Untuk Mengenal Kerabat, Bukan Sombong Dengan Martabat

UNTUK MENGENAL KERABAT, BUKAN SOMBONG DENGAN MARTABAT

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. al-Hujurât/49:13)

Penjelasan Ayat
Pada ayat mulia di atas, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan Dia Azza wa Jalla telah menciptakan anak Adam dari satu permulaan dan jenis yang sama, dari seorang lelaki dan perempuan, yaitu Adam dan Hawa. Kemudian  dari keduanya, Allâh Azza wa Jalla memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan menyebarkan mereka ke tempat-tempat yang berbeda-beda.[1]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allâh menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allâh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allâh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allâh selalu menjaga dan mengawasi kamu [an-Nisâ/4:1]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya…[al-A’râf/7:189][2]

Ini menunjukkan bahwa manusia pada asalnya sederajat satu sama lain. Sebab, asal ayah dan ibu mereka sama, Adam dan Hawa. Kesamaan asal ini menjadi faktor terpenting untuk menghalangi manusia dari membanggakan nasab dan menginjak-injak kehormatan orang lain.[3]

Selanjutnya, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan hikmah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu dengan yang lain dan guna membedakan satu dengan yang lain, bukan supaya orang membanggakan diri di hadapan yang lain. Oleh karena itu, ayat ini datang setelah larangan bergunjing dan merendahkan sesama yang ada pada ayat sebelumnya untuk mempertegas kesamaan derajat mereka sebagai manusia agar terjadi proses saling mengenal di antara mereka.[4] Akhirnya, manusia mengetahui siapa saja yang dekat dengan garis nasabnya dan termasuk karib-kerabatnya.[5]

Dengan kata lain, itu menunjukkan bahwa keutamaan dan kemuliaan seseorang di atas orang lain hanya terjadi oleh faktor lain, bukan dengan nasab atau hubungan darah.  Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskannya pada kelanjutan ayat:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu

Melalui firman Allâh Azza wa Jalla ini, jelaslah bahwa keutamaan dan kemuliaan manusia hanya berdasarkan ketakwaan kepada Allâh Azza wa Jalla, tidak dengan hubungan suku dan darah maupun besar kecilnya keluarga dan tempat tinggal.

Baca Juga  Pesan Terpenting Bagi Manusia

“Maksud ketakwaan ialah memperhatikan rambu-rambu batas Allâh Azza wa Jalla baik berupa perintah atau larangan, dan menghiasi diri dengan apa yang Allâh perintahkan kepadamu”[6]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kalian bertingkat-tingkat kedudukannya di sisi Allâh Azza wa Jalla dengan ketakwaan, bukan dengan status sosial”[7]

Sungguh benar ucapan orang yang melantunkan untaian bait syair berikut:

فَقَدْ رَفَعَ الْإِسْلَامُ سَلْمَانَ فَارِسٍ             وَقَدْ وَضَعَ الْكُفْرُ الشَّرِيْفَ أَبَا لَهْبٍ

Sungguh Islam telah mengangkat derajat Salman Farisi
                        Dan sungguh kekufuran telah merendahkan orang mulia (yaitu) Abu Lahab

Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu  pernah melantunkan:

أَبِيْ الْإِسْلاَمُ لاَ أَبَ لِيْ سِوَاهُ                 إِذَا افْتَخَرُوْا بِقَيْسٍ وَتَمِيْمٍ

Ayahku adalah Islam, aku tidak punya ayah selainnya
            Saat mereka bangga dengan suku Qais dan Tamim

Ayat ini menunjukkan bahwa dinul Islam satu-satunya din samawi yang shahih. Agama ini tidak memandang warna kulit, ras maupun asal-muasal seseorang. Satu-satunya yang diperhitungkan hanyalah ketakwaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Insan yang paling utama adalah orang yang paling bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla.[8] Berbeda dengan agama lain yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap para penganutnya. (Walillâhil hamdi ‘alâ minnatil Islâm. Semoga Allâh mewafatkan kita dalam keadaan Muslim).

Inilah keadilan, karena bisa dicapai oleh siapa saja yang mendapatkan taufik dari Allâh Azza wa Jalla. Tidak ada kemuliaan dan keutamaan bagi selain orang bertakwa, meski berdarah biru dan berstatus sosial tinggi. Tidak ada kasta rendah dan kasta tinggi.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إلِىَ صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلىَ أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allâh tidak melihat kepada fisik dan kekayaan kalian. Akan tetapi melihat hati dan amalan kalian [HR. Muslim no. 2564]

Hadits ini memuat kandungan yang sama dengan QS. al-Hujurât:13. [9]

Syaikh as-Sa’di  rahimahullah menyatakan: “Orang yang paling mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla adalah yang paling bertakwa, yaitu orang yang paling banyak menjalankan ketaatan (kepada Allâh) dan paling menjauhi larangan maksiat-maksiat”. [10]

“Tidak ada hubungan antara Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya kecuali dengan ketakwaan. Siapa saja yang lebih bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla niscaya akan lebih dekat dengan-Nya. Dia lebih mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla . Karena itu, orang tidak boleh membanggakan kekayaan, paras wajah,  fisik, anak dan keturunan, istana ataupun dengan kendaraannya, serta apapun yang ada di dunia ini. “[11]

Sejarah telah mencatat terjadinya pernikahan antara seorang yang berasal dari suku mulia dengan orang biasa. Sebagai contoh, Bilal Radhiyallahu anhu seorang budak yang dimerdekakan menikahi saudari Sahabat ‘Abdur Rahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu yang berasal dari suku Quraisy, Zainab binti Jahsy Radhiyallahu anha diperistri oleh Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu, seorang budak yang dimerdekakan.[12]

Baca Juga  Tafsir Surat Al-Ikhlash

Pada penghujung ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Maksudnya,  Allâh Azza wa Jalla Maha Tahu siapa saja yang bertakwa kepada-Nya secara lahir dan batin, dan siapa saja yang tidak bertakwa secara lahir dan batin. Kemudian Allâh Azza wa Jalla akan membalas setiap orang dengan apa yang ia berhak mendapatkannya.[13]

Allâh Azza wa Jalla Maha Mengetahui tentang kalian dan Maha Mengenal urusan-urusan kalian. Allâh memberikan hidayah bagi orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, menyesatkan orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, merahmati orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, dan menyiksa orang-orang yang Dia Azza wa Jalla kehendaki, serta menaikkan derajat orang yang Dia kehendaki di atas orang lain. Allâh Azza wa Jalla Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan Maha Mengenal dalam segala masalah ini.[14]

Pelajaran dari ayat:

  1. Kesamaan asal seluruh manusia dari Adam dan Hawa.
  2. Keadilan Islam.
  3. Larangan menyombongkan diri.
  4. Pentingnya mengetahui nasab[15] untuk memudahkan menyambung tali silaturahmi.
  5. Ketakwaanlah unsur yang diperhitungkan di sisi Allâh dan Rasul-Nya, bukan derajat sosial ataupun garis keturunan.[16]
  6. Jika seseorang mendapatkan taufik dari Allâh Azza wa Jalla sehingga menjadi orang yang bertakwa hendaklah bersyukur dan memuji Allâh Azza wa Jalla .
  7. Fanatisme golongan dan suku telah dihapuskan oleh Islam. Wallâhu a’lam. (Disusun oleh Ustadz Abu Minhal, Lc)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Lihat Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 16/292, Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm  7/385,  Taisîrul Karîmir Rahmân , hlm. 880, Adhwâul Bayân 7/631
[2]  Lihat juga QS. az-Zumar/39:6
[3]  Adhwâul Bayân, Syaikh asy-Syinqîthi, 7/635
[4]  Lihat Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm  7/385, Adhwâul Bayân 7/635
[5]  Lihat Jâmi’ul Bayân fî Tafsîr Ay al-Qur`ân, Imam ath-Thabari,  13/171
[6]  Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân , Imam al-Qurthubi, 16/296
[7]  Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm , Imam Ibnu Katsîr, 7/386
[8] Adhwâul Bayân 7/635
[9]  Syarhu Riyâdhish Shâlihin, Syaikh al-‘Utsaimîn, 1/31
[10]  Taisîrul Karîmir Rahmân , Syaikh as-Sa’di hlm. 881
[11]  Syarhu Riyâdhish Shâlihin 1/31
[12]  Lihat Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 16/297-298
[13]  Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 881
[14]  Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm  7/388
[15]  Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 881. Lihat Jâmi’ul Bayân fî Tafsîr Ay al-Qur`ân 13/172
[16]  Al-Jâmil li Ahkâmil Qur`ân 16/296

  1. Home
  2. /
  3. A8. Qur'an Hadits3 Tafsir...
  4. /
  5. Untuk Mengenal Kerabat, Bukan...