Bagaimana Jika Ustadz Indonesia Berbeda Pendapat Dengan Ulama Kibar Saudi???

BAGAIMANA JIKA USTADZ INDONESIA BERBEDA PENDAPAT DENGAN ULAMA KIBAR SA’UDI???

Oleh
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili -hafizhahullaah-

Pertanyaan.
Berkaitan dengan istifta’ (meminta Fatwa, bertanya) ; Anda menyebutkan bahwa kita harus meminta Fatwa dari Syaikh yang paling berilmu di negeri kami. Maka apa pendapat anda jika ada : Fatwa Ulama di Negara Sau’di -Mufti ‘Aamm (umum) atau Hai-ah Kibar ‘Ulama- yang menyelisihi Fatwa salah seorang Ustadz dari negeri kami? Mana yang lebih kami dahulukan? Apakah kita bersandar kepada Fatwa seorang Ustadz dari Indonesia ataukah Fatwa dari Ulama Sa’udi?

Jawaban.
1. Jika seorang mempunyai kemampuan untuk meneliti; maka ia melihat dua pendapat tersebut dan merajihkan (menguatkan) yang sesuai dengan dalil. Dahulukanlah apa yang ditunjukkan oleh dalil!!

Oleh karena itu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullaah- berkata dalam sebagian perkataan beliau: “Dalam masalah tarjih (menguatkan pendapat) tidaklah kita katakan: ‘kita harus mengambil perkataan ulama yang paling berilmu’, karena bisa jadi orang yang lebih berilmu pendapatnya justru marjuh (lemah).”

Kalau hal ini diterapkan; maka berarti setiap ada dua ulama yang berselisih; maka kita katakan: ulama ini yang lebih berilmu; maka pendapatnya lah yang paling rajih (kuat). (Ini tidak benar), yang benar adalah: meneliti pendapat-pendapat tersebut.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah merajihkan (menguatkan) pendapat-pendapat -dalam sebagian permasalahan- yang menyelisihi imam-imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad).

Dan banyak dari ahli ilmu yang lebih merajihkan (menguatkan) pendapat-pendapat yang menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas ulama). Jumhur berpendapat demikian dan ada seorang ulama yang berpendapat lain, dan ternyata pendapat yang rajih (kuat) justru pendapat ulama ini.

Baca Juga  Macam-Macam Ikhtilaf

Jadi, (sekali lagi) yang dianggap adalah: (yang sesuai dengan) dalil.

2. Jika seorang tidak memiliki kemampuan untuk mentarjih (menguatkan); maka yang asal adalah dia mengambil pendapat ulama yang paling berilmu. Jika seorang tidak memiliki kemampuan untuk mentarjih (menguatkan); maka tidak diragukan lagi bahwa yang didahulukan adalah: Ulama Kibar.

3. Saya berpendapat bahwa penyebutan Ulama dengan mensifatinya bahwa mereka dari Sa’udi atau negeri lain: ini tidak berkaitan dengan hukum. Maka senantiasa saya katakan: kita mengungkapkan sesuatu dengan hakikat-hakikat (istilah-istilah) syar’i, dengan lafazh-lafazh syar’i. Jangan sebutkan: Ulama dari Sa’udi, atau: penuntut ilmu dari Indonesia. Sa’udi dan Indonesia ini buanglah dari perkataan. Sebutkanlah dengan sifat-sifat yang dapat berpengaruh: ulama kibar, atau: thalibul ‘ilmi shaghir.

Kalau engkau sebutkan Mufti (Sa’udi); maka sebutlah dengan: ‘alim kabir. Ulama (Hai-ah); Sebutlah mereka dengan: Ulama Kibar.

Sehingga engkau sebutkan: Ulama Kibar, dan engkau sebutkan: Ustadz -tanpa menyebutkan Indonesia-, tapi sebutlah bahwa ia seorang Ustadz.

Inilah cara yang senantiasa harus kita terapkan: kita menempatkan hukum-hukunm syar’i pada sifat-sifat yang syar’i; agar tidak terjadi cacat.

Na’am.

-diterjemahkan dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix

TADLIS (PEMALSUAN/PENIPUAN) DALAM ISTIFTA’ (MEMINTA FATWA)

Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- berkata dalam ceramahnya:
“Termasuk niat yang jelek (dalam minta Fatwa): ada sebagian orang ada yang memiliki penyimpangan, kebencian, dan hasad kepada sebagian ahli ilmu; sehingga orang ini memotong perkataan ahli ilmu tersebut agar terlihat salah, kemudian dia tanyakan (kepada Mufti/Syaikh): “Apa pendapat anda tentang orang yang mengatakan demikian dan demikian?” Kemudian menyebarkan jawabannya dengan diberi caption: (Syaikh) Fulan Membantah (Ustadz) Fulan.

Kalian sering sekali mendengar pertanyaan semacam ini, yang di baliknya ada niat yang jelek dan ada hasad, serta menimbulkan fitnah.

Baca Juga  Antara Taqlid Dan Ittiba'

Maka pertanyaan semacam ini hendaknya jangan dijawab. Dan hal semacam ini terjadi padaku bukan cuma sekali dua kali, bahkan berkali-kali.”

Syaikh Tarhib bin Rabi’an Ad-Dausari -hafizhahullaah- berkata dalam kitabnya:
“Penanya tidak boleh mengamalkan Fatwa dari Mufti: Jika…permasalahannya pada realitanya berbeda dengan apa yang difatwakan (oleh Mufti) dikarenakan tadlis (pemalsuan/penipuan) yang dilakukan oleh penanya pada pertanyaannya dan menyembunyikan sesuatu yang merusak kebenaran (realita)nya.”

-diterjemahkan dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix

  1. Home
  2. /
  3. A5. Sikap Terhadap Perselisihan
  4. /
  5. Bagaimana Jika Ustadz Indonesia...