Puasa Bagi Orang yang Hilang Ingatan
PUASA BAGI ORANG YANG HILANG INGATAN
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang hilang ingatan, orang setengah gila, anak kecil dan orang gila, apakah mereka tetap terkena kewajiban melaksanakan ibadah puasa?
Beliau rahimahullah menjawab :
Allâh Azza wa Jalla mewajibkan para hamba-Nya untuk menunaikan ibadah jika memang mereka layak dibebani kewajiban, misalnya orang yang memiliki akal (waras) yang dipergunakan untuk mengetahui banyak hal. Artinya, orang yang tidak memiliki akal berarti tidak terkena kewajiban melaksanakan ibadah, seperti orang gila atau anak kecil yang belum bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Ini merupakan rahmat Allâh Azza wa Jalla (kepada para hamba-Nya). Begitu juga orang yang lemah akal (kurang waras) tapi tidak sampai gila. Termasuk juga orang tua renta yang hilang ingatannya, sebagaimana yang ditanyakan penanya. Mereka tidak berkewajiban menunaikan ibadah puasa, shalat juga thaharah. Karena orang yang hilang ingatannya sama dengan anak kecil yang belum bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga beban-beban kewajiban itu gugur darinya. Dia tidak wajib bersuci, shalat juga puasa. Adapun kewajiban yang berkaitan dengan harta, maka itu masih menjadi kewajibannya, meskipun dalam kondisi seperti ini. Misalnya zakat, orang yang mengurusinya wajib mengeluarkan zakat dari harta orang sudah mencapai usia senja tersebut, karena kewajiban zakat adalah kewajiban yang berkaitan dengan harta. Allâh Azza wa Jalla berfiman :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka [at-Taubah/9:103]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Ambillah dari sebagian harta mereka,” bukan “Ambillah dari mereka.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Mu’âdz Radhiyallahu anhu ketika hendak diutus ke Yaman, (yang artinya), “Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allâh Azza wa Jalla telah mewajibkan zakat pada harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir diantara mereka.“[1] Dalam hadits ini, disebutkan “Zakat pada harta mereka.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kewajiban ini pada harta, meskipun juga harta itu diambil dari yang memilikinya. Singkat kata, kewajiban yang berkaitan dengan harta tidak gugur dari seseorang dalam kondisi seperti ini. Sedangkan ibadah yang berkait dengan badan, seperti shalat, bersuci dan puasa, maka itu gugur, karena dia sudah tidak lagi berakal (hilang ingatannya).
Adapun orang yang hilang ingatan karena pingsan disebabkan penyakit, maka kewajiban shalat gugur darinya. Ini menurut pendapat kebanyakan para ahli ilmu. Jika seseorang pingsan sehari atau dua hari, maka dia tidak berkewajiban mengqadha’ shalatnya, karena ketika itu dia tidak sadar. Ini berbeda dengan orang tidur yang dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, (yang artinya), “Orang yang tertidur dari shalat atau lupa, maka hendaklah dia mengerjakannya disaat dia ingat.”[2]
Karena orang yang tidur masih ada daya nalar ketika dia bangun. Sedangkan orang yang pingsan ini, dia bisa sadar ketika dia terbangun. Ini kalau pingsannya bukan karena perbuatannya, tapi kalau dia pingsan karena ulahnya sendiri yang menenggak obat bius misalnya, maka dia tetap berkewajiban mengqadha’ shalat yang tertinggal saat hilang kesadarannya. (Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ’il, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, 19/85-87)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1432/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] HR. Imam Bukhari, no. 1458 dan Imam Muslim, no. 19
[2] HR. Imam Muslim, no. 684 dan 314
MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN SELAMA EMPAT TAHUN KARENA GANGGUAN KEJIWAAN
Oleh
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta
Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ada seorang wanita yang terkena gangguan kejiwaan, demam, kejang dan sebagainya, akibat penyakit itu ia meninggalkan puasa selama kurang lebih empat tahun, apakah dalam keadaan seperti ini wajib baginya untuk mengqadha puasa atau tidak, dan bagaimana hukumnya .?
Jawaban
Jika ia meninggalkan puasa karena ketidakmampuannya untuk berpuasa, maka wajib baginya untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah ditinggalkan selama empat kali bulan Ramadhan itu di saat ia memiliki kesanggupan untuk mengqadhanya, Allah berfirman.
“ .. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” [Al-Baqarah/2:185]
Akan tetapi jika penyakitnya dan ketidakmampuannya untuk berpuasa tidak bisa hilang menurut para dokter, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan sebanyak setengah sha’ berupa gandum atau korma atau beras atau makanan pokok lainnya yang bisa disimpan orang di rumahnya. Sama halnya dengan orang tua renta dan jompo yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, tidak ada keharusan qadha.
(Fatawa Ash-Shiyam, halaman 76)
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah5 Puasa...
- /
- Puasa Bagi Orang yang...