Adab-Adab Haji(2)

ADAB-ADAB HAJI

23. Disunnahkan memperbanyak doa di dalam haji dan umrah, sungguh pasti akan dikabulkan dan diberikan permintaannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، ودَعْوَةُ الوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ 

Ada tiga doa yang pasti dikabulkan, tidak diragukan padanya: doa orang yang teraniaya, doa orang yang safar, dan ayah untuk anaknya.”[1]

Dan orang yang berhaji memperbanyak doa, demikian pula di atas Shafa dan Marwah, di Arafah, di masy’aril haram setelah fajar, setelah melontar jumrah yang kecil dan tengah pada hari-hari tasyriq karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak membaca doa di enam tempat ini dan mengangkat kedua tangannya.[2]

24. Menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar sebatas kemampuan dan pengetahuannya. Ia harus berdasarkan ilmu dan pengertian terhadap yang diperintah atau dilarang, selalu dengan cara lembut. Tidak diragukan bahwa dikhawatirkan orang yang tidak mengingkari kemungkaran bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghukumnya dengan tidak diterima doa, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

والَّذي نَفسي بيدِهِ لتأمُرُنَّ بالمعروفِ، ولتَنهوُنَّ عنِ المنكرِ، أو ليوشِكَنَّ اللَّهُ أن يبعثَ عليكُم عقابًا منهُ، ثمَّ تَدعونَهُ فلا يَستجيبُ لَكُم.

Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diriku berada di tangannya, sungguh kamu menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, atau Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan siksa-Nya kepadamu, kemudian kamu berdoa, lalu Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak mengabulkan doamu.”[3]

25. Menjauhkan diri dari semua perbuatan maksiat, maka janganlah ia menyakiti seseorang dengan lisannya, tidak pula dengan tangannya. Janganlah ia berdesakan dengan para jamaah yang bisa menyakiti mereka. Jangan mengadu domba, jangan terjerumus dalam ghibah, jangan berdebat bersama temannya dan orang lain kecuali dengan yang lebih baik. Jangan berdusta, jangan berkata kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dia tidak mengetahui, dan berbagai macam perbuatan doa lainnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الـْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الـْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الـْحَجِّ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. [Al-Baqarah/2:197]

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الـْمُؤْمِنِينَ وَالـْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [Al-Baqarah/2 :58]

Perbuatan maksiat di tanah haram tidak seperti di tempat lain, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ الله وَالـْمَسْجِدِ الـْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلـْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya malakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih. [Al-Hajj/22:25]

26. Menjaga semua kewajiban dan yang terbesar adalah shalat pada waktunya secara berjamaah dan memperbanyak perbuatan ibadah seperti membaca al-Qur`an, zikir, doa, berbuat baik kepada orang lain dengan ucapan dan perbuatan, kasih sayang kepada mereka dan menolong mereka saat membutuhkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang dan saling menyayangi di antara mereka adalah seperti satu tubuh, apabila salah satunya mengeluh/sakit niscaya semua ikut merasakan dengan tidak bisa tidur dan badan panas.[4]

27. Berakhlak yang mulia, dan akhlak yang baik itu mencakup: sabar, lembut, tidak pemarah, perlahan, tidak terburu-buru dalam segala hal, rendah diri, pemurah, adil, teguh, kasih sayang, amanah, zuhud dan wara’, tepat janji, malu, jujur, berbuat kebajikan, iffah, rajin, muru`ah, dan karena pentingnya akhlak yang baik, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” [5]

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Sesungguhnya seorang mukmin bisa mendapat derajat orang yang puasa lagi shalat malam dengan akhlaknya yang baik.”[6]

28. Menolong yang lemah dan santun di dalam perjalanan: dengan jiwa, harta, kedudukan, dan membantu mereka dengan kelebihan harta dan yang lainnya yang diperlukan. Dari Abu Said Radhiyallahu anhu: ‘Sesungguhnya mereka (para sahabat) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ

‘Siapa yang mempunyai kelebihan punggung (punya kekuatan, kemampuan) maka hendaklah ia mendatangi orang yang lemah, dan barangsiapa yang punya kelebihan bekal maka hendaklah ia mendatangi orang yang tidak punya bekal.”

Lalu beliau menyebutkan  beberapa bagian harta sehingga kami beranggapan bahwa tidak ada hak bagi seseorang  dari kami dalam kelebihan (harta).[7]

Dan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di belakang dalam perjalanan, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolong yang lemah[8] dan membonceng serta mendoakan mereka.”[9] Ini menunjukkan kasih sayang beliau dan kesungguhannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membantu mereka, agar kaum muslimin mencontoh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terutama sekali para penjabat.

29. Segera pulang dan jangan menetap terlalu lama tanpa keperluan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

السّفَرُ قِطعَةٌ مِنَ العَذاب يَمنَعُ أحَدَكُم طَعامَه وشَرابَه ونَومَه فإذَا قَضَى أحَدَكُم نَهْمَتَهُ فلْيُعَجِّلْ إلى أهْلِه

Safar adalah satu bagian dari siksaan, seseorang darimu menahan makan, minum dan tidurnya. Maka apabila ia telah menyelesaikan keperluannya maka hendaklah ia segera pulang kepada keluarganya.”[10]

Baca Juga  Thawâf Ifâdhah

30. Saat pulang dari safarnya, disunnahkan membaca yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila pulang dari peperangan, atau haji, atau umrah: membaca takbir tiga kali di dataran tinggi, kemudian membaca:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ 

Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Kami) Kembali, bertaubat, beribadah, sujud, memuji kepada Rabb kami. Allah Subhanahu wa Ta’ala membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan tentara Ahzab (sekutu) sendirian-Nya.[11]

31. Apabila melihat kampung halamannya, dianjurkan membaca:

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ،  لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ

(Kami) Kembali, bertaubat, beribadah, sujud, memuji kepada Rabb kami.

Dan mengulangi kalimat itu sehingga memasuki hampung halamannya, berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[12]

32. Jangan datang kepada keluarganya di malam hari, apabila sudah lama pergi tanpa keperluan, kecuali apabila berita kedatangannya sudah sampai kepada mereka dan menyampaikan kepada mereka waktu kedatangannya di malam hari, berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki mengetuk pintu keluarganya di malam hari.”[13]

Di antara hikmahnya adalah yang disebutkan dalam riwayat yang lain: ‘Sehingga ia menyisir rambut yang kusut dan merapihkan dirinya.” dan dalam riwayat yang lain: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki mendatangi keluarganya di malam hari  agar ia tidak mengagetkan mereka atau memergoki mereka.”[14]

33. Dianjurkan bagi yang datang dari safar agar memulai dengan memasuki masjid yang ada di sampingnya dan shalat dua rekaat di dalamnya, berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، بَدَأ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila datang dari safar, memulai dengan memasuki masjid, lalu shalat dua rekaat di dalamnya.”[15]

34. Disunnahkan bagi musafir yang baru tiba, agar bersikap lembut kepada anak-anak dari keluarga dan tetangganya serta berbuat baik kepada mereka apabila mereka menyambutnya. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata: ‘Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Makkah, anak-anak dari bani Muthalib menyambut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat salah satunya dan yang lain di belakangnya.’[16] Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu berkata:

كَانَ  إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا  فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ  فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ

Apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari safar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, menemui aku dan Hasan Radhiyallahu anhu atau Husain Radhiyallahu anhu, lalu mengangkat salah satu dari kami di depannya dan yang lain di belakangnya sampai kami memasuki kota.”[17]

35. Dianjurkan membawa hadiah, karena menyenangkan hati dan menghilangkan permusuhan. Dianjurkan menerimanya dan memberi balasan atasnya. Dimakruhkan menolaknya tanpa alasan syar’i. Karena inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَهَادَوْا تَحَابُّوا

Hendaklah kamu saling memberi hadiah niscaya kamu saling mencintai.”[18]

Hadiah adalah penyebab kecintaan di antara kaum muslimin. Karena inilah sebagian mereka berkata:

Hadiah manusia, satu sama lain –  melahirkan keterkaitan di hati mereka

Diriwayatkan bahwa salah seorang jemaah haji pulang kepada keluarganya dan tidak membawa apa-apa untuk mereka. Maka salah seorang dari mereka marah lalu membaca sya’ir:

Jamaah haji saat ini tidak beribadah  – tidak membawa siwak dan tidak pula sendal darinya
Mereka datang kepada kami, maka tidak bermurah tangan dengan kayu arak –
Dan tidak pula meletakkan pemberian di telapak tangan anak kami.

Hadiah yang terindah adalah air zamzam karena ia penuh berkah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang air zamzam:

إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ [وَشِفَاءُ سُقْمٍ]

Sesungguhnya ia penuh berkah, sesungguhnya ia adalah makanan orang yang makan dan (pengobat sakit).”[19]

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia memarfu’kannya:

مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ

Air zamzam untuk sesuatu yang ia niatkan.[20]

Disebutkan bahwa;

كَانَ يَحْمِلُ مَاءَ زَمْزَمَ فِيْ الأَدَاوِيْ وَالْقِرَبِ وَكَانَ يَصُبُّ عَلىَ الْمَرْضَى وَيَسْقِيهِمْ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa air zamzam di bejana dan geriba (tempat air dari kulit), maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada yang sakit dan meminumkan mereka.[21]

36. Apabila musafir datang ke kotanya, disunnahkan berpelukan, berdasarkan perbuatan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كانوا إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا

Apabila mereka (para sahabat) bertemu, mereka saling bersalaman dan apabila mereka datang dari safar mereka saling berpelukan.”[22]

37. Dianjurkan mengumpulkan teman-teman dan memberi makan kepada mereka apabila datang dari safar, berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَحَرَ جَزُورًا أَوْ بَقَرَةً زَادَ مُعَاذٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مُحَارِبٍ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ اشْتَرَى مِنِّي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعِيرًا بِوَقِيَّتَيْنِ وَدِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمَيْنِ فَلَمَّا قَدِمَ صِرَارًا أَمَرَ بِبَقَرَةٍ فَذُبِحَتْ فَأَكَلُوا مِنْهَا

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhu: Sesungguhnya tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih unta atau sapi.” Mu’azd menambahkan dari Syu’bah,  dari Muharib, ia mendengar Jabir Radhiyallahu anhu berkata: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dariku satu ekor unta dengan dua uqiyah dan satu dirham atau dua dirham. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Shirar,[23] beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyembelih sapi, lalu disembelih maka mereka memakannya…‘al-hadits.[24]

Makanan ini dinamakan (naqi’ah), yaitu makanan yang dibuat orang yang datang dari safar.[25]

Hadits ini dan yang senada menunjukkan anjuran bagi imam dan pemimpin untuk memberi makan kepada para sahabatnya apabila tiba dari safar, dan ia dianjurkan di sisi salaf.[26]

Baca Juga  Wasiat Emas Untuk Para Jamaah Haji

Inilah yang bisa ditulis berupa adab-adab haji dan umrah. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi taufik kepada semua jemaah haji dan umrah kepada yang dicintai dan diridhai-Nya. Semoga shalawat dalam salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya sekalian.

Ditulis oleh
Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani  19/10/1427 H.

[Disalin dari من آداب الحج  Penulis : Syaikh Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani,  Penerjemah Muhammad Iqbal A. Gazali. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1431]
_______
Footnote
[1]  HR. Abu Daud dalam kitab witir, bab doa di belakang no.1536, at-Tirmidzi dalam kitab Biir dan Shilah, bab doa kedua orang tua no. 1905, Ibnu Majah dalam kitab doa, bab doa ayah dan doa orang yang teraniaya no. 3862, Ahmad 3/258, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 4/344 dan yang lainnya.
[2]  Lihat Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim 2/227 dan 286.
[3]  HR. At-Tirmidzi, kitab al-Fitan, bab amar ma’ruf nahi mungkar no. 2169, Ibnu Majah dan Ahmad dan dihasan oleh at-Tirmidzi serta dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 2/460
[4] Muttafaqun ‘alaih, kitab adab, bab kasih kepada manusia dan binatang, no. 6011, dan Muslim dalam kitab Bir dan shilah dan adab, bab kasih sayang kaum mukminin, dan saling mendukung di antara mereka no. 2586
[5] HR. Abu Daud dalam kitab sunnah, bab dalil bertambah dan berkurangnya iman no. 4682, at-Tirmidzi dalam kitab menyusui, bab hak wanita terhadap suaminya, no. 1162, dan ia berkata: hadits hasan shahih, Ahmad dalam Musnadnya  2/250, 472, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/3, dan ia berkata: hadits shahih menurut syarat  Muslim dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 284 dan Shahih at-Tirmidzi 1/594.
[6] HR. Abu Daud dalam kitab adab, bab husnul khuluq no. 4798, dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 3/911 dan shahih al-Jami’ no. 1932.
[7] HR. Muslim dalam kitab luqathah (barang temuan), bab dianjurkan menolong dengan kelebihan harta no. 1728.
[8]  Makna juzji gha’if: menggiring dan mendorongnya sehingga bisa menyusul teman-teman. Lihat: Nihayah fi gharibil hadits karta Ibnul Atsir 2/297.
[9] HR. Abu Daud dalam kitab jihad, bab luzum Syaaqqah, no. 2639, al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/115 dan ia berkata: Shahih menurut syarat Muslim dan keduanya tidak mengeluarkannya, disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud 2/500 dan ash-Shahihah 2120.
[10] HR.al-Bukhari dalam kitab umrah, bab safar sebagian dari siksaan, no. 1804, Muslim dalam kitab imarah, bab safar sebagian dari siksaan dan disunnahkan pulang kepada keluarganya setelah menyelesaikan tugasnya no. 1927.
[11] HR. al-Bukhari, kitab Umrah, bab yang dibaca saat kembali dari haji no. 1797 dan Muslim dalam kitab haji, bab yang dibaca saat pulang dari haji dan yang lainnya no. 1344
[12]  HR. Muslim dalam kitab haji, bab yang dibaca saat menaiki kenderaan melaksanakan haji dan yang lainnya no. 1342.
[13]  Maksudnya, jangan masuk kepada mereka di malam hari apabila tiba dari safar.
[14]  HR. al-Bukhari dalam kitab umrah, bab jangan mendatangi keluarganya apabila sampai kota, no. 1801, dan Muslim, kitab imarah, bab dibenci mendatangi keluarganya di malam hari bagi orang yang datang dari safar, no. 1928/183.
[15]  HR. al-Bukhari dalam kitab shalat, bab shalat apabila datang dari safar, setelah hadits no. 443,dan Muslim dalam shalat shalat musafir dan qasharnya, bab disunnahkan shalat dua rekaat di masjid apabila datang dari safar, no. 716.
[16] HR. Al-Bukhari, kitab umrah, bab menyambut orang haji yang datang dan tiga yang bertunggangan,no. 1798, dan dalam kitab pakaian dan tiga orang di atas tunggangan no.5965.
[17]  HR. Muslim, kitab keutamaan sahabat, bab keutamaan Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu anhu no. 2428/67, Abu Daud dalam kitab Jihad, bab tiga orang menaiki tunggangan no. 2566, dan Ibnu Majah, kitab adab, bab tiga orang di atas tunggangan no. 3773, lihat Fathul Bari  10/396.
[18] HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 6148, al-Baihaqi dalam sunan kubra 6/169 dan dalam Syu’abul Iman no. 8976, al-Bukhari Adabul Mufrad no. 594, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Talkhish Khabir 3/70: Isnadnya hasan. Demikian pula dihasankan oleh al-Albani dalam Irwaul Ghalil 1601.
[19]  HR. Muslim, kitab keutamaan sahabat, bab keutamaan Abu Dzarr no. 2473. yang di antara dua kurung diriwyatkan oleh al-Bazzar,al-Baihaqi, ath-Thabrani, dan isnadnya shahih. Lihat: Majma’ az-Zawaid 3/ 286.
[20] HR. Ibnu Majah, kitab manasik, bab minum air zamzam no. 3062, al-Baihaqi dalam Sunan Kubran 5/202, Ahmad dalam Musnadnya 3/372, dishahihlah oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 3/59 dan Irwaul Ghalil 1123, dan ash-Shahihah no. 883.
[21] HR. At-Tirmidzi, dalam kitab haji, bab 115 no. 963 secara ringkas dan Hakim dalam al-Mustadrak 1/485 dan dishahihkan oleh Syikha al-Albani dalam ash-Shahihah no. 883, dan Shahih Jami’ no. 4931.
[22]  HR. At-Thabrani dalam ausaht 5/262, dan Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ Zawaid 8/36 dan ia berkata: rijalnya adalah rijal shahih.
[23]  Nama tempat di luar kota Madinah, tiga mil darinya dari arah timur. Farhul Bari 6/194.
[24]  HR. Al-Bukhari dalam kitab Jihad dan sair, bab makan saat datang no. 3089, ini adalah lafazhnya, Muslim secara ringkas dalam kitab shalat para musafir dan qasharnya, bab disunnahkan dua rekaat bagi yang tiba dari safar no. 715/72.
[25]  Nihayah fi gharibil hadits wal atsar karya Ibnu Atsir 5/109, Qamus al-Muhith hal 992. lihat al-Mughni karya Ibnu Quddamah 1/191.
[26]  Dikatakan oleh Ibnu Baththalm seperti dalam Farhul Bari 6/194.