Muamalah Dengan Orang Kafir

MUAMALAH DENGAN ORANG KAFIR

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Dalam kehidupan bermasyarakat di negara ini, tentunya seorang muslim hidup dengan beragam manusia yang berbeda agama. Tentu saja tidak bisa disamakan sikap kita kepada orang kafir (non muslim) dengan sikap kita kepada sesama muslimin, karena hal ini menyangkut aqidah al-Walâ’ dan al-Barâ’.

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan sebuah kaedah dengan menyatakan: “Pada asalnya semua muamalah yang dibutuhkan manusia tidak diharamkan atas mereka, kecuali ada petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah yang mengharamkannya. Sebagaimana tidak disyariatkan sebuah ibadah yang dilakukan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , kecuali ada petunjuk al-Qur`an dan Sunnah yang mensyariatkannya. Karena agama adalah semua yang disyariatkan Allâh Azza wa Jalla , dan yang haram adalah yang Allâh Azza wa Jalla haramkan. Berbeda dengan orang-orang yang Allâh Azza wa Jalla cela. Mereka mengharamkan yang tidak diharamkan Allâh Azza wa Jalla , dan menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan sesuatu yang tidak ada hujahnya, serta membuat syariat dari agama ini apa yang tidak diizinkan Allâh”.[1]

Jual Beli Dengan Orang Kafir
Berdasarkan kaedah yang disampaikan Syaikhul Islam di atas, juga adanya nash-nash syariat dan keterangan sejarah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, didapatkan bahwa praktik muamalah dengan orang kafir berupa jual beli, menerima hadiah dan sebalikanya tidak dinamakan al-Muwâlâh (memberi bentuk loyalitas kepada mereka). Dan diperbolehkan seorang muslim berjual beli dengan orang kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang bermuamalah dengan bangsa Tatar. Beliau menjawab:

“Diperbolehkan padanya seperti diperbolehkannya bermuamalah dengan orang kafir seperti mereka, dan diharamkan padanya apa yang diharamkan dalam hal bermuamalah dengan orang kafir seperti mereka. Sehingga seorang muslim diperbolehkan membeli hewan ternak dan kuda mereka serta yang lainnya sebagaimana diperbolehkan membeli hewan ternak orang-orang Arab Badui, Turkmân dan Kurdi. Dan diperbolehkan menjual kepada mereka barang berupa makanan, pakaian dan sejenisnya, yang biasa dijual kepada orang kafir semisal mereka.

Adapun apabila menjual kepada mereka atau kepada selain mereka sesuatu yang membantu mereka dalam melakukan hal-hal terlarang, seperti menjual kuda dan senjata pada orang yang menggunakannya untuk perang yang terlarang, maka ini tidak boleh.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allâh, sesungguhnya Allâh amat berat siksa-Nya. [Al-Maaidah/5:2]

Apabila ada pada mereka atau selain mereka harta yang diketahui hasil dari rampasan mereka dari orang yang tidak boleh dirampas hartanya, maka tidak diperbolehkan membelinya dalam rangka untuk memilikinya. Tapi bila membelinya untuk menyelamatkan harta tersebut agar digunakan pada hal-hal yang sesuai syariat, maka dikembalikan kepada pemiliknya  -bila memungkinkan- kalau tidak memungkinkan digunakan untuk maslahat kaum muslimin, maka hal itu diperbolehkan. Apabila diketahui sebagian harta mereka ada yang terlarang namun tidak diketahui barangnya, maka tidak diharamkan muamalahnya dalm hal tersebut, sebagaimana apabila diketahui ada di pasar-pasar barang-barang rampasan dan curian namun tidak diketahui jelas barangnya”[2].

Imam al-Bukhâri rahimahullah telah meriwayatkan dalam kitab al-Buyû’ Bab asy-Syirâ` wal bai’ ma’al Musyrikîn wa ahli al-Harb dari Abdurrahmân bin Abi Bakar Radhiyallahu anhu beliau berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَ رَجُلٌ مُشْرِكٌ مُشْعَانٌّ طَوِيلٌ بِغَنَمٍ يَسُوقُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً؟ – أَوْ قَالَ: – أَمْ هِبَةً “، قَالَ: لاَ، بَلْ بَيْعٌ، فَاشْتَرَى مِنْهُ شَاةً

Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang musyrik berambut panjang sekali (atau berambut acak-acakan) membawa kambing yang digiringnya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Silahkan dijual atau diberikan? Atau berkata: atau dihadiahkan. Maka ia menjawab: Tidak. Tapi dijual. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli darinya seekor kambing. (Shahih al-Bukâhri  4/410 no. 2216).

Ibnu Bathâl rahimahullah berkata : Muamalah (bergaul) dengan orang kafir diperbolehkan kecuali jual beli sesuatu yang digunakan membantu orang kafir yang memerangi kaum muslimin[3].

Demikian juga ada riwayat shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganbil tiga puluh wasaq gandum dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besi beliau, seperti yang diriwayatkan al-Bukhâri rahimahullah dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ، وَارْتَهَنَ مِنْهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan orang yahudi mengambil baju besi beliau sebagai gadai jaminannya (HR al-Bukhari).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : Apabila seorang bepergian ke negeri kafir harbi untuk membeli barang darinya maka itu diperbolehkan menurut pendapat kami, sebagaimaan ditunjukkan oleh hadits perniagaan Abu Bakar di masa hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Syâm. Sedangkan negeri Syâm ketika itu adalah negari kafir harbi dan juga hadits-hadits lainnya.

Baca Juga  Hukum Menyebut Kaum Nashrani Sebagai Masehi

Adapun seorang muslim menjual atau menghadiahkan kepada mereka di hari-hari raya mereka barang yang digunakan dalam hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, parfum atau sejenisnya, maka ini mengandung unsur membantu memeriahkan hari raya mereka yang terlarang. Dan ini kembali kepada dasar Tidak boleh menjual kepada orang kafir anggur atau perasannya yang dijadikan sebagai khamr. Demikian juga tidak boleh menjual kepada mereka senjata yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin.[4]

Kesimpulannya jual beli dengan orang kafir pada asalnya diperbolehkan selama tidak mendukung kepada hal-hal yang terlarang.

Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Dâ`imah Lil Buhûts Al-Ilmiyah Wal Ifta’) pernah ditanya: Bagaimana hukumnya meninggalkan kerjasama di antara kaum muslimin, yakni dengan tidak ridha dan tidak suka membeli dagangan dari kaum muslimin tetapi suka membeli barang dari toko-toko orang kafir, apakah hal seperti itu sebagai suatu yang halal atau haram?

Jawaban
Ketetapan asal hukum, membolehkan seorang muslim membeli semua yang dibutuhkannya dari semua yang dihalalkan oleh Allâh, baik dari orang muslim maupun orang kafir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah membeli dari orang Yahudi. Tetapi jika keengganan seorang muslim untuk membeli dari orang muslim lainnya tanpa ada sebab; baik itu dalam bentuk kecurangan, mahalnya harga, buruknya barang, yang membuatnya lebih suka membeli dari orang kafir serta lebih mengutamakannya atas orang muslim tanpa alasan yang benar, maka yang demikian itu jelas haram.

Sebab, yang demikian itu termasuk bentuk loyalitas kepada orang-orang kafir, meridhai dan juga mencintai mereka. Selain itu, karena hal tersebut dapat melemahkan perdagangan kaum muslimin dan merusak barang dagangan mereka serta tidak juga membuatnya laris, jika seorang muslim menjadikan hal-hal itu menjadi kebiasaannya.

Adapun jika sebab-sebab yang menjadikannya berpaling seperti tersebut di atas, maka hendaklah dia menasihati saudaranya (pedagang) itu dengan memperbaiki kekurangannya tersebut. Apabila dia mau menerima nasihat tersebut, maka Alhamdulillah, dan jika tidak maka dia boleh berpaling darinya menuju ke orang lain, sekalipun kepada orang kafir yang terdapat manfaat dalam interaksi dengannya secara jujur.

Wabillâhit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allâh senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.[5]

Wakaf Untuk Mereka Atau Wakaf Mereka Untuk Kaum Muslimin
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Adapun wakaf mereka maka dilihat lagi. Apabila mereka mewakafkan untuk orang tertentu atau hal-hal yang diperbolehkan seorang muslim mewakafkannya, seperti sedekah kepada orang-orang miskin, fakir dan perbaikan jalan serta maslahat umum, atau untuk anak-anak dan keturunan mereka, maka wakaf ini sah. Hukumnya sama dengan hukum wakaf muslimin dalam hal ini. Akan tetapi apabila disyaratkan bahwa anak-anak dan kerabat mendapatkan wakaf tersebut dengan syarat harus berada dalam kekufuran mereka, misalnya syarat: “Apabila mereka masuk Islam maka mereka tidak berhak mendapatkannya sedikitpun”. Maka syarat ini tidak sah dan tidak boleh pemerintah memberlakukan hukum wakaf ini menurut kesepakatan umat Islam, karena menentang agama Islam dan berlawanan dengan ajaran yang menjadikan Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya.

Sedangkan wakaf muslim untuk orang kafir, maka ini sah darinya selama sesuai dengan hukum Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga diperbolehkan mewakafkan untuk perorangan dari mereka atau untuk kerabatnya dan bani fulan dan sejenisnya.

Tidaklah kekufuran menjadi sebab dan syarat dalam kepemilikan hak dan juga bukan penghalang darinya. Seandainya seorang mewakafkan untuk anaknya, bapaknya atau kerabatnya, maka mereka berhak atas hal itu walaupun masih dalam kekufuran mereka dan bila masuk islam maka itu lebih berhak lagi.

Sedangkan wakaf untuk gereja dan tempat ibadah mereka serta tempat-tempat kekufuran yang mereka tegakkan padanya syiar kekufuran, maka tidak sah dari orang kafir dan juga dari orang muslim. Karena hal itu mengandung bantuan yang besar untuk mereka menegakkan kekufuran dan menguatkannya. Hal itu sangat bertentangan dengan agama Allâh Azza wa Jalla.[6]

Menjenguk Mereka yang Sakit dan Mengucapkan Selamat.
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Janâ`iz dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: «أَسْلِمْ»، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ.

Dahulu ada seorang anak Yahudi biasa membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Suatu saat ia sakit, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di dekat kepalanya seraya berkata kepadanya: Masuklah ke dalam Islam! Lalu anak tersebut melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Sang bapak berkata kepadanya: Taatilah Abul Qasim n . Lalu ia masuk Islam. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar sembari berkata: Segala puji bagi Allâh yang telah menyelamatkannya dari neraka. (HR. al-Bukhâri 3/219 no. 1356).

Baca Juga  Menyambung Silaturrahim

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan kisah Abu Thâlib ketika sakaratul maut, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya dan menawarkan Islam kepadanya.[7].

Ibnu Bathâl rahimahullah menyatakan: Menjenguk orang kafir yang sakit disyariatkan apabila diharapkan akan menerima untuk masuk Islam. Bila tidak diharapkan maka tidak boleh[8]. Sedangkan Ibnu Hajar rahimahullah berkata: Yang rajih adalah hal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan maksud. Terkadang dengan menjenguknya akan muncul maslahat lainnya[9].

Adapun mengucapkan selamat kepada mereka dalam syiar-syiar kufur yang khusus untuk mereka, maka itu disepakati keharamannya. Cotohnya menyambut hari raya mereka dengan mengucapkan: “selamat hari raya” atau menyambut hari rayanya tersebut. Ini apabila yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, maka ia masuk dalam perkara terlarang. Hal ini seperti kedudukan orang yang mengucapkan selamat kepada orang kafir dengan sujudnya kepada salib. Bahkan hal ini lebih besar dosa dan kemurkaannya di sisi Allâh Azza wa Jalla dari pada orang yang mengucapkan selamat kepada peminum minuman keras, pembunuh, pezina dan lain-lainnya.

Banyak orang yang tidak memiliki komitmen dengan agama terjerumus dalam hal ini dan tidak mengerti buruknya perbuatannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba dengan kemaksiatan, bid’ah atau kekufurannya, maka telah membuka diri untuk dimurkai Allâh Azza wa Jalla . Dahulu para ahli wara’ dari kalangan ulama menjauhi ucapan selamat kepada orang-orang zhalim yang mendapatkan kekuasaan dan ucapan selamat kepada orang-orang bodoh yang mendapatkan jabatan Qadhi, pengajaran dan fatwa, karena menjauhi murka Allâh dan jatuhnya mereka dari pandangan Allâh Azza wa Jalla . Apabila seseorang ditimpa seperti itu maka ia melakukannya untuk menolak keburukan yang akan terjadi dari mereka, sehingga berjalan menemui mereka dan tidak berkata kecuali yang baik dan mendoakan mereka mendapatkan taufiq dan kelurusan, maka itu tidak mengapa[10].

Masuk juga dalam hal ini pengagungan terhadap mereka dan memanggil mereka dengan istilah Sayyid (tuan) dan maula. Hal ini terlarang dengan dasar hadits yang marfu’ :

لَا تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ

Jangan mengatakan kepada Munafiq panggilan Sayyid, karena kalaupun menjadi sayyid, maka kalian telah membuat murka Rabb kalian Azza wa Jalla. (HR Abu Dawûd dalam Sunannya kitab al-Adab dan dinilai shahih oleh syaikh al-Albâni dalam Shahih sunan Abi Dawûd)

Tidak boleh juga menjuluki mereka dengan julukan –sebagaimana disampaikan Imam Ibnul Qayyim- Mu’izuddaulah atau fulan as-Sadîd (yang lurus perilakunya) atau ar-Rasyîd (yang mendapat bimbingan) atau ash-Shâlih (yang shalih) dan sebagainya. Siapa yang menamakan dirinya dengan salah satu dari nama-nama tersebut maka seorang muslim dilarang memanggil dengan namanya tersebut. Seandainya ia seorang Nashrani maka panggil saja dengan Wahai Nashrani atau wahai penyembah salib dan untuk Yahudi dengan wahai orang Yahudi.

Kemudian ibnul Qayyim rahimahullah  berkata lagi: Adapun sekarang sungguh aku mendapati zaman orang-orang tersebut (kaum non muslim) muncul di bagian terdepan berbagai majlis, disambut dengan berdiri dan diciumi tangan-tangan mereka, serta menempati jabatan mengatur pemberian bantuan para tentara dan harta-harta kerajaan. Mereka bergelar kun-yah Abul ‘Alâ`, abul fadhl, Abuth Thayyib dan bernama Hasan, Husein, Utsman dan Ali! Padahal sebelumnya nama mereka adalah Yuhanâ (Yohanes), Mata (Matius), George, Petrus, Azra, Asy’iyâ, Hazqil dan hayyiya. Setiap zaman ada Negara dan tokohnya[11].

Apabila ini adalah ucapan imam Ibnul Qayyim yang wafat tahun 751 H, maka hendaknya seorang muslim melihat zaman ini pada kumpulan buih yang banyaknya bagaikan buih banjir. Mereka menisbatkan diri kepada Islam padahal mereka mengikuti musuh Allâh dalam segala urusannya, baik yang kecil maupun yang besar, hingga seandainya musuh Islam tersebut masuk ke dalam lobang kadal gurun tentulah mereka masuk mengikutinya. Bukan sekedar mengekor pada mereka semata, bahkan mengekor dengan segala ketakjuban dan kebanggaan terhadap mereka. Tidaklah terjadi acara dan momen musuh-musuh kita, kecuali dipenuhi dengan ucapan selamat dari segala penjuru.

Semoga Allâh segera memberikan hidayah kepada kita semua. Wallâhul Musta’aan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] as-Siyasah asy-Syar’iyah hlm 155
[2] al-Masâ`il al-Mârdîniyyah hlm 132-133 dengan tahqiq asy-Syâwisy, cetakan ketiga tahun 1299 H
[3] Fathul Bâri 4/410
[4] Iqtidhâ`us Shirâtil Mustaqîm hlm 229
[5] Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa Nomor 3323
[6] Ahkâm ahlidz Dzimmah 1/299-302 dan lihat Majmu’ah Rasâ`il wal Masâ`il 1/229
[7] Lihat Shahih al-Bukhâri 3/222 no. 1360
[8] Fathul Bâri 10/119
[9] Fathul Bâri 10/119
[10] Ahkâm ahli adz-Dimmah 1/205-206
[11] Ahkâm Ahlidz-Dzimmah 2/771

  1. Home
  2. /
  3. A9. Wanita dan Keluarga...
  4. /
  5. Muamalah Dengan Orang Kafir