Mencampuri Istri di Siang Hari Ramadhan

MENCAMPURI ISTRI TANPA MENGELUARKAN MANI

Oleh
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Seorang pria menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan tanpa mengeluarkan mani, bagaimana hukumnya ..? Dan bagaimana pula hukumnya jika istri tidak mengerti hal itu .?

Jawaban
Bersetubuh di siang hari Ramadhan saat suami berpuasa dan tidak dalam perjalanan maka dia dikenakan Kaffarah, yaitu : “memerdekakan hamba sahaya, jika hal itu tidak didapatkan dipenuhi maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika hal itu tidak sanggup dilakukan maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin“. Kaffarah yang sama juga dikenakan bagi istrinya, jika ia melakukan hal itu dengan rela, namun jika dilakukan dengan terpaksa maka wanita itu tidak dikenakan apapun. Adapun bila keduanya itu dalam keadaan musafir maka tak ada dosa, tak ada kaffarah dan tidak perlu berpuasa pada sisa hari itu melainkan keduanya harus mengqadha puasa hari itu saja, karena orang musafir tidak diwajibkan untuk berpuasa. begitu pula bagi orang yang tidak melakukan puasa karena keadaan darurat, seperti menolong orang dari kebinasaan, jika ia bersetubuh pada saat tidak berpuasa karena sebelumnya ia tidak berpuasa karena menolong seseorang, maka hal itu tidak mengapa, karena saat itu adalah saat yang tidak merusak puasa wajib karena sedang tidak berpuasa. Tapi bila seseorang tengah berpuasa dan muqim (bukan musafir) jika bersetubuh maka ia dikenakan lima hal yaitu :

1. Berdosa
2. Puasanya rusak
3. Wajib meneruskan puasa hari itu
4. Wajib mengqadha puasa hari itu
5. Wajib melaksanakan kaffarah

Dalil kaffarah adalah hadits Abu Haurairah Radhiallahu ‘anhu tentang seorang pria yang menyetubuhi istrinya pada siang hari Ramadhan, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin, maka kewajiban kaffarah itu hilang karena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban jika disertai ketidakmampuan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara bersetubuh yang menyebabkan keluarnya mani ataupun tidak mengeluarkan mani jika persetubuhan itu telah dilakukan. Lain halnya jika keluarnya mani itu tanpa bersetubuh, maka dalam hal ini tidak ada kaffarah, melainkan berdosa dan diwajibkan melanjutkan puasa serta mengqadha puasanya juga.

Baca Juga  Firman Allah Ta'ala "Puasa Untukku dan Aku yang Akan Membalasnya"

(Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/46-47)

MENCAMPURI ISTRI DI SIANG HARI RAMADHAN

Oleh
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhamad Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang pemuda, saya pernah mencampuri istri saya di siang hari Ramadhan, apakah saya harus membeli kurma untuk saya sedekahkan .?

Jawaban
Jika ia seorang pemuda maka berarti ia sanggup untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut, kita memohon kepada Allah agar pemuda itu diberi kekuatan untuk melaksanakan puasa selama dua bulan itu. Jika seorang telah bertekad keras untuk melaksanakan suatu pekerjaan maka hal itu akan mudah dikerjakannya, dan sebaliknya jika dirinya telah diliputi rasa malas maka perbuatan itu akan terasa berat sehingga hal tersebut akan mempersulit dirinya dalam melaksanakannya. Kita harus mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sesuatu yang harus kita kerjakan di dunia yang dapat menghindarkan diri kita dari siksa Akhirat. Maka kepada pemuda ini kami katakan : Hendaklah Anda berpuasa selama dua bulan penuh berturut-turut, jika cuaca panas dan siang hari panjang, maka Anda mempunyai kesempatan menundanya hingga musim dingin. Hal yang sama diberlakukan pula pada pihak wanita yaitu istri Anda jika ia turut serta secara rela, namun jika si istri melakukan ha itu dengan terpaksa dan tak ada kesempatan untuk menghindar, maka puasa wanita itu sah sehingga tidak perlu mengqadhanya dan tidak perlu melaksanakan kaffarah.

(Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Ifta Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Daru Haq]

HUKUM MENGGAULI ISTRI SAAT PUASA RAMADHAN

Pertanyaan.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang menjima’ istrinya pada siang hari Ramadhân, (dia dikenai sanksi yaitu) diwajibkan membebaskan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberikan makan enam puluh faqir miskin. Pertanyaannya :

  1. Jika ada seorang suami yang menjima’ istrinya lebih dari sekali pada hari yang berbeda pula, apakah dia wajib mengganti setiap satu hari dengan puasa dua bulan berturut-turut, ataukah cukup berpuasa dua bulan saja sebagai kafarah (denda) dari beberapa hari yang ia langgar karena menjima’ istrinya?
  2. Jika si pelaku tidak mengetahui bahwa orang yang menggauli istri terkena hukuman di atas, (dan) dia hanya berkeyakinan, puasa sehari yang rusak karena menjima’ istri itu bisa diganti dengan sehari saja. Bagaimana hukumnya ?
  3. Apakah sang istri terkena sanksi sebagaimana sanksi sang suami ?
  4. Bolehkah menyerahkan uang sebagai ganti dari makanan ?
  5. Bolehkah hanya memberikan makan satu orang miskin saja sebagai denda dari suami istri yang melanggar ?
  6. Jika tidak mendapatkan orang yang berhak untuk diberi makan, bolehkah ia menyerahkan uang kepada salah satu yayasan ?
Baca Juga  Tidak Puasa Karena Haid Dan Belum Mengqadhanya

Jawaban.

Orang yang terkena kewajiban menunaikan ibadah puasa ;

  1. Jika ia menggauli istrinya pada siang hari Ramadhân sekali atau beberapa kali dalam sehari, maka dia terkena satu kafarah, jika perbuatan pertamanya belum dibayar kafarahnya. Sedangkan jika dia melakukan perbuatan itu dalam beberapa hari, maka ia terkena kafarah sesuai dengan jumlah hari yang dilanggar
  2. Ia tetap terkena kafarat akibat menjima’ istrinya itu meskipun ia tidak tahu bahwa apa yang dia lakukan berkonsekwensi kafarah (denda).[1]
  3. Sang istri juga terkena kafarah (denda), jika ia juga berperan aktif. Sedangkan, jika ia dipaksa oleh suami, maka sang istri tidak terkena
  4. Tidak boleh menyerahkan uang sebagai ganti dari makanan.
  5. Boleh memberikan kepada satu orang miskin setengah sha` dari dirinya (suami), dan setengah sha` dari istrinya. Dan ini terhitung satu dari enam puluh orang.
  6. Tidak boleh menyerahkan kafarah kepada satu orang miskin saja. Begitu juga tidak boleh menyerahkan kepada yayasan, karena terkadang yayasan tidak membagikannya kepada enam puluh orang miskin. Dan sebagai seorang Mukmin, ia wajib memiliki antusiasme tinggi untuk menunaikan kewajibannya berupa kafarah atau yang lainnya.

وَبِالله التوفيق وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Wabillahit taufiq, washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin wa ‘alihi wa shahbihi wa sallam.[2]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1]) Berbeda dengan dengan orang yang lupa. Orang yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, tidak mengakibatkan puasanya rusak dan tidak terkena denda. Lihat  Fatâwâ al-Lajnatid Dâimaiti Lil Buhûtsil ‘Ilmiyah Wal Iftâ` (10/306-307).
[2]) Fatâwâ al-Lajnatid Dâimaiti Lil Buhûtsil ‘Ilmiyah Wal Iftâ` (10/320-322).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah5 Puasa...
  4. /
  5. Mencampuri Istri di Siang...