Mengqadha’ Shalat Setelah Taubat dan Menjama’ Shalat Karena Operasi
MENGQADHA’ SHALAT SETELAH TAUBAT
Pertanyaan.
Bila seseorang meninggalkan sebagian besar shalat wajib, kemudian setelah itu ia hendak bertaubat kepada Allâh dan hendak menunaikan kewajibannya serta menunaikan shalat yang telah ia tinggalkan; maka apa yang harus ia lakukan? Apakah ia menanggung dosa atas hal tersebut?
Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab.
Shalat adalah rukun Islam yang paling ditekankan setelah dua syahadat. Ia adalah rukun kedua dari rukun Islam. Banyak ayat dan hadits shahih yang menegaskan kedudukannya, mendorong agar selalu dijaga, dan adanya ancaman bagi orang yang meninggalkan dan menyia-nyiakannya; dan itu semua menunjukkan pentingnya shalat dan kedudukannya yang agung dalam Islam. Karena shalat adalah tiang penyangga Islam. Kalau seseorang menjaga shalat, maka lebih-lebih lagi ia akan menjaga kewajiban-kewajiban lainnya dalam agama ini, dan menjauhi apa yang diharamkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini seperti yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. [Al-Ankabût/29:45]
Maka tak ada lagi agama ini setelah shalat (hilang). Karena itu, dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا تَفْقَدُوْنَ مِنْ دِيْنِكُمُ اْلأَمَانَةَ وَ أَخِرُهُ الصَّلاَةَ
Hal pertama yang akan hilang dari agama kalian adalah amanat, sedangkan yang terakhir adalah shalat.[1]
Shalat sangatlah agung kedudukannya. Tidak boleh bagi Muslim untuk menyepelekannya. Barangsiapa yang meninggalkannya, ia kufur, seperti yang ditunjukkan dalam berbagai hadits dan ayat. Sama saja apakah ia meninggalkannya karena mengingkari kewajibannya, ataupun karena malas meski ia mengakui kewajibannya; ini menurut pendapat yang shahih. Ketika itu ia telah kafir karena meninggalkannya. Sebab ia tidak menegakkan agamanya, dan tidak menjaga shalatnya. Akan tetapi barangsiapa yang bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat yang benar, dan ia menjaga shalatnya di masa-masa setelahnya, maka sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubatnya. Karena taubat akan menghapuskan (dosa) apa yang telah lalu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴿٥٩﴾ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh. [Maryam/19:59-60]
Maka taubat akan menghapus dosa-dosa sebelumnya bila taubatnya memang benar. Orang yang bertaubat karena telah meninggalkan shalat, tidak mengharuskannya untuk mengqadha’ shalat pada waktu-waktu yang telah luput darinya. Yang menjadi kewajibannya adalah untuk menjaga shalat pada sisa umurnya hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya. Itu sudah mencukupi in sya Allâh. Sebab pada masa ia meninggalkan shalat, ia tidak berada di atas agama Islam. Sehingga bila ia bertaubat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , iapun masuk kembali ke dalam Islam, dan menjaga shalatnya pada sisa-sisa masa hidupnya. Dan Allâh pun akan menerima taubatnya in sya Allâh.
(Majmu’ Fatâwâ Syaikh Shalih Al-Fauzan hlm. 306-307)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Silsilat al-Ahâdîts ash-Shahîhah no 1739, Makârim al-Akhlâq susunan al-Khara’ithi hlm. 28. Al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak 4/ 549 dari ucapan Ibnu Abbas: Sesungguhnya hal pertama yang hilang dari agama kalian adalah amanah, sedangkan hal paling terakhir yang tersisa adalah shalat. Juga diriwayatkan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no 5981 dari ucapan Ibnu Abbas, dan disebutkan di dalamnya: dan sesungguhnya yang paling akhir yang tersisa dari agama kalian adalah shalat.
MENJAMA’ SHALAT KARENA OPERASI
Pertanyaan.
Jika seorang dokter mengoperasi pasien sehingg melewati beberapa waktu shalat, bagaimanakah cara mejamaknya? Misal, operasi seorang pasien dimulai jam 14.00 dan baru selesai jam 20.00, apakah langsung menjamak shalat ‘Ashar disambung Maghrib dan ‘Isya segera setelah operasi, atau dilakukan besoknya? Jadi, shalat ‘Ashar 2 kali, Maghrib 2 kali. Mohon penjelasan. Jazakallah.
Jawaban.
Islam adalah agama yang memberikan kemudahan dalam perkara-perkara yang membuat kesulitan pada seorang muslim.[1] Salah satu kemudahan itu, ialah bolehnya seseorang menjama’ shalat karena memiliki hajat atau kebutuhan mendadak pada waktu yang khusus. Seperti disampaikan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu.
جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ. قِيْلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَىْ لاَ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ.
“Rasulullah n menjama’ antara Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya` di Madinah, bukan karena takut dan juga bukan karena hujan”. Ibnu ‘Abbas ditanya: “Mengapa beliau n berbuat demikian?” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Agar tidak menyusahkan umatnya”. [HR Muslim].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Para buruh industri dan para petani, apabila pada waktu tertentu merasakan kesulitan, seperti air adanya jauh dari tempat dilaksanakannya shalat, dan apabila ia pergi ke tempat air tersebut dan bersuci hingga menyebabkan pekerjaannya bisa tertantar, maka ia diperbolehkan shalat di waktu musytarak [2] lalu menjama’ dua shalat sekaligus”.[3]
Membaca pertanyaan yang anda sampaikan, kami melihat kasus dalam pertanyaan itu termasuk udzur, sehingga dibolehkan untuk menjama’ shalat. Sebab, apabila operasi yang sedang dijalankan itu ditinggal di tengah-tengah pekerjaan untuk melaksanakan shalat di waktunya, hal itu tentu akan menimbulkan madharat bagi pasiennya. Oleh sebab itu, anda dibolehkan menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar sebelum operasi, bila operasinya dilakukan sekita jam dua siang -sebagaimana tersebut dalam pertanyaan di atas- walaupun tidak dilakukan secara langsung bersambung. Misalnya, setelah shalat Zhuhur belum ada rencana operasi, dan tiba-tiba pada jam 14.00 mendadak ada pasien yang harus dioperasi dan tidak mungkin selesai kecuali saat malam hari –secara hitungan medis- maka caranya, kerjakan shalat ‘Ashar di waktu Zhuhur tersebut. Sebab, yang râjih dalam masalah jama’, ialah tidak harus muwallah (langsung tanpa jeda) dalam pelaksanaan dua shalat tersebut, sebagaimana dirâjihkan Ibnu Taimiyyah.[4] Kemudian untuk Shalat Maghrib dan ‘Isya` dijama’ setelah usai operasi.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat kaidah al-Masyaqqah Tajlubu at-Taisir dalam Rubrik Qaidah Fiqhiyah, edisi 04/XII/2008M/1429H.
[2] Musytarak, ialah waktu yang dapat dilakukan dua shalat padanya.
[3] Majmu’ Fatâwâ, 21/458.
[4] Lihat permasalahan ini dalam Shahih Fikih Sunnah 1/495.
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah3 Shalat...
- /
- Mengqadha’ Shalat Setelah Taubat...