Kaidah Ke-53 : Hukum Suatu Perkara Dikaitkan Dengan Sebab Yang Sudah Diketahui
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Tiga
الْحُكْمُ الْحَادِثُ يُضَافُ إِلَى السَّبَبِ الْمَعْلُوْمِ لاَ إِلَى الْمُقَدَّرِ الْمَظْنُوْنِ
Hukum suatu perkara dikaitkan dengan sebab yang sudah diketahui bukan dengan sebab yang masih diperkirakan
MAKNA KAIDAH
Dalam beberapa kondisi terkadang terjadi perbedaan hukum terhadap satu perkara. Perbedaan itu dipicu oleh perbedaan para Ulama dalam menetapkan sebab hukum itu sendiri. Karena setiap hukum itu pasti memiliki sebab, dan terkadang satu perkara atau kejadian memiliki sebab lebih dari satu, sehingga ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat saat menetapkan hukum kejadian tersebut.
Kaidah di atas menjelaskan solusi apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan sebab dari suatu perkara, yang bisa dijadikan sandaran hukum. Faktor penyebab suatu kejadian bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diketahui umum. Kedua, sebab yang masih dalam bentuk dugaan atau perkiraan. Jika seperti ini keadaannya, maka hukum perkara itu, kita sandarkan kepada sebab yang zhahir, bukan kepada sebab yang masih dalam bentuk perkiraan. Karena, sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diketahui umum adalah sebab yang matayaqqan ats-tsubût (pasti keberadaannya), sedangkan sebab yang masih diperkirakan itu adalah masykûkun fi tsubûtihi (diragukan keberadaannya). Sedangkan kaidah umum mengatakan bahwa al-yaqîn la yazûlu bi asy-syak (Sesuatu yang sudah diyakini tidak bisa hilang hanya karena sesuatu yang masih diragukan)
DALIL KAIDAH INI
Kaidah ini masuk dalam keumuman dalil-dalil yang menunjukkan bahwa al-yaqîn la yazûlu bi asy-syak. Diantaranya, firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. [Yûnus/10:36]
Syaikh Dr. Shâlih bin Ghanim as-Sadlan berkata,“Yang dimaksud kebenaran (al-haq) dalam ayat ini ialah suatu hakikat yang benar-benar terjadinya, seperti keyakinan.”[1]
Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu riwayat Muslim rahimahullah :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian merasakan sesuatu di perutnya, sehingga muncul keraguan apakah sudah keluar sesuatu darinya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid sampai mendengar suara atau mencium baunya.”[2]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah salah satu pokok agama Islam, dan (merupakan) salah satu kaidah penting dalam fiqih. Maksudnya, Yaitu, bahwasanya segala sesuatu itu tetap dihukumi sebagaimana asalnya sampai keberadaannya jelas menyelisihi keadaan awalnya. Dan keragu-raguan yang muncul tidak berpengaruh padanya”.[3]
Adapun dalil yang khusus berkaitan dengan kaidah ini di antaranya adalah hadits ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu dalam riwayat al-Bukhâri rahimahullah dan Muslim rahimahullah , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنْ رَمَيْتَ الصَّيْدَ فَوَجَدْتَهُ بَعْدَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَيْسَ بِهِ إِلاَّ أَثَرُ سَهْمِكَ فَكُلْ
Dan apabila engkau memanah hewan buruan kemudian setelah sehari atau dua hari engkau temukan hewan itu mati sedangkan tidak ada pada hewan itu selain bekas luka panahmu maka engkau boleh memakannya. [4]
Dalam hadits ini dijelaskan tentang hewan buruan yang dipanah kemudian lari, setelah itu ditemukan dalam keadaan mati dan tidak didapati kecuali luka bekas panah itu, maka itu boleh dimakan. Padahal, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan kematiannya. Kemungkinan pertama, disebabkan luka panah. Ini adalah sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan jika ini benar, maka hewan tersebut halal dimakan. Kemungkinan yang lain, banyak sekali, misalnya karena haus, jatuh, lapar, dan lain sebagainya, yang jika ini yang menyebab kematiannya, maka hewan itu haram dimakan. Meski demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata memperbolehkan untuk memakan hewan tersebut. Ini menunjukkan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan kematian hewan tersebut dengan sebab yang zhahir (nyata terlihat) dan diyakini keberadaannya. Adapun sebab-sebab yang wujud sekedar persangkaan atau perkiraan maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam abaikan.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut beberapa di antaranya :
- Apabila dalam suatu pernikahan disepakati maharnya berupa pengajaran hafalan surat al-Baqarah dari si suami kepada isterinya. Setelah beberapa waktu, si isteri menuduh suaminya belum menunaikannya. Hanya saja, faktanya si isteri telah hafal surat al-Baqarah. Penyebab hafalnya si istri ini memiliki beberapa kemungkinan. Mungkin karena diajari suami, mungkin juga karena yang lain. Dalam masalah ini, penyebab yang zhahir adalah diajari suami, karena mereka tinggal serumah dan diajari suami. Sementara penyebab yang lainnya adalah sebab yang belum pasti, atau sekedar dugaan. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka dalam hal ini ditetapkan, si suami telah menunaikan mahar, dan tuduhan isteri tertolak, kecuali jika ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa suami belum menunaikan mahar tersebut.
- Apabila ada seseorang yang sedang dalam keadaan ihram melukai binatang buruan namun tidak mematikan. Beberapa waktu kemudian binatang itu ditemukan dalam keadaan mati dan tidak ada luka lain kecuali luka yang pertama. Dalam hal ini ada dua kemungkinan penyebab kematiannya. Pertama, sebab yang maklum (nampak) yaitu luka. Kedua, sebab yang masih diperkirakan, yaitu sebab-sebab lainnya, seperti jatuh, kelaparan dan semisalnya. Berdasarkan kaidah di atas, bahwa hukum suatu perkara ditetapkan berdasarkan sebab yang maklum. Maka berdasarkan ini ditetapkan kematiannya disebabkan oleh luka dari orang yang sedang ihram tersebut. Sehingga, dia berkewajiban menggantinya dengan binatang ternak yang seimbang dengan binatang buruan yang mati itu.[5]
- Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang tidak mematikan. Selang beberapa waktu kemudian ternyata orang itu meninggal. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan penyebab kematiannya. Mungkin disebabkan semakin parahnya luka tersebut, dan ini adalah sebab yang maklum (nampak). Dan mungkin juga disebabkan perkara lain yang diperkirakan. Sehingga berdasarkan kaidah ini, kematiannya disandarkan kepada sebab yang maklum, yaitu semakin parahnya luka tersebut. Maka dalam kasus ini, wajib diterapkam hukum qishash jika hal itu terjadi karena ‘amdun ‘udwan (sengaja dan terencana), atau wajib diyat jika hal itu terjadi karena khatha’ (tersalah), atau syibhu ‘amdin (menyerupai sengaja).[6] Namun, dalam kasus seperti ini perlu ada pemeriksaan dari dokter Muslim yang berkompeten yang menegaskan bahwa kematian tersebut memang disebabkan lukanya yang semakin parah.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anha, Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Cet. I, Tahun 1417 H, Dar al-Balansiyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Riyadh, hlm. 102.
[2] HR Muslim dalam Kitab al-Haidh, Bab ad-Dalil ‘ala Anna Man Tayaqqana ath-Thaharah Tsumma Syakka fi al-Hadats Falahu an Yushalliya bi Thaharatihi Tilka, no. 803.
[3] Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj, al-Imam Muhyiddin an-Nawawiy, Cet. XV, Tahun 1429 H/ 2008 M, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 4/273.
[4] HR al-Bukhari dalam kitab adz-Dzaba-ih wa ash-Shaid, Bab as-Shaid Idza Ghaba ‘anhu Yaumain aw Tsalatsah, no. 5484. Muslim dalam kitab ash-Shaid wa adz-Dzaba-ih wa Maa Yu’kalu min al-Hayawan, Bab as-Shaid bi al-Kilab al-Mu’allamah, No. 1929.
[5] Tentang larangan membunuh binatang buruan bagi seorang muhrim (orang yang sedang dalam keadaan berihram) dan denda yang berkaitan dengannya disebutkan dalam QS al-Mâ-idah/5 ayat ke-95.
[6] Tentang tiga macam pembunuhan tanpa haq dapat dilihat dalam Manhaj as-Sâlikîn wa Taudhîh al-Fiqh fi ad-Din, Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1424 H/ 2003 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, hlm. 263.
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke-53 : Hukum...