Hadits Palsu Tentang Tercelanya Memiliki Keturunan
HADITS PALSU TENTANG TERCELANYA MEMILIKI KETURUNAN
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لأَنْ يُرَبِّي أَحَدُكُمْ بَعْدَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَةٍ جَرْوَ كَلْبٍ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُرَبِّيَ وَلَدًا لِصُلْبِهِ
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu beliau berkata,”Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setelah seratus lima puluh empat (tahun nanti) sungguh jika salah seorang di antara kamu memelihara seekor anak anjing lebih baik baginya daripada memelihara anak kandungnya.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (10/288), Tamâm ar-Râzi dalam al-Fawâid dan dari jalur beliau, Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Dimasyq (23/357-358), semuanya dari jalur Abul Mughîrah, dari ‘Abdullah bin as-Samth, dari Shâlih bin ‘Ali bin ‘Abdillâh bin ‘Abbâs al-Hâsyimi, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh para Ulama. Dalam sanadnya ada dua rawi yang tidak dikenal keadaannya (majhûlul hâl), yaitu ‘Abdullâh bin as-Samth dan Shâlih bin ‘Ali, salah satu atau mereka berdualah yang menjadi sumber hadits palsu ini.
Imam al-Haitsami berkata, “Aku tidak mendapati Ulama yang menyebutkan biografi mereka berdua.”[1]
Imam Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Dimasyq (23/357) dan Khathib al-Bagdadi dalam Târîkh Bagdad (9/470) menyebutkan biografi mereka berdua, tapi keduanya tidak menyebutkan pujian atau celaan tentang riwayat hadits mereka berdua.
Oleh karena itu, para Ulama menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu. Imam adz-Dzahabi berkata, “‘Abdullâh bin as-Samth dari Shâlih bin ‘Ali, telah meriwayatkan hadits palsu.”[2]
Hadits ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnul Qayyim[3] dan asy-Syaukâni.[4]
Hadits yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan dari shahabat yang lain, yaitu Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilalul Mutanâhiyah (2/637).
Hadits ini juga sangat lemah, karena termasuk riwayat rawi yang bernama Rawwad bin al-Jarrah dari Imam Sufyân ats-Tasuri. Rawi ini hafalannya tercampur di akhir hidupnya sehingga riwayatnya ditinggalkan, dan khusus untuk riwayatnya dari Imam Sufyân ats-Tasuri, dinilai sangat lemah.”[5]
Hadits ini dihukumi sebagai hadits yang tidak shahih oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilalul Mutanâhiyah (2/637), bahkan beliau menukil pernyataan Imam al-‘Uqaili yang mengatakan bahwa hadits ini tidak ada asalnya dari riwayat Sufyân ats-Tsauri.”
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr al-Ghifâri Radhiyallahu anhu , dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (5/126) dan al-Hakim (3/386). Hadits ini juga palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Saif bin Miskin. Orang ini selalu meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik dan palsu.[6] Juga ada dua perawi yang majhûl (tidak dikenal), yaitu al-Muntashir bin ‘Umarah dan ayahnya.[7]
Hadits ini dinyatakan sangat lemah oleh Imam adz-Dzahabi[8] dan al-Haitsami[9], serta dinyatakan palsu oleh Imam Ibnul Qayyim[10] dan Imam asy-Syaukani.[11]
Juga diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , dan telah dijelaskan kelamahannya yang fatal oleh Imam asy-Syaukani[12].
Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang sangat lemah bahkan palsu dari semua jalur periwayatannya.
Demikian pula semua hadits yang semakna dengan hadits di atas, yaitu tentang tercelanya memiliki keturunan, semua adalah hadits palsu dan dusta. Misalnya, hadits tentang tanda-tanda hari kiamat, di antaranya: “… Jika anak menjadi sebab kemarahan (orang tuanya) dan hujan (turun) di waktu panas”, dan hadits “Tidaklah lahir setelah seratus (tahun) seorang anak yang Allâh butuh (memberikan kebaikan) kepadanya.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits-hadits (yang menunjukkan) tercelanya (memiliki) anak semuanya dusta (hadits palsu) dari awal sampai akhir … Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits di atas sebagai contoh.”[13]
Dan cukuplah hadits-hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan rusak dan batilnya makna hadits-hadits palsu tersebut di atas.
Misalnya hadits-hadits shahih berikut:
Pertama : Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Seorang lelaki menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak (boleh)“, Kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).”[14]
Hadits ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak keturunan, yang merupakan salah satu tujuan utama pernikahan, dan dianjurkannya menikahi perempuan yang subur untuk tujuan tersebut.[15]
Kedua : Dan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dia berkata, “Ibuku (Ummu Sulaim Radhiyallahu anha ) pernah berkata, ‘(Wahai Rasûlullâh), berdoalah kepada Allâh untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu )!’ Anas berkata, “Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allâh) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan, “Ya Allâh, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah apa yang Engkau berikan kepadanya”. Anas berkata, “Demi Allâh, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang.”[16]
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak keturunan yang diberkahi Allâh Azza wa Jalla [17], karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya. Dan Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, imam an-Nawawi rahimahullah mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu[18]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1] Kitab Majma’uz Zawâid (4/474).
[2] Kitab Mîzânul I’tidâl (2/436), ini dibenarkan oleh oleh Imam Ibnu Hajar dalam Lisânul Mîzân (3/297).
[3] Kitab al-Manârul Munîf (hlm. 109, no. 206).
[4] Kitab al-Fawâidul Majmû’ah (hlm. 134, no. 50).
[5] Lihat kitab Taqrîbut Tahdzîb (hlm. 211).
[6] Kitab Lisânul Mîzân (3/132).
[7] Lihat kitab Lisânul Mîzân (6/88).
[8] Catatan kaki kitab al-Mustadrak (3/386).
[9] Kitab Majma’uz Zawâid (1/134).
[10] Kitab al-Manârul Munîf (hlm. 109).
[11] Kitab al-Fawâidul Majmû’ah (hlm. 134, no. 50).
[12] Dalam kitab al-Fawâidul Majmû’ah (hlm. 134, no. 50).
[13] Kitab al-Manârul Munîf (Hlm. 109, no. 206).
[14] HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056- al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[15] Lihat kitab Zâdul Ma’âd (4/228), Âdâbuz Zifâf (hlm. 60) dan Khatharu Tahdîdin Nasl (8/16- Muallafaatusy syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
[16] HSR al-Bukhâri (no. 6018) dan Muslim (no. 2481), lafazh ini yang terdapat dalam Shahîh Muslim.
[17] Lihat kitab Tafsîr al-Qurthubi (11/80).
[18] Lihat Syarah Shahîh Muslim (16/39-40).
- Home
- /
- A8. Qur'an Hadits7 Syarah...
- /
- Hadits Palsu Tentang Tercelanya...