Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah Dalam Masalah Raja’ dan Khauf ?
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH RAJA’ DAN KHAUF ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam amsalah raja’ dan khauf ?
Jawab
Ulama berbeda pendapat apakah manusia mendahulukan raja’ ataukah mendahulukan khauf, menjadi beberapa pendapat:
Imam Ahmad Rahimahullah berkata : “Hendaknya khauf dan raja’ sama, tidak dominan khauf dan tidak dominan raja”, Beliau berkata : “Manakala salah satu dari keduanya yang dominan maka hancurlah si pelakunya”. Karena bila dia menonjolkan raja’ maka manusia itu terjerumus dalam sikap merasa aman dari makar Allah, dan jika rasa khauf yang dominan maka dia akan terjerumus dalam sikap putus asa dari rahmat Allah.
Sebagaimana ulama berkata : “Hendaknya menonjolkan rasa raja’ ketika melaksanakan ketaatan dan menonjolkan rasa khauf ketika ingin melaksanakan maksiat”. Karena apabila dia melaksanakan ketaatan maka dia wajib berprasangka baik, dengan lebih menonjolkan sikapa raja’ yaitu qabul (menerima), dan jika berkeinginan untuk berbuat maksiat hendaknya menonjolkan sikap khauf (takut) agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.
Sedangkan yang lain berkata : “Untuk yang sehat hendaknya menonjolkan sisi khauf sedangkan untuk yang sakit hendaknya menonjolkan sisi raja’”. Karena yang sehat apabila menonjolkan sisi khauf akan menjauhi perbuatan maksiat dan yang sakit apabila menonjolkan sisi raja’ akan menemui dengan sikap husnudzan (prasangka baik).
Adapun menurut saya dalam masalah ini bahwa hal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi. Bila seseorang takut kalau dominan sisi khaufnya, sehingga menyebabkan putus asa dari rahmat Allah, maka wajib baginya untuk menolak rasa putus asa itu dan menonjolkan sisi raja’, dan apabila khawatir jika menonjolkan sisi raja’ akan menyebakan rasa aman dari makar Allah maka dia harus menolaknya dengan menonjolkan sisi khauf.
Manusia pada hakekatnya adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya hidup. Adapun pemilik hati yang mati yang tidak bisa mengobati hatinya dan tidak dapat melihat keadaan hatinya, maka dia tidak akan mementingkan urusan itu.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
- Home
- /
- A3. Aqidah Tauhid Soal...
- /
- Madzhab Ahlus Sunnah wal...