Kisah Ashhâbul-Kahfi, Kisah Para Pemuda yang Menakjubkan
KISAH ASHHABUL-KAHFI KISAH PARA PEMUDA YANG MENAKJUBKAN[1]
Sangat banyak kisah dari umat terdahulu yang difirmankan Allâh di dalam kitab-Nya yang mulia, Al-Qur`ânil-Karim. Yang secara nyata menunjukkan betapa besar faidahnya untuk menuntun umat manusia kepada hidayah. Karena paparan kisah termasuk media pembelajaran yang penting. Apalagi, biasanya seseorang mempunyai kecenderungan lebih mudah untuk meresapi pesan-pesan moral dari sebuah cerita yang shahih.
Ashabul-Kahfi, Para Pemuda yang Teguh Mempertahankan Keimanan
Dalam surat al-Kahfi, Allâh Azza wa Jalla menyampaikan salah satu kisah kehidupan masa lalu. Yakni yang dikenal dengan ashhâbul-kahfi, yaitu para pemuda penghuni goa, yang dikisahkan secara global.
Dalam sebuah keterangan disebutkan, bahwa mereka memeluk agama Nabi ‘Isa bin Maryam. Akan tetapi, al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan, bahwa pemuda-pemuda itu hidup sebelum perkembangan millah Nashraniyah. Seandainya mereka memeluk agama Nashrani, tentu para pendeta Yahudi tidak memiliki data tentang mereka. Sedangkan peristiwa ashhâbul-kahfi, merupakan tema yang dikemukakan oleh Yahudi kepada kaum Quraisy untuk “menguji” kebenaran kenabian Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selain pertanyaan tentang Dzul-Qarnain dan roh. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut sudah terbukukan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan terjadi sebelum kemunculan agama Nashrani. Wallahu a’lam. [2]
Al-Kahfi, artinya sebuah gua di gunung, dan menjadi tempat pelarian para pemuda tersebut. Allâh berfirman:
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. [Al-Kahfi/18:10]
Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa mereka adalah para pemuda yang lari untuk menyelamatkan keimanan mereka dari kaum mereka yang sudah terjerat oleh kesyirikan dan pengingkaran terhadap hari kebangkitan, supaya fitnah itu tidak menimpa mereka. Mereka mengungsi ke sebuah goa yang berada di gunung.[3]
Ketika memasuki gua tersebut, mereka berdoa kepada Allâh memohon rahmat dan belas-kasih-Nya. Dikatakan oleh Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah, bahwa permohonan mereka tersebut merupakan doa yang agung dan mencakup seluruh kebaikan.
Dari doa para pemuda itu, terdapat satu sisi yang ditekankan oleh Syaikh as-Sa’di rahimahullah, yakni, mereka telah menggabungkan atau memadukan antara (usaha yaitu) lari dari fitnah dengan menuju ke suatu tempat yang bisa menjadi persembunyian, (dipadukan) dengan ketundukan dan permintaan kepada Allâh agar dimudahkan urusannya, dan tidak menyandarkan urusan-urusan kepada diri mereka sendiri dan kepada sesama makhluk lainnya.[4]
Tentang jadi diri para pemuda tersebut, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. [Al-Kahfi/18:13]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, mereka adalah sekumpulan pemuda yang menerima kebenaran dan lebih lurus jalannya daripada generasi tua dari kalangan mereka, yang justru menentang dan bergelimang dengan agama yang batil.
Para pemuda tersebut hanya beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak seperti kaum mereka. Maka, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyukuri keimanan mereka, dan kemudian menambahkan hidayah atas diri mereka. Maksudnya, disebabkan hidayah kepada keimanan, maka Allâh Azza wa Jalla menambahkan petunjuk kepada mereka, yakni berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , yang artinya, “Dan Allâh akan menambahi petunjuk kepada mereka yang telah mendapatkan petunjuk.[ Maryam/19:76].[5]
Bertolak dari penegasan Allâh Azza wa Jalla di atas bahwa mereka merupakan sekumpulan pemuda yang beriman, sebuah kesimpulan menarik dikemukakan oleh al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau rahimahullah mengatakan, “Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menyambut dakwah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya berasal dari kalangan para pemuda. Sedangkan para orang tua dari kaum Quraisy, kebanyakan masih memegangi agama mereka, tidak memeluk Islam kecuali sedikit saja. Demikianlah Allâh Azza wa Jalla mengabarkan, bahwa mereka itu adalah para pemuda.” [6]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. [Al-Kahfi/18:14]
Saat menjelaskan maksud ayat ini, al-Imam ath-Thabari rahimahullah menyatakan, “Dan Kami (Allâh) mengilhamkan kesabaran kepada mereka dan mengokohkan hati mereka dengan cahaya keimanan, hingga jiwa mereka berlepas diri dari sebelumnya, yaitu kebiasaan hidup yang menyenangkan. [7]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengkaruniakan atas mereka keteguhan dan kekuatan untuk bersabar, sehingga mereka berani menyampaikan di hadapan orang-orang kafir, ““Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran “.[8]
Kemantapan dan keteguhan hati bagi mereka sangat dibutuhkan. Karena, seluruh penduduk memusuhi mereka, sedangkan usia mereka pada waktu itu masih muda, yang bisa saja dipengaruhi oleh orang tua. Akan tetapi Allâh Azza wa Jalla telah meneguhkan hati mereka. Demikian menurut tinjauan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah .[9]
Dalam pernyataan itu, para pemuda tersebut telah memadukan antara ikrar terhadap tauhid rubûbiyyah dengan tauhîd ulûhiyyah dan konsisten dengannya, disertai dengan penjelasan bahwa Allâh-lah Dzat yang Haq, dan selain-Nya merupakan kebatilan. Ini menunjukkan, mereka benar-benar mengenal Rabb dan adanya tambahan hidayah pada mereka.[10]
هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allâh. [Al-Kahfi/18:15]
Para pemuda itu ingin menunjukkan argumentasi, mengapa mereka mengasingkan diri dari kaumnya. Kata mereka: “Orang-orang menjadikan sesembahan selain Allâh, menyembah selain Allâh. (Mengapa) mereka tidak membuktikan bahwa sesembahan itu benar, dan menunjukkan faktor yang menjadi penyebab mereka menyembahnya?”
Jadi, ada dua tuntutan pada kaum mereka. Yaitu: (1) meminta pembuktian bahwa sesembahan mereka adalah ilah (sesembahan yang haq), (2) meminta pembuktikan, bahwa ibadah yang mereka lakukan adalah benar. Dan dua hal ini, mustahil dapat dibuktikan oleh orang-orang tersebut. Karena mereka tidak mampu membantah argumentasi para pemuda tersebut, maka kekerasan fisik akan menjadi langkah mereka selajutnya.
Dalam kondisi demikian, jika muncul fitnah yang mengancam agama seseorang, maka disyariatkan bagi seseorang untuk menyingkirkan diri dari khalayak demi keselamatan agamanya.[11] Itulah yang dilakukan oleh para pemuda tadi, sebagaimana disebutkan pada ayat berikutnya,
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allâh, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. [Al-Kahfi/18:16]
Sebagian pemuda berkata kepada yang lain, “Jika kalian berhasil mengasingkan diri dari kaum kalian dengan jasad-jasad dan agama, maka tidak tersisa (sikap) kecuali menyelamatkan diri dari keburukan mereka dan menempuh langkah-langkah yang dapat mewujudkannya. Lantaran para pemuda tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memerangi kaumnya, dan tidak mungkin pula mereka tinggal bersama di tengah kaumnya dengan keyakinan yang berbeda”.[12] Sehingga cara yang mereka tempuh ialah berlindung di dalam goa[13] dengan harapan dapat mereguk rahmat dan kemudahan dari Allâh Azza wa Jalla .
Tidaklah disangkal, bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mencurahkan sebagian rahmat-Nya dan memudahkan urusan mereka dengan petunjuk yang lurus dalam urusan mereka. Karenanya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjaga agama dan fisik mereka, serta menjadikannya termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya di hadapan makhluk. Bahkan tempat untuk tidur mereka, berada dalam pemeliharaan yang tinggi.[14] Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allâh. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allâh, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. [Al-Al-Kahfi/18:17]
Mereka berada dalam tempat yang luas dari gua itu. Keadaan demikian, supaya hawa dan arus udara mengenai mereka, dan kandungan udara yang buruk dapat keluar. [15]
Peristiwa tersebut termasuk tanda kebesaran Allâh Azza wa Jalla . Para pemuda tersebut mendapat bimbingan Allâh Azza wa Jalla untuk menuju gua tersebut, dan Allâh menjadikan mereka tetap hidup, sinar matahari dan angin mengenai mereka, sehingga fisik mereka tetap terjaga. [16]
Di akhir ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan bahwa Dia-lah yang memberi petunjuk kepada para pemuda itu menuju hidayah di tengah kaum mereka. Siapa saja yang dianugerahi hidayah, sungguh ia telah meraih petunjuk. Dan barang siapa disesatkan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup meluruskannya. [17]
Dalam kisah ini tersirat sebuah peringatan, bahwa kita tidak boleh meminta hidayah kecuali hanya kepada Allâh. Begitu pula kita tidak perlu bimbang saat melihat ada orang yang tersesat. Karena kesesatan seseorang itu berada di tangan Allâh Azza wa Jalla . Kita mengimani takdir, tidak murka lantaran melihat kesesatan yang terjadi dari Allâh Azza wa Jalla. Kewajiban kita, mengarahkan mereka yang telah sesat.[18]
Allah Azza wa Jalla Memelihara Tubuh Mereka
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. [Al-Al-Kahfi/18:18].
Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah mengutip keterangan para Ulama tafsir, beliau rahimahullah mengatakan: “Hal itu karena mata mereka tetap terbuka supaya tidak rusak, sehingga orang yang melihat, menyangka mereka terjaga padahal sedang tidur. Ini juga merupakan pemeliharaan Allâh terhadap tubuh-tubuh mereka. Karena umumnya gesekan bumi mampu menggerogoti tubuh yang bersentuhan dengannya. Di antara ketentuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Dia membolak-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri,[19] sehingga tidak menyebabkan bumi merusak tubuh mereka, meskipun Allâh Maha Kuasa menjaga tubuh mereka tanpa perlu membolak-balikannya. Akan tetapi, Allâh Maha Bijaksana. Dia ingin memberlakukan sunnah-Nya di alam semesta dan mengaitkan faktor-faktor sebab dan akibat.
Anjing yang menyertai ashhabul kahfi, pun tertidur seperti mereka pada waktu berjaga-jaga. Anjing tersebut mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.
Adapun penjagaan mereka dari kalangan manusia, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa mereka dijaga dengan perasaan takut yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala tebarkan. Seandainya ada orang melihat mereka, niscaya hatinya akan sarat dengan rasa takut dan lari tunggang langgang. Inilah faktor yang menyebabkan mereka bisa tinggal lama, dan tidak ada seorang pun yang berhasil melacak mereka, padahal keberadaannya dari kota tersebut sangat dekat sekali. Dalil yang menunjukkan dekatnya tempat mereka, yaitu tatkala mereka terbangun, dan salah seorang mengutus temannya agar membeli makanan di kota, sedangkan yang lain menunggu kedatangannya. Ini menunjukkan betapa dekat gua yang mereka tempati dari kota.[20]
Berapa Lama Mereka Tinggal Di Gua
Ketika Allâh Azza wa Jalla membangunkan mereka dari tidur lelap, mereka saling bertanya dan berselisih tentang sudah berapa lamakah mereka tertidur dalam gua tersebut. Mereka mengira bahwa mereka baru menghabiskan sehari atau setengah hari saja, karena Allâh membangunkan ash-habul kahfi dari tidur panjang mereka, dalam keadaan fisik, rambut dan kulit yang sehat seperti kondisi semula, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. [21]
Padahal mereka sudah melewati ratusan tahun, sebagai firman-Nya:
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). [Al-Kahfi/18:25]
Imam ath-Thabari rahimahullah menyebutkan tujuan mereka dibangunkan ialah agar mereka mengetahui betapa agung kekuasaan Allâh, keajaiban perbuatan-Nya atas makhluk ciptaan-Nya, pembelaan-Nya terhadap para wali-Nya, dan supaya mereka semakin mengetahui secara jelas kondisi mereka, yakni keberdaan mereka yang benar-benar berlepas diri dari peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh semata.[22]
Setelah dibangkitkan dari tidur panjang, mereka mengutus salah seorang diantara mereka untuk membeli makanan yang mereka butuhkan dan tidak lupa mereka berpesan kepada teman yang diutusnya untuk berlaku sopan santun agar tidak memancing kecurigaan kaumnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman.
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allâh itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya“. [Al-Kahfi/18:21].
Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kalau Dia berkehendak memperlihatkan keadaan ashhabul-kahfi kepada khalayak di masa itu. Kejadian itu –wallahu a’lam– setelah mereka terjaga, dan kemudian mengutus salah seorang di antara mereka untuk membeli makanan. Mereka memerintahkan temannya agar menyamar dan merahasiakan (perkara mereka). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berkehendak terhadap satu kejadian yang berisi kemaslahatan bagi orang-orang dan tambahan pahala bagi para pemuda itu. Yaitu, ketika orang-orang menyaksikan salah satu tanda kebesaran- Allâh pada mereka (ash-habul-kahfi) dengan mata mereka sendiri. Sehingga mereka pun menyadari bahwasanya janji Allâh Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ada, tidak ada keraguan padanya, juga tidak ada lagi kemustahilan setelah dahulu berselisih tentang urusan para pemuda itu. Sebagian mengakui datangnya janji Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan hari Pembalasan. Sebagian lain meniadakannya. Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kisah ash-habul-kahfi sebagai tambahan ilmu dan keyakinan bagi kaum Mukminin dan hujjah (penggugat) bagi orang-orang yang menentang. Jadilah pahala dalam perkara ini untuk mereka. [23]
Selanjutnya, orang-orang yang berkuasa ingin mendirikan bangunan di atas makam mereka. Kata Abul-Faraj Ibnul-Jauzi rahimahullah , kalangan Ulama tafsir mengatakan, yang dimaksud orang-orang yang memegang kendali urusan para pemuda itu, ialah raja dan bawahan-bawahannya yang Mukmin.[24] Mereka ini berniat untuk membangun tempat peribadahan di tempat makam para pemuda itu. Bangunan tersebut difungsikan untuk beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dalamnya dan mengingat-ingat para pemuda tersebut serta peristiwa yang terjadi pada mereka. Jadi, bukan dari kalangan kaum kuffar, seperti diungkapkan sebagian orang. Karena membangun masjid termasuk sifat kaum Mukminin[25]
Namun perlu diperhatikan bahwa perbuatan tersebut tidak lantas bisa dijadikan landasan untuk melegalkan pembangunan masjid di (sekitar) kuburan, seperti yang terjadi di sebagian negeri kaum Muslimin. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan mencela para pelakunya.
Pelajaran Dari Kisah Ini
Orang yang menyelamatkan agamanya dari fitnah, niscaya Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang bersungguh-sungguh mencari keselamatan, niscaya Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkannya. Seseorang yang berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , niscaya Allâh akan melindunginya dan menjadikannya sebagai sumber hidayah bagi orang lain. Barang siapa menuai kehinaan di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan dalam mencari keridhaan-Nya, niscaya kesudahan bagi urusannya adalah kemuliaaan yang agung dari arah yang tidak dia sangka. Dan apa yang ada di sisi Allâh itu lebih baik bagi orang-orang yang patuh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Diringkas dari Rubrik Tafsir Majalah As-Sunnah, Tahun ke XI edisi 4 dan 5
[2] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146) secara ringkas.
[3] Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm (5/145), Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 22.
[4] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 471.
[5] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 471, Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).
[6] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).
[7] Jâmi’ul-Bayân (15/237).
[8] Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur`ân (10/318).
[9] Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 26.
[10] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[11] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/148).
[12] Taisirul-Karîmir-Rahmân,
[13] Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kisah mereka untuk dipahami dan direnungkan, tanpa memberitahukan letak gua tersebut. Sebab tidak ada faidah dan tujuan syar’i yang berkaitan dengannya. Andaikata penyebutan tempat gua tersebut mengandung maslahat agama, sudah tentu Allâh dan Rasul-Nya menunjukkan tempatnya. Al Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah secara ringkas dalam Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/149).
[14] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[15] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[16] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150)
[17] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150)
[18] Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 34.
[19] Kadang-kadang mereka berada di sisi kanan, kadang berada di atas sisi kiri. Allâh tidak menyebutkan punggung dan perut, sebab tidur di sisi kanan atau kiri itu yang paling baik. Dengan cara itu, terjadi keseimbangan aliran darah pada tubuh. Bila tidur hanya dengan satu arah, maka dikhawatirkan bagian atas akan mengalami kekurangan aliran darah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya membolak-balikan tubuh mereka. Lihat Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 35.
[20] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[21] Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (4/145).
[22] Jâmi’ul-Bayân (9/265), Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145).
[23] Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 504.
[24] Zâdul Masir (3/74).
[25] Adhwâul Bayan 82
- Home
- /
- B2. Topik Bahasan8 Kisah...
- /
- Kisah Ashhâbul-Kahfi, Kisah Para Pemuda...