Dalil Tempat I’tikaf dan Waktu I’tikaf yang Dapat Dilaksanakan
Pembahasan Kelima
Dalil-Dalil yang Dipegang Para Fuqaha’ Dalam Menentukan Tempat I’tikaf
- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid-masjid.” [Al-Baqarah/2: 187]
Ayat di atas mencantumkan kata masjid-masjid secara mutlak dan tidak terkait dengan kriteria apa pun. Hal ini jika dilihat dari sisi keumuman lafazh masjid. Dari sisi lain, seandainya i’tikaf itu sah dilakukan di selain masjid, tentunya tidak ada pengkhususan haramnya orang yang sedang i’tikaf melakukan hubungan suami isteri di dalam masjid dan tentunya hal itu menjadi penentuan hukum i’tikaf secara mutlak.
- Hadits Juwaibir yakni Jabir bin Sa’id al-Azdi dari adh-Dhahhak yakni Ibnu Mazahim al-Hilali dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
كُلُّ مَسْجِدٍ لَـهُ مُؤَذِّنٌ وَإِمَـامٌ فَالاِعْتِكَافُ فِيْهِ يَصْلُحُ
“Setiap masjid yang memiliki muadzin dan imam, maka dibolehkan melakukan i’tikaf di sana.”
Hadits riwayat ad-Daraquthni dan ia berkata, “Adh-Dhahhak tidak mendengar hadits ini dari Hudzaifah.” An-Nawawi berkata, “Juwaibir adalah seorang perawi yang dha’if menurut kesepakatan ahli hadits. Dengan demikian hadits ini dha’if tidak sah dijadikan sebagai hujjah.”[1]
- Hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu bahwa ia mendatangi Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu lalu berkata, “Tidakkah Anda merasa heran melihat orang-orang yang melaksanakan i’tikaf antara rumahmu dan rumah al-Asy’ari (Abu Musa)?” ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Mungkin mereka yang benar dan Anda yang salah.” Hudzaifah berkata, “Aku tidak peduli apakah aku beri’tikaf di tempat tersebut atau di pasar kalian ini. Yang jelas bahwa i’tikaf itu hanya boleh dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Nabawi Madinah dan Masjid Aqsha.”
Seorang Tabi’in terkenal Ibrahim an-Nakha-i rahimahullah berkata, “Sepertinya mereka adalah orang-orang yang sedang melakukan i’tikaf di masjid besar di kota Kufah. Kemudian Hudzaifah mengkritik amalan mereka tersebut.”
Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Mungkin mereka yang benar dan Anda yang keliru. Mereka yang masih hafal sementara Anda sudah lupa.”[2]
Kesimpulan
I’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun, baik berupa masjid maupun mushalla, sebab semua ini termasuk keumuman lafazh. Terkecuali mushalla yang terdapat di dalam rumah. Sebab jenis mushalla ini sama seperti ruangan lain yang terdapat di dalam rumah. Oleh karena itu, hukumnya juga sama seperti hukum ruangan lainnya. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Imam Abu Hanifah yang merupakan imam besar dan puncak pimpinan madzhab Hanafi, namun karena adanya dalil, pendapat beliau tidak dapat diambil. Sebab paling tidak makruh hukumnya (dengan syarat tertentu yang insya Allah akan kami jelaskan) seorang wanita i’tikaf di masjid, namun bukan berarti mereka dibolehkan i’tikaf di rumah.
Disunnahkan i’tikaf di masjid jami’ jika dikhawatirkan orang yang i’tikaf terluput dari melaksanakan shalat Jum’at. Sehingga apabila ia i’tikaf di masjid jami’, ia tidak harus meninggalkan tempat i’tikafnya. Terkecuali apabila dapat menimbulkan kesulitan yang lebih besar dan ia memiliki udzur untuk i’tikaf di masjid jami’. Seperti tempat tersebut dekat dengan tempat isterinya yang sedang sakit atau ada perasaan takut. Dengan demikian ia boleh keluar hanya untuk melaksanakan shalat Jum’at saja, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti, insya Allah.
Pembahasan Keenam
Ketentuan Waktu I’tikaf yang Dapat Dilaksanakan
Para fuqaha’ memiliki tiga pendapat:
- Boleh melaksanakan i’tikaf walau dalam jangka waktu yang singkat, baik siang maupun malam. Ini adalah pendapat Jumhur ulama, asy-Syafi’i, Ahmad, Dawud dan diriwayatkan dari Abu Hanifah, Muhammad dan murid-muridnya untuk i’tikaf sunnah. Demikian pendapat madzhab Hanafi.
- Paling sedikit dua puluh empat jam menurut pendapat Abu Hanifah. Satu hari satu malam menurut pendapat Malik. Hanya saja mereka berdua mensyaratkan orang yang beri’tikaf harus orang-orang yang melaksanakan puasa. Tentunya hal ini berkaitan dengan tempo waktu satu hari satu malam.
- I’tikaf dapat dikatakan sah walaupun hanya sekedar melintas di dalam masjid.
Perbedaan pendapat ini muncul disebabkan tidak adanya nash yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari salah seorang Sahabat yang menentukan batasan minimal waktu i’tikaf. Pendapat-pendapat ini hanya diambil dari kesimpulan hukum beberapa nash atau dari apa yang mereka fahami dari nash tersebut.
[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1] Ad-Daraquthni (II/200, no. 9), bab I’tikaaf. Muhaqqiq kitab al-Majmuu’, Syaikh Muthi’i berkata pada (VI/413) yang isinya bahwa Juwaibir merupakan bentuk tashghir dari Jabir dan Jabir ini adalah Sa’id al-Azdi Abu Qasim al-Balkhi, datang ke Kufah, perawi buku Tafsiir. Ia adalah seorang perawi yang sangat dha’if. Demikian kesimpulan dari Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqriib. Adapun adh-Dhahhak adalah Ibnu Mazahim al-Hilali. Ia banyak meriwayatkan hadits mursal. Ia meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Abbas, Hudzaifah, dan Sahabat lainnya. Wafat setelah tahun 100 Hijriyah. Dari namanya dapat diketahui bahwa ayahnya seorang yang beragama Yahudi. Ibnu Hazm berkata, ‘Juwaibir perawi yang binasa sedang adh-Dhahhak perawi dha’if dan ia tidak pernah bertemu dengan Hudzaifah Radhiyallahu anhu.’ Lihat al-Muhallaa (V/196).
[2] Mushannaf ‘Abdirrazzaq (I/348, no. 8014, 8016), dan al-Mu-hallaa, karya Ibnu Hazm (V/194). Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’uz Zawaa-idnya dari hadits Hudzaifah, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Kabiir dan semua perawinya shahih.”
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah5 Puasa...
- /
- Dalil Tempat I’tikaf dan...