Waswas Batalnya Wudhu dan Berlebihan Dalam Menggunakan Air
WASWAS TENTANG BATALNYA WUDHU’
Oleh
Syaikh Ahmad bin Salim Ba Duwailan
Termasuk dalam pembahasan waswas ini adalah waswas tentang batalnya wudhu’, yang mestinya tidak perlu dianggap.
Dalam Shahiih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخْرَجَ مِنْهُ شَيْئٌ أَمْ لاَ؟ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا!
“Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan sesuatu dalam perutnya, maka membuatnya ragu, apakah ada yang keluar (angin) darinya atau tidak? Maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara atau mendapatkan bau!”[1]
Dalam ash-Shahiihain dari ‘Abdillah bin Zaid, dia berkata, diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang seseorang yang diberikan gambaran kepadanya, bahwa dirinya mendapatkan sesuatu dalam shalatnya, beliau bersabda,
لاَ يَنْصَرِفُ، حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا!
“Janganlah dia berpaling dari shalatnya hingga mendengar suara (angin) atau mendapatkan baunya!”[2]
Dalam Musnad dan Sunan Abii Daawud, dari Abu Sa‘id al-Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِيْ أَحَدَكُمْ وَهُوَ فِي صَلاَتِهِ فَيَأْخُذُ شَعَرَةً مِنْ دُبُرِهِ فَيَمُدُّهَا، فَيَرَى أَنَّهُ قَدْ أَحْدَثَ، فَلاَ يَنْصَرِفَنَّ حَـتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا!
“Sesungguhnya syaitan akan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya, kemudian dia akan memegangi sehelai rambut yang ada di duburnya kemudian dia akan ulurkan, sehingga orang itu mengira bahwa dirinya telah ber-hadats, maka janganlah dia meninggalkan (shalatnya) sampai mendengar suara atau mencium bau!”[3]
Sedangkan dalam lafazh Abu Dawud,
إِذَا أَتَى الشَّيْطَانُ أَحَدَكُـمْ فَقَالَ لَهُ: إِنَّكَ قَدْ أَحْدَثَ، فَلْيَقُلْ لَهُ: كَذَبْتَ. إِلاَّ مَنْ وَجَدَ رِيْحًا بِأَنْفِهِ أَوْ سَمِعَ صَوْتًا بِأُذُنِهِ.
“Bila syaitan mendatangi salah seorang dari kalian dan berkata kepadanya, ‘Kamu telah berhadats,’ hendaklah dia katakan kepadanya, ‘Kamu dusta,’ kecuali seorang yang mencium bau dengan hidungnya atau mendengar suara dengan telinganya.”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendustakan syaitan, meskipun pada sesuatu yang dimungkinkan kebenarannya, lalu bagaimana jika kedustaannya tersebut adalah sesuatu yang sudah maklum dan yakin, seperti perkataannya kepada orang yang waswas, “Kamu belum melakukan ini,” padahal dia benar-benar telah melakukannya?
Syaikh Abu Muhammad berkata, “Disukai dari seseorang untuk memercikkan air pada kemaluannya dan juga celananya apabila buang air kecil, untuk menepis waswas dari dirinya, apabila dia mendapatkan sesuatu yang basah, maka hendaknya dia katakan, bahwa itu adalah air yang tadi dia percikkan, berdasarkan riwayat Abu Dawud dengan sanadnya dari Sufyan bin al-Hakam ats-Tsaqafi, atau al-Hakam bin Sufyan, dia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila buang air kecil, beliau berwudhu’ dan memercikkan air.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam buang air kecil, kemudian memerciki kemaluannya.” Dan adalah Ibnu ‘Umar memercikkan air pada kemaluannya sehingga membasahi celananya.
Sebagian sahabat Imam Ahmad mengadu kepadanya, bahwa dirinya mendapatkan sesuatu yang basah setelah berwudhu’, maka Imam Ahmad memeritahkannya untuk memercikkan air bila buang air kecil, dan dia mengatakan “Janganlah hal itu menjadi perhatian-mu, abaikanlah!”
Al-Hasan ditanya atau orang lain dalam perkara sejenis ini, maka dia mengatakan, “Abaikanlah!” kemudian masalah yang sama diulangi disampaikan kepadanya, maka dia berkata, “Apakah engkau banyak mengalirkannya? Celaka engkau. Abaikanlah!”
BERLEBIH-LEBIHAN DALAM MENGGUNAKAN AIR KETIKA BERWUDHU’ DAN MANDI
Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam Musnadnya, dari hadits ‘Abdillah bin ‘Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Sa‘ad yang sedang berwudhu’, maka beliau mengatakan, “Jangan berlebihan!” maka Sa‘ad berkata, “Ya Rasulullah apakah ada berlebihan dalam masalah air?” Beliau berkata, “Ya, walaupun engkau berada pada sungai yang mengalir.”[4]
Dalam Jaami‘ut Tirmidziyy dari hadits Ubay bin Ka’b, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dalam wudhu’ ada syaitan yang disebut dengan walhan, maka hati-hatilah terhadap waswas dalam (menggunakan) air.”[5]
Kemudian dalam Musnad dan Sunan dari hadits ‘Amr bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Datang seorang badui kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertanya kepada beliau tentang wudhu’, maka Nabi memperagakannya dengan tiga kali-tiga kali, kemudian bersabda, “Inilah wudhu’, maka barangsiapa menambahnya maka ia telah berbuat keliru, melampaui batas dan berbuat zhalim.”[6]
Dalam kitab asy-Syaafi‘i, tulisan Abu Bakar bin ‘Abdul ‘Aziz, dari hadits Ummu Sa‘ad, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Satu mudd itu cukup untuk berwudhu’, sedangkan untuk mandi itu satu shaa’, dan akan datang sebuah kaum yang menganggap sedikit (ukuran) itu, maka mereka itu menyelisihi Sunnahku, sedangkan yang memegangi Sunnahku akan berada di Jannah Hadziiratul Qudus, yang menjadi tempat hiburannya penghuni Jannah.[7]
Dalam Sunanul Atsraam, dari hadits Salim bin Abil Ja’d, dari Jabir bin ‘Abdillah dia berkata, “Satu mudd cukup untuk berwudhu’, untuk mandi janabat satu shaa’, maka ada orang yang berkata, “Tidak cukup buatku,” maka Jabir marah hingga wajahnya memerah kemudian berkata, “Telah cukup bagi orang yang lebih baik darimu dan lebih lebat rambutnya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, secara marfu’, dan lafazhnya dari riwayat Jabir, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُجْزِىءُ مِنَ الْغُسْلِ الصَّاعُ، وَمِنَ الْوُضُوءِ الْمُدُّ.
“Satu shaa’ cukup untuk mandi, sedangkan untuk wudhu’ satu mudd.”[8]
Dalam Shahiih Muslim, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, “Bahwa dirinya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dari satu bejana yang menampung tiga mudd atau mendekatinya.”[9]
Dalam Sunan an-Nasaa-iyy dari ‘Ubaid bin ‘Umair, bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha berkata, “ Aku benar-benar telah menyaksikan diriku mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ini, -ternyata sebuah bejana kecil tempat minum yang berukuran satu shaa’ atau lebih kecil- kami menyelupkan tangan kami seluruhnya, aku mencelupkan dengan tanganku pada kepalaku tiga kali dan aku tidak menguraikan ram-but.”[10]
Dalam Sunan Abii Daawud dan an-Nasaa-iyy, dari ‘Abbad bin Tamim, dari Ummu Imarah binti Ka’b, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’ maka didatangkan (untuknya) air dalam bejana sebesar dua pertiga mudd”[11]
‘Abdur Rahman bin Atha’ mengatakan, Aku mendengar Sa‘id bin Musayyib mengatakan, “Aku mempunyai bejana kulit untuk minum atau gelas, tidak menampung kecuali hanya setengah mudd atau kurang lebih seperti itu, aku kencing kemudian aku berwudhu’ dan aku masih menyisakannya.” ‘Abdur Rahman berkata, “Maka hal itu aku ceritakan kepada Sulaiman bin Yasar, dia mengatakan, “Bagiku cukup juga seperti itu,” ‘Abdur Rahman berkata, maka hal itu aku ceritakan kepada Abu ‘Ubaidah bin Muhammad bin ‘Ammar bin Yasir, maka dia mengatakan, “Demikianlah yang kami dengar dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Diriwayatkan oleh al-Atsram dalam Sunannya.
Ibrahim an-Nakha’i berkata, “Mereka dahulu lebih sedikit dalam menggunakan air ketimbang kalian, mereka memandang bahwa seperempat mudd cukup untuk wudhu’.”
(Tetapi) ini adalah (berita) sangat berlebihan, sebab seperempat mud tidak sampai satu setengah uqiyah Damaskus.
Dalam ash-Shahiihain dari Anas dia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu’ dengan satu mudd dan mandi dengan satu shaa’ sampai lima mudd.”[12]
Dalam Shahiih Muslim, dari Safinah dia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi janabat dengan satu shaa’ dan cukup wudhu’ dengan satu mudd.”[13]
Ibrahim an-Nakha‘i berkata, “Aku berwudhu’ dengan wadah semacam tempayan, dua kali.” Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq berwudhu’ dengan setengah mudd atau lebih sedikit.
Muhammad bin ‘Ajlan berkata, “Fiqh dalam diin Allah adalah, menyempurnakan wudhu’ dan sedikit menumpahkan air.” Imam Ahmad berkata, “Dahulu dikatakan, ‘Termasuk ketidakfaqihan seseorang adalah, apabila menyukai (banyak) air (dalam bersuci).”
Al-Maimuni berkata, “Aku berwudhu’ dengan air yang banyak, maka Ahmad berkata kepadaku, “Wahai Abu Hasan, apakah engkau suka dengan seperti ini? maka aku pun meninggalkannya (tidak memakai banyak air lagi).”
‘Abdullah bin Ahmad mengatakan, “Aku katakan kepada bapak-ku, ‘Aku sungguh (menggunakan) banyak air, maka dia melarangku dan mengingatkan, ‘Wahai anakku sesungguhnya dalam wudhu’ itu ada syaitan yang disebut dengan walhan,’ dia mengatakan hal itu kepadaku bukan sekali saja, melarangku banyak menuangkan air, dan berkata kepadaku, ‘Sedikitkanlah dari air ini, wahai anakku.”
Ishaq bin Manshur berkata, “Aku berkata kepada Ahmad, apa-kah kita dalam berwudhu’ melebihkan dari tiga kali? maka dia menjawab, “Tidak, demi Allah kecuali orang yang diuji (dengan penyakit waswas).”
Aswad bin Salim berkata -seorang lelaki yang shalih, syaikh dari Imam Ahmad-, “Dulu aku kena ujian (sikap waswas) dalam berwudhu’, aku menuruni Daljah (sungai Tigris) untuk berwudhu’, maka aku mendengar suara bisikan, membisikkan, “ Wahai Aswad, Yahya dari Sa‘id, wudhu’ tiga kali-tiga kali, adapun yang lebih dari itu maka tidak diangkat, lalu aku menoleh dan aku tidak melihat seorang pun.”
Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya, dari hadits ‘Ab-dullah bin Mughaffal, dia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَيَكُوْنُ فِي هَذِهِ اْلأُمَّةِ، قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِي الطَّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ.
“Akan ada di umat ini suatu kaum yang melampaui batas (berlebihan) dalam bersuci dan berdo’a.”[14]
Bila engkau bandingkan hadits ini dengan firman Allah Ta’aala:
اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ
“…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al-A’raaf/7: 55]
Maka engkau akan mengetahui bahwa Allah menyukai peri-badatan kepada-Nya, dan menjadi jelas bagimu sekarang, bahwa wudhu’nya orang yang waswas bukanlah ibadah yang diterima Allah, walaupun telah gugur kewajiban darinya, tetapi tidak akan dibukakan karena wudhu’nya itu pintu Surga yang delapan, untuk dia masuk dari pintu mana pun dia suka.
Di antara kerusakan akibat sikap waswas, dia menyibukkan tanggung jawabnya pada sesuatu yang melebihi kebutuhan, bila air (yang digunakan) adalah miliki orang lain, seperti jamban misal-nya, maka ketika dia keluar (selesai berwudhu’) dia terbebani de-ngan hutang karena melebihi kebutuhan dan bersikap berlebihan dalam agama, sehingga dia akan menjadi terbebani dengan banyak sekali hutang, dan nanti dia akan merasakan mudharatnya di alam barzakh dan di hari Kiamat.
[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi’, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H – Februari 2005 M]
_______
Footnote
[1]Diriwayatkan oleh Muslim (no. 362).
[2] Diriwayatkan oleh Muslim (no. 361).
[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (III/97, no. 11934).
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad dan al-Albani menyatakan, “Bahwa hadits ini dha‘iif.”
[5] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadits ini dha‘iif.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa-i.
[7] Diriwayatkan oleh an-Nasa-i.
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, hadits tersebut shahiih.
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa-i.
[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud dan an-Nasa-i
[11] Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, Abu Dawud, dan hadits ini shahiih.
[12] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab al-Wudhuu’ bil mudd, juga Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi
[13] Diriwayatkan oleh Muslim dan juga al-Bukhari
[14] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 96).
- Home
- /
- A7. Adab dan Perilaku...
- /
- Waswas Batalnya Wudhu dan...