Asal-Muasal Perayaan Maulid Nabi

ASAL-MUASAL PERAYAAN MAULID NABI

Tidak diragukan bahwa para sahabat adalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, paling peduli dalam meneladaninya dan paling mengetahui sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diridoi Allah atas kepedulian dan kecintaan yang sangat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada berita sama sekali bahwa salah seorang dari mereka merayakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula tiga kurun pertama. Tidak terekam satupun berita yang tertulis di dalam kitab sejarah akan adanya perayaan itu pada kurun tersebut.

Ini membuktikan bahwa perayaan Maulid Nabi ada setelah masa generasi utama.

Pencetus bid’ah perayaan Maulid Nabi adalah sekte Batiniah. Lebih spesifik kaum yang merupakan peletak dasar dakwah batiniah yang disebut dengan Bani al-Qodâh. Mereka menyebut diri mereka dengan Fâtimiyîn, menisbatkan diri secara culas kepada putri Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Kakek mereka bernama Maimûn ibn Disôn al-Qodâh yang merupakan budak laki-laki dari Ja’far ibn Muhammad Shâdiq.

Maimûn berasal dari al-Ahwâz. Dia adalah pelopor mazhab Batiniah yang arogan di Irak. Kemudian pindah ke Magrib dan menasabkan diri kepada Uqoil ibn Abu Thalib dan mengklaim bahwa dia berasal dari keturunannya.

Ketika orang-orang Ghulat Râfidhah (Syi’ah ekstrim) menyambut seruan ajarannya, dia mengaku sebagai putra dari Muhammad ibn Ismail ibn Ja’far ash-Shâdiq. Orang-orang Syi’ah itupun menerimanya, dengan persepsi bahwa Muhammad ibn Ismail bin Ja’far ash-Shâdiq wafat tanpa memiliki keturunan. Diantara yang mengikuti ajaran ibn Dishân al-Qodâh seorang lelaki yang disebut dengan Hamdân Qirmith dan kepadanyalah nantinya dinasabkan sekte al-Qorômithoh.

Hari demi hari bergulir, mereka yang familier dengan Maimun mengenalnya sebagai Sa’id bin al-Husain ibn Abdullah ibn Maimun ibn Dishân al-Qodâh, sehingga diapun merubah nama dan nasabnya. Dia mengatakan kepada pengikutnya: “Aku adalah Ubaidillah ibn al-Hasan ibn Muhammad ibn Ismâîl ibn Ja’far ash-Shâdiq, yang seterusnya menyebarlah ajaran sesatnya di Magrib.

Ibnu Khalkân berkata dalam kitab al-Wafiyât al-A’yân:

“Para pakar sejarah ilmu nasab (silsilah keturunan) dari para peneliti mengingkari klaim nasab Maimun (kepada keturuan Ali Radhiyallahu anhu).”

Pada tahun 402 H sekumpulan ulama, para hakim , intelektual, para tokoh, orang-orang soleh, ahli fiqih dan ahli hadits menulis tema ceramah mereka yang isinya celaan dan ketidakbenaran akan nasab Fatimiyah yang diklaim oleh al-Ubaydiyin. Seluruhnya bersaksi bahwa hakim di Mesir, yaitu Manshur ibn Nazâr yang bergelar ‘al-Hâkim’ –semoga Allah hukum dia dengan kebinasaan, kehinaan dan kehancuran– putra dari Mu’ad ibn Ismâîl ibn Abdullah ibn Sa’îd –semoga Allah tidak memberinya kebahagiaan– ketika sampai di Magrib menamakan diri dengan Ubaidillah dan menggelari diri dengan al-Mahdi. Klaim-klaim serupa dari orang-orang sebelumnya dilakukan oleh mereka yang berseberangan dengan khilafah Islamiah di masanya. Tidak ada tali keturunan sama sekali dari silsilah Ali ibn Abu Thalilb Radhiyallahu anhu. Klaim kosong tanpa bukti. Ali Radhiyallahu anhu beserta keturunannya berlepas diri dari mereka yang merupakan klaim batil dan tipu daya. Tidak ada satupun dari ahlu bait keturunan Ali ibn Abu Thalib yang berhenti mencela dan menggelari mereka yang mengaku-aku itu sebagai kelompok penentang Khilafah Islamiah lagi pendusta.

Pengingkaran terhadap kebatilan mereka ini amat jelas di dua negeri haram (Mekah dan Madinah) dan pada awal kedatangan mereka di Magrib. Tersebar sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menutup-nutupinya atau membenarkan apa yang mereka klaimkan. Hakim Mesir tersebut –serta mereka yang semisalnya sebelumnya- adalah orang-orang kafir, fasik, pelaku dosa besar, mulhid, zindik, pengingkar sifat Allah dan memusuhi Islam, sedangkan mazhabnya meyakini majusi penyembah berhala dan patung. Mereka telah melampaui batas, menghalalkan perzinaan, khamar, menumpahkan darah, mencela para nabi, melaknat generasi pertama dan utama Islam serta mengklaim ketuhanan.

Tema ceramah ini ditulis dalam banyak khotbah oleh banyak orang. –selesai perkataannya

Baca Juga  Menghadiri Tahlilan Kematian

Yang pertama kali melontarkan bid’ah Maulid Nabi adalah sekte batiniah yang ingin merubah agama ini, dengan cara mengadakan sesuatu yang bukan darinya, untuk menjauhkan pemeluknya dari ajaran agama yang sebenarnya. Jalan paling mudah membunuh sunnah dan menjauhkan syariat Allah yang penuh toleransi serta sunah Rasulullah yang suci adalah dengan Menyibukkan ummat dalam bid’ah.

Al-Ubaidiyin masuk Mesir pada tahun 362 H, hari kelima bulan Ramadhan. Bid’ah perayaan hari kelahiran secara umum dan Maulid Nabi secara khusus muncul pada masa al-Ubaidiyin. Belum ada dari umat ini yang melakukan hal itu sebelumnya.

Al-Muqrizi berkata: “Momentum yang dijadikan oleh penguasa Fatimiyun sebagai hari perayaan dalam setahun:

  1. Perayaan akhir tahun.
  2. Perayaan tahun baru.
  3. Hari Asyuro
  4. Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Maulid Ali ibn Abu Thalib Radhiyallahu anhu.
  6. Maulid al-Hasan Radhiyallahu anhu.
  7. Maulid al-Husain Radhiyallahu anhu.
  8. Maulid Fatimah az-Zahroh Radhiyallahu anhu.
  9. Maulid Khalifah al-Hâdir.
  10. Malam pertama bulan Rajab.
  11. Malam pertengahan bulan Rajab.
  12. Malam pertama bulan Sya’ban.
  13. Malam pertengahan bulan Sya’ban.
  14. Malam Ramadhan.
  15. Pertengahan Ramadhan.
  16. Samât Ramadhan.
  17. Penutupan Ramadhan.
  18. Idul Fitri.
  19. Idul Adha.
  20. Idul Ghadîr (18 Zulhijah).
  21. Perayaan musim dingin.
  22. Perayaan musim panas.
  23. Perayaan Fathul Khâlij (penaklukan jazirah arab).
  24. Hari Nairuz.
  25. Hari Ghithas.
  26. Hari lahir (ulang tahun).
  27. Khamîs ‘Adas.
  28. Hari-hari Rukubât.

Al-Muqrizi kemudian menjelaskan satu persatu perayaan-perayaan tersebut dan gambaran pelaksanaannya.

Ini adalah pernyataan yang jelas dari al-Muqrizi[1] bahwa al-Ubaidiyin adalah penyebab musibah yang menimpa kaum muslimin. Merekalah yang telah membuka keran perayaan-perayaan bid’ah ke khalayak. Sampai-sampai mereka juga merayakan perayaan kaum Majusi dan Nasrani. Ini adalah bukti atas jauhnya mereka dari Islam dan justru memeranginya, sekalipun mereka tidak mengatakan dan menampakkannya.

Hal itu juga membuktikan bahwa enam perayaan maulid yang disebutkan di atas di antaranya maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah karena kecintaan mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang diklaim dan dipertontonkan kepada khalayak dan orang-orang yang tidak bisa dijadikan teladan. Tujuan mereka adalah untuk menyebarkan karakteristik mazhab mereka yaitu Isma’iliy Batiniy serta aqidah sesat lain di tengah khalayak. Bertujuan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran agama yang benar dan aqidah yang lurus dengan memunculkan perayaan-perayaan tersebut, memerintahkan menghidupkannya, menyemangati dan menyumbangkan harta yang banyak untuk merealisasikannya.

Sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah Terhadap Bid’ah Maulid
Ulama Salafussoleh –semoga Allah merahmati mereka– sepakat bahwa perayaan Maulid Nabi dan perayaan-perayaan lain tidak sesuai dengan syari’at. Ia merupakan perkara yang diada-adakan, yang disusupkan ke dalam agama ini. Tidak ada contoh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, Tabî’ut Tâbi’în, tidak pula ulama terkemuka dari imam yang empat atau selain mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata:

“Adapun mengadakan perayaan selain perayaan yang telah disyari’atkan, seperti malam Rabiulawal, disebut juga malam maulid, malam-malam di bulan Rajab, 8 Zulhijah, Jumat pertama Rajab dan 8 Syawal yang dinamakan dengan Idul Abror merupakan bid’ah yang tidak disukai oleh salaf (generasi awal) dan tidak pernah mereka lakukan. Wallahu ta’ala a’lam

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan di dalam kitabnya Iqtidhô as-Shirâtal Mustaqim:

Pasal : Yang termasuk kemungkaran dalam bab ini adalah: seluruh perayaan-perayaan dan musim yang diada-adakan. Ia termasuk kemungkaran yang makruh (dibenci). Sama saja apakah kemakruhannya sampai ke derajat haram atau belum.

Perayaan ahli kitab dan a’jam (orang asing) terlarang karena dua sebab:

  1. Unsur tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir.
  2. Ia merupakan bid’ah dalam agama. Segala perayaan dan musim yang diada-adakan adalah mungkar sekalipun tidak menyerupai ahli kitab.

Beliau –rahimahullah– menyebutkan penjelasan hal itu dengan ungkapannya:

“Yang demikian masuk kategori bid’ah dan muhdatsah (ajaran yang diada-adakan). Masuk dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam sahihnya dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhotbah matanya memerah, meninggi suara dan temperamennya, bahkan seakan tengah mengomando pasukan perang, dengan mengatakan sobâhakum wa masâ akum (waspadalah setiap saat!) seraya berkata:

Baca Juga  Puasa Asyura Bukan Alasan Maulid

قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((  بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ))

“Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat seperti ini –beliaupun merapatkan jari telunjuk dan tengahnya- lalu melanjutkan:

(( أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ))

“Adapun selanjutnya: sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sedangkan perkara yang paling buruk adalah bid’ah (sesuatu yang dibuat-buat dalam agama) dan setiap bid’ah (yang dibuat-buat dalam agama) adalah sesat.” Dalam hadits riwayat an-Nasai:

(( وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ ))

“Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.”

Beliaupun menjelaskan bahwa waktu terbagi menjadi tiga, termasuk di antaranya perayaan terkait suatu tempat dan aktivitas:

Pertama: hari yang tidak di agungkan sama sekali oleh syari’at Islam dan tidak disinggung oleh generasi salaf, tidak pula ada sesuatu yang mengharuskan untuk mengagungkannya, seperti Kamis dan Jumat pertama bulan Rajab, yang dinamakan dengan ar-Raqôib.

Kedua: berlangsungnya suatu peristiwa yang peristiwa itu juga berlangsung pada waktu yang lain, tanpa ada hal apapun yang mewajibkannya untuk dirayakan dan generasi salaf tidak ada yang mengagungkannya, seperti hari ke-18 Zulhijah, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di tempat yang bernama Ghadir kham sepulang dari haji wada’.

Termasuk juga segala yang dibuat-buat oleh sebagian orang; bisa dalam bentuk menyaingi kaum Nasrani dalam memperingati hari kelahiran Nabi Isa –alaihi salam– atau karena kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah membenarkan kecintaan mereka, tetapi tidak dengan bid’ah yang dilakukan. Siapa yang menjadikan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hari perayaan, maka perbuatannya itu tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf (generasi awal) meskipun mereka juga mencintai Nabi dan tidak ada penghalang untuk juga melakukannya jika itu memang baik. Jika perayaan maulid murni kebaikan atau rajih (asumsi kuat) tentunya generasi salaf Radhiyallahu anhu lebih berhak merayakannya dari pada kita. Jika kesangatan para sahabat dalam mencintai dan mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kita, tentu mereka lebih peduli jika ada kebaikan. Akan tetapi ternyata kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan meneladani, menaati, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunah-sunahnya baik yang lahiriah maupun batiniah, menyebarkan ajarannya dengan berjihad menggunakan hati, tangan (kekuasaan) dan lisan. Demikianlah toriqoh (jalan) sabikin al-awalin (generasi pendahulu) dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka.

Kebanyakan engkau dapati mereka yang peduli dengan bid’ah-bid’ah seperti ini[2] lemah dalam menjalankan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diperintahkan untuk melaksanakannya. Mereka hanya sebatas menghias masjid tetapi tidak shalat di dalamnya atau jarang sekali. Sebatas orang yang menenteng-nenteng tasbih dan sajadah yang berhias. Hiasan-hiasan semacam ini menjadi konsentrasi, disertai riya (mengharap pujian), kibr (kesombongan) dan menyibukannya dari perkara-perkara yang memang disyaratkan sehingga merusak keadaan pelakunya.

Sumber:

  1. Kitab Lathâif al-Ma’ârif fî mâ Li Mawâsimil Âm Minal Wadzâif, Ibnu Rajab.
  2. Kitab al-Bida’ al-Hauliah, Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri.

[Disalin dari أول من أحدث بدعة المولد النبوي  Penulis : Ibnu Rajab al Hanbali dan  Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri  Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
_______
Footnote
[1] Dia termasuk yang melegalkan penisbatan Fatimiyun kepada Ali ibn Abu Thalib Radhiyallahu anhu dan termasuk yang membela mereka.
[2] Dengan apa yang ada pada mereka dari maksud yang baik dan ijtihad.

  1. Home
  2. /
  3. B1. Topik Bahasan1 Tahlilan...
  4. /
  5. Asal-Muasal Perayaan Maulid Nabi