Hak Suami Atas Isterinya Ialah Memeliharanya Dalam Hal Agama dan Kehormatan
Bab XIX HAK SUAMI
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
15. Hak Suami Atas Isterinya Ialah Memeliharanya Dalam Hal Agama dan Kehormatannya.
Hal itu dilakukan dengan cara tidak bersolek, tidak memakai parfum, dan tidak berkata lembut yang dapat menggoda orang-orang yang bukan mahramnya, dan melihat mereka dari balkon rumahnya, atau berbaur dengan mereka di pasar atau selainnya, dan memelihara kehormatan dirinya dengan tidak berzina, serta menjaga rahasia suaminya dan tidak menyebarkannya.
Dari Abu Adzinah ash-Shadafi Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِكُمُ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ، الْمُوَاتِيَةُ الْمُوَاسِيَةُ، إِذَا اتَّقَيْنَ اللهَ، وَشَرُّ نِسَاءِكُمُ الْمُتَبَرِّجَاتُ الْمُتَخَيِّلاَتُ، وَهُنَّ الْمُنَافِقَاتُ، لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْهُنَّ إِلاَّ مِثْلُ الْغُرَابِ اْلأَعْصَمِ.
“Sebaik-baik isteri kalian ialah yang penuh kasih, subur (banyak anaknya dan taat terhadap suaminya) jika mereka bertakwa kepada Allah. Dan seburuk-buruk isteri kalian ialah yang bersolek dan banyak akal (untuk memperdaya suami-nya); mereka adalah munafik, yang tidak akan masuk Surga dari mereka kecuali seperti gagak yang kedua kaki dan paruhnya berwarna merah.”[1]
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَـا امْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَابَهَا فِيْ غَيْرِ بَيْتِهَـا، خَرَّقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا سِتْرَهُ.
“.Wanita manapun yang menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla merusak tabir-Nya darinya”[2]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا، فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
“Wanita manapun yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, berarti ia telah menyingkap tabir antara dirinya dengan Allah Azza wa Jalla.”[3]
Dari Fadhalah bin ‘Ubaid secar marfu’:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةِ، وَعَصَى إِمَامَهُ، وَمَاتَ عَاصِيًا، وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ، وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ، فَلاَ تُسْأَلُ عَنْهُمْ.
“Ada tiga golongan yang mereka tidak akan ditanya (pada hari Kiamat); orang yang memisahkan diri dari jama’ah, mendurhakai pemimpinnya dan mati dalam keadaan bermaksiat; hamba sahaya wanita atau hamba sahaya pria yang melarikan diri (dari tuannya); dan wanita yang ditinggal pergi suaminya dalam keadaan telah dicukupi kebutuhan duniawinya, lalu dia bersolek setelah itu (bukan untuk suaminya). Mereka tidak akan ditanya (pada hari Kiamat).”
16. Hak Suami Atas Isterinya Ialah Dia Menghormati Keluarganya Dan Berbakti Kepada Mereka.
Apa yang disebut oleh sebagian orang berupa perselisihan yang lazim di antara mertua dan menantu adalah suatu hal yang berlebihan. Apa yang terjadi dalam keluarga tersebut berupa suatu perselisihan adalah suatu yang lumrah antara dua orang yang mempunyai perasaan, antara yang tua dan yang muda, antara ketergesaan dan sikap bijak. Tetapi ketika adab Islam terpenuhi pada masing-masing anggota keluarga, maka mereka mengetahui hak dan ke-wajibannya, dan kehidupannya pada umumnya akan berjalan dengan penuh keridhaan dan kebahagiaan. Wallaahu a’lam.[4]
Apabila hak suami lebih besar dibanding hak kedua orang tuanya, sedangkan suami wajib berbakti kepada kedua orang tuanya serta memelihara ikatan dan kasih sayang antara dirinya dengan kedua orang tuanya, maka isteri harus membantu suaminya untuk memelihara kasih sayang dan silaturahmi tersebut, bahkan hal ini wajib hukumnya atas isteri. Setiap isteri hendaknya mengetahui bahwa dengan menghormati keluarga suaminya, maka dia menjadi mulia di mata suaminya dan keluarga suaminya. Lebih dari itu, dia diperintahkan demikian. Mereka (kedua mertua) berkedudukan sebagai kedua orang tuanya, karena keduanya lebih tua usianya. Inilah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَـا، وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ.
“Bukan termasuk golonganku orang yang tidak memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta (tidak) mengetahui hak ulama kita.”[5]
Dalam riwayat Anas disebutkan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيْرَنَا.
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua dari kita.”[6]
Isteri yang mulia sejak awal tidak boleh lupa bahwa wanita yang menjadi saingannya berkenaan dengan suaminya adalah ibu suaminya ini. Suami tidak bisa menerima penghinaan yang diarahkan kepada ibunya, meskipun dia termasuk orang yang perasaan berbaktinya tidak peka. Sebab, dia adalah ibunya yang telah mengandungnya dalam perutnya selama sembilan bulan, memberi makan kepadanya dengan air susunya, dan memperhatikan hidupnya hingga menjadi pria sempurna. Lebih dari itu, ibu adalah orang yang diwasiatkan Allah kepadanya dari atas tujuh langit.
Dengan tidak menghormati keluarga suaminya berarti ia tidak menghormati suaminya. Jika suami tidak menerima perlakuan itu sedikit pun sejak awal, maka dia tidak memberikan cintanya kepadanya akibat (hatinya) terluka, aib dan perasaannya yang keruh.
Pria yang mencintai keluarganya dan berbakti kepada kedua orang tuanya adalah manusia yang shalih lagi mulia yang sudah sepantasnya isteri menghormatinya dan mengharapkan kebaikan padanya.[7]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1] HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/376) dan lihat, as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 1849), lihat keterangannya pada catatan kaki terdahulu
[2] HR. At-Tirmidzi (no. 3803) kitab al-Adab, Abu Dawud (no. 4010) kitab al-Hammam, Ibnu Majah (no. 3750) kitab al-Adab, Ahmad (no. 254879), ad-Darimi (no. 2651) kitab al-Isti’-dzaan, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/392).
[3] HR. Al-Hakim (IV/288), ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi
[4] ‘Audatul Hijaab (II/506).
[5] HR. Ahmad (no. 22249), al-Hakim (I/122), dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihut Targhiib (no. 96).
[6] HR. At-Tirmidzi (no. 1919) dan menilainya sebagai hadits gharib, dan dishahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (V/103).
[7] Dinisbatkan oleh penulis ‘Audah al-Hijab (II/508) kepada Nazhzharaat fil Usratil Muslimah, hal. 87-88
- Home
- /
- A6. Panduan Lengkap Nikah
- /
- Hak Suami Atas Isterinya...