Hal-hal yang Membatalkan I’tikaaf
Hal-hal yang Membatalkan I’tikaaf
- Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan batal i’tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i’tikaaf.
- Murtad karena bertentangan dengan makna ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada-mu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter-masuk orang-orang yang merugi”. [Az- Zumar/39:65]
- Hilang akal disebabkan gila atau mabuk.
- Haidh.
- Nifas.
- Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subahanhu wa Ta’ala
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. [al-Baqarah/2:187][1]
Menurut pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu: “Apabila seorang mu’takif (yang i’tikaaf) bersetubuh, maka batal i’tikaafnya dan ia mulai dari awal lagi. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq, dengan sanad yang shahih. Lihat Qiyamur Ramadhan hal. 41 oleh Imam al-Albani)
Hal-hal yang Dibolehkan Sewaktu I’tikaaf
- I’tikaafnya seorang wanita dan kunjungannya kepada suaminya yang beri’tikaaf di dalam masjid.
Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengunjungi suaminya yang tengah beri’tikaaf. Dan suaminya yang sedang beri’tikaaf diperbolehkan untuk mengantarkannya sampai pintu masjid.
Shafiyyah Radhiyallahu anha bercerita: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaaf (pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan), lalu aku datang untuk mengunjungi beliau pada malam hari, (yang saat itu di sisi beliau sudah ada beberapa istrinya, lalu mereka pergi). Kemudian aku berbicara dengan beliau beberapa saat, untuk selanjutnya aku berdiri untuk kembali. (Maka beliau bersabda: ‘Janganlah kamu tergesa-gesa, biar aku mengantarmu’). Kemudian beliau berdiri mengantarku -dan rumah Shafiyyah di rumah Usamah bin Zaid-. Sehingga ketika sampai di pintu masjid yang tidak jauh dari pintu Ummu Salamah, tiba-tiba ada dua orang dari kaum Anshar yang melintas. Ketika melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kedua orang itu mempercepat jalannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian tergesa-gesa, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay’. Kemudian keduanya menjawab: ‘Mahasuci Allah, wahai Rasulullah’. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir syaitan itu akan melontarkan kejahatan dalam hati kalian berdua, atau beliau bersabda (melontarkan sesuatu)’”. (HR. al-Bukhari no. 2035, Muslim no. 2175)
- Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.
- Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِيْ حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ اْلإِنْسَانِ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
“Dari Aisyah Radhiyalahu ‘anha, bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam padahal ia (Aisyah) sedang haidh, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang beri’tikaaf di masjid. Aisyah berada di dalam kamarnya dan kepala Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dimasukkan ke kamar Aisyah. Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bila sedang beri’tikaaf tidak pernah masuk rumah melainkan kalau untuk menunaikan hajat”. (HR al-Bukhari no. 2029, 2046, Muslim no. 297 (6-7), Abu Dawud no. 2467, at-Tirmidzi no. 804, Ibnu Majah no. 1776 dan 1778, Malik I/257 no. 1, Ibnul Jarud no. 409 dan Ahmad VI/104, 181, 235, 247, 262)
Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama sepakat, bahwa orang yang i’tikaaf boleh keluar dari masjid (tempat i’tikaafnya) untuk keperluan buang air besar atau kencing, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, (apabila tidak ada kamar mandi/wc di masjid -pent.). Dalam hal ini, sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantarnya, maka boleh ia keluar (sekedarnya)”[2]
Aisyah Radhiyallahu anha juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk orang sakit ketika sedang i’tikaaf melainkan hanya sambil lewat saja, misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si sakit sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.
Khatimah
Dianjurkan bagi orang-orang yang ber-i’tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan yang tidak i’tikaaf, berusahalah memanfaatkan waktu untuk ibadah kepada Allah, perbanyaklah baca al-Qur-an, berdzikir kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan dan mudah-mudahan pula dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [al-Qadar/97: 1-5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ .
“Barangsiapa berdiri (melaksanakan ibadah) pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR al-Bukhari no. 2014, Muslim 760 (175), Abu Dawud no. 1372, an-Nasaa-i IV/157)
Dianjurkan pula banyak do’a dan dzikir ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan adanya Lailatul Qadar:
اللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maafkanlah aku. (HR Ahmad VI/171, Ibnu Majah no. 3850, at-Tirmidzi no. 3513 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha. Lihat Shahih at-Tirmidzi no. 2789 dan Shahih Ibni Majah no. 3105)
Wallahu a’lam bish shawaab.
Penutup dari pembahasan ini adalah do’a
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
“Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memujimu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, aku meminta ampun dan bertaubat kepada-Mu“. (An-Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 403, Ahmad VI/77. Lihat Fat-hul Baari XIII/546, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 3164)
Maraji’
- Shahih al-Bukhari.
- Shahih Muslim tarqim Muhammad Fuad Abdul Baqi.
- Fat-hul Baary Syarah Shahih Bukhari oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaany, cet. Daarul Fikr.
- Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawy, cet. Daarul Fikr.
- Sunan Abu Dawud.
- Jaami’ at-Tirmidzi.
- Sunan Ibni Majah.
- Sunan an-Nasaa’i.
- Musnad Imam Ahmad, cet. Daarul Fikr.
- Al-Muwaththa’ Imam Malik, tarqim Mu-hammad Fuad ‘Abdul Baqi, cet. Darul Hadits thn. 1371, Cairo.
- As-Sunan al-Kubra Imam al-Baihaqy, cet. Daarul Ma’rifah.
- Sunan ad-Darimi, cet. Daarul Fikr.
- Shahih Ibnu Majah bil Ikhtisharis Sanad, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-maktabah at-Tarbiyah al-‘Araby lid Duwal al-Khalij, thn. 1408.
- Shahih at-Tirmidzi.
- Al-Muntaqa, oleh Ibnul Jarud, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah.
- Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Shahih Jaami’ush Shaghiir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Al-Muhalla, Ibnu Hazm, cet. Daarul Fikr.
- Zaadul Ma’ad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Tahqiq dan takhrij Syu’aib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth.
- Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turky.
- Nailul Authar, oleh Imam asy-Syaukani, cet. Mathba’ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, Mesir.
- Subulus Salam, Imam ash-Shan’any.
- Irwaa’ul Ghalil fit Takhrij Ahaadits Manaris Sabil, oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din al-Albani.
- Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, cet. III Daar al-Fikr, th. 1403 H.
- Bidaayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, cet. Daarul Fikr.
- Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr.
- Fiqhul Islam Syarah Bulughil Maram, oleh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi.
- Qiyaamu Ramadhaan, oleh Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albani.
- Al-Inshaf fii Ahkamil I’tikaaf, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
- Amalul Yaumi wal Lailah, oleh Imam an-Nasa’i.
- Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, oleh Imam al-Qurthubi.
- Ahkaamul Qur’an, oleh al-Jashshash.
- Rawaa’iul Bayan fii Tafsiri Ayatil Ahkam.
- Lisaanul Arab, oleh Ibnu Manzhur, cet. Daar Ihyaa-it Turats al-Araby.
- An-Nihayah fii Ghariibil Hadits, oleh Ibnul Atsiir.
- Mufradaat Alfaazhil Qur-aan, ar-Raaghib al-Ashfahaani.
- Shahih Sunan Abi Dawud, jilid II, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany
[Disalin dari buku I’tikaaf, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Gedung TEMPO Jl Utan Panjang Raya No. 64 – Jakarta Pusat, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
______
Footnote
[1] Lihat Fiqhus Sunnah I/406
[2] Lihat Fiqhus Sunnah I/405
- Home
- /
- A9. Fiqih Ibadah5 Puasa...
- /
- Hal-hal yang Membatalkan I’tikaaf