Cacat Penganut Ideologi Ingkar Sunnah

CACAT PENGANUT IDEOLOGI INGKAR SUNNAH

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthafa

Umat Islam, sejak awal, telah satu kata bahwa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Sunnah) merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam. Berfungsi sebagai sumber hukum bagi agama yang hanif ini. Meski demikian, ada sebagian pihak yang mengalihkan pemahaman mengenai hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu dengan melakukan pengingkaran terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melancarkan keraguan terhadapnya.

Gerakan pengingkaran terhadap Sunnah ini kian gencar menebarkan racun subhatnya terhadap Sunnah. Penyebutan kelompok gerakan ini sangat menarik. Mereka menamakan diri al-Qur`âniyyûn. Nama yang dinisbatkan kepada Al-Qur`ânul-Karim, padahal Al-Qur`ân berlepas diri dari pemikiran anti hadits ini.

Ciri yang menonjol aqidah golongan al-Qur`âniyyûn ini, ialah mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai keyakinan bahwa Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit pun.[1] Sehingga, mereka pun mencampakkan hadits-hadits seraya berkata: “Kami tidak mengamalkan aqidah dan hukum-hukum kecuali yang terdapat dalam Al-Qur`ân saja”.

PENGINGKARAN TERHADAP HADITS, PROPAGANDA USANG LAGI KUNO
Ajakan untuk mencampakkan Sunnah, bukanlah produk masa kini. Akan tetapi, telah ditukangi pertama kali oleh kaum musyrikin Quraisy. Mereka menyalakan api fitnah ini. Menyulut keragu-raguan tentang kesucian Sunnah.

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan isnad shahîh dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma , ia berkata :

كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ

“Sebelumnya, aku menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah. Aku ingin menghafalnya. Kemudian kaum Quraisy melarangku. Mereka berkata (dengan nada pengingkaran, pen.): ‘Apakah engkau menulis semua yang engkau dengar darinya, padahal Rasulullah adalah manusia biasa, berbicara dalam keadaan marah dan senang?!’ [2] Karenanya, aku mengekang diri untuk menulis”.

Kemudian, aku ceritakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau lantas bersabda: “Tulis saja. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari diriku kecuali kebenaran”. [3]

Tentang penentang Sunnah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensinyalir mereka yang menyebut dirisebagai Qur`aniyyun itu. Tengara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan salah satu kebenaran kenabian beliau. Karena, apa yang diberitakan telah menjadi fakta yang nyata di tengah umat.

Diriwayatkan oleh ad-Daarimi, at-Tirmidzi dan Ahmad, dari al-Miqdaam bin Ma’dikarib al-Kindi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan banyak hal pada hari terjadinya perang Khaibar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيُوشِكُ بِالرَّجُلِ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ هُوَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ

“Hampir-hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihias; disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: ‘Di antara kami dan engkau ada Kitab Allah Azza wa Jalla. Apa yang kita jumpai di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita jumpai di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya’. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala “. (HR Ibnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni).

Perhatikan teks hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang argumentasi para pengingkar Sunnah, yakni sangat mirip dengan pernyataan penganut Ingkar Sunnah sebagaimana termaktub di mukaddimah tulisan ini.

INNAHUM QAUM YAJHALUN!
Mereka, ialah kaum yang tidak memahami hakikat yang sebenarnya. Demikianlah adanya, dan ini bukan tuduhan tanpa dasar.

Sebagai misal, mereka menyatakan bahw Al-Qur`ân tidak melupakan apapun. Demikian dalih mereka. Argumentasi yang mereka bawakan ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ

Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam al-Kitab. [al-An’aam/6:38].

Dalil di atas memang tidak disangsikan keabsahannya. Namun, mereka menempatkannya bukan pada tempatnya. Karena, pemahaman terhadap suatu ayat haruslah dibangun dengan melihat semua ayat yang saling berkait, tidak sepotong-potong. Pemahaman terhadap ayat harus ditopang dengan husnun niyyah (kebaikan niat) dan husnul fahmi (pemahaman yang benar).

Hadits-hadits wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَّاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتٰبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ

…, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu …. [al-Baqarah/2: 231].

Baca Juga  Siapakah Mirza Ghulam Ahmad?

Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (Al-Qur`ân) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya[4]

Apakah dapat dibenarkan oleh logika akal sehat dan kaca mata keimanan, manakala seorang muslim hanya mengamalkan sebagian wahyu Allah semata? Sementara itu, pada kondisi lain, ia enggan atau menolak mengamalkan bagian wahyu yang lain?

Hendaknya kaum Qur`aniyyun menyadari bahwa sebagaimana Malaikat Jibril turun kepada Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa al Qur`an, ia juga membawa wahyu berupa Sunnah yang mengandung penjelasan. Terkadang membawa keterangan yang memuat hukum tersendiri, di luar yang disinggung oleh al Qur`an.

Seandainya benar-benar orang-orang yang mengikuti ajaran al Qur`an, niscaya mereka akan menjadi orang-orang yang bersegera menerima dan mengamalkan kandungan asSunnah, lantara al Qur`an memuat perintah-perintah tentang wajibnya menaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan menjalankan perintah-perintahnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ ۚ وَمَنْ تَوَلّٰى فَمَآ اَرْسَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka. [An Nisa/4: 80]

ANTARA PENULISAN AL QUR`AN DAN TADWIIN (KODIFIKASI, PEMBUKUAN) HADITS-HADITS
Di antara syubhat yang mereka tebar: “Sesungguhnya as Sunnah tidak tertulis di masa Nabi”. Ini adalah statemen sarat kebatilan dan tertolak. Sanggahannya, sebagian sahabat telah menulis hadits (hadits ‘Abdullah bin ‘Amr di atas). Beliau juga memerintahkan untuk menulis hadits bagi Abu Syaah. Adapun tentang penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan muncul dari perintah Rasulullah sendiri, karena banyak faktor yang melatarbelakanginya. Seperti, sebagian orang memandang hafalannya lebih kuat dan paten ketimbang tulisan jika menyibukkan diri untuk mempelajari dan mengajarkannya secara tanpa buku, melalui hafalan di luar kepala.

Lontaran syubhat lain: “Sesungguhnya hadits-hadits belum terbukukan di masa-masa awal generasi Sahabat’. Klaim ini pun tertolak dengan mudah. Sebab, al Qur`an juga belum terbukukan di masa-masa awal. Apakah dengan itu, seorang berakal diperbolehkan untuk berkomentar: “Para sahabat tidak memperhatikan al Qur`an”?!. Apakah boleh dikatakan bahwa keaslian al Qur`an diragukan?! Demi Allah tidak!. Karena kekuatan hafalan mereka waktu itu sangat memadai. Dengan kualitas hafalan mereka yang bagus, al Qur`an dan as Sunnah terpelihara hingga tidak sirna dan hilang. Selain itu, lantaran besarnya jumlah orang-orang yang sudah  menghafal dari kalangan sahabat.

Ketika bilangan para penghafal mulai susut disebabkan sebagian gugur syahid di medan perang, maka muncullah gagasan untuk mengkodifikasikan al Qur`an dan as Sunnah.

Para sahabat menaruh perhatian besar pada pemeliharaan as Sunnah. Sampai membuat seorang sahabat bernama Jaabir bin ‘Abdillah al Anshaari c rela menempuh perjalanan sebulan untuk mencari sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Unais. Begitu pula Abu Ayyub al Anshaari z pergi menemui ‘Uqbah bin ‘Amir al Juhani Radhiyallahu anhu untuk memperoleh satu hadits saja. Selanjutnya, budaya ini diteruskan oleh generasi Tabi’in. Mereka mengambil hadits-hadits dari para sahabat. Dan demikian seterusnya. Budaya ini dikenal dengan ar rihlatu fii thalabil hadîts.

Demikianlah, as Sunnah berpindah-tangan secara estafet dari satu generasi menuju generasi berikutnya. Dan akhirnya sampai ke tangan-tangan kaum muslimin sekarang dan yang akan datang dengan kemudahan dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap umat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih ulama di setiap kurun waktu yang mengemban hadits-hadits Rasulullah dan mentransfernya ke generasi berikut serta melakukan penyeleksian ketat. Hadits-hadits pun terjaga dan terbebas dari intervensi luar.

CELAAN BAGI PENGINGKAR AS SUNNAH:
Penegasan akan wajibnya taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak terpungkiri. Di samping memang banyak dalil al Qur`an dan Hadits yang menyinggungnya, telah terjadi kesepakatan (ijma’) di kalangan ulama dalam masalah ini. Sejak generasi Sahabat sampai generasi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Pengingkaran Hadits-hadits tidak lain merupakan jinaayah (kejahatan) besar terhadap wahyu dan umat Islam.

Sebetulnya, cukuplah ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang mengingkari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai celaan buruk bagi  para pengingkar as-Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖٓ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ 

maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih  [An-Nuur/24: 63]

Maksudnya, hendaknya waspada dan takutlah orang yang menyelisihi syariah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara batin dan zhahir. Takut akan ditimba cobaan pada hati mereka berupa kekufuran, nifaq atau bid’ah. atau akan ditimpa siksa yang pedih di dunia ini dengan mati terbunuh, terkena hukum pidana atau dipenjara.[5]

Tentang dampak buruk di akhirat, tertera jelas dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. [an-Nisaa/4 :14]

Baca Juga  Ahmadiyah Kelompok Pengekor Nabi Palsu

Atas dasar ini, orang yang berbuat penentangan dan maksiat terancam dengan dua siksa, dunia dan akhirat. Selain dicap sesat dengan kesesatan yang nyata

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al Ahzaab/33:36]

Para ulama dahulu dan sekarang telah memahami betapa besar bahaya gerakan yang mengatasnamakan pengagungan al Qur`an ini. Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata : Kalau ada seseorang berucap: ‘Kami tidak ingin mengambil kecuali hal-hal yang tertuang dalam al Qur`an saja, maka orang ini telah kafir berdasarkan ijma para ulama umat Islam. Dan ia tidak wajib mengerjakan (sholat) kecuali satu sholat saja pasca matahari tergelincir sampai gelap malam dan satu sholat saja di waktu fajar[6]“. (Al Ihkâm : 2/208).

Asy Syâthibi rahimahullah menyatakan: ‘Membatasi diri hanya dengan al Qur`an adalah pandangan orang-orang yang tidak mempunyai nasib baik sama sekali, keluar dari rel as Sunnah. Sebab mereka ini bertumpu pada pernyataan bahwa al Qur`an memuat keterangan atas segala sesuatu. Akibatnya, mereka membuang hukum-hukum yang berasal dari as-Sunnah. Pemikiran itu mengakibatkan mereka terlepas dari ikatan al jamaah dan menafsirkan al Qur`an tidak seperti tujuan Allah menurunkan al Qur`an”[7]

Imam as Suyuuthi berkata: Barang siapa mengingkari status hadits-hadits Nabi, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang telah dimaklumi sebagai hujjah dalam masalah-masalah ushuul, ia telah kufur dan keluar dari lingkaran Islam”. (Miftâhul Jannah 3)

TIDAK HANYA MEREKA SAJA
Pengingkaran hadits tidak hanya monopoli golongan yang bersematkan label Qur`aniyyun, atau Aliran Kitab Suci saja. Hakikat pengingkaran juga dilakukan oleh kaum rasionalis, ketika menganggap (satu) hadits tidak rasional. Atau oleh  kalangan Khawaarij yang mengingkari hadits tentang syafaat bagi pelaku dosa besar. Terkadang para pengikut madzhab yang fanatik atau orang-orang yang kurang memahami seluk-beluk ilmu hadits. Dan tidak menutup kemungkinan ada di antara kita – sadar atau tidak- mengingkari as-Sunnah, ketika menyaksikan seorang muslim konsisten untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Ada beberapa kitab yang bisa menjadi pegangan untuk membantah kerancuan berpikir para pengingkar sunnah. Di antaranya, as Sunnah Wa Makaanatuhaa Fit Tasyrii’il Islaami karya Musthafa as Sibaa’i, Dirasaat Fil Hadiitsin Nabawi karya Muhammad al A’zhami, al Anwaar al Kaasyifah karya al Mu’allimi al Yamaani, Hujjiyyatus Sunnah karya ‘Abdul Ghani ‘Abdul Khaaliq, Difaa’ ‘Anis Sunnah Muhammad Abu Syahbah, as Sunnah al Muftara ‘Alaiha karya al Bahnasawi, Mauqiful Jamaa’atil Islaamiyyati Minal Hadiitsin Nabawi karya Muhammad bin Ismaa’iil as Salafi dan Zawaabigh Fi Wajhis Sunnati Qadiiman Wa Hadiitsan karya Shalaah Maqbuul. [8] Wallahu a’lam.

Semoga Allah Ta’ala melindungi kita sekalian dan kaum muslimin pada umumnya dari segala fitnah, syubhat dan kekeliruan. Hasbunallah Wa Ni’mal Wakiil

Marâji’ :

  1. Huqûqun Nabiyyi ‘Alâ Ummatihi Fi Dhauil Kitâbi Was Sunnah Muhammad bin Khalîfah at Tamîmi Adhwâus Salaf I 1418 1997.
  2. al Muwafaqât Abu Ishâq asy Syâthibi tahqîq Masyhûr bin Hasan Alu Salmân Dâr Ibnil Qayyim II 1427 2006.
  3. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi.
  4. Majallah at Tauhîd Makalah Dhalaalaatul Qur`aaniyyin Wa Fataawal Mu’aashiriin Jamaal Sa’d Haatim Edisi 428 Th 36 Sya’baan 1428 H

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Di beberapa situs, Kelompok Ingkarus Sunnah banyak mempunyai dalih –yang dibuat-buat dan dipaksakan – yang mereka lontarkan untuk menumbangkan as Sunnah. Seperti, bahwa mengagungkan hadits-hadits Rasulullah merupakan tindakan yang menyerupai kultus individu kaum Nashrani yang berlebihan dalam menghormati (Nabi) Isa alaihis salaam?!. Atau hadits-hadits adalah biografi dan sejarah seorang manusia yang dipilih Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai rasul terakhir?!. Ini alasan yang diada-adakan, memuat unsur kebodohan, kerancuan berpikir dan penyelewengan dalil serta pendustaan logika. Nas`alullahal ‘aafiyah.
[2] Sementara pernyataan Qur`aniyyun di Indonesia dari situs internet berbunyi: ‘Hadits dan sunnah adalah biografi Muhammad Rasul Allah. sekedar cerita kehidupan seorang anak manusia yang dipilih Allah menjadi rasul dan nabi yang terakhir dari-Nya’. Terdapat kemiripan dengan ucapan kaum Musyrikin Quraisy. Maa asybahal yauma bil baarihah!
[3] Penggalan hadits riwayat
[4] Penggalan hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[5] Tafsiir Ibni Katsîr (6/101)
[6]  Qs. Al Israa/17 : 77
[7]  Al Muwafaqaat: 4/325-326. Silahkan lihat pemaparan Imam asy Syaathibi rahimahullah tentang kedudukan as Sunnah  hal. 314-339
[8] Catatan kaki pentahqîq al Muwafaqaat (4/326)

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Dakwah Firqah...
  4. /
  5. Cacat Penganut Ideologi Ingkar...