Syubhat Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
SYUBHAT PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Ustadz DR Muhammad Nur Ihsan MA
Peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam merupakan tradisi yang tidak asing di masyarakat kita, khususnya di kalangan kaum tradisional. Semua sepakat bahwa amalan atau ritual ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para salafush-shalih dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, dan juga tidak memiliki landasannya dalam al-Qur`ân dan Sunnah. Namun, setelah munculnya peringatan maulid terjadi perbedaan di kalangan mutakhirin, apakah dihukumi sebagai bid’ah madzmûmah (tercela) atau bid’ah hasanah ?
Para ulama ahlus-sunnah wal-jamâ‘ah sepakat bahwa peringataan maulid Nabi adalah bid’ah yang tercela, karena dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah. Adapun para penggalak ritual ini dan yang sejenisnya mengatakan bahwa peringatan tersebut bid’ah hasanah. Untuk melegitimasi pernyataannya dan memperkuat tradisi tersebut, mereka memaksakan diri mencari dalil-dalil dari al-Qur`ân dan Sunnah yang sekiranya mungkin bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk peringatan tersebut. Padahal jika dicermati, hakikatnya dalil-dalil yang dijadikan sebagai landasan mereka tidak menjelaskan tentang ritual tersebut, akan tetapi hanya sebagai syubhat yang digunakan untuk meyakinkan orang-orang awam.
Alhamdulillâh, tidak satupun syubhat yang disampaikan oleh ahlul-bi’dah, kecuali Allâh Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada para ulama ahlus-sunnah yang setia berjalan di atas manhaj salafush-shalih untuk menjelaskan kebatilan pendalilan mereka dan menyingkap tabir kesesatan dari syubhat tersebut. Juga tidak ada satu pun dalil dari al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîh yang mereka jadikan sebagai dalil menunjukkan kepada peringatan tersebut, sebab al-Qur`ân dan Sunnah adalah benar dan tidak menunjukkan kecuali kepada kebenaran.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Alhamdulillâh tidak ada bagi mubtadi’ (pelaku/pencetus bid’ah) di dalam al-Qur`ân hujjah yang shahîh, karena al-Qur`an datang untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan, dan membedakan antara petunjuk dengan kesesatan. Di dalamnya tidak terdapat kontradiksi dan perbedaan, karena ia datang dari Allâh, diturunkan dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.”[1]
Berikut beberapa syubhat yang dijadikan landasan oleh kaum tradisional untuk melegitimasi bid’ah peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Syubhat-syubhat tersebut kemudian dijawab dengan merangkum dari beberapa jawaban para ulama ahlus-sunnah dalam tulisan-tulisan mereka yang mencela dan mengingkari tradisi seperti ini.
Syubhat Pertama
Allâh memberkati dan mengagungkan hari dan tanah kelahiran para nabi. Lihatlah keterangan dalam hadits yang mengaitkan kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Nabi Adam, dan lain lain. maka apalagi dengan hari kelahiran Rasûlullâh. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat Rasûlullâh memuliakan hari kelahirannya.
Jawaban:
Kebatilan syubhat di atas ditinjau dari beberapa sisi, adalah sebagai berikut:
Pertama. Pernyataan bahwa Allâh memberkati dan mengagungkan hari dan tanah kelahiran para nabi.
Kemungkingan yang mereka maksud ialah seperti disebutkan dalam firman Allâh Ta’ala yang mengagungkan maqom Ibrahim Alaihissallam dan perintah untuk menjadikannya sebagai tempat shalat. Firman Allâh Ta’ala:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Dan jadikanlah maqom (bekas telapak kaki) Ibrahim sebagai tempat shalat. [al-Baqarah/2:125].
Akan tetapi perlu diketahui, bahwa dalil pengambilan landasan ibadah dan ketaatan adalah dari al-Qur`ân dan Sunnah, bukan pendapat dan perasaan atau mengada-adakan perkara yang baru. Sehingga sesuatu atau tempat atau waktu yang diagungkan oleh Allâh dan Rasul-Nya, maka kita wajib juga untuk mengagungkannya; jika tidak, maka seseorang juga dilarang untuk mengagungkan hal itu. Adapun maqom Nabi Ibrahim Alaihissallam, sungguh tidak diragukan bahwa Allâh telah mengagungkannya dan memerintahkan untuk menjadi tempat shalat, dan Allâh tidak memerintahkan untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan menjadikannya sebagai waktu yang diagungkan dengan ritual-ritual dan tradisi-tradisi yang tidak ada landasanya dalam Islam.
Kedua. Adapun men-qiyas-kan (menganalogikan) hari dan tanah kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan disyariatkan shalat di maqom Ibrahim, maka qiyas seperti ini merupakan analogi sangat batil, dan sejenis dengan qiyas orang-orang yang mengatakan bahwa jual beli itu seperti riba.
Tidak diragukan, mengagungkan tempat-tempat yang berkaitan dengan para nabi dan peninggalan orang-orang shalih merupakan sarana kesyirikan yang sangat besar. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburannya dijadikan sebagai tempat beribadah (perayaan) dan melarang menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat ibadah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang melakukan hal itu, sebagaimana yang tertera dalam hadits-hadits yang shahîh.
Bahkan dalam riwayat yang shahîh dijelaskan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, tatkala mendengar sebagian kaum muslimin mendatangi sebatang pohon yang terjadi di bawahnya Bai’atur-Ridhwan, maka beliau Radhiyallahu anhu memerintahkan untuk memotong pohon tersebut,[2] karena kekhawatirannya terhadap terjadinya fitnah disebabkan oleh pohon tersebut.
Dari al-Ma’rûr bin Suwaid rahimahullah, beliau menuturkan:
Kami pergi bersama Umar dalam sebuah perjalanan haji. Tatkala beliau Radhiyallahu anhu telah selesai melaksanakan haji kemudian pulang. Dalam perjalanan beliau Radhiyallahu anhu melihat sebagian kaum Muslimin bergegas mendatangi sebuah tempat. Melihat hal itu, Umar Radhiyallahu anhu bertanya, “Tempat apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah masjid (tempat shalat) yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di dalamnya.”
Beliau Radhiyallahu berkata :
هَكَذَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ، اتَّخَذُوا آثَارَ أَنْبِيَائِهِمْ بِيَعًا، مَنْ عَرَضَتْ لَهُ مِنْكُمْ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ، وَمَنْ لَمْ تَعْرِضْ لَهُ مِنْكُمْ فِيهِ الصَّلَاةُ فَلَا يُصَلِّ
Beginilah ahlul–kitab (Yahudi dan Nasrani) celaka, mereka menjadikan tempat–tempat peninggalan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Barangsiapa di antara kalian kedatangan shalat pada tempat tersebut, maka shalatlah; jika tidak kedatangan shalat pada tempat tersebut, maka jangan sengaja mendatanginya untuk shalat.[3]
Perhatikanlah, bagaimanakah sikap Khalifah Umar Radhiyallahu anhu –seorang shahabat yang mendapat ilham dari Allâh Azza wa Jalla ? Beliau Radhiyallahu anhu mengingkari orang yang dengan sengaja mendatangi tempat yang pernah dijadikan tempat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memotong pohon tempat terjadinya Bai’atur-Ridwan. Sekiranya mengagungkan tempat-tempat yang berkaitan dengan sebagian para nabi dan menjadikannya sebagai tempat ibadah sebagai sesuatu yang diperbolehkan dan disyari’atkan, maka tentu Umar Radhiyallahu anhu tidak akan memotong pohon tersebut dan tidak kan melarang orang mendatangi tempat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Begitu juga sikap para ulama Islam dari kalangan salafush-shâlih, mereka membenci mendatangi dengan sengaja tempat-tempat shalat Nabi dan peninggalan-peninggalan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan ibadah pada tempat tersebut. Hal itu mereka lakukan untuk menutup peluang terjadinya fitnah yang dapat merusak akidah umat.
Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menjelaskan bahwa Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan yang lain dari kalangan Ulama Madinah membenci (tidak menyukai) sikap mendatangi masjid-masjid dan peninggalan-peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kecuali masjid Quba` dan (kuburan) Uhud. Saya mendengar mereka menyebutkan bahwa Sufyân ats-Tsauri masuk ke dalam masjid Baitul-Maqdis (masjid al-Aqsha) dan melaksanakan shalat di dalamnya dan tidak mendatangi tempat-tempat peninggalan tersebut dan shalat padanya. Begitu juga yang dilakukan oleh yang lain dari kalangan Ulama yang menjadi panutan. Begitu juga Waki’ bin Jarrah mendatangi masjid Baitul-Maqdis dan tidak melebihi apa yang dilakukan oleh Sufyân.
Kemudian Imam Ibnu Wadhdhah menambahkan:
Hendaklah kalian mengikuti para imam yang terkenal dan telah mendapat petunjuk. Sungguh sebagian Ulama terdahulu (salaf) telah mengatakan, “Betapa banyak perkara pada hari ini telah dikenal oleh mayoritas orang sedangkan ia adalah perkara yang mungkar menurut generasi terdahulu; disenangi sedangkan ia adalah hal yang dibenci; dianggap sebagai ketaatan yang mendekatkan diri kepada Allâh, sedangkan ia adalah perkara yang menjauhkan dari-Nya. Setiap bid’ah terlihat indah dan menyenangkan[4]
Ketiga. Adapun pernyataan “lihatlah keterangan dalam hadits yang mengaitkan kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Nabi Adam, dan lain lain. Apalagi hari kelahiran Rasûlullâh. oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat Rasûlullâh memuliakan hari kelahirannya”.
Dalam penyataan ini telah terjadi kekeliruan yang sangat fatal. Untuk lebih jelasnya, perlu disimak terlebih dahulu lafazh hadits yang dibawakan oleh para penyelenggara peringatan maulid :
عَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ الثَّقَفِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ : مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَفِيهِ قُبِضَ
Dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi Radhiyallahu anhu, beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diantara hari-hari kalian, yang paling utama adalah hari Jum’at; pada hari tersebut diciptakan Adam dan pada hari itu juga beliau diwafatkan[5]
Mencermati hadits yang mulia ini, di dalamnya disebutkan dengan nyata bahwa Adam diciptakan pada hari Jum’at, sedangkan dalam pernyataan di atas disebutkan “…kemuliaan hari Jum’at dengan kelahiran Adam”; setiap yang memiliki akal sehat pasti memahami perbedaan antara dua kalimat tersebut, yaitu diciptakan dan dilahirkan.
Berdasarkan lafazh yang dinukil para penggemar maulid, maka pertanyaan yang harus mereka jawab adalah, siapakah yang melahirkan Adam? Siapakah ayahnya? Dan siapakah ibunya?
Tentu suatu kebatilan yang sangat nyata dan kebodohan yang sangat besar, jika ada yang mengatakan bahwa Adam q dilahirkan. Dan kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejahilan seperti ini. Karena dalam aqidah kaum Muslimin, bahwa Adam Alaihissallam diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla dengan kedua tangan-Nya dari tanah. Tatkala telah sempurna penciptaannya, maka Allâh Azza wa Jalla meniupkan kepadanya ruh, kemudian para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, dan mereka seluruhnya bersujud kecuali Iblis.
Pernyataan mereka yang merubah lafazh hadits Rasûlullâh فيه خلق آدم (pada hari Jum’at diciptakan Adam) dengan lafazh فيه ولد آدم (pada hari Jum’at dilahirkan Adam), yang dalam pernyataan di atas tertulis “…kemulian hari Jum’at dengan kelahiran Adam”.
Ini adalah bentuk kebohongan yang nyata atas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang sengaja berbohong atas (nama)ku, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka.[6]
Keempat. Tidak diragukan bahwa hari Jum’at adalah hari yang mulia di sisi Allâh, akan tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari tersebut dengan sesuatu amalan sunnah apapun, bahkan beliau telah melarang mengkhususkan siangnya dengan puasa dan malamnya dengan qiyamul-lail (tahajjud), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhnu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَخُصُّوا لَيْلَة الْجُمْعَة بِقِيَامٍ مِنْ بَيْن اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْم الْجُمْعَة بِصِيَامٍ مِنْ بَيْن الْأَيَّام , إِلَّا أَنْ يَكُون فِي صَوْم يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ رواه مسلم.
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan qiyamul-lail diantara malam-malam yang lain, dan jangan pula kalian khususkan hari Jum’at dengan puasa diantara hari-hari yang lain, kecuali apabila seorang berpuasa pada hari itu.[7]
Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari Jum’at –sedangkan hari itu adalah hari yang mulia- dengan sesuatu dari amalan-amalan sunat disebabkan Adam diciptakan pada hari tersebut, bahkan melarang mengkhususkannya dengan ibadah tertentu. Dari sisi mana para pelaku bid’ah peringatan maulid Nabi berdalil dengan kemulian hari Jum’at untuk meligitimasi ritual peringatan hari kelahiran Nabi? Demikian ini bentuk analogi yang batil, dan sisi pendalilannya pun sangat rancu.
Kelima. Sebagaimana dimaklumi tentang prinsip agama Aslam, bahwa landasan ibadahnya adalah wahyu, bukan akal, logika atau pun bid’ah. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan hari kelahirannya dengan sesuatu apapun dalam hal amal shalih dan ibadah, maka tentu seseorang juga tidak dibolehkan mengada-adakan amalan (ritual) yang tidak diijinkan oleh Allâh dan tidak diamalkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal itu merupakan perbuatan bid’ah yang tertolak. Sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ .. وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.[8]
Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka ia tertolak (tidak diterima).“[9]
_______
Footnote
[1] Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq: Sami Salamah, Cet. Dar Thaibah, 1/144.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (2/120, no. 7.545).
[3] Ibid, (2/151, no. 7.550).
[4] Kitab al-Bida’ wan-Nahyu ‘anha, hlm. 88.
[5] HR Abu Dawud (no. 1.047) dan Ibnu Majah (no. 1.085).
[6] HR Bukhâri (no. 107), dan Muslim (no. 3).
[7] HR Muslim, no. 1.144.
[8] HR Bukhâri (no. 2.697) dan Muslim (no. 1.718).
[9] HR Muslim, no. 1.718.
Syubhat Kedua
Pentingnya memperingati maulid Nabi adalah bertolak dari kisah Abu Lahab, paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerdekakan budaknya bernama Tsuwaibah al-Aslamiyyah pada hari kelahiran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu girangya Abu Lahab atas kelahiran keponakannya yang bernama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia memerdekakan Tsuwaibah al-Aslamiyyah yang sekaligus berlaku sebagai orang pertama yang menyusui Muhammad.
Jawaban:
Kisah Abu Lahab di atas tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dikarenakan beberapa hal berikut.
Pertama. Kisah ini merupakan riwayat yang mursal (diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) yang tidak shahîh, bukan kisah yang maushûl (yang diriwayatkan langsung oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Riwayat yang mursal tidak bisa dijadikan hujjah (dalil) untuk suatu amalan atau ritual sebagaimana dimaklumi di kalangan para ulama.
Kedua. Tidak terdapat riwayat shahîh yang menjelaskan Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan begitu juga bahwa Tsuwaibah mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi, kemudian Abu Lahab memerdekakannya disebabkan hal itu. Semua itu tidak benar. Barangsiapa yang mengatakan hal itu, maka hendaklah ia mendatangkan dalil shahîh tentang kebenaran dakwaannya.
Ketiga. Dalam kisah tersebut dijelaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah tatkala mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hal ini bertentangan dengan riwayat yang terdapat dalam kitab sirah bahwa Abu Lahab memerdekakannya sebelum Hijrah Rasul ke Madinah, dan itu terjadi setelah menyusui dengan selang waktu yang lama. Jadi, bukan ketika Tsuwaibah mengabarkan kepadanya tentang hal itu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yang terdapat di dalam (kitab-kitab) sejarah menyelisihi hal itu; yaitu Abu Lahab memerdekaan Tsuwaibah sebelum Hijrah; yang demikian itu setelah menyusui dengan waktu yang lama”.[1]
Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, ath-Thabaqât, meriwayatkan dari Muhammad bin Umar al-Wâqidiy dari banyak ulama, mereka menuturkan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan silaturrahmi kepada Tsuwaibah ketika beliau berada di Makkah, dan Khadijah juga memuliakannya sedangkan ia pada waktu itu masih berstatus budak. Beliau meminta kepada Abu Lahab untuk menjualnya untuk dimerdekakan, akan tetapi Abu Lahab tidak mau. Tatkala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hijrah ke Madinah, lalu Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengirimkan kepadanya (sesuatu) untuk menyambung silaturrahim dan pakaian, sampai datang berita wafatnya beliau pada tahun ketujuh saat kepulangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Khaibar[2]
Keempat. Apa yang dilakukan oleh Abu Lahab, saat ia dalam keadaan kafir, sama sekali tidak bermanfaat baginya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam banyak ayat, bahwa amalan orang-orang kafir akan sirna tidak ada gunanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25:23].
Dan firman Allâh:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَىٰ شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [Ibrâhim/14:18].
Kedua ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa amalan orang-orang kafir akan sirna dan tidak bermanfaat selama mereka berada dalam kekafiran. Allâh Azza wa Jalla menjadikan amalan tersebut bagaikan debu yang beterbangan.
Jika demikian amalan orang-orang kafir, maka pantaskah hal itu dijadikan sebagai landasan untuk memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sungguh bentuk pendalilan yang sangat aneh, rancu, dan rapuh.
Kelima. Dalam sebagian perkataan mereka yang melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kisah Abu Lahab menyebutkan, bahwa “Abu Lahab mendapatkan keringanan adzab setiap hari Senin disebabkan ia memerdekakan Tsuwaibah ketika mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Pendapat ini juga merupakan perkataan batil dan riwayat yang tidak shahîh, karena bertentangan dengan al-Qur`ân. Sungguh, di dalam al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang menjelaskan bahwa adzab tidak akan diringankan atau pun dikurangi bagi orang-orang kafir, diantaranya firman Allâh:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَىٰ عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ ﴿٣٦﴾ وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ ۚ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Dan orang-orang kafir bagi mereka Neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun. [Fâthir/35:36-37].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُونَ ﴿٧٤﴾ لَا يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَهُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ ﴿٧٥﴾ وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَٰكِنْ كَانُوا هُمُ الظَّالِمِينَ ﴿٧٦﴾ وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ ۖ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ ﴿٧٧﴾ لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam adzab Neraka Jahannam. Tidak diringankan adzab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan diantara kamu benci pada kebenaran itu. [az-Zukhruf/43:74-78].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ ۖ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا ۖ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا﴿٩٧﴾ذَٰلِكَ جَزَاؤُهُمْ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا وَقَالُوا أَإِذَا كُنَّا عِظَامًا وَرُفَاتًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا
Barangsiapa yang Dia sesatkan maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah Neraka Jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka) berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?” [Al-Isra/17:97-98]
Ketiga ayat di atas berlaku bagi Abu Lahab, karena ia telah kafir kepada Allâh. Yakni, telah datang kepadanya kebenaran dan petunjuk, akan tetapi ia menolak dan berpaling serta membencinya, memusuhi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa kebenaran tersebut. Allâh sama sekali tidak akan meringankan adzab baginya. Bahkan dalam ayat lain Allâh Azza wa Jalla berfirman :
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ﴿١﴾مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ﴿٢﴾سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaidah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. [al-Lahab/al-Masad/111:1-3].
Keenam. Sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab sejarah, Abu Lahab merupakan orang yang paling membenci dan memusuhi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, bahkan menyakitinya dengan cara berlebihan.
Sekiranya terbukti Abu Lahab bergembira dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memerdekaan Tsuwaibah yang mengabarkan kepadanya tentang hal itu, maka hal ini sama sekali tidaklah berguna baginya, karena kebencian dan permusuhannya yang berlebihan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan seluruh bentuk kegembiraan dan kebaikannya dalam memerdekaan Tsuwaibah dan amalan-amalannya yang lain, karena ia tidak beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya. Sehingga jelaslah, tidak ada yang berdalil dengan kegembiraan Abu Lahab yang kafir itu untuk melegitimasi perayaan maulid, kecuali orang-orang yang jauh dari kebenaran dan petunjuk.
Ketujuh. Seandainya terbukti kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai keponakannya, maka itu hanya sekedar kegembiraan biasa yang merupakan tabiat manusia, bukan kegembiraan bersifat ibadah yang bermanfaat.
Seseorang bergembira dengan kelahiran anak saudaranya dan karib kerabatnya, akan tetapi ini tidak bermanfaat di sisi Allâh. Kegembiraan yang berpahala dan bermanfat adalah kegembiraan karena Allâh. Sedangkan kegembiraan seorang mukmin dengan kelahiran Nabi adalah sesuatu yang senantiasa menyertai dirinya, karena ini salah satu konsekuensi dari kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menuntut seseorang meneladani beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala aspek kehidupan, bukan mengada-adakan dalam agama, seperti peringatan maulid Nabi yang tidak ada landasannya dalam al-Qur`an maupun Sunnah.
_______
Footnote
[1] Fathul-Bâri, 9/145.
[2] Ath-Thabaqât al-Kubrâ, Cet. Dar Shâdir, Beirut, 1/108-109.
Syubhat Ketiga
Alasan yang bersifat sosiologis, bahwa peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wasilah untuk melaksanakan berbagai kebaikan, apalagi tradisi masyarakat kita yang selalu melaksanakan bersama-sama.
Jawaban:
Alasan seperti ini juga merupakan kebatilan yang tidak ada nilainya dalam perspektif al-Qur`ân dan Sunnah, karena beberapa hal berikut.
Pertama. Bahwasanya landasan beragama adalah al-Qur`ân dan Sunnah, bukan keadaan sosial suatu masyarakat dan tradisi yang berkembang di kalangan mereka, atau warisan para leluhur. Semua itu merupakan landasan sangat rapuh dan alasan yang batil.
Allâh Ta’ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A’râf/7:3].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil-amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Dan apa yang dibawa oleh Rasul maka ambil-lah, dan apa yang dicegahnya maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59:7].
Juga ayat-ayat lain yang senada dengan ayat-ayat di atas yang memerintahkan untuk mengikuti wahyu dari Allâh dan Rasul-Nya, dan larangan mengikuti hawa nafsu.
Begitu juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam banyak hadits telah memerintahkan untuk mengikuti sunnah-nya, diantaranya sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَعَليْكُمْ بسُنَّتِي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيِّنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ؛ فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Ikutilah oleh kalian sunnah-ku dan sunnah para khulafa ar-rasyidîn yang telah mendapat petunjuk sepeninggalku. Gigitlah (peganglah) sunnah tersebut dengan gigi gerahammu, dan tinggalkan olehmu perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.[1]
Demikian pula hadits-hadits lain yang banyak memerintahkan untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan melarang mengada-adakan dalam agama. Termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama adalah menjadikan sosiologi (perilaku dan perkembangan masyarakat) sebagai landasan dalam beragama.
Kedua. Berdalil dengan tradisi untuk melegitimasi suatu amalan dan ritual merupakan wujud pendalilan yang sangat rancu dan keliru. Yang seperti itu tiada lain adalah dalil untuk menentang kebenaran dan menolak petunjuk dari kalangan orang-orang musyrikin, munafikin dan yang mengikuti langkah-langkah mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam banyak ayat di dalam al-Qur`ân, diantaranya:
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allâh dan mengikuti Rasul,” mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? [al-Mâ-idah/5:104].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? [al-Baqarah/2:170].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allâh,” mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqman/31:21]
Ketiga. Sesungguhnya ukuran (barometer) kebenaran bukan terletak pada banyaknya masyarakat dan kebersamaan mereka dalam melakukan suatu amalan atau ritual, karena mayoritas manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan, sebagaimana firman Allâh Ta’ala yang melarang Nabi-Nya agar tidak mengikuti mayoritas penduduk bumi:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6:116].
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman -walaupun kamu sangat menginginkannya-. [Yusuf/12:103].
Akan tetapi takaran kebenaran adalah kecocokan suatu perkara atau pendapat dengan al-Qur`ân dan Sunnah kendati pengikut dan pelakunya sedikit. Wallâhu a’lam.
Keempat. Dalam Islam, hubungan antara wasilah dengan tujuan sangatlah erat. Bahkan wasilah dalam agama dihukumi dengan hukum tujuan, sebagaimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan :
الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
Hukum perantara sama dengan hukum tujuan
Namun, satu hal yang harus dipahami dalam perkara ini, bahwa wasilah (perantara) yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hendaklah wasilah yang baik dan tidak bertentangan dengan kaidah syari’at. Jika bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, maka wasilah tersebut tidak diperbolehkan oleh Islam. Sehingga untuk melaksanakan berbagai macam kebaikan, hendaklah menggunakan wasilah yang disyari’atkan oleh agama, bukan mengada-adakan wasilah bid’ah yang bertentangan dengan prinsip agama.
Demikian pula, tidak diragukan bahwa peringatan maulid merupakan wasilah yang masuk dalam kategori bid’ah dan menyelisihi Sunnah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafush-shâlih. Jika pelaksanaan peringatan tersebut wasilah syar’i, tentu para salafush-shâlih lebih dahulu menggunakannya karena mereka sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan bermacam kebaikan.
Perlu diketahui, bahwa kecintaan kepada Rasul, mengekspresikan kegirangan dan kegembiraan dengan kelahiran Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keinginan untuk melaksanakan kebaikan hendaklah dibuktikan dengan kesungguhan dalam mempelajari dan mengikitui ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , melaksanakan apa yang mampu dikerjakan dari sunnah-sunnah beliau, bukan dengan mengada-adakan hal-hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal ini pada hakikatnya bertentangan dengan makna kecintaan dan kegembiraan.
Fenomena yang tidak bisa dipungkiri, selama ini peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kepada banyak kesesatan dan menimbukan dampat negatif dalam keyakinan dan sikap orang-orang yang gemar melakukan ritual tersebut, seperti sikap berlebihan dalam memuji Rasul n , keyakinan tentang kehadiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam acara tersebut, dan dampak negatif lainnya. Bahkan jika sekiranya tidak ada bentuk kerusakan dalam acara tersebut kecuali hanya menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan salafush-shâlih dalam beragama, tentu hal itu pun telah cukup untuk menghukumi kebatilan peringatan tersebut. Bahkan orang-orang yang memperingati ritual tersebut menunjukkan, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik dalam masalah akidah, ibadah, akhlak, dakwah, dan lainnya, bahkan mereka lebih gemar melakukan tradisi-tradisi yang tidak ada landasan dalam agama daripada mengamalkan Sunnah yang telah jelas shahîh–nya. Jika demikian, maka kebaikan apakah yang akan didapatkan dalam menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melakukan peringatan maulid yang bid’ah?
Mencermati syubhat-syubhat yang dilontarkan para pendukung ritual maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nampaklah tidak ada satupun dalil yang digunakan mereka dalam melegitimasi peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut yang bisa dijadikan sebagai hujjah dalam pandangan ilmu syar’i yang berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush-shâlih.
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR Tirmidzi (no. 2.676) dan Ibnu Mâjah (no. 42).
- Home
- /
- B1. Topik Bahasan1 Tahlilan...
- /
- Syubhat Peringatan Maulid Nabi...