Keutamaan Puasa

KEUTAMAAN PUASA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :((قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ,وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ. وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ صَوْمِهِ))مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذََا لَفْظُ رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لَهُ: يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ، اَلصِّيَامُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا وَ فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : (إِلاَّ الصَّوْمَ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أجْلِي). لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ . وَلَخُلُوْفُ فِيْهِ أطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ المِسْكِ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.’Puasa adalah perisai. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor/keji (cabul) dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya atau mengajak bertengkar, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi Allâh yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allâh daripada aroma minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.’”[Muttafaq ‘alaihi, dan ini lafazh al-Bukhâri]

Dalam suatu riwayat lain imam al-Bukhâri, “Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Setiap satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipatnya.”

Dalam riwayat Muslim, “Semua amalan anak Adam dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa.Sesungguhnya puasa itu untuk Aku, dan Aku-lah yang membalasnya.Dia meningalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.’Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allâh daripada aroma minyak kesturi.”

TAKHRI HADITS.
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 1894, 1904, 5927, 7492, 7538); Muslim (no. 1151); Ahmad (II/232, 266, 273); Ibnu Mâjah (no. 1638); an-Nasa-i (IV/163-164), dan Ibnu Khuzaimah (no. 1896, 1900).

KOSA KATA HADITS
جُنَّةٌ : Benteng, pelindung dari api Neraka dan kemaksiatan.
اَلرَّفَثُ : Ucapan kotor dan keji.
الصَّخَبُ : Bertengkar dan berteriak.
خُلُوْفٌ : Perubahan bau mulut.

SYARH HADITS
Betapa agungnya hadits ini karena didalamnya disebutkan amalan secara umum, kemudian disebutkan puasa secara khusus, keutamaannya, kekhususannya, pahala yang akan diperoleh dengan segera maupun yang akan datang, penjelasan hikmahnya, tujuannya, dan apa-apa yang harus diperhatikan seperti adab-adab yang mulia. Semua hal tersebut tercakup dalam hadits ini.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pokok yang menyeluruh, bahwa semua amal shalih, dilipatgandakan (amal shalih tersebut) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan hingga berkali-kali lipat lebih dari itu.

Ini menunjukkan keagungan dan luasnya rahmat Allâh dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman, karena Allâh Azza wa Jalla membalas satu perbuatan buruk dan menyelisihi syari’at dengan satu balasan.

Adapun balasan kebajikan, maka pelipatgandaan minimal sepuluh kali, dan bisa lebih dari itu dengan sebab-sebab lain. Di antaranya yaitu kuatnya iman seorang hamba dan kesempurnaan ikhlasnya. Jika iman dan ikhlas semakin bertambah kuat, maka pahala amal shalih pun akan berlipat ganda.

Di antaranya juga yaitu amalan yang memiliki porsi besar, seperti berinfak dalam rangka jihad di jalan Allâh dan menuntut ilmu syar’i, serta berinfak untuk proyek-proyek agama Islam secara umum. Dan juga seperti amalan yang semakin kuat karena kebaikannya dan kekuatannya dalam menolak hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah orang yang tertahan dalam gua[1], dan kisah pezina yang memberi minum seekor anjing lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya[2]. Dan juga seperti suatu amalan yang dapat menumbuhkan amalan lain dan diikuti oleh orang lain. Dan juga seperti menolak bahaya-bahaya yang besar atau menghasilkan kebaikan-kebaikan yang besar. Dan juga seperti amalan-amalan yang berlipat ganda karena keutamaan waktu dan tempat, serta keutamaan seorang hamba di sisi Allâh Azza wa Jalla . Semua pelipatgandaan ini mencakup semua amalan.

Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan puasa dan menyandarkannya kepada-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang akan membalasnya dengan keutamaan dan kemuliaan-Nya, dengan tidak melipatgandakannya seperti amalan yang lain. Ini adalah suatu hal yang tidak dapat diungkapkan, bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak didengar oleh telinga, dan tidak terlintas dalam benak manusia.

Ulama berbeda pendapat tentang makna :

فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ

Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya

Padahal semua amal perbuatan adalah untuk Allâh Azza wa Jalla dan Dia-lah yang akan membalasnya, sebagai berikut:

  1. Pertama : Di dalam puasa tidak terdapat unsur riya’ sebagaimana yang terjadi pada ibadah lainnya.
  2. Kedua : Bahwa yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” adalah “Hanya Aku-lah yang mengetahui besarnya balasan orang tersebut dan berapa banyak kebaikannya dilipatgandakan. Adapun ibadah lainnya, karena ia dapat dilihat orang.”
  3. Ketiga: Yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” yaitu bahwa puasa adalah ibadah yang paling Aku cintai dan yang akan didahulukan di sisi-Ku.
  4. Keempat: Idhâfah (penyandaran) dalam redaksi ini merupakan idhâfah tasyrîf (kemuliaan) dan ta’zhîm (keagungan), sebagaimana dikatakan “Baitullah (rumah Allâh), meskipun seluruh masjid sebenarnya adalah milik Allâh.” az-Zain Ibnul Munayyir rahimahullah berkata, “Pengkhususan pada konteks redaksi umum seperti ini tidaklah dipahamiselain dengan makna pengagungan dan pemuliaan.”
  5. Kelima: Tidak membutuhkan makan dan syahwat-syahwat lainnya merupakan salah satu sifat Allâh Azza wa Jalla . Dan karena orang yang berpuasa mendekatkan dirinya dengan salah satu sifat-Nya, maka Dia pun menyandarkan ibadah tersebut kepada diri-Nya.
  6. Keenam: Maksudnya sama seperti di atas; hanya saja hal tersebut sesuai dengan sifat malaikat. Karena tidak membutuhkan makan dan tidak memiliki syahwat merupakan salah satu sifat mereka.
  7. Ketujuh: Maksudnya bahwa puasa tersebut murni hanya untuk Allâh Azza wa Jalla , dan tidak satu bagian pun dari ibadah tersebut yang ditujukan kepada sesama hamba. Demikian yang dikatakan oleh al-Khaththabi dan demikian pula pendapat yang dinukil oleh ‘Iyâdh dan yang lainnya.
Baca Juga  Kembali Kepada Ramadhan Kaum Salaf

Al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Ada dua hal yang menjadi alasan mengapa ibadah puasa diistimewakan dengan kelebihan seperti ini”.

  1. Pertama, karena ibadah-ibadah lainnya dapat dilihat oleh manusia, berbeda dengan puasa karena ia merupakan rahasia antara hamba dan Allâh Azza wa Jalla . Ia melakukannya dengan ikhlas dan mengerjakannya karena mengharap ridha-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hadits qudsi, الصَّوْمُ لِي yang artinya) , ‘Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku.
  2. Kedua, karena seluruh perbuatan baik dilakukan dengan cara mengeluarkan harta atau mempergunakan fisik. Sementara puasa mencakup pengekangan hawa nafsu dan membuat fisik menjadi lemah. Dalam ibadah puasa terdapat unsur kesabaran menahan rasa lapar, haus, dan meninggalkan syahwat. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi, yang artinya), ‘Dia meninggalkan syahwatnya karena-Ku.’”[3]

Para Ulama berkata, “Puasa dikecualikan karena ia mencakup tiga macam sabar, yaitu (1) sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allâh, (2) sabar (menjauh) dari maksiat kepada Allâh, dan (3) sabar terhadap takdir Allâh.”

Adapun sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allâh, yaitu seorang hamba membebani dirinya untuk berpuasa walaupun terkadang ia tidak menyukainya karena ada kesulitannya, bukan karena Allâh telah mewajibkannya. Jika seseorang membenci puasa karena Allâh mewajibkannya, maka akan semua amalnya akan terhapus. Seseorang yang tidak menyukai puasa karena sulit, namun ia tetap memaksa dirinya untuk berpuasa, ia bersabar (menahan diri) dari makan, minum, dan jima’ karena Allâh Azza wa Jalla .Oleh karena itu disebutkan dalam hadits qudsi di atas, Allâh berfirman :

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ

Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.”

Sedangkan sabar (menahan diri) dari maksiat kepada Allâh, ini didapat dari orang yang berpuasa, karena ia menyabarkan dirinya dan menjauhkan dirinya dari berbuat maksiat kepada Allâh. Ia menjauhi hal yang sia-sia, berkata kotor, bodoh, dusta, dan selainnya dari apa-apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala haramkan.

Adapun sabar terhadap takdir Allâh, yaitu seseorang diuji ketika ia berpuasa -apalagi jika pada musim panas yang panjang- dengan rasa malas, bosan, dan haus, tetapi ia tetap bersabar karena mengharapkan ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala .Ketika puasa mencakup tiga macam sabar tersebut, maka ganjarannya tidak terbatas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“…Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]

Hikmah dari pengkhususan tersebut yaitu bahwa orang yang berpuasa ketika dia meninggalkan hal-hal yang dicintai oleh hawa nafsunya karena Allâh, maka itu artinya ia telah mendahulukan kecintaannya kepada Allâh dari segala kecintaan jiwanya, ia lebih mengharap ridha-Nya dan ganjaran-Nya daripada meraih keinginan hawa nafsu. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dan menjadikan pahala orang yang berpuasa di sisi-Nya.

Coba Anda pikirkan, bagaimana dengan ganjaran dan balasan yang diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla , Yang Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahadermawan, Mahapemberi, yang pemberian-Nya menyeluruh kepada semua makhluk yang ada, lalu Allâh mengkhususkan untuk para wali-Nya bagian yang banyak dan sempurna, dan Allâh mentakdirkan buat mereka sarana yang dengannya mereka bisa meraih apa-apa yang ada di sisi Allâh berupa perkara-perkara yang tidak pernah terlintas dalam benak dan dalam khayalan?! Bagaimana dengan apa yang akan Allâh Azza wa Jalla lakukan kepada mereka, orang-orang yang berpuasa dengan ikhlas?!

Itulah karunia yang Allâh berikan kepada siapa yang dikehendaki

Hadits ini juga menunjukkan bahwa puasa yang sempurna yaitu jika seorang hamba meninggalkan dua perkara:

  1. Pertama, pembatal-pembatal puasa seperti makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan lainnya.
  2. Kedua, hal-hal yang mengurangi (kesempurnaan) amalan, seperti berkata kotor, jorok, cabul dan berteriak-teriak, mengerjakan perbuatan haram dan pembicaraan haram. Jauhkanlah semua maksiat, pertengkaran, dan perdebatan yang menyebabkan dendam. Karena inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Janganlah berkata kotor/keji (cabul).”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya, “Janganlah berteriak-teriak!” Yaitu perkataan yang menyebabkan fitnah dan permusuhan. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang lain:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allâh tidak butuh kepada (puasanya) yang hanya meninggalkan makan dan minumnya[4]

Barangsiapa menerapkan dua perkara tersebut di atas maka sempurnalah pahala puasanya. Siapa yang tidak menerapkannya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuki orang yang puasa bahwa apabila ada yang mengajak untuk bertengkar dan mencelanya, hendaklah ia mengatakan:

إِنِّي صَائِمٌ

Sesungguhnya aku sedang berpuasa

Faidahnya yaitu bahwa seakan-akan ia berkata, “Ketahuilah bahwa aku bukannya tidak bisa membalas apa yang engkau katakan, tapi sesungguhnya aku sedang berpuasa. Aku menghormati puasaku dan menjaga kesempurnaannya, serta perintah Allâh dan rasul-Nya. Dan ketahuilah bahwa puasa mengajakku untuk tidak membalas semua itu dan memerintahkanku untuk bersabar. Maka apa yang aku lakukan ini lebih baik dan lebih mulia dari apa yang engkau perbuat kepadaku, wahai orang yang mengajak bertengkar!”

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Baca Juga  Berhubungan Badan (Jima') Di Siang Ramadhan

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ

Puasa adalah perisai

Yaitu penjaga yang menjaga seorang hamba dari dosa-dosa di dunia, membiasakannya untuk mengerjakan kebajikan, dan menjaga dari siksa neraka.

Ini adalah hikmah syari’at yang paling agung dari faidah puasa, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman!Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [al-Baqarah/2:183]

Jadi, puasa menjadi perisai dan sebab untuk mendapat ketakwaan. Karena puasa mencegah dari perbuatan haram dan apa-apa yang dilarang serta memerintahkan untuk memperbanyak amal ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya

Kedua ganjaran ini, ganjaran pertama, segera didapat dan ganjaran kedua, ganjaran yang didapatkan di akhirat. Yang langsung didapat yaitu ketika orang yang berpuasa itu berbuka, ia gembira karena nikmat Allâh yang diberikan kepadanya sehingga bisa menyempurnakan ibadah puasanya.

Sedangkan ganjaran yang akan datang yaitu kegembiraannya ketika bertemu Rabb-nya dengan keridhaan-Nya dan kemuliaan-Nya.

Kegembiraan yang didapat langsung di dunia ini adalah contoh dari kegembiraan yang akan datang, dan Allâh akan mengumpulkan keduanya bagi orang yang berpuasa.

Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga menunjukkan bahwa orang yang berpuasa jika sudah mendekati waktu berbuka, maka ia mendapat kegembiraan. Itu merupakan balasan dari apa yang telah ia lalui pada siang hari berupa kesulitan menahan nafsu.

Ini untuk menumbuhkan semangat dan berlomba dalam berbuat kebaikan.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allâh daripada aroma minyak kesturi

al-Khulûf yaitu pengaruh bau dalam mulut ketika kosong dari makanan dan naiknya uap. Walaupun ini tidak disukai oleh orang, tapi janganlah engkau bersedih, wahai orang yang berpuasa! Karena sesungguhnya ia lebih wangi di sisi Allâh daripada minyak kesturi dan berpengaruh pada ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya. Dan semua yang meninggalkan pengaruh dalam ibadah berupa kesulitan dan ketidaksukaan, maka itu dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla . Dan kecintaan Allâh bagi orang Mukmin lebih didahulukan dari segala sesuatu.[5]

FAWAA-ID

  1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjamin balasan puasa seseorang dengan balasan yang istimewa
  2. Apapun yang berhubungan dengan ibadah puasa, baik kadar keikhlasan hamba, diterima atau tidak, maupun kadar jerih payah dalam melaksanakannya, hanya Allâh yang mengetahuinya.
  3. Semua amalan memiliki pahala tertentu, yang kemudian dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Karena pahala puasa tidak terbatas hitungannya.
  4. Puasa adalah benteng, sebagai pelindung dari api neraka dan dosa-dosa yang bisa menjerumuskan ke neraka, serta penghalang dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan syari’at. Oleh karena itu orang yang berpuasa wajib menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat serta menjauhkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
  5. Orang yang berpuasa tidak boleh berkata kotor, jorok, keji, cabul, perkataan yang membawa kepada persetubuhan, dan lainnya.
  6. Orang yang berpuasa tidak boleh berteriak-teriak, tidak boleh bertengkar, dan tidak boleh mengganggu orang lain.
  7. Orang yang berpuasa tidak boleh berkata bohong, dusta, membohongi dan menipu orang, dan lainnya.
  8. Orang yang terus menerus berbohong dan berlaku bodoh, ghibah, fitnah dan mengadu domba, maka Allâh Azza wa Jalla tidak butuh kepada puasanya.
  9. Orang yang berpuasa wajib menjaga lisannya dan anggota tubuh lainnya dari yang terlarang. Dia harus selalu taat, berdzikir, membaca al-Qur’ân, berdo’a, sedekah, dan ibadah lainnya.
  10. Puasa melatih dan mendidik diri untuk taat, membiasakan diri bersabar terhadap penyakit dan gangguan karena mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla .
  11. Boleh memberitahukan amal ketaatan kepada orang lain apabila dapat membuahkan maslahat dan menolak keburukan. Misalnya ucapan orang yang berpuasa, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Ucapan ini digunakan untuk menghindari kata-kata makian seseorang atau ajakan untuk bertengkar.
  12. Bau mulut orang yang berpuasa kelak di hari kiamat lebih harum aromanya dari aroma minyak kesturi.
  13. Orang yang berpuasa pasti bergembira dengan puasanya. Apalagi menjelang buka puasa, maka semua orang yang berpuasa bergembira karena makan, minum, jima’ yang halal yang tadinya tidak boleh dilakukan selama siang hari, menjadi boleh dengan terbenamnya matahari.
  14. Kegembiraan orang yang berpuasa di saat berbuka jangan sampai berlebihan sehingga melanggar syari’at.
  15. Orang yang berpuasa atau orang yang beribadah dengan ikhlas, jika ia gembira karena ibadahnya, maka kegembiraannya itu tidak mengurangi pahalanya sedikit pun di akhirat kelak.
  16. Kegembiraan yang sempurna didapatkan ketika bertemu Allâh Azza wa Jalla, yakni ketika orang-orang yang sabar dan yang berpuasa diberikan pahalanya secara utuh tanpa dibatasi oleh hitungan.

MARAAJI’:

  1. Kutubus sittah, Musnad Ahmad, dan Shahih Ibni Khuzaimah.
  2. Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, al-hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
  3. Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi.
  4. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  5. Bahjatu Qulûbil Abrâr bi Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
  6. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
  7. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. al-Bukhâri, no. 2272 dan Muslim, no. 2743 [100].
[2] HR. al-Bukhâri, no. 3467 dan Muslim, no. 2245
[3] Diringkas dari Fat-hul Bâri (IV/107-108).
[4] HR. al-Bukhâri, no. 1903 dan 6057, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5] Bahjatu Qulûbil Abrâr bi Syarh Jawâmi’il Akhbâr, hlm. 191-196, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Syarh Riyâdhis Shâlihîn,hlm. 267, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin