423 H/2003 M, Maktabah al-Asadiy, Makkah al-Mukarramah, II/555.
[5] Lihat pembahasan tentang masalah ini dalam asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, Cet I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil-Jauzi, Damam, I/ 65-66.
[6] Syaikh Abdul-‘Aziz bin Bâz menjelaskan bahwa orang sakit yang tidak mampu  ruku` dan sujud ketika shalat maka ia berisyarat dengan menjadikan sujud lebih rendah daripada ruku`nya. Dan jika ia mampu ruku’ namun tidak mampu sujud maka ia mengerjakan ruku’ dan berisyarat untuk sujud.  Jika ia tidak mampu menunduk dengan punggungnya, maka ia menunduk dengan lehernya. Apabila punggungnya bengkok seolah-olah  ia dalam keadaan ruku’ maka ketika ruku’ ia sedikit menundukkan punggungnya, dan ketika sujud ia lebih mendekatkan wajahnya ke lantai daripada ketika ruku’ sesuai kemampuannya. Orang yang tidak mampu berisyarat dengan kepalanya maka cukup baginya niat dan ucapan. (Lihat Kaifiyah Shalah an-Nabi wa Ahkam Shalah al-Maridh wa Thaharatihi, Syaikh Abdul-‘Aziz bin Abdullâh bin Bâz, Cet. I, 1419 H, Madar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, hlm. 25.
[7] Lihat pembahasan berkaitan dengan masalah ini dalam at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, Cet. I, 1430 H, Muassasah Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, hlm.121-123. Madar al-Wathan li an-Nasyr, Riyadh, hlm. 25.
[8] Yang dimaksud dengan ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga seseorang dikatakan mempunyai kapasitas berijtihad, di antaranya mengetahui dalil-dalil syar’i dalam permasalahan terkait, mengetahui keabsahan dan kelemahan hadits, mengetahui nasikh dan mansukh, memahami bahasa Arab dan ushul fiqh berkaitan dengan dalalatul-alfazh, dan selainnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab Ushul Fiqh. Lihat al-Ushul min ‘Ilm al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, Cet. I, 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, hlm. 85-86.
[9] Sebagaimana disebutkan dalam HR al-Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bi al-Kitab wa as-Sunnah, no. 7352 dari ‘Amr bin al-‘Ash.
[10] Lihat pula penjelasan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullâh bin Bâz tentang masalah ini dalam Tuhfah al-Ikhwan bi Ajwibah al-Muhimmah Tata’allaqu bi Arkan al-Iman, 1421 H, Ri-asah Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ`, Riyadh, hlm. 62.
[11] Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-61.

  1. Home
  2. /
  3. A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
  4. /
  5. Kaidah Ke-51: Barangsiapa Bersungguh-Sungguh,...