Ya’-juj dan Ma’-juj

BERANGKAINYA KEMUNCULAN TANDA-TANDA BESAR KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

Pasal Keempat YA’-JUJ DAN MA’-JUJ
1. Asal Usul Mereka
Sebelum berbicara tentang Ya’-juj dan Ma’-juj kami melihat sangat tepat jika kita berbicara tentang asal mereka, dan apakah yang dimaksud dengan kata Ya’-juj dan Ma’-juj.

Lafazh Ya’-juj dan Ma’-juj adalah dua isim ‘Ajam (non Arab), ada juga yang mengatakan berasal dari bahasa Arab. Jika demikian, dua kata ini diambil dari kata (أَجَّتِ النَّارُ أَجِيْجًا) maknanya adalah api yang menyala, atau diambil dari kata (اَلأُجَاجُ), maknanya adalah air mendidih yang amat sangat hingga bergolak (membeku). Ada juga yang mengatakan berasal dari kata (اَلأَجُّ) maknanya ada-lah cepatnya memusuhi. Ada juga yang mengatakan Ma’-juj berasal dari kata (مَاجَ) maknanya adalah goyah. Keduanya dengan wazan (يَفْعُولُ) pada kata Ya’juuj dan dengan wazan (مَفْعُولُ) pada kata kata Ma’-juuj, atau dengan wazan (فَاعُولُ) untuk keduanya.

Jika keduanya ini memang berasal dari bahasa Arab. Adapun jika kedua berasal dari bahasa ‘Ajam (non Arab), maka keduanya tidak memiliki kata dasar, karena bahasa ‘Ajam tidak diambil dari bahasa Arab.

Mayoritas ulama membaca dengan ungkapan (يَاجُوجُ) dan (مَاجُوجُ) tanpa menggunakan hamzah, yang berarti kedua alifnya sebagai tambahan. Asal kedua kata tersebut adalah (يَجَجَ) dan (مَجَجَ), adapun qira-ah (cara baca al-Qur-an) ‘Ashim menggunakan hamzah yang disukunkan.

Semua yang telah disebutkan berkenaan dengan asal kata keduanya me-nyelarasi (cocok) dengan keadaan mereka, dan pengambilan kata dari lafazh (مَاجَ) yang bermakna goncang, diperkuat oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا

Kami biarkan mereka (Ya’juj dan Ma’juj) di hari itu berbaur antara satu dengan yang lain...” (Al-Kahfi/18: 99)

Hal itu terjadi ketika mereka keluar dari dinding.[1]

Ya’-juj dan Ma’-juj adalah manusia dari keturunan Adam dan Hawwa Alaihissalam, sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya mereka hanya berasal dari Adam dan bukan dari Hawwa.[2] Hal itu terjadi ketika Adam bermimpi, lalu air maninya bercampur dengan tanah, darinyalah Allah menciptakan Ya’-juj dan Ma’-juj.”

Pendapat ini sama sekali tidak berlandaskan dalil, dan tidak disebutkan dalam sumber yang layak diterima perkataannya.[3]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kami sama sekali tidak mengetahui ungkapan seperti ini dari seorang ulama Salaf pun, kecuali dari Ka’ab al-Ahbar, dan ungkapan ini dibantah oleh hadits marfu’ (yang menyatakan) bahwa mereka ber-asal dari keturunan Nuh, sementara Nuh dari keturunan Hawwa.[4]

Ya’-juj dan Ma’-juj berasal dari keturunan Yafits, nenek moyang bangsa Turk, sementara Yafits dari keturunan Nuh Alaihissalam.[5]

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka dari keturunan Adam Alaihissallam  adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: يَا آدَمُ! فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ. فَيَقُولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ؟ قَالَ: وَمَا بَعْثُ النَّارِ؟ قَالَ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا، وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَـا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللهِ شَدِيدٌ. قَالُوا: وَأَيُّنَا ذَلِكَ الْوَاحِدُ؟ قَالَ: أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلاً وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفًا.

Baca Juga  Binatang Apakah Binatang Bumi Tersebut?

Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Adam!’ Adam menjawab, ‘Aku menjawab panggilan-Mu, segala kebaikan ada di kedua tangan-Mu.’ Lalu Allah berfirman, ‘Keluarkanlah rombongan penghuni Neraka!’ Dia bertanya, ‘Berapakah jumlah rombongan penghuni Neraka?’ Allah menjawab, ‘Untuk setiap seribu orang ada sembilan ratus sembilan puluh sembilan.’ Saat itu rambut anak kecil mendadak beruban, setiap orang yang hamil keguguran kandungnya, dan engkau lihat manusia mabuk padahal mereka tidak mabuk, melainkan adzab Allah sangat pedih.’” Para Sahabat ber-tanya, “Siapakah di antara kami yang termasuk satu orang itu?” Nabi menjawab, “Bergembiralah, sesungguhnya satu orang dari kalian dan seribu orang dari Ya’-juj dan Ma’-juj.”[6]

Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَنَّ يَأْجُـوْجَ وَمَأْجُوْجَ مِنْ وَلَدِ آدَمَ، وَأَنَّهُمْ لَوْ أُرْسِلُوْا إِلَـى النَّاسِ؛ لأَفْسَدُوْا عَلَيْهِمْ مَعَايِشَهُمْ، وَلَنْ يَمُوْتَ مِنْهُمْ أَحَدٌ؛ إِلاَّ تَرَكَ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ أَلْفًا فَصَاعِدًا.

Sesungguhnya Ya’-juj dan Ma’-juj dari keturunan Adam, dan sesungguhnya jika mereka diutus kepada manusia, niscaya akan merusak kehidupan mereka, dan tidaklah salah seorang dari mereka mati, kecuali meninggal-kan seribu keturunan dari mereka atau lebih.”[7]

2. Sifat-Sifat Mereka
Adapun sifat-sifat mereka yang telah dijelaskan di berbagai hadits, yakni mereka menyerupai orang-orang yang sejenis dengan mereka dari kalangan bangsa Turk, orang ‘Ajam yang tidak fasih bicaranya, dan bangsa mongol, matanya sipit, berhidung pesek, berambut pirang, berdahi lebar, wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit, bentuk tubuh dan warna kulit mereka mirip bangsa Turk.[8]

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Harmalah, dari bibinya, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah sedangkan jari tangan beliau dibalut dengan perban karena tersengat kalajengking, lalu beliau bersabda:

إِنَّكُمْ تَقُوْلُوْنَ لاَ عَدُوَّ، وَإِنَّكُمْ لاَ تَزَالُوْنَ تُقَاتِلُوْنَ عَدُوًّا حَتَّـى يَأْتِيْ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ، عِرَاضُ الْوُجُوْهِ، صِغَارُ الْعُيُوْنِ، شُهْبُ الشَّعَافِ، مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُوْنَ، كَأَنَّ وُجُوْهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ.

Sesungguhnya kalian berkata tidak ada musuh sementara kalian senantiasa memerangi musuh hingga datang Ya’-juj dan Ma’-juj; bermuka lebar, bermata sipit, berambut pirang, mereka datang dari setiap arah, wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.’”[9]

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sebagian atsar tentang ciri-ciri mereka, akan tetapi riwayatnya lemah.

Di antara yang dijelaskan dalam atsar-atsar tersebut bahwa mereka adalah tiga golongan:

  1. Satu golongan dengan tubuh seperti al-‘urz, yaitu nama sebuah pohon yang sangat besar.
  2. Satu golongan dengan postur tubuh empat hasta kali empat hasta.
  3. Satu golongan dengan telinga mereka yang dapat dipertemukan dengan telinga yang lain.

Dan ada pula atsar yang menyebutkan bahwa tinggi mereka satu jengkal dan dua jengkal, dan paling tinggi dari mereka adalah tiga jengkal.[10]

Yang ditunjuki oleh berbagai dalil shahih bahwa mereka adalah orang-orang yang kuat, tidak ada seorang pun sanggup membunuh mereka, dan mustahil jika tinggi mereka itu satu atau dua jengkal.

Dijelaskan dalam hadits an-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu anhuma, bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepada ‘Isa Alaihissallam dengan keluarnya Ya’-juj dan Ma’-juj, dan tidak ada seorang pun yang mampu membunuh mereka. Dan Allah memerintahkan ‘Isa Alaihissallam agar menjauhkan kaum mukminin dari jalan mereka, lalu Dia berkata kepada mereka, “Kumpulkanlah hamba-hamba-Ku ke gunung Thur.”

Baca Juga  Hadits Turunnya Nabi ‘Isa Adalah Mutawatir

Hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan tentang keluarnya mereka dengan izin Allah Ta’ala.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab Lisaanul ‘Arab (II/206-207), Tartiibul Qaamus al-Muhitah (I/115-116), Fat-hul Baari (XIII/106), dan Syarah an-Nawawi untuk Shahiih Muslim (XVIII/3).
[2] Lihat Fataawa al-Imam an-Nawawi yang dinamakan kitab al-Masaa-ilul Mantsuurah (hal. 116-117, disusun oleh muridnya Ala-uddin al-Aththar), disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fat-h (XIII/ 107) dan beliau menisbatkannya kepada an-Nawawi, beliau berkata, “Dan disebutkan dalam kitab Fataawaa Imam Nawawi.”
[3] Lihat an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/152-153) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[4] Fat-hul Baari (XIII/107).
[5] Lihat an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/-153).
[6] Shahiih al-Bukhari, kitab al-Anbiyaa’, bab Qishshatu Ya’-juuj wa Ma’-juuj (VI/382, al-Fat-h).
[7] Minhatul Ma’buud fi Tartiib Musnad ath-Thayalisi, kitab al-Fitan wa ‘Alaamatus Saa’ah, bab Dzikru Ya’-juuj wa Ma’-juuj (II/219-Tartib Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna) cet. II, th. 1400 H, al-Maktabah al-Islamiyyah, Beirut.
Al-Hakim meriwayatkan sebagian darinya dalam al-Mustadrak (IV/490), beliau berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan syarat asy-Syaikhani, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dan al-Ausath dan para perawinya tsiqat.” Majma’uz Zawaa-id (VIII/6).
Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Hamid dengan sanad yang shahih dari ‘Abdullah bin Salam dengan semisalnya.” Fat-hul Baari (XIII/107).
Dan Ibnu Katsir menyebutkan riwayat ath-Thabrani untuk hadits ini, kemudian beliau berkata, “Ini adalah hadits gharib, dan bisa jadi dari perkataan ‘Abdullah bin ‘Amr dari dua Sahabatnya.
An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/154) tahqiq Dr Thaha Zaini.
[8] Lihat An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/153) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[9] Musnad Imam Ahmad (V/271, dengan catatan pinggir kitab Muntakhah al-Kanz).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, dan ath-Thabrani, perawi keduanya adalah perawi ash-Shahiih.” Majma’uz Zawaa-id (VIII/6).
[10] Lihat Fat-hul Baari (XIII/107).
Ibnu Katsir telah mengingkari sifat-sifat ini, beliau berkata, “Sesungguhnya orang yang mengatakan bahwa ini adalah sifat-sifat mereka, maka dia telah berkata tanpa ilmu mereka,” dan beliau berkata, “Tanpa dilandasi dengan dalil,” an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/153).
Dan al-Haitsami menuturkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah dari Nabi J ten-tang ciri-ciri Ya’-juj dan Ma’-juj dengan sebagian sifat ini, hal itu dari riwayat ath-Thabrani dalam al-Ausath. Di dalam sanadnya ada Yahya bin Sa’id al-Aththar, dia dha’if. Ibnu Hajar berkomentar tentangnya, “Sangat dha’if.”
Lihat Majma’uz Zawaa-id (VIII/6), dan Fat-hul Baari (XIII/106).