Al-Haya’ (Sifat Pemalu)

Al- HAYA’  (SIFAT PEMALU)

اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

Al Haya’ (Rasa malu) tidak datang kecuali dengan kebaikan.”

Sesungguhnya di antara fenomena keseimbangan dan tanda-tanda kesempurnaan dalam tarbiyah bahwa engkau menemukan seorang mukmin yang kuat, teguh, bersifat malu, beradab dan tenang.

Malu yang terpuji adalah : Perilaku yang muncul atas meninggalkan yang tercela.[1] Seperti yang didefinisikan oleh Ibnu Hajar rahimahullah. Adapun taharuuj (merasa berat) dari amar ma’ruf dan nahi munkar, berani dalam kebenaran dan memahami agama, maka tidak termasuk sifat haya’`. Ini adalah sebagian yang disinggung oleh Ibnu Hajar rahimahullah saat membagi sifat haya’` kepada yang syar’i dan tidak. Ia berkata: ‘Haya’` yang syar’i adalah yang terjadi di atas jalur membesarkan dan menghormati terhadap orang-orang besar, itulah yang terpuji. Adapun yang terjadi disebabkan meninggalkan perintah syara’, maka ia adalah yang tercela dan bukan termasuk haya’` secara syara’, ia pada dasarnya adalah sifat lemah dan hina.’[2]

Tidak sepantasnya bersifat haya’` dalam menuntut hak, mengajar orang yang jahil, bertanya tentang sesuatu yang tidak kita ketahui….. Mujahid rahimahullah berkata:  ‘Tidak bisa menuntut ilmu orang yang pemalu dan yang sombong.  Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya tentang masalah agama.’[3] Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha bertanya dalam masalah-masalah kecil dalam hukum yang berkaitan dengan wanita, dan ia membuka pertanyaan dengan ucapannya: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak malu dari kebenaran.’ Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Maksudnya Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak menyuruh malu dalam kebenaran.’[4]

Dan siapa yang tidak diberikan sifat haya’` secara fitrah, ia dituntut untuk berusaha dan belajar dengannya. Terlebih lagi, sesungguhnya ia adalah akhlak utama bagi para pengikut agama ini. Sebagaimana disebutkan dalam hadits hasan:

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخُلُقُ اْلإِسْلاَمِ الحَيَاءُ

Sesungguhnya bagi setiap agama ada akhlak dan akhlak Islam adalah sifat haya’`”[5]

Dan disebutkan bahwa haya’` termasuk sunnah para rasul dan ia termasuk bagian dari iman:

اَلْحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِيْمَانُ فِى الْجَنَّةِ وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِى النَّارِ

“Haya’` termasuk bagian dari iman dan iman (balasannya) di surga. Dan ucapan cabul/jorok termasuk sifat tidak sopan dan tidak sopan itu di neraka.”[6]

Dan kekasih dan panutan kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam (lebih pemalu dari pada gadis perawan dalam biliknya).[7]

Setelah semua itu, apakah kita memilih sifat haya’` atau sifat jorok? Apakah kita berpakaian dengan iman atau tidak sopan? Dan apakah kita mengutamakan akhlak para penghuni surga atau akhlak para penghuni neraka?

Sungguh kaum jahiliyah –di atas kejahiliyahan mereka- merasa berat dari sebagian perbuatan jahat/buruk karena dorongan sifat haya’`. Di antaranya yang pernah terjadi bersama Abu Sufyah Radhiyallahu anhu di hadapan Heraqlius. Tatkala ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: ‘Demi Allah, jika bukan karena malu bahwa mereka menuduh aku berdusta niscaya aku berdusta tentang dia.’[8] Maka sifat haya’` menghalangi dia mengada-ada (berdusta) terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia tidak dikatakan pendusta. Di saat sekarang, kaum muslimin sangat membutuhkan akhlak ini dengan menjaga kata-kata dan menahan diri dari perbuatan keji dan syahwat dengan adanya rasa malu.

Engkau melihat laki-laki yang pemalu memerah mukanya apabila muncul darinya atau dari yang lain sesuatu yang berlawanan dari sifat haya’`: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu dari pada gadis perawan dalam biliknya dan apabila beliau tidak menyukai sesuatu hal itu terlihat dari wajahnya.’[9]

Dan termasuk sifat haya’` adalah yang terjadi karena membesarkan dan menghormati orang-orang besar: tidak adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat: ‘Sesungguhnya di antara pohon ada satu pohon yang tidak jatuh daunnya, dan ia seperti seorang muslim. Ceritakanlah kepadaku, apakah dia?’[10]

Baca Juga  Mengendalikan Syahwat

Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengetahui bahwa ia adalah pohon kurma dan merasa malu untuk menjawab dan dia memberikan alasan rasa malunya –seperti dalam beberapa riwayat hadits- bahwa ia melihat dirinya adalah yang paling muda dan ia melihat ada Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar Radhiyallahu anhu yang tidak berbicara, maka ia tidak senang berbicara.’[11] Alangkah lapangnya dada masyarakat tersebut yang merasa malu padanya yang muda dari yang tua, dan manusia berinteraksi dengan saling menghormati dan menghargai.

Sifat haya’` itu sendiri merupakan penjaga dari terjerumus dalam perbuatan maksiat. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat mencela saudaranya karena sifat malunya. Seolah-olah ia berkata: Sifat haya’` telah merugikanmu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ

Biarkanlah dia, sesungguhnya sifat haya’ itu termasuk bagian dari iman.’[12]

Abu Ubaid al-Harawi berkata: maksudnya, sesungguhnya orang yang merasa malu terputus dengan sifat malunya dari perbuatan maksiat, maka jadilah ia seperti iman yang memutuskan di antaranya dan perbuatan maksiat.’[13] Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan secara umum dalam menjelaskan buah sifat haya’`, beliau bersabda:

اَلْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

Haya’ (malu) tidak datang kecuali dengan kebaikan.”

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bahwa ia adalah perhiasan bagi perilaku, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَاكَانَ الْفحْشُ فِى شَيْئٍ إِلاَّ شَانَهُ وَمَاكَانَ الْحَيَاءُ فِى شَيْئٍ إِلاَّ زَانَهُ

Tidak adalah yang keji pada sesuatu kecuali ia mengotorinya dan tidak ada sifat sifat haya’ pada sesuatu kecuali menghiasinya.”[14]

Dan fenomena sifat malu dalam masyarakat yang terkadang menyeret kepada kejahatan tidak bisa dikategorikan sifat haya’` yang terpuji, karena sifat haya’` itu tidak datang kecuali dengan kebaikan. Dan sifat mudarah (menjilat, mencari muka) terhadap sebagian tradisi masyarakat yang menyimpang tidak bisa dianggap sifat haya’`, karena sifat haya’ adalah hiasan bukan pengotor, sedangkan penyimpangan adalah inti perbuatan buruk dan kotor.

Sebagaimana sifat haya’` merupakan tatakrama bersama makhluk, maka ia merupakan adab (tatakrama) tertinggi bersama al-Khaliq (Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Pencipta). Disebutkan bahwa beberapa nabi seperti Adam Alaihissallam, Nuh Alaihissallam, dan Musa Alaihissallam diminta untuk memberi syafaat di hari kiamat dan umat manusia berkata kepada setiap orang dari mereka: ‘Berikanlah syafaat kepada kami di sisi Rabb-mu sehingga Dia melapangkan kami dari tempat kami ini. Ia (Adam Alaihissallam) berkata: ‘Aku tidak pantas –dan ia menyebutkan dosanya lalu merasa malu…Aku tidak pantas  – dan ia (Nuh Alaihissallam) menyebutkan permintaannya kepada Rabb-nya yang tidak pantas lalu merasa malu…..Aku tidak pantas – dan ia (Musa Alaihissallam) menyebutkan pernah membunuh jiwa yang tidak berdosa lalu ia merasa malu kepada Rabb-nya…[15] Semuanya merasa berat dan dihalangi oleh rasa malu untuk berani meminta syafaat.

Dan karena perasaan seorang mukmin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu melihatnya di atas semua kondisinya, maka sesungguhnya ia merasa malu dari Rabb. Karena itulah disebutkan dalam anjuran menutup aurat saat mandi di dalam kesendirian, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih pantas dirasakan malu dari-Nya dari pada manusia.”[16] Orang yang merasa malu dari Rabb-nya bahwa auratnya terbuka dalam kesendiriannya sudah pasti sifat haya’ (malu) menghalanginya dari perbuatan maksiat. Dan cukuplah dalam keutamaan sifat haya’ bahwa para nabi terdahulu memperingatkan hilangnya sifat haya’, agar seseorang tidak terjerumus dalam segala keburukan –dan tidak ada lagi penghalang baginya- seperti dalam hadits:

Baca Juga  Menangis Karena Allah

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Sesungguhnya sebagian dari yang ditemukan manusia dari ucapan para nabi terdahulu: ‘Apabila engkau tidak merasa malu maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.”[17]

Dan di antara beberapa hal yang dipahami dari hadits ini:

  1. Di mana engkau merasa berat dan takut mendapat dosa maka berhentilah, dan di mana hati merasa tenang dan engkau tidak merasa berat maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki.
  2. Orang yang sudah kehilangan sifat haya’ maka ia melakukan apa yang dia kehendaki, dan hendaklah ia memperhatikan setelah itu apa yang dilakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya.
  3. Tidak aneh apa yang kita lihat dari kemungkaran akhlak apabila kita sudah mengetahui bahwa pendorong sifat haya’ telah mati. Maka yang tidak bersifat malu –biasanya- melakukan apa yang dikehendakinya tanpa merasa malu kepada siapapun.

Kesimpulan:

  1. Sifat haya’` adalah perilaku yang muncul di atas meninggal yang buruk.
  2. Tidak menuntut ilmu atau menuntut hak bukan termasuk malu.
  3. Sesungguhnya bagi setiap agama ada akhlak dan akhlak islam adalah haya’.
  4. Umat jahiliyah mempunyai sifat haya’ yang menghalangi mereka dari sebagian perbuatan buruk.
  5. Termasuk sifat haya’ adalah menghormati yang lebih tua.
  6. Sifat haya’ menjaga dari terjerumus dalam perbuatan maksiat.
  7. Di antara sifat haya’ yang tertinggi adalah beradab bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Pencipta. Al Haya’ adalah pesan para nabi terdahulu.

[Disalin dari الحياء  Penulis Syaikh Mahmud Muhammad al-Khazandar , Penerjemah : Muhammad Iqbal Ghazali, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1]  Fathul Bari 1/522 saat mensyarahkan bab haya` dari kitab adab, hadits no. 6118
[2] Fathul Bari 1/229 saar mensyarahkan bab haya` dalam ilmu dari kitab iman.
[3]  Shahih al-Bukhari, kitab ilmu, dari tarjamah bab 50 (Fath 1/228)
[4]  Referensi yang sama, saat Ibnu Hajar menjelaskan potongan hadits 130 dari Shahih al-Bukhari.
[5]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3370/4181 (Hasan).
[6]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3373/4184 (Shahih).
[7] Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 77, hadits no. 6119 (Fath 10/521).
[8]  Shahih al-Bukhari, kitab permulaan wahyu, bab ke 6, hadits no. 7 (Fath 1/31).
[9]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3369 (Shahih)
[10]  Shahih al-Bukhari, kitab ilmu, bab ke 4, hadits no. 61.
[11]  Fathul Bari 1/146
[12]  Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 77, hadits no. 6118 (Fath 10/521).
[13] Dari Fathul Bari 10/522 saat menerangkan hadits 6118
[14]  Shahih Sunan Ibnu Majah 2/3374 (Shahih).
[15]  Shahih al-Bukhari, kitab tafsir, surah ke dua bab 1, hadits no. 4476 (Fath 8/160).
[16]  Dari Mu’allaqat al-Bukhari dalam kitab mandi, bab ke 20, Ibnu Hajar berkata dalam Fath 1/386: (Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Hakim)
[17]  Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 78, hadits no.6120 (Fath 10/523).

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Dakwah Akhlak...
  4. /
  5. Al-Haya’ (Sifat Pemalu)