Akhlak Penuntut Ilmu Ridha dan Sabar Pada Taqdir Allah
BERAKHLAK BAIK DAN PENTINGNYA BAGI PENUNTUT ILMU
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Ketiga : RIDHA DAN SABAR PADA TAQDIR-TAQDIR ALLAH
Ridha dan sabar pada taqdir-taqdir Allah, dan kita semua telah mengetahui bahwa taqdir-taqdir Allah yang Allah timpakan kepada mahluk-Nya, sebagiannya sesuai dan sebagiannya tidak disukai.
- Apakah sakit disukai manusia ? (tidak sama sekali). Manusia menyukai sehat.
- Apakah kefakiran disukai manusia ? Tidak, manusia menyukai menjadi orang kaya.
- Apakah bodoh disukai manusia ? tidak, manusia menyukai menjadi seorang yang pandai (alim).
- Akan tetapi taqdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagiannya ada yang disukai manusia dan ia lapang dada dengan taqdir sesuai dengan tabiatnya, dan sebagiannya tidak demikian halnya. Maka bagaimanakah berakhlak baik kepada kepada Allah terhadap taqdir-taqdir-Nya ?
Berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah dengan sikap engkau ridha dengan apa yang Allah taqdirkan bagimu, dan hendaknya engkau merasa tenang pada taqdir itu, dan hendaknya engkau mengetahui bahwa tidaklah Allah mentakdirkan bagimu melainkan dengan hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut dipuji dan syukur. Dan berdasarkan hal ini, berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah ridha, menyerah dan merasa tenang. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang sabar yaitu orang –orang yang apabila ditimpa dengan suatu musibah mereka berkata :
“Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita kembali” [Al-Baqarah/2 : 156]
Dan Allah berfirman :
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” [Al Baqarah/2 : 155]
Dan kita meringkas pembahasn yang di atas bahwa berakhlak baik sebagaimana terjadi kepada makhluk juga terjadi kepada Al Khalik (Allah), dan yang dimaksud berakhlak baik kepada Allah adalah menerima Al Qur’an dengan membenarkannya, dan “menemui” hukum-hukumnya dengan menerima serta mengamalkannya, dan menerima taqdir-taqdir-Nya dengan sabar, dan ridha, inilah yang dimaksud berakhlak baik terhadap Allah.
Adapun berakhlak baik terhadap mahluk, sebagian ulama menerangkan dan menyebutkan dari Hasan Al Basri bahwa berakhlak baik adalah : mencegah gangguan, mengerahkan kedermawanan, dan berwajah ceria.
Tiga perkara :
- Mencegah gangguan (Kaffu Al-Adzdzaa)
- Dermawan (Badzlu An-Nadaa)
- Berwajah ceria (Tholaaqotu Al-wajhi)
Pertama : MENCEGAH GANGGUAN (Kaffu Al-Adzdzaa)
Apakah makna “Mencegah gangguan ” Maknanya adalah bahwa seseorang mencegah (dirinya) untuk mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, atau kehormatan. Barangsiapa tidak menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlak yang baik, dan ia berakhlak jelek. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberitahukan dihadapan sejumlah besar umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji wada’)
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dinegeri kalian ini” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah (menggunjing hal-hal yang jelek), maka hal ini bukanlah termasuk berakhlak baik kepada manusia, karena ia tidak menahan (dirinya) dari mengganggu orang. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakuakan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar padamu. Berbuat jahat kepada kedua orangtua misalnya, lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada selain keduanya, dan berbuat jahat kepada karib kerabat lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada orang yang lebih jauh, dan berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari berbuat jahat kepada selain tetanggamu, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Siapa wahai Rasulullah ? beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلَّذِيْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya”.
Dalam riwayat Muslim :
لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”
Kedua : DERMAWAN (Badzlu An-Nadaa)
Makna “Dermawan” [Badzlu An-Nadaa] : Yaitu engkau mendermawakan kedermawanan. Dan Kedermawan itu artinya bukanlah sebagaimana yang difahami oleh sebagian manusia, yaitu engkau mendermakan harta (hanya bermakna ini), tetapi yang dimaksud dermawan adalah mendermakan jiwa, kedudukan dan harta.
Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, membantu mengarahkan mereka kepada seseorang yang mereka tidak mampu (menemuinya kecuali dengan perantaraannya) hingga berhasil (menemui) nya, atau menyebarkan ilmu diantara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kami mensifatinya sebagai orang yang berakhlak baik, karena ia mendermakan kedermawanan, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada, ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jahat, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik” [Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Darimi]
Dan makna hal itu adalah jika engkau dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk maka engkau memaafkan. Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga :
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan)orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” [Ali Imran/3 :134]
Dan Allah berfirman
“Dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa” [Al-Baqarah/2 : 237]
“Dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada” [An-Nur/24 : 22]
Dan Allah berfirman :
“Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” [Asy Syuura/42 : 40]
Seseorang yang berhubungan dengan manusia lainnya, mesti akan mengalami suatu gangguan, maka sepatutnya sikapnya dalam menghadapi gangguan ini adalah hendaknya memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa sikap pemaaf dan lapang dadanya dan harapannya untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat (dapat mengakibatkan) permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan. Allah berfirman :
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” [Al Fushilat/41 : 34]
Maka apakah yang lebih baik ? bersikap buruk atau baik ? (tentu) bersikap baik, dan perhatikanlah wahai orang yang mengerti bahasa Arab, bagaimana datang hasil yang diperoleh dengan “idza Al fujaiyyah” yang menunjukkan kejadian langsung dalam hasil yang diperolehnya :
“Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” [Al Fushilat/41 : 34]
Akan tetapi apakah setiap orang mendapatkan petunjuk untuk mengamalkan hal ini ?
Tidak, :
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar” [Al Fushilat/41: 35]
Dan disini terdapat masalah :
Apakah kita memahami dari keterangan ini memaafkan orang yang berbuat jahat secara mutlak (merupakan tindakan) terpuji dan diperintahkan ? Akan tetapi, hendaknya kalian ketahui bahwa memaafkan itu akan terpuji, jika sikap memaafkan itu lebih terpuji. Maka jika sikap memaafkan lebih terpuji, maka sikap itu lebih utama. Oleh Karena itu Allah berfirman :
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah” [Asy Syuura/42 : 40]
Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?
Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan”.
Maka jika dalam sikap memaaf itu terlewatkan sikap berbuat baik, maka maknanya bahwa kita mendahulukan anjuran daripada kewajiban, dan hal ini tidak ada dalam syariat. Dan Ibnu Taimiyyah benar (semoga Allah merahmatinya)
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah Th I/No.06/1424/2003 hal. 9 – 14 Diterbitkan : Ma’had Al-Irsayd Surabaya. Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
- Home
- /
- A5. Panduan Menuntut Ilmu...
- /
- Akhlak Penuntut Ilmu Ridha...