Menjawab Muazin Lebih Utama, Arti Hayya ‘Alal Falah
MENJAWAB MUAZIN ITU LEBIH UTAMA DIBANDINGKAN DENGAN MEMBACA AL-QUR’AN
Pertanyaan
Ketika muazin mengumandangkan adzan sementara saya membaca Al-Qu’ran di dalam masjid, apakah saya sempurnakan membaca. Dan setelah adzan saya ulang-ulangi dari awal azan, seperti saya mengulang-ulang bersama muazin ataukah saya mengikuti bersama muazin?
Jawaban
Alhamdulillah.
Kalau seseorang membaca Al-Qur’an sementara muazin mengumandangkan azan, maka yang lebih utama itu meninggalkan bacaan dan menyibukkan diri dengan mengikuti muazin. Hal itu sebagai realisasi terhadap keumumam sabda Beliau sallallahu’alaihi wa sallam:
( إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ روى مسلم (384)
“ Kalau kamu semua mendengar azan, maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan.” [HR. Muslim, 384]
Imam Nawawi rahimahullah berkata : ‘Kalau dia mendengar muazin, maka bacaannya diberhentikan dan menjawan dengan mengikuti lafad azan dan iqamah kemudian kembali lagi (melanjutkan) bacaannya. Ini adalah kesepakatan menurut teman-teman kami.’ [Dari kitab ‘At-Tibuan Fi Adab Hamalatil Qur’an, hal. 126.]
Syekh Abdul Azizi bin Baz rahimahullah ditanya, ‘Kalau seorang muazin adzan, dan seseorang membaca Al-Qur’an. Apakah yang lebih bagus mengikuti bersama muazin dan mengucapkan seperti apa yang dia ucapkan atau menyibukkan dengan Al-Qur’an itu lebih bagus yang mana seperti mengedepankan yang lebih utama dibandingkan dengan yang utama?
Maka beliau menjawab, Yang sesuai dengan sunnah kalau dia membaca dan mendengarkan adzan, menjawab adzan. Sebagai realisasi dari sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ، ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ، ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لا تَنْبَغِي إِلا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُا
“Kalau anda semua mendengarkan muazin, maka ucapkan seperti apa yang diucapkannya, kemudian bersholawatlah kepadaku. Karena barangsiapa yang shalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan mendoakan (shalawat) kepadanya sepuluh kali. Kemudian memohonlah kepada Allah untuk diriku wasilah, karena ia adalah tempat di surga. Yang tidak diberikan keculai kepada salah seorang hamba diantara hamba-hamba Allah. Saya berharap itu adalah saya. Barangsiapa yang meminta kepada Allah untuk diriku wasilah, maka layak baginya mendapatkan syafaat.’ [HR. Muslim di shohehnya dari hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu’anhuma.]
Dalam hadits shohehain dari hadits Abi Said Al-Khudori radhiallahu’anhu, dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda, “Kalau kamu semua mendengarkan muazin (mengumandangkan adzan) maka ucapkan seperti apa yang dia ucapkan.’ Dan dalam shoheh Bukhori dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhuma dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam beliau bersabda:
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mengucapkan ketika (selesai) mendengar azan mengucapkan, Ya Allah Tuhan doa yang sempurna ini, dan shalat yang akan ditunaikan. Berikanlah kepada Muhammad wasilah dan fadhilah. Serta bangkitkanlah (beliau) di tempat yang mulia sebagaimana yang telah Engkau janjikan kepadanya. Maka layak baginya mendapatkan syafaatku di hari kiamat.’ [Ditambahi dalam Baihaqi dengan sanad hasan, ‘Sesungguhnya Engkau tidak pernah pernah menyalahi janji].
Dan karena menjawan muazin itu sunnah, akan kehilangan kesempatan kalau dia lanjurkan membaca (Al-Qur’an). Sementara bacaan tidak akan terleawatkan karena waktunya luas. Semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya.’[Dari kitab ‘Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10/358].
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Terkadang didapatkan yang utama menjadikan dia lebih utama dibandingkan yang utama. Contohnya, membaca AL-Qur’an adalah zikir yang paling utama. Dan Al-Qur’an termasuk zikir yang lebih utama. Kalau seseorang membaca (Al-Qur’an) dan mendengarkan muazin mengumandangkan azan? apakah yang lebih utama meneruskan bacaannya atau menjawab azan? Maka disini kita katakan, ‘Sesungguhnya yang lebih utama adalah menjawab azan. Meskipun Al-Qur’an adalah zikir yang paling utama. Akan tetapi zikir pada tempatnya itu lebih utama dibandingkan membaca Al-Qur’an. Karena bacaan Qur’an tidak ditentukan dengan waktu, kapan saja dia ingin, maka bacalah. Akan tetapi menjawab muazin terikat dengan mendengarkan azan.’ [Dari kitab Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh].
Wallahu’alam.
Disalin dari islamqa
MAKSUD DAN ARTI HAYYA ‘ALAL FALAH
Pertanyaan.
Apa maksud dan arti hayya ‘alal falâh?
Jawaban
Hayya ‘alal falâh adalah salah satu kalimat di dalam adzan, artinya adalah : Marilah menuju keberuntungan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hayya ‘alal falâh artinya adalah : Marilah menuju keberuntungan dan keselamatan. Ada yang mengatakan : Marilah menuju kekekalan. Maksudnya, datanglah untuk melakukan sebab kekekalan di dalam surga”. [Syarah Shahîh Muslim, hadits no. 379]
Dengan demikian ketika seorang muadzin menyerukan hayya ‘alal falâh, maka sesungguhnya dia mengajak manusia menuju surga, karena keberuntungan, kemenangan, dan keselamatan hakiki adalah masuk surga dan selamat dari neraka. Sehingga sepantasnya bagi orang beriman menyambutnya dengan mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah. Marilah kita perhatikan hadits di bawah ini:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِيْ قَائِدٌ يَقُوْدُنِيْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Seorang lelaki buta datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullâh, sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntunku ke masjid”, dia meminta keringanan kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat di rumahnya. Maka beliau n memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia telah berpaling, beliau memanggilnya lalu bertanya, “Apakah engkau mendengar adzan shalat”, dia menjawab, ” Ya”. Beliau bersabda, “Kalau begitu maka sambutlah“. [HR Muslim, no:653]
Dari riwayat-riwayat lain, disebutkan bahwa Sahabat yang buta ini memiliki beberapa perkara yang memberatkannya untuk datang ke masjid, yaitu:
- Buta
- Tidak punya penuntun
- Rumahnya jauh dari masjid
- Banyak pepohonan antara rumahnya dengan masjid
- Banyak binatang berbisa dan binatang buas di Madinah saat itu
- Sudah tua dan lemah tulangnya.
Namun demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan meninggalkan shalat jama’ah di masjid! Kalau demikian, maka bagaimana dengan orang-orang yang sehat ? Maka seharusnya kita menyambut seruan adzan itu dengan sebaik-baiknya.
Wallâhul Muwaffiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M . Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah2 Adzan...
- /
- Menjawab Muazin Lebih Utama,...