Persatuan Ummat Islam

Kedelapan puluh:
PERSATUAN UMMAT ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan kaum Muslimin dan melarang mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” [Ali ‘Imran/3: 103]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Ali ‘Imran/3: 105]

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Ruum/30: 31-32]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ.

Berjama’ah adalah rahmat sedangkan berpecah-belah adalah adzab.”[1]

Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan yang dilandasi dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Bukan persatuan yang semu dan sesat. Ahlus Sunnah tidak menyeru kepada perkara-perkara yang dapat memecah belah persatuan kaum Muslimin. Persatuan yang dikehendaki ialah persatuan menurut pemahaman ulama Salaf dan orang-orang yang mengikuti manhaj (pedoman) mereka. Bukan menurut pemahaman pengikut hawa nafsu dan hizbiyyah.[2]

Ahlus Sunnah Mengajak Kaum Muslimin Kepada Persatuan Di Atas Sunnah.
Jika kaum Muslimin bersatu di atas Sunnah, mereka akan mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla, kebaikan dan kekuatan. Dan jika mereka berselisih, yang terjadi adalah kelemahan, kekalahan dan kehancuran.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al-Anfaal/8: 46]

Namun wajib diketahui bahwa persatuan itu dibangun di atas ittiba’ (ketaatan) kepada As-Sunnah bukan di atas bid’ah. Kebanyakan firqah-firqah yang mencela adanya perpecahan dan mengajak kepada persatuan, yang mereka maksud dengan perpecahan adalah golongan yang menyelesihi mereka meskipun golongan itu berada di atas kebenaran. Sedangkan yang mereka maksud dengan persatuan adalah kembali kepada prinsip dan manhaj mereka. Padahal prinsip dan manhaj mereka telah menyimpang dari jalan ash-Shirath al-Mustaqiim (jalan yang lurus). Oleh karena itu apabila terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafush Shalih.[3]

Ahlus Sunnah menyuruh kepada persatuan ummat Islam atas dasar Sunnah dan melarang berpecah-belah serta bergolong-golongan. Ahlus Sunnah juga menyuruh ummat Islam untuk berada dalam satu barisan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Adapun kelompok-kelompok bawah tanah, jama’ah-jama’ah sempalan dan bai’at-bai’at yang dikenal sebagai bai’at dakwah merupakan penyebab timbulnya perpecahaan dan fitnah (pertikaian). Bai’at hanya boleh diberikan kepada orang yang ditunjuk oleh ahlul halli wal ‘aqdi (semacam lembaga yudikatif) atau kepada seorang Muslim yang berkuasa dengan kekuatannya, meskipun ia seorang yang zhalim.

Baca Juga  Hukum Bermu’amalah Dengan Orang Kafir

Ahlus Sunnah berpendapat tentang hadits:

…مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

“…Barangsiapa mati sementara ia belum berbai’at, maka kematiannya terhitung kematian secara Jahiliyyah.”[4]

Sanksi yang tersebut dalam hadits di atas ditujukan kepada orang yang tidak membai’at penguasa yang telah ditunjuk dan disepakati oleh ahlul halli wal ‘aqdi.[5]” Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Ibrahim bin Hani tentang hadits di atas. Beliau (Imam Ahmad) menjawab: “Yang dimaksud dengan Imam adalah yang kaum Muslimin seluruhnya berkumpul untuk membai’atnya, itu adalah Imam dan demikianlah makna hadits ini.” Tidak sebagaimana yang diklaim oleh setiap jama’ah atau kelompok.[6]

Al-Katsiri dalam kitabnya, Fa-idhul Baari berkata: “Ketahuilah bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dianggap bai’at yang sah adalah yang dibai’at oleh seluruh kaum Muslimin. Kalau seandainya ada dua orang atau tiga orang yang membai’at, maka hal itu tidak dikatakan Imam sampai dibai’at oleh kaum Muslimin atau ahlul halli wal ‘aqdi.[7]” Jadi ancaman tentang orang yang meninggalkan bai’at diancam dengan mati Jahiliyyah itu berlaku bagi orang yang tidak berbai’at kepada Imam yang berkumpul padanya seluruh kaum Muslimin atau yang diwakilkan oleh ahlul halli wal ‘aqdi. Adapun yang dilakukan oleh kelompok-kelompok (jama’ah-jama’ah) adalah bai’at yang bid’ah yang harus ditinggalkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhu, yaitu ketika tidak adanya jama’ah dan imam, maka ia harus meninggalkan semua jama’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ، فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.

“… Hendaklah engkau berpegang teguh (bersatu) kepada jama‘ah dan imam kaum Muslimin.” Kemudian Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya: “Bagaimana kalau mereka sudah tidak mempunyai jama’ah dan imam lagi?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus menggigit akar pohon, hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.”[8]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Ahmad (IV/278) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 93), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 667).
[2] Lafazh hizb ada beberapa makna ditinjau dari aspek bahasa, al-Fairuz Abadi dalam Bashaairu Dzawit Tamyiizi (II/457) mengatakan al-hizb adalah kelom-pok (golongan). Al-Ahzaab adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu me-merangi para Nabi. “Sedangkan dalam al-Qur-an terdapat beberapa sudut pandang:
1. Bermakna beberapa golongan yang berada dalam perbedaan pandangan, syari’at, dan agama. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. (QS. Ar-Ruum: 32)
2. Bermakna tentara syaithan. (QS. Mujaadilah/58: 19)
3. Bermakna tentara Allah. (QS. Mujaadilah/58: 22)
4. Mereka di dunia adalah sebagai pemenang. (QS. Al-Maa-idah/5: 56)
5. Akibat (balasan) bagi mereka adalah sebagai pemenang yang beruntung.”

Baca Juga  Syarat dan Kaidah Dalam Dakwah (Mengajak) Manusia Kepada Agama Islam yang Benar

Berkata Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfury, “Al-Hizb secara bahasa adalah: ‘Golongan/kumpulan dari manusia, berkumpulnya manusia karena adanya sifat yang bersekutu atau kemashlahatan yang menyeluruh. Mereka terikat oleh ikatan aqidah dan iman atau ikatan kekufuran, kefasikan, kemaksiyatan atau terikat karena (adanya perasaan) kebangsaan dan setanah air atau (ikatan) nasab/keturunan, pekerjaan, bahasa, atau apa-apa yang serupa dengan ikatan-ikatan tersebut, kriteria, kemaslahatannya yang secara adat manusia berkumpul di atasnya dan bersatu karena sifat-sifat tersebut.”

Bukanlah sesuatu yang tersembunyi bagi seseorang yang berakal bahwa setiap hizb mempunyai prinsip-prinsip, pemikiran, sandaran yang sifatnya intern dan teori-teori yang menjadi patokan sebagai undang-undang bagi kelompok hizb. Meskipun sebagian mereka tidak menyebutnya sebagai undang-undang.

Undang-undang tersebut kedudukannya sebagai asas yang menjadi dasar berpijaknya sistem pengorganisasian hizb dan hizb sengaja dibangun berdasarkan undang-undang tersebut.

Barangsiapa yang percaya dan meyakininya dengan sungguh-sungguh maka pada akhirnya dia akan mengakuinya, mengambilnya sebagai asas pergerakan dan amal jama’i yang tersusun rapi dalam hizb tersebut. Sehingga ia menjadi anggotanya atau pendukung setianya. Yang tidak setuju/menolak, maka ia tidak termasuk anggota hizb. Maka, undang-undang itu asasnya wala’ (kesetiaan/ loyalitas) dan bara’ (permusuhan) persatuan dan perpecahan, kepedulian dan ketidakpedulian.

Atas pertimbangan yang demikian maka sesungguhnya di dunia ini hanya ada dua hizb, yaitu hizb Allah dan hizb syaithan, yang menang dan yang kalah, yang Muslim dan yang kafir.

Orang yang memasukkan hizb Allah ke dalam hizb (kelompok, pergerakan, jama’ah-jama’ah) yang lain maka dia telah merobek-robek hizb Allah, memecah belah kalimat Allah.

Seorang muslim harus meninggalkan dan menanggalkan semua bentuk hizbiyyah yang sempit dan terkutuk yang telah melemahkan hizb Allah, dan tidak boleh toleran kepada semua kelompok/golongan/jama’ah supaya agama Islam ini seluruhnya milik Allah. (Lihat ad-Da’wah ilallaah bainat Tajammu’ al-Hizbi wat Ta’aawun asy-Syar’i, hal. 53-55 oleh Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari.)
[3] Lihat QS. An-Nisaa/4: 59.
[4] HR. Muslim (no. 1851) dan al-Baihaqy (VIII/156) dari Sahabat Ibnu ‘Umar.
[5] Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah no. 984.
[6] As-Siraajul Wahhaaj fii Bayaanil Minhaaj (no. 181), oleh Abul Hasan Mushthafa bin Isma’il as-Sulaimani al-Mishri, cet. I/Maktabah al-Furqan, th. 1420 H
[7] Fa-idhul Baari (IV/59), dikutip dari Nashiihah Dzahabiyyah ilal Jamaa’aatil Islaamiyyah (hal. 10) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ta’liq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar ar-Raayah, th. 1410 H.
[8] HR. Al-Bukhari (no. 7084) dalam Kitaabul Fitan bab Kaifal Amr idzaa Lam Takun Jamaa’ah (bab: Bagaimana Urusan Kaum Muslimin Apabila Tidak Ada Jama’ah), Muslim (no. 1847) dalam Kitaabul Imaarah bab Wujuub Mulaazamah Jamaa’atil Muslimiin ‘inda Zhuhuuril Fitan wa fi Kulli Haal wa Tahriimil Khuruuj ‘alath Thaa’ati wa Mufaaraqatil Jamaa’ah (bab: Keharusan Mengikuti Jama’ah Kaum Muslimin Ketika Terjadi Fitnah dalam Segala Kondisi, dan Diharamkannya Membangkang (Tidak Taat kepada Ulil Amri) dan Meninggalkan Jama’ah).

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Ahlus Sunnah...
  4. /
  5. Persatuan Ummat Islam