Sejarah Wabah Di Negeri-Negeri Islam

SEJARAH WABAH DI NEGERI-NEGERI ISLAM[1]
(Tinjauan Penutupan Masjid dan Social Distance)

Oleh
Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc. MA

Wabah di Ámwaas dekat Palestina (Tahun 18 H)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari seseorang yang merupakan saksi hidup wabah thoún Ámwas, ia berkata :

لَمَّا اشْتَعَلَ الْوَجَعُ، قَامَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي النَّاسِ خَطِيبًا، فَقَالَ: ” أَيُّهَا النَّاسُ: إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ رَحْمَةُ رَبِّكُمْ، وَدَعْوَةُ نَبِيِّكُمْ، وَمَوْتُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَإِنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ يَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَقْسِمَ لَهُ مِنْهُ حَظَّهُ “. قَالَ: فَطُعِنَ فَمَاتَ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَاسْتُخْلِفَ عَلَى النَّاسِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، فَقَامَ خَطِيبًا بَعْدَهُ فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ رَحْمَةُ رَبِّكُمْ، وَدَعْوَةُ نَبِيِّكُمْ، وَمَوْتُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَإِنَّ مُعَاذًا يَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يَقْسِمَ لِآلِ مُعَاذٍ مِنْهُ حَظَّهُ» . قَالَ: فَطُعِنَ ابْنُهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُعَاذٍ، فَمَاتَ، ثُمَّ قَامَ فَدَعَا رَبَّهُ لِنَفْسِهِ، فَطُعِنَ فِي رَاحَتِهِ، فَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا ثُمَّ يُقَبِّلُ ظَهْرَ كَفِّهِ، ثُمَّ يَقُولُ: «مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِمَا فِيكِ شَيْئًا مِنَ الدُّنْيَا». فَلَمَّا مَاتَ اسْتُخْلِفَ عَلَى النَّاسِ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ، فَقَامَ فِينَا خَطِيبًا فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ إِذَا وَقَعَ فَإِنَّمَا يَشْتَعِلُ اشْتِعَالَ النَّارِ، فَتَجَبَّلُوا مِنْهُ فِي الْجِبَالِ» . قَالَ: فَقَالَ لَهُ أَبُو وَاثِلَةَ الْهُذَلِيُّ: «كَذَبْتَ وَاللَّهِ، لَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْتَ شَرٌّ مِنْ حِمَارِي هَذَا» . قَالَ: «وَاللَّهِ مَا أَرُدُّ عَلَيْكَ مَا تَقُولُ» ، «وَايْمُ اللَّهِ لَا نُقِيمُ عَلَيْهِ»، ثُمَّ خَرَجَ وَخَرَجَ النَّاسُ فَتَفَرَّقُوا عَنْهُ وَدَفَعَهُ اللَّهُ عَنْهُمْ. قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْ رَأْيِ عَمْرٍو فَوَاللَّهِ مَا كَرِهَهُ»

“Ketika wabah merajalela, berdirilah Abu Ubaidah bin Jarrah berkhutbah di hadapan orang-orang dan berkata; “Wahai manusia! sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doa Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut.” Lalu dia terjangkit wabah tersebut sehingga meninggal dunia -semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.- kemudian Mu’adz bin Jabal menggantikan dia untuk memimpin orang-orang, kemudian dia dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah; “Wahai manusia, penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, penyakit ini doanya Nabi kalian dan sebab kematiannya para orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar keluarga Mu’adz mendapat bagian dari rahmat tersebut.” Kemudian Abdurrahman bin Mu’adz, anaknya terjangkit penyakit sampai meninggal. Dia pun bangkit memohon kepada Rabbnya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terjangkit di telapak tangannya. Sungguh saya melihatnya memperhatikan penyakit tersebut kemudian mencium bagian atas tangannya sambil berkata; “Aku tidak senang ada sesuatu dari dunia ada pada dirimu (berkata kepada telapak tangannya yang terkena tho’un)”. Ketika dia wafat, ‘Amru bin Al Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang. Kemudian dia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan kami; “Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (di suatu negri) maka dia akan melahap sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.” Tetapi Abu Watsilah Al Hudzali berkata kepadanya; “Demi Allah, kamu telah berdusta, saya pernah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kamu lebih buruk daripada keledaiku ini.” ‘Amru berkata; “Demi Allah aku tidak akan membalas perkataanmu, demi Allah saya tidak akan memperkarakan perkataanmu itu.” dia pun keluar dan orang-orangpun keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka. Ketika pendapat ‘Amru tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab, demi Allah dia tidak membencinya.” [2]

Bahkan terdapat dalam riwayat lain dari Amr bin Al-Ash yang memerintahkan untuk menjauh dari keramaian dan mengasingkan diri ke puncak-puncak gunung dan lembah-lembah[3]

Dan dalam riwayat lain bahwa yang mendebat Amr bin Al-‘Ash adalah Syurahbil bin Hasanah.

عَنْ شَهْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ، قَالَ: لَمَّا وَقَعَ الطَّاعُونُ بِالشَّامِ، خَطَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ النَّاسَ، فَقَالَ: إِنَّ هَذَا الطَّاعُونَ رِجْسٌ، فَتَفَرَّقُوا عَنْهُ فِي هَذِهِ الشِّعَابِ وَفِي هَذِهِ الْأَوْدِيَةِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ شُرَحْبِيلَ بْنَ حَسَنَةَ قَالَ: فَغَضِبَ فَجَاءَ وَهُوَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُعَلِّقٌ نَعْلَهُ بِيَدِهِ، فَقَالَ: ” صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَمْرٌو أَضَلُّ مِنْ حِمَارِ أَهْلِهِ، وَلَكِنَّهُ رَحْمَةُ رَبِّكُمْ، وَدَعْوَةُ نَبِيِّكُمْ، وَوَفَاةُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ

“dari Syahr dari Abdurrahman bin Ghanm ia berkata, “Ketika penyakit tha’un melanda negeri Syam, maka Amru bin Ash berkhutbah seraya mengatakan, “Sesungguhnya penyakit tha’un ini adalah kotoran. Maka hendaklah kalian menghindar darinya dengan berpencar bukit-bukit dan lembah-lembah ini.” Hal itu lalu sampai ke telinga [Syurahbil bin Hasanah], maka ia pun marah dan datang dengan menyeret kain dan menenteng sandalnya seraya berkata, “Saya telah berteman dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Amru itu lebih sesat daripada himar milik keluarganya. Akan tetapi hal itu adalah rahmat dari Rabb kalian, do’a dari Nabi kalian dan wafatnya orang-orang shalih sebelum kalian.” [4]

Sebab bantahan Syurahbil bin Hasanah terhadap ‘Amr bin Al’Ash karena ini merupakan perintah Nabi untuk tidak lari dari penyakit tho’un, sedangkan Amr bin Al-‘Ash mungkin memahami perintah untuk tidak lari dari tho’un adalah lari ke negara/kota lain yang dikhawatirkan tho’un tersebut menyebar ke kota lain dan larangan tersebut tidak berlaku ke daerah yang tidak ditempati orang-orang seperti puncak-puncak gunung ataupun lembah-lembah.

Dalam kisah di atas tidak disebutkan tentang kondisi masjid, akan tetapi dzohirnya masjid-masjid ditinggalkan di zaman ‘Amr bin al-‘Ash karena beliau memerintahkan orang-orang untuk menjauh pergi ke gunung-gunung.

Wabah di  al-Qoairawan, Tunisia (Tahun 395 H)
Sekitar tahun 395 H pernah terjadi wabah di Tunisia sebagaimana yang sebutkan oleh Ibnu ‘Idzari Al-Marokisyi,

وفي سنة 395، كانت بأفريقية شدة عظيمة انكشف فيها الستور، وهلك فيها الفقير، وذهب مال الغنى، وغلت الأسعار، وعدم القوات. وجلى أهلها البادية عن أوطانهم وخلت أكثر المنازل فلم يبقى لها وارث ومع هذه الشدة وباء طاعون هلك فيه أكثر الناس من غني ومحتاج فلا ترى متصرفا إلا في علاج أو عيادة مريض أو آخذا في جهاز ميت أو تشيع جنازة أو انصرف من دفن….فمات من طبقات الناس وأهل العلم والتجار والنساء والصبيان ما لا يحصى عددهم إلا خالقهم تعالى وخلت المساجد بمدينة القيروان

“Dahulu pada tahun 395 H di Afrika terdapat bencana besar yang menjadikan tirai-tirai tersingkap, orang-orang fakir meninggal, harta orang kaya ludes, harga-harga barang melambung tinggi, dan tidak adanya makanan pokok. Penduduk pedalaman meninggalkan kampung halaman mereka sehingga banyak rumah-rumah yang kosong dan tidak tersisa orang yang mewarisinya. Kondisi genting ini disertai dengan wabah tho’un yang menyebabkan binasanya mayoritas orang-orang, baik orang kaya maupun orang miskin (yang butuh). Maka engkau tidak akan mendapati orang yang beraktifitas kecuali untuk berobat, mengunjungi orang yang sakit, menyiapkan untuk mengurus orang yang meninggal, mengiringi jenazah, atau kembali dari menguburkan jenazah…. maka meninggal bermacam-macam golongan manusia dari ulama, pedagang, wanita, dan anak-anak yang jumlahnya tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Sang Pencipta Allah subhanahu wa ta’ala, dan masjid-masjid di Qairawan pun kosong.[5]

Wabah di Andalus (Tahun 448)
Berkata adz-Dzahabi tentang kejadian tahun 448 H,

وفيها كان القحط العظيم بالَأندلس والوباء. ومات الخلق بإشبيلية، بحيث أن المساجد بقيت مُغلقة ما لها من يصلي بها. ويُسمّى عام الجوع الكبير

“dan terjadi pada tahun tersebut kemarau yang berkepanjangan dan wabah di Andalus. Dan banyak manusia yang meninggal di Ishbilia dimana masjid-masjid selalu tertutup karena tidak ada yang shalat di dalamnya. Dan dinamakan tahun tersebut dengan tahun kelaparan besar.”[6]

Dan beliau juga berkata:

وَكَانَ القَحْطُ عَظِيْماً بِمِصْرَ وَبَالأَنْدَلُس، وَمَا عُهِدَ قَحْطٌ وَلاَ وَبَاءٌ مِثْله بقُرْطُبَة، حَتَّى بَقِيَت المَسَاجِدُ مغلقَة بِلاَ مُصَلٍّ، وَسُمِّيَ عَام الْجُوع الكبير

“dan kemarau sangat lama di Mesir dan Andalus. Dan tidak pernah terjadi kemarau dan wabah semisalnya di Qurtubah sehingga masjid-masjid selalu tertutup tanpa ada orang yang shalat. Dan tahun tersebut dinamakan dengan tahun kelaparan besar.” [7]

Wabah di Ahwaz, dan juga di Kufah (Tahun 449 H)
Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah bercerita tentang kejadian tahun 449 H,

وفي جمادى الآخرة: ورد كتاب من تجار ما وراء النهر : قد وقع في هذه الديار وباء عظيم مسرف زائد عن الحد، حتى أنه خرج من هذا الإقليم في يوم وأحد ثمانية عشر ألف جنازة، وأحصى من مات إلى أن كتب هذا الكتاب فكانوا ألف ألف وستمائة ألف وخمسين ألفا، والناس يمرون في هذه البلاد فلا يرون إلا أسواقا فارغة، وطرقات خالية، وأبوابا مغلقة، حتى إن البقر نفقت.

“Pada bulan Jumadil Akhir datang surat dari para pedang dari negeri-negeri waraa’an -Nahr : “Telah terjadi wabah yang besar yang melampaui batasnya di kota-kota ini. Sehingga keluar dari wilayah ini dalam satu hari delapan belas ribu jenazah. Dan terhitung yang meninggal hingga surat ini dituli sebanyak satu juta sembilan ratus lima puluh ribu jiwa. Dan orang-orang melewati kota ini mereka tidak melihat kecuali pasar-pasar dan jalan-jalan yang kosong, pintu-pintu yang tertutup, hingga sapi-sapi binasa.”

وجاء الخبر من آذربيجان وتلك الأعمال بالوباء العظيم، وأنه لم يسلم إلا العدد القليل.

ووقع وباء بالأهواز وأعمالها وبواسط، وبالنيل، ومطيرآباذ، والكوفة، وطبق الأرض حتى كان يخد للعشرين والثلاثين زبية فيلقون فيها، وكان أكثر سبب ذلك الجوع، وكان الفقراء يشوون الكلاب، وينبشون القبور فيشوون الموتى ويأكلونهم، وكان لرجل جريبان أرضًا دفع إليه في ثمنها عشرة دنانير فلم يبعها، فباعها حينئذ بخمسة أرطال خبز، وأكلها ومات من وقته. وطويت التجارات، وأمور الدنيا، وليس للناس شغل في الليل والنهار إلا غسل الأموات والتجهيز والدفن، وكان الإنسان قاعدًا فينشق قلبه عن دم المهجة فيخرج إلى الفم منه قطرة فيموت الإنسان.

Dan datang kabar dari Adzarbejan dan kota-kota disekitarnya adanya wabah yang dahsyat, dan tidak ada yang selamat kecuali sedikit.

Dan terjadi wabah di Al-Ahwaaz dan di wilayah-wilayahnya, di Wasith, di An-Nil, dan di Muthorabadz. Wabah merata, sampai-sampai dibuat satu lubang lalu dilemparkan 20 sampai 30 mayat padanya. Kebanyakan sebab kematian adalah kelaparan. Orang-orang miskin memanggang anjing, mereka menggali kubur lalu membakar mayat-mayat dan memakannya. Ada orang yang memiliki 2 petak tanah, lalu ada yang mau beli dengan harga 10 dinar, namun ia tidak menjualnya, maka tatkala itu ia menjualnya dengan 5 rithl (takaran) roti , lalu ia memakan tersebut lalu ia mati seketika. Perdagangan ditutup demikian juga perkara-perkara dunia. Tidak ada kegiatan orang-orang siang dan malam kecuali hanya memandikan mayat dan menyiapkan penyelenggaraan janazah dan penguburan. Seseorang duduk lalu jantungnya pun pecah dan darahpun keluar menuju mulutnya lalu menetes setetes darah lalu meninggal.

وتاب الناس كلهم، وتصدقوا بمعظم أموالهم، وأراقوا الخمور، وكسروا المعازف، ولزموا المساجد لقراءة القرآن [خصوصا العمال والظلمة] وكل دار فيها خمر يموت أهلها في ليلة واحدة. ووجدوا دارا فيها ثمانية عشر نفسا موتى، ففتشوا متاعهم فوجدوا خابية خمر، فأراقوها. ودخلوا على مريض طال نزعه سبعة أيام، فأشار بإصبعه إلى خابية خمر فقلبوها وخلصه الله [تعالى] من السكرة، فقضى، وقبل ذلك كان من يدخل هذه الدار يموت، ومن كان مع امرأة حراما ماتا من ساعتهما، وكل مسلمين بينهما هجران وأذى فلم يصطلحا ماتا معًا، ومن دخل الدار ليأخذ شيئا مما قد تخلف فيها وجدوا المتاع معه وهو ميت.

Baca Juga  Literatur Islam Tentang Wabah-Pandemik Sepanjang Sejarah

Orang-orangpun bertaubat seluruhnya, mereka bersedekah dengan mayoritas harta mereka. Bir-bir mereka buang, alat-alat musik mereka hancurkan, dan mereka melazimi masjid-masjid untuk membaca al-Qurán, terutama para pejabat dan orang-orang yang dzalim. Semua rumah yang ada khomr (bir)nya maka penghuninya wafat dalam satu malam. Mereka mendapatkan dalam satu rumah ada 18 orang meninggal, maka mereka periksa barang-barangnya ternyata mereka mendapati ada khomr yang disembunyikan, maka merekapun membuang dengan menumpahkanya. Mereka menjenguk orang yang sakit yang sudah 7 hari sekarat, maka si sakit memberi isyarat dengan jarinya ke tempat disembunyikan khomr, maka merekapun menumpahkannya, lalu Allahpun menyelesaikan sakarat orang tersebut, lalu meninggal. Dan sebelumnya barang siapa yang masuk rumah tersebut maka meninggal. Siapa yang bersama wanita yang haram maka keduanya mati ketika itu juga. Setiap dua orang muslim yang saling memboikot (tidak menyapa) dan saling mengganggu serta tidak berdamai maka keduanya mati bersamaan. Siapa yang masuk rumah untuk mengambil sesuatu barang yang tertinggal maka mereka mendapatinya bersama barang tersebut dan ia dalam kondisi mati.

ومات رجل كان مقيما بمسجد فخلف خمسين ألف درهم، فلم يقبلها أحد، ووضعت في المسجد تسعة أيام بحالها، فدخل أربعة أنفس ليلا إلى المسجد وأخذوها فماتوا عليها. ويوصي الرجل الرجل فيموت الذي أوصى إليه قبل الموصِي، وخلت أكثر المساجد من الجماعات

Ada seorang pengurus masjid meninggal dan ia meninggalkan 50 ribu dirham, maka tidak seorangpun yang menerimanya. Maka harta tersebut diletakan di masjid selama 9 hari begitu saja. Maka masuklah 4 orang di malam hari ke dalam masjid lalu merekapun mengambil harta tersebut ternyata mereka meninggal di atas harta tersebut. Seseorang berwashiat kepada orang yang lain, maka yang diwashiatkan ternyata lebih dahulu wafat sebelum yang berwashiat. Dan mayoritas masjid-masjid tidak ada jamaáhnya” [8]

Wabah di Mesir (Bulan Ramadhan Tahun 749 H)
Dan di Mesir tersebar tho’un besar pada tahun 749 H. Al-Miqrizi berkata:

فَكَانَ فِيهَا الوباء الَّذِي لم يعْهَد فِي الْإِسْلَام مثله فَإِنَّهُ ابْتَدَأَ بِأَرْض مصر … وَذَلِكَ فِي فصل الخريف فِي أثْنَاء سنة ثَمَان وَأَرْبَعين. وَمَا أهل محرم سنة تسع وَأَرْبَعين حَتَّى انْتَشَر الوباء فِي الإقليم بأسره وَاشْتَدَّ بديار مصر فِي شعْبَان ورمضان وشوال وارتفع فِي نصف ذِي الْقعدَة. وَكَانَ يَمُوت بِالْقَاهِرَةِ ومصر مَا بَين عشرَة آلَاف إِلَى خَمْسَة عشر ألف إِلَى عشْرين ألف نفس فِي كل يَوْم. وعملت النَّاس التوابيت والدكك لتغسيل الْمَوْتَى للسبيل بِغَيْر أجره وَحمل أَكثر الْمَوْتَى على أَلْوَاح الْخشب وعَلى السلالم والأبواب وحفرت الحفائر وألقوا فِيهَا. وَكَانَت الحفرة يدْفن فِيهَا الثَّلَاثُونَ وَالْأَرْبَعُونَ وَأكْثر. وَكَانَ الْمَوْت بالطاعون يبصق الْإِنْسَان دَمًا ثمَّ يَصِيح وَيَمُوت وَعم مَعَ ذَلِك الغلاء الدُّنْيَا جَمِيعهَا

وَصَارَ النَّاس يبيتُونَ بموتاهم على الترب لعجزهم عَن تواريهم. وَكَانَ أهل الْبَيْت يموتون جَمِيعًا وهم عشرات فَمَا يُوجد لَهُم سوى نعش وَاحِد ينقلون فِيهِ شَيْئا بعد شَيْء. وَأخذ كثير من النَّاس دوراً وأثاثاً وأموالا من غير اسْتِحْقَاق لمَوْت مستحقيها فَلم يتمل أَكْثَرهم مِمَّا أَخذ وَمَات وَمن عَاشَ مِنْهُم اسْتغنى بِهِ… وَبَطلَت الأفراح والأعراس من بَين النَّاس فَلم يعرف أَن أحدا عمل فَرحا فِي مُدَّة الوباء وَلَا سمع صَوت غناء. وتعطل الْأَذَان من عدَّة مَوَاضِع وَبَقِي فِي الْموضع الْمَشْهُور بِأَذَان وَاحِد

Pada tahun itu (749 H) terjadi wabah yang tidak pernah seperti itu sebelumnya dalam sejarah Islam. Wabah dimulai di negeri Mesir …yaitu pada musim semi di tengah tahun 748 H. Dan tidaklah masuk bulan Muharram tahun 749 H kecuali wabah tersebar di seluruh wilayah dan semakin parah di negeri Mesir di bulan Sya’ban, Ramadhan, dan Syawwal dan baru hilang di pertengahan bulan Dzulqo’dah. Dan yang meninggal perhari di Qohiroh dan Mesir sekitar 10 ribu hingga 15 ribu hingga 20 ribu orang. Orang-orangpun membuat tempat-tempat duduk yang panjang untuk pemadian mayat secara gratis tanpa bayaran. Mayoritas orang-orang mengangkat mayat-mayat di atas papan-papan kayu, mengangkut mayat pakai tangga-tangga, dan pakai pintu-pintu rumah. Digalilah lubang-lubang lalu mayat-mayat dilemparkan di situ. Satu lubang bisa untuk 30 hingga 40 mayat atau lebih. Kematian dengan wabah thoún adalah seseorang meludahkan darah lalu berteriak lalu meninggal. Selain wabah ketika itu harga naik meliputi seluruh tempat…. Dan orang-orangpun tinggal bersama mayat-mayat mereka yang ditutup dengan tanah karena mereka tidak mampu untuk menguburkan. Yang terjadi satu keluarga langsung meninggal bersamaan dan jumlah mereka puluhan, maka mereka tidak mendapatkan kecuali satu keranda saja yang mereka gunakan untuk mengangkat mayat satu demi satu. Banyak orang juga yang menempati rumah-rumah orang lain, mengambil perabot dan harta tanpa hak karena para pemiliknya telah meninggal, namun mayoritas mereka tidak sempat memanfaatkan dan meninggal, dan yang masih hidup tidak membutuhkan lagi.

Acara-acara pesta walimah dibatalkan di masyarakat, dan tidak dikenal seorangpun yang melakukan acara pernikahan di musim wabah, dan tidak terdengar suara nyanyian (dari acara walimah). Azan tidak terdengar di beberapa lokasi dan hanya tersisa satu azan di lokasi yang masyhur.”[9]

Hal di atas juga dikatakan oleh sejarawan Ibnu Tagri Bardi dengan tambahan keterangan:

وغلّقت أكثر المساجد والزوايا

“Dan mayoritas masjid-masjid dan Lorong-lorong ditutup.” [10]

Wabah di Makkah (Tahun 827 H)
Di antaranya yang terjadi di Makkah di Al-Masjid Al-Harom sekitar tahun 827 H[11] sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar

وفي أوائل هذه السنة وقع بمكة وباء عظيم بحيث مات في كل يوم أربعون نفساً، وحصر من مات في ربيع الأول ألفاً وسبعمائة، ويقال إن إمام المقام لم يصل معه في تلك الأيام إلا إثنين وبقية الأئمة بطلوا لعدم من يصلي معهم.

“Pada awal-awal tahun tersebut terjadi wabah yang besar dimana di setiap harinya meninggal sebanyak empat puluh jiwa. Dan terhitung yang meninggal pada bulan rabi’ul awal sebanyak seribu tujuh ratus jiwa. Dan disebutkan bahwa imam al-Maqoom[12] tidak ada yang salat bersamanya pada hari-hari tersebut kecuali dua orang. Dan imam-imam yang lainnya tidak mengimami dikarenakan tidak ada orang-orang yang shalat bersama mereka.” [13]

Wabah di Damaskus, Himsh, Iskandariah dan Qohiroh (Tahun 833 H)
Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar ketika menceritakan peristiwa-peristiwa tahun 833 H, diantaranya terjadi wabah thoún di Damaskus dan Himsh. Beliau menjelaskan dampak penyebaran wabah setelah terjadi perkumpulan manusia. Ia menyebutkan,

فلما استهل ربيع الآخر كان عدة من يموت بالقاهرة اثنتي عشرة نفساً، وفي آخره قاربوا الخمسين. وفي أول يوم من جمادى الأولى بلغوا مائة، فنودي في الناس بصيام ثلاثة ايام وبالتوبة وبالخروج إلى الصحراء في اليوم الرابع، وخرج الشريف كاتب السر والقاضي الشافعي وجمع كثير من بياض الناس وعوامهم، فضجوا وبكوا ودعوا وانصرفوا قبل الظهر، فكثر فيهم الموت أضعاف ما كان وبلغ في اليوم ثلاثمائة بالقاهرة خاصة… ومما وقع فيه من النوادر أن مركباً ركب فيها أربعون نفساً قصدوا الصعيد، فما وصلت إلى الميمون حتى مات الجميع؛ وان ثمانية عشر صياداً اجتمعوا في مكان، فمات منهم في يوم واحد أربعة عشر فجهزهم الأربعة، فمات منهم وهم مشاة ثلاثة، فلما وصل الآخر بهم إلى المقبرة مات… وفي رابع جمادى الأولى بلغت عدة الموتى بالقاهرة خاصة في اليوم ألف نفس ومائتي نفس

“Ketika masuk bulan Rabiúl Awal yang wafat di Qohiroh hanya 12 orang, dan di Robiul Akhir yang wafat mendekati 50 orang. Dan di hari pertama di bulan Jumadil Ula yang wafat mencapai 100 orang. Maka diserukan kepada masyarakat agar berpuasa sebanyak tiga hari dan untuk bertaubat, serta untuk keluar ke padang terbuka pada hari keempatnya. Maka keluarlah Ass-Syariif (Katib as-Sir/semacam sekertaris kerajaan) dan Hakim bermadzhab Syafií dan banyak orang dari kalangan atas maupun orang-orang awam (menuju padang terbuka). Merekapun ramai, menangis, dan berdoa, lalu mereka pulang sebelum dzuhur. Maka banyaklah yang meninggal bahkan berlipat-lipat ganda dari jumlah sebelumnya, dan yang meninggal dalam satu hari mencapai 300 orang khusus di Qohirah saja…

Diantara peristiwa yang unik ada sebuah kapal dengan penumpang 40 orang mereka bermaksud menuju kota As-Soíd, belum sampai ke kota al-Maimun ternyata semuanya telah meninggal dunia. Ada juga 18 orang pemburu yang berkumpul di suatu tempat, maka dalam satu hari 14 orang dari mereka meninggal, maka sisanya 4 orang menguburkan mereka. Lalu tiga yang lainnya juga meninggal tatkala mereka dalam perjalanan menuju kuburan. Takala sampai di kuburan maka yang terakhir juga meninggal…. Dan di hari ke4 bulan Jumadal Ulaa jumlah yang meninggal dalam sehari mencapai 1200 orang….[14]

Baca Juga  Bersama Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menjenguk Orang Sakit

Beliau juga berkata :

وفي نصف جمادى الآخرة جمع الشريف كاتب السر أربعين شريفاً اسم كل منهم محمد وفرق فيهم مالاً، فقرأ بعد صلاة الجمعة بالجامع الازهر ما تيسر من القرآن، فلما أن قرب العصر قاموا فدعوا وضجوا. وكثر الناس معهم في ذلك إلى أن صعد الأربعون إلى السطح فأذنوا العصر جميعاً وانفضوا، وكان بعض العجم قال للشريف إن هذا يدفع الطاعون، ففعل ذلك فما ازداد الطاعون إلا كثرة

“….dan pada pertengahan Jumadal Akhir Asy-Syarif (Katib as-Sirr) mengumpulkan empat puluh orang syarif/habib (yaitu keturunan Nabi shallallahu álaihi wasallam) yang semuanya bernama Muhammad dan membagikan kepada mereka harta. Kemudian dibacakan setelah shalat Jumat di Al-Azhar Al-Quran sebisanya. Ketika mendekati waktu ashar mereka berdoa dan menimbulkan suara ramai. Orang-orang pun semakin banyak pada saat itu hingga empat puluh orang tersebut (yang bernama Muhammad seluruhnya-pen) naik ke atap lalu mereka semua mengumandangkan azan (bersamaan) dan kembali. Dan sebagian orang non Arab berkata kepada Asy-Syarif: sesungguhnya ini bisa menghilangkan tho’un” maka ia pun melakukan hal tersebut. Dan tidak lah tho’un bertambah kecuali semakin banyak….” [15]

Dan Ibnu Hajar melanjutkan:

ولما اشتد الامر بالطاعون أمر السلطان باستفتاء العلماء عن نازلة الطاعون هل يشرع الاجتماع للدعاء برفعه أو يشرع القنوت له في الصلوات؟ وما الذي وقع للعلماء في الزمن الماضي؟ فكتبوا الأجوبة وتشعبت آراؤهم وتحصل منها على انه يشرع الدعاء والتضرع والتوبة، وتقدم قبل ذلك التوبة، والخروج من المظالم، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وانهم لا يستحضرون عن أحد من السلف أنهم اجتمعوا لذلك إلا أن الاجتماع أرجى للإجابة؛ وأجاب الشافعي بجواز القنوت، لأنها نازلة وقد صرح الشافعية بمشروعية القنوت في النوازل، وأجاب الحنفي والمالكي بالمنع، واجاب الحنبلي بأن عندهم روايتين ومن جوزه خصه بالإمام الاعظم في غير يوم الجمعة؛ ثم طلب القضاة والعلماء إلى حضرة السلطان فقرئت الفتاوى وفسرها له محب الدين ابن الأقصراني فأجاب: أنا أتابع الصحابة والسلف الصالح ولا أخرج بل كل أحد يبتهل إلى الله تعالى في سره… وأمر السلطان القضاة والامراء بأن يأمروا الناس بالتوبة والإقلاع عن المعاصي والإكثار من الطاعات ونحو ذلك، ونودي بالقاهرة بمنع النساء من الخروج إلى الترب، وتوعد المكاري بالشنق والمرأة بالتغريق

Ketika wabah semakin parah maka Sultan memerintahkan untuk meminta fatwa kepada para ulama tentang kejadian wabah thoún, apakah disyariátkan untuk berdoa agar dihilangkan wabah, atau disyariátkan untuk qunut dalam shalat-shalat? Dan adakah sikap para ulama di zaman dahulu tentang hal seperti ini?. Maka para ulama pun menuliskan jabawan mereka, dan berbeda-beda pendapat mereka. Kesimpulannya disyariátkan berdoa dan merendahkan diri serta bertaubat, dan bertaubat sebelumnya serta keluar dari bentuk-bentuk kedzaliman, beramar ma’ruf dan bernahi mungkar. Namun mereka tidak mendapatkan dari seorang salafpun bahwasanya dahulu para salaf berkumpul untuk berdoa, hanya saja dengan berkumpul lebih diharapkan dikabulkan doa.

Adapun ulama Syafií berpendapat untuk disyariátkan qunut, karena wabah thoún adalah musibah dan disyariátkan untuk qunut pada setiap musibah. Adapun ulama Maliki dan Hanafi melarang untuk qunut. Adapun ulama Hanbali maka mereka memiliki 2 riwayat, siapa yang membolehkan maka mengkhususkannya dengan Imam Tertinggi (Sulton/Raja) namun pada selain shalat jumát. Lalu para ulama dan para hakim dipanggil dihadapan Sulthon, lalu dibacalah fatwa-fatwa tersebut dan dijelaskan isinya oleh Muhibbuddin Ibnu Al-Aqshoroni. Lalu Sulton berkata, “Aku mengikuti para sahabat dan para as-Salaf as-Shalih, dan aku tidak keluar (untuk berdoa bersama), akan tetapi setiap orang berdoa kepada Allah sendiri-sendiri”… Dan Sulthon memerintahkan para hakim dan para perjabat untuk memerintahkan masyarakat agar bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, serta memperbanyak ketaatan dan yang semisalnya. Dan kumandangkan pengumuman di Qohiroh untuk melarang para wanita keluar ke lapangan dan mengancam penyewa tunggangan dengan digantung dan wanita (yang melanggar) dengan ditenggelamkan[16]

Wabah di Mesir (Tahun 848 H)
Ibnu Hajar berkata :

استهل المحرم منها يوم الاثنين وقد تزايد الطاعون، وبلغ عدد الأموات في كل يوم زيادة على عشرين ومائة .. وقيل إنه يزيد على المائتين، وأكثر من يموت الأطفال والرقيق، ثم تزايد واشتد اشتعاله إلى أن دخل الحاج فتزايد أيضاً، ومات من أطفالهم ورقيقهم عدد جم، ويقال إنه جاوز الألف في كل يوم

Lalu masuk bulan Muharram (848 H) pada hari senin, sementara thoún semakin parah. Yang wafat setiap hari mencapai 120 ….dan dikatakan lebih dari 200 orang. Mayoritas yang meninggal adalah anak-anak dan budak. Kemudian tho’un semakin bertambah dan semakin menyebar hingga masuk jamaáh haji (pulang dari Mekah),  maka semakin parah wabahnya.  Banyak yang meninggal dari anak-anak dan budak-budak. Dan dikatakan jumlahnya melebihi seribu jiwa yang meniggal di setiap harinya.” [17]

Ibnu Hajar juga pernah bercerita tentang seorang qodhi yang sengaja tidak keluar rumah dengan berpura-pura sakit agar selamat dari thoún, dan akhirnya dia selamat. Beliau berkata :

ثم لما وقع الطاعون في هذه السنة ذعر منه ذعراً شديداً وصار دأبه أن يستوصف ما يدفعه ويستكثر من ذلك أدوية وأدعية ورقي، ثم تمارض لئلا يشاهد ميتاً ولا يدعى إلى جنازة لشده خوفه من الموت، فقدر الله أنه سلم من الطاعون

“ketika terjadi tho’un pada tahun tersebut sang Qodhi ditimpa rasa takut yang teramat sangat hingga ia hanya bisa mencari-cari obat yang bisa menghilangkan rasa takut tersebut. Dan dia banyak mengambil obat-obatan, doa-doa, dan ruqyah-ruqyah. Kemudian dia pura-pura sakit agar (menjadi alasan) tidak menghadiri orang yang meninggal, tidak dipanggil kepada jenazah karena dia takut akan kematian (dari wabah tho’un), kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan dia selamat dari tho’un.” [18]

Namun ada sebagian penukilan yang menyebutkan bahwa ada sejarah juga yang mencatat bahwa ketika terjadi wabah para manusia berkumpul di masjid. Sebagaimana yang dikatakan salah seorang sejarawan Syamsuddin Muhammad bin Abdir Rahman Al-Qurosyi Ad-Dimasyqi As-Syafi’i dalam manuskrip kitabnya menceritakan keadaan manusia ketika ditimpa tho’un pada tahun 764 H,

كان الناس به على خير عظيم من إحياء الليل وصوم النهار، والصدقة والتوبة…، فهجرنا البيوت ولزمنا المساجد رجالنا وأطفالنا ونساؤنا”.

“dahulu manusia dalam keadaan kebaikan yang besar berupa menghidupkan malam, puasa di waktu siang, sedekah, dan taubat….maka kami para lelaki, anak-anak, dan para wanita meninggalkan rumah-rumah kami dan berdiam di masjid -masjid.[19]

Kesimpulan :
Apa yang kita alami sekarang ternyata jauh lebih ringan dari wabah-wabah terdahulu. Dahulu ada yang sampai mayat tidak sempat dikuburkan, sampai orang memakan anjing, bahkan ada yang menggali kubur untuk memakan mayat.

Semua musibah yang menimpa (termasuk wabah) adalah disebabkan oleh dosa-dosa kita. Tidak ada seorang pun diantara kita yang merasa suci, baik rakyat maupun pejabat, baik murid maupun ustadz. Masing-masing bergelimang dengan model dosanya masing-masing, baik dosa pandangan, pendengaran, lisan, maupun hati.

Maka hendaknya kita bertaubat kepada Allah dan juga berikhtiar sebagaimana anjuran pemerintah. Kita hanya berdoa dan berikhtiar karena itulah yang dissyariátkan setelah itu tinggal menunggu taqdir Allah. Kita selamat karena Allah kita terkena musibahpun karena ada hikmah yang Allah kehendaki.

Jangan lupa memperbanyak ibadah di rumah, bukan malah menghabiskan waktu dengan terus mengikuti berita-berita di medsos yang tiada habisnya. Ada waktu untuk bermedsos tapi jangan sampai waktu untuk bertaubat dan mendekat kepada Allah menjadi terabaikan.

Ceger, Jakarta Timur 9 April 2020.
Disalin dari  firanda.com
________
Footnote
[1] Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sejarah Thoún yang terjadi di negeri-negeri Islam dengan ringkas di kitabnya بَذْلُ الْمَاعُوْنِ فِي فَضْلِ الطَّعُوْنِ hal 361-370
Demikian juga banyak terjadi penutupan masjid akibat peristiwa-peristiwa yang lain. Silahkan lihat di  https://www.aljazeera.net/news/cultureandart/2020/3/24/تعرف-على-وقائع-وقف-صلوات-الجماعة-بتاريخ-المسلمين
Akan tetapi pada tulisan ini hanya fokus kepada tertutupnya masjid atau kosongnya masjid akibat wabah
[2] HR. Ahmad no. 1697 dan dikatakan olh Syuain Al-Arnauth  hadits ini sanadnya lemah karena Syahr bin Hausyab lemah dan gurunya yaitu Roobbih majhul
[3] Lihat: Tahdzibul Atsar karya Ath-Thobari no. 120 1/89
[4] HR. Ahmad no. 17753 dan dikatakan oleh Syuain Al-Arnauth  hadits ini shohih dan sanadnya lemah karena lemahnya Syahr bin Hausyab. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no 2940 dari jalur yang lain (selain Syahr bin Hasusyab) dan dishahihkan oleh Al-Albani (Lihat at-Ta’liqoot al-Hisaan 4/482 no 2940)  dan dinilai hasan oleh Syuáib al-Aranuth (Lihat Shahih Ibn Hibbaan tahqiq al-Arnauth 7/215 no 2951)
[5] Al-Bayaan Al-Mughrib Fii Akhbaar Al-Andalus Wal Maghrib 1/257
[6] Tarikh Al-Islam 30/25
[7] Siyar A’laam An-Nubala’ 18/311
[8] Al-Muntazhom Fii Taariikh Al-Muluuk Wal Umam 16/17-18
[9] As-Suluuk Li Ma’rifati Duwal Al-Muluuk 4/80-88
[10] An-Nujuum Az-Zaahiroh 10/209
[11] Lihat: Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 3/323
[12] Yang dimaksud dengan imam al-maqoom adalah imam dari madzhab tertentu. Dahulu di mekah di arel sekitar ka’bah terdapat 4 maqoom, yaitu semacam musholla kecil, yang dimana masing-masing imam madzhab mengimami para pengikutnya di maqom tersebut. Jadi ada al-Maqoom asy-Syafií, al-Maqoom al-Hanafi, al-Maqoom al-Maliki, dan al-Maqoom al-Hanbali. Ada yang mengatakan bahwasanya maqom-maqom ini baru muncuk sekitar pertengahan abad ke 5. Sebelumnya semua orang bermakmum kepada seorang imam saja. Namun pada tahun 1377 H pemerintah Arab Saudi menghancurkan ke 4 maqom tersebut demi persatuan dan perluasan areal thowaf.
https://www.wesalam.com/topic/761/ما-الذي-تعرفونه-عن-المقامات-الأربع-في-صحن-الكعبة-المشرفة؟
[13] Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 3/326
[14] Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 3/437
[15] Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 3/438
[16] Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 3/438-439
[17] Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 4/224
[18] Inbaaul ghumri bi abnaa-il ‘umri 3/119
[19] Bisa dilihat dalam foto manuskrip kitabnya yang berjudul Syifaaul Qolbil Mahzuun Fii Bayaani Maa Yata’allaqu Bit Thoo’uun (lihat: https://tinyurl.com/tzv6m4g)

  1. Home
  2. /
  3. A7. Wabah Penyakit dan...
  4. /
  5. Sejarah Wabah Di Negeri-Negeri...