Keutamaan Qiyam Ramadhan

KEUTAMAAN QIYAM RAMADHAN

Pertanyaan
Apa keutamaan qiyam Ramadan?

Jawaban
Alhamdulillah.

Keutamaan shalat pada malam-malam bulan Ramadan adalah:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu, dia berkata: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan menunaikan qiyam Ramadan tanpa memerintahkan dengan kuat (baca: bukan wajib). Kemudian beliau bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan pelaksanaannya tetap seperti itu (yakni meninggalkan berjama’ah dalam Tarawih), kemudian terus seperti itu pada zaman khalifah Abu Bakar Radhiyallahu ’anhu dan dipermulaan kekhalifahan Umar Radhiyallahu ’anhu.

و عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ: جَاءَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ مِنْ قُضَاعَةَ ، فَقَالَ لَهُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّكَ رَسُولُ اللهِ ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ ، وَصُمْتُ الشَّهْرَ ، وَقُمْتُ رَمَضَانَ ، وَآتَيْتُ الزَّكَاةَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

Dari Amr bin Murroh Al-Juhany, dia berkata: Ada seseorang dari suku Qudho’ah datang menemui Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapat anda kalau sekiranya saya bersaksi tiada tuhan yang berhak di sembah melainkan Allah dan sesungguhnya engkau adalah Muhammad utusan Allah, lalu saya menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menunaikan qiyam Ramadan dan saya mengeluarkan zakat?”, maka Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersada: “Barangsia yang meninggal dunia dalam kondisi seperti ini, maka dia termasuk orang-orang siddiq (jujur) dan syuhada (orang yang mati syahid).

Lailatul Qadar dan Ketetapan Waktunya:
1. Sebaik-baik malam Ramadan adalah Lailatul qadar, berdasarkan sabda Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ  (ثم وُفّقت له) إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang menunaikan shalat pada Lailatul Qadar (kemudian dia ditakdirkan dapat menemuinya) dengan iman dan harap akan pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [HR. Muttafaq alaihi]

2. Ia adalah malam kedua puluh tujuh di bulan Ramadan menurut pendapat yang paling kuat. Dan kebanyakan hadits menunjukkan seperti itu. Di antaranya hadits Zir bin Hubaisy, dia berkata:

– سَمِعْتُ أُبَيَّ بنَ كَعْبٍ يقولُ: وَقِيلَ له إنَّ عَبْدَ اللهِ بنَ مَسْعُودٍ يقولُ: مَن قَامَ السَّنَةَ أَصَابَ لَيْلَةَ القَدْرِ، فَقالَ أُبَيٌّ: وَاللَّهِ الذي لا إلَهَ إلَّا هُوَ، إنَّهَا لَفِي رَمَضَانَ، يَحْلِفُ ما يَسْتَثْنِي، وَوَاللَّهِ إنِّي لأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هي، هي اللَّيْلَةُ الَّتي أَمَرَنَا بهَا رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ بقِيَامِهَا، هي لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ في صَبِيحَةِ يَومِهَا بَيْضَاءَ لا شُعَاعَ لَهَا

Aku mendengar Ubay bin Ka’ab berkata –dikatakan kepadanya- : Sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud berkata: “Barangsiapa yang menunaikan sunnah, dia akan mendapatkan Lailatul Qadar! Kemudian Ubay radhiallahu’anhu berkata: “Semoga Allah merahmati beliau, dia menginginkan agar orang-orang tidak bergantung terhadapnya. Dan demi yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya ia ada di bulan Ramadan –dia bersumpah adanya pengecualian-, dan Demi Allah, sesungguhnya saya sungguh mengetahuinya malam apa itu? Dia adalah malam yang Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk melaksanakannya. Dia adalah  malam yang di pagi harinya adalah hari ke dua puluh tujuh. Dan tanda-tandanya adalah matahari terbit di pagi harinya dengan cerah namun tidak terasa terik menyengat.” Riwayat ini bersambung sampai kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya.

Anjuran Berjama’ah Dalam Qiyamul Lail
Dianjurkan melaksanakan qiyam Ramadan secara berjama’ah, bahkan (berjamaah) lebih utama  daripada (shalat) seorang diri. Karena Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melaksanakannya dan menjelaskan keutamaannya dengan sabdanya. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Dzar radhiallahu’anhu, dia berkata: “Kami melaksanakan puasa bersama Nabi sallallahu ‘alaihi wa salam di bulan Ramadan. Beliau tidak shalat bersama kita sedikitpun dalam bulan itu hingga tinggal tujuh (hari), lalu beliau menunaikan qiyam bersama kami sampai habis sepertiga malam. Ketika tinggal enam (hari), beliau tidak shalat bersama kami. Ketika tinggal lima (hari), baliau shalat bersama kami sampai habis pertengahan malan. Kemudian saya bertanya: “Wahai Rasulullah! bagaimana kalau engkau tambah untuk kami qiyam (semua) malam ini. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya jika seseorang  shalat bersama imam sampai selesai, maka dihitung baginya qiyam semalam (penuh).” Maka ketika (tinggal hari) keempat, beliau tidak shalat (bersama kami). Dan ketika (tinggal hari) ketiga, beliau kumpulkan keluarga, istri-istrinya dan orang-orang. Dan beliau berdiri (shalat) bersama kami sampai kami khawatir  tidak mendapatkan falah (sahur). Saya bertanya: “Apa falah itu?” dia menjawab: “Sahur”. Kemudian beliau tidak shalat (lagi) bersama kami sisa bulan (Ramadan). Hadits shahih, dikeluarkan oleh ashabus sunan (pemilik kitab-kitab sunan).

Sebab tidak kontinyunya Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam (shalat qiyam) dengan berjama’ah di bulan Ramadan, di antaranya:
Beliau khawatir hal itu (shalat malam) akan diwajibkan kepada umatnya di bulan Ramadan. Sehingga mereka tidak sanggup menunaikannya sebagaimana dalam hadits Aisyah dalam dua kita shahih  (Sahih Bukhari dan Muslim) dan di selainnya. Kekhawatiran ini telah lanyap bersamaan dengan wafatnya  beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Allah sempurnakan syariat (Islam).Dengan demikian, maka ma’lul (tindakan karena adanya sebab) tidak berlaku lagi, yaitu meninggalkan jama’ah dalam qiyam Ramadan, dan hukum yang  berlaku adalah dianjurkannya berjama’ah (dalam qiyam Ramadan). Oleh karena itu, Umat Islam menghidupkan lagi sebagaimana dalam shahih Bukhari dan lainnya.

Dianjurkannya Berjama’ah Bagi Para Wanita
Dianjurkan bagi para wanita untuk menghadirinya, sebagaimana hadits Abu Dzar tadi, bahkan dibolehkan menjadikan wanita sebagai imam yang khusus untuk para wanita, bukan imam laki-laki.

Terdapat riwayat dari Umar radhiallahu’anhu ketika mengumpulkan orang-orang untuk (menunaikan) qiyam, beliau menjadikan Ubay bin Ka’ab untuk para laki-laki dan Sulaiman bin Abu khotsmah untuk para wanita. Dan dari Arfaja Ats-Tsaqafi berkata: “Dahulu Ali bin Abu Thalib radhiallahu ’anhu  menyuruh orang-orang untuk menunaikan qiyam di bulan Ramadan, dan menjadikan imam untuk para laki-laki dan imam untuk para wanita. Beliau berkata: Maka saya menjadi Imam para wanita.

Baca Juga  Merubah Irama Bacaan Al-Qur'an Dalam Shalat Tarawih

Aku berkata : Hal ini menurutku apabila masjidnya luas, agar tidak mengganggu antara satu dengan yang lainnya.

Bilangan Rakaat Qiyam
Rakaatnya adalah sebelas rakaat. Kami memilih tidak ditambah untuk mengikuti Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau tidak menambahnya sampai meninggalkan dunia. Aisyah radhiallahu ’anha pernah ditanya tentang shalatnya Nabi (Shallallahu ‘alaihi wa sallam) di bulan Ramadan?, kemudian beliau berkata:

 مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا ، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah (bilangan rakaat) baik di bulan Ramadan atau selainnya dari sebelas rakaat. Maka beliau shalat empat rakaat, jangan anda bertanya akan bagus dan lamanya. Kemudian shalat empat rakaat, dan jangan anda bertanya akan bagus dan lamanya. Kemudian belia shalat tiga (rakaat).” [HR. Bukhari dan Muslim dan selain keduanya]

Dibolehkan mengurangi rakaatnya, bahkan walau dikurangi sampai satu rakaat witir saja, dengan dalil perbuatan dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentang perbuatan (Nabi), Aisyah Radhiyallahu ’anha, beliau ditanya. Berapa (banyak) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir? Beliau menjawab: “Beliau witir dengan empat dan tiga (rakaat). Dan enam dan tiga (rakaat). Dan sepuluh dengan tiga (rakaat). Beliau tidak pernah witir kurang dari tujuh rakaat dan tidak pernah lebih dari tiga belas rakaat.” [HR.Abu Daud, Ahmad dan selain dari keduanya]

Sementara sabda beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِخَمْسٍ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِثَلَاثٍ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُوتِرْ بِوَاحِدَةٍ

Witir adalah haq, yang ingin melakukan witir lima rakaat, silakan, yang ingin melakukan Witir tiga rakaat silakan, dan yang ingin melaukan Witir satu rakaat, silakan.”

Bacaan Dalam Qiyam
Sementara (berkaitan) dengan bacaan shalat malam di qiyam Ramadan atau lainnya. Tidak didapatkan dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam ketentuan pasti yang tidak boleh melebihi atau kurang. Bahkan bacaannya di shalat malam berlainan, terkadang pendek dan terkadang panjang. Terkadang beliau membaca pada satu rakaat sekitar (surat ya ayyuhal muzzammil) yaitu dua puluh ayat. Terkadang lima puluh ayat. Dan beliau berkata:

مَنْ صَلَّى فِي لَيْلَةٍ بِمِائَةِ آيَةٍ ، لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِينَ ،(وفي حديث آخر)  وَمَنْ صَلَّى فِي لَيْلَةٍ بِمِائَتَيْ آيَةٍ ، فَإِنَّهُ يُكْتَبُ مِنَ الْقَانِتِينَ الْمخَلصِّينَ.

Barangsiapa shalat malam dengan membaca seratus ayat, maka tidak akan ditulis sebagai golongan orang-orang yang lalai.” Dalam hadits lain; “… dengan dua ratus ayat, maka dia akan ditulis di antara (golongan) orang-orang qanitin (ta’at beribadah) yang ikhlas.

Dan beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam membaca waktu qiyam ketika dalam kondisi sakit tujuh surat panjang yaitu surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.

Dalam kisah shalat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam satu rakaat surat Al-Baqarah kemudian An-Nisaa’ kemudian Ali Imran. Dan beliau membacanya dalam kondisi tenang dan pelan.

Terdapat riwayat dengan sanad yang paling shahih, sesungghunya Umar Radhiyallahu’anhu ketika memerintahkan Ubay bin Ka’ab (mengimami) orang-orang dalam shalat dengan sebelas rakaat di bulan Ramadhan, saat itu Ubay Radhiyallahu’anhu membaca dua ratus (ayat), sampai orang yang di belakangnya bersandar dengan tongkat karena lamanya berdiri. Mereka baru selesai shalat menjelang fajar.

Juga terdapat riwayat shahih dari Umar Radhiyallahu’anhu bahwa beliau mengundang para qurra (pembaca Al-Qur’an), lalu meminta yang paling cepat bacaanya  untuk membaca  tiga puluh ayat, yang pertengahan membaca dua puluh lima ayat, dan yang lambat, dua puluh ayat.

Kesimpulannya, kalau seseorang shalat (qiyam) seorang diri, dipersilahkan baginya memanjangkan bacaan sesuai keinginannya, begitu juga jika bersamanya orang sepakat. Semakin panjang bacaannya, semakin baik. Namun, jangan sampai terlalu panjang hingga seluruh malam semuanya untuk shalat dan tersisa sedikit sekali. Sebagai upaya meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad”.

Adapun kalau dia shalat (sebagai) imam, maka dia dibolehkan memparpanjang (shalat) yang tidak sampai memberatkan orang yang ada di belakangnya. Berdasarkan sabda Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ للنَّاسِ فَلْيُخَفِّفِ الصَّلاَةَ؛ فَإِنَّ فِيهِمُ الصَّغِيرَ وَالكَبِيرَ، وَفِيهِمُ الضَّعِيفَ وَالمَرِيضَ، وَذَا الحَاجَةِ، وَإِذَا قَامَ وَحْدَهُ فَلْيُطِلْ صَلاَتَهُ مَا شَاءَ

Jika jika seseorang menjadi imam shalat, maka ringankan shalatnya. Karena di sana ada anak kecil, orang tua, dan juga ada orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluan. Kalau dia shalat sendiri, maka silakan perpanjang shalatnya sesukanya.”

Waktu Qiyamul-Lail
Waktu qiyamul-lail dimulai setelah shalat Isya hingga fajar. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa salllam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً ، وَهِيَ الْوِتْرُ ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Allah memberikan kalian bekal berupa shalat. Yaitu (shalat) Witir, maka shalatlah antara Isya hingga shalat fajar.”

Shalat di penghujung malam lebih baik bagi yang mudah melakukannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَافَ أَن لاَ يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ ، وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ.

Siapa yang khawatir tidak dapat menunaikan shalat di penghujung malam, maka shalat witirlah di awal malam. Dan siapa yang dapat menunaikannya di penghujung malam, maka hendaklah dia shalat Witir di akhir malam. Karena shalat akhir malam itu disaksikan (malaikat) dan itu adalah yang paling baik.”

Kalau masalahnya seputar antara shalat awal malam dengan berjama’ah dengan shalat akhir malam sendirian (mana yang lebih baik), maka shalat berjama’ah (meskipun di awal malam) lebih baik. Karena hal tersebut dinilai qiyamul-lail secara sempurna. Seperti inilah yang amalan para shahabat yang berlaku di masa Umar Radhiyallahu’anhu.

Baca Juga  Fatwa MUI : Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19

Abdurrhaman bin Abdun Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan, saya bersama Umar berangkat menuju ke masjid. Ternyata orang-orang shalat berpencar-pencar. Ada yang shalat seorang diri, dan ada yang shalat dengan sejumlah orang yang mengikuti. Maka beliau berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku berpandangan, lebih baik kalau mereka dikumpulkan di belakang satu qari (imam). Setelah keinginan beliau bulat, mereka dikumpulkan dengan imam Ubay bin Ka’b. Kemudian saya keluar lagi bersama Umar pada malam lain. Sementara (kini) orang-orang menunaikan shalat dengan satu qari (imam). Maka Umar berkomentar:  “Inilah sebaik-baik bid’ah (sesuatu yang baru) adalah ini, waktu yang mereka gunakan untuk tidur (akhir malam) lebih baik dibandingkan waktu yang mereka gunakan untuk shalat –maksudnya akhir malam-. Pada awalnya, orang-orang waktu itu menunaikan shalat pada awal malam.

Zaid bin Wahb berkata: Dahulu Abdullah shalat bersama kami di bulan Ramadan dan baru selesai di waktu malam.”

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat witir tiga rakaat, beliau menyebutkan illat-nya (sebabnya) dengan berkata: “Jangan kalian menyerupai (Wtir) dengan shalat Magrib”. Oleh karena itu, bagi orang yang menunaikan shalat Witir tiga rakaat, maka harus menghindari praktek yang menyerupai (shalat Maghrib). Hal itu dapat dilakukan dengan dua cara:

Salah satunya adalah, salam antara (bilangan) genap dan ganjil. Ini yang lebih kuat dan lebih baik. Yang lainnya adalah, agar tidak duduk di antara yang genap dan yang ganjil. Wallahu’alam

Bacaan Dalam Tiga (Rakaat) Witir
Termasuk sunnah pada tiga rakaat shalat Witir, pada rakaat pertama membaca Sabbihisma rabbika al-a’la’ (surat Al-A’la), pada rakaat kedua membaca Qul ya ayyuhal kafirun (surat Al-Kafirun). Dan pada rakaat ketiga (membaca) qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas). Terkadang ditambah (dengan membaca) qul a’udzubi robbil falaq (surat Al-Falaq) dan qul a’udzu birabbin nass (surat an-Nass).

Terdapat riwayat yang shahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah membaca dalam rakaat witir seratus ayat dari surat An-Nisaa’.

Doa Qunut
Membaca doa qunut (dalam shalat Witir) dengan doa yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada cucunya ; Hasan bin Ali Radhiyallahu’anhuma, yaitu:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْت وَعَافِنِي فِيْمَنْ عَافَيْت وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْت ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيت ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْت ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْك ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيت ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيت ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ

Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, uruslah aku sebagaimana  orang yang telah Engkau urus. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qada’ (ketetapan), dan tidak ada orang yang membe-rikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau cintai tidak akan hina dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami dan Maha Tinggi Engkau.”

Terkadang setelahnya bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Tidak mengapa ditambah dengan doa yang dianjurkan dan baik.

Tidak mengapa menjadikan qunut setelah ruku, ditambah dengan melaknat orang-orang kafir, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk umat Islam pada pertengahan kedua di bulan Ramadan. Karena hal ini terdapat riwayat bahwa hal ini dilakukan para imam zaman Umar Radhiyallahu’anhu.

Terdapat di penghujung hadits Abdurrahman bin Abdun Al-Qari tadi: “Mereka melaknat orang-orang kafir pada pertengahan (Ramadhan), Ya Allah, perangilah orang-orang kafir yang menghalangi jalan-Mu, dan mendustakan utusan-utusan-Mu, dan tidak mengimani janji-Mu, cerai beraikan pendapat-pendapat mereka. Dan turunkan ketakutan di hati mereka, dan berikan balasan dan siksa-Mu kepada mereka, (Engkau adalah) Tuhan yang benar. Kemudian bershalawat kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan berdoa untuk (kebaikan) umat Islam semampunya. Kemudian memohon ampunan untuk orang-orang mukmin.

Setelah selesai melaknat orang-orang kafir dan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta memohon ampunan dan permintaan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan  (mereka membaca): “Ya Allah hanya kepada-Mu kami menyembah, hanya KepadaMu kami shalat dan bersujud, hanya kepadaMu kami bersegera dan, kami memohon rahmat-Mu wahai Tuhan kami. Dan kami takut akan siksa-Mu yang keras. Sesungguhnya siksa-Mu bagi orang-orang yang memusuhi-Mu pasti akan mengenai.” Kemudian takbir dan turun dalam kondisi sujud.”

Apa Yang Dibaca Di Akhir Witir
Termasuk sunah, di penghujung witir (sebelum atau sesudah salam) membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِمَعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ ، لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan rida-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu, dan saya berlindung denganMu dan dariMu. Saya tidak bisa menghitung (untuk) memujiMu. Engkau sebagaimana yang telah Engkau puji pada diriMu.”

Ketika salam dari witir mengucapkan:

سُبْحَانَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ ، سُبْحَانَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ ، سُبْحَانَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ  ثلاثاً

Maha suci (Engkau) Raja yang Suci, Maha suci (Engkau) Raja yang Suci, Maha suci (Engkau) Raja yang Suci.” Dibaca tiga kali, dan pada bacaan yang ketiga suaranya dipanjangkan dan ditinggikan.

Dua Rakaat Setelahnya
Dibolehkan melakukan shalat dua rakaat (setelah witir jika dia mau), karena telah ada ketetapan dari contoh perbuatan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan (beliau) bersabda:

إِنَّ هَذَا السَّفَرَ جَهْدٌ وَثِقَلٌ، فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ، وَإِلَّا كَانَتَا لَهُ

Sesungguhnya perjalanan ini memayahkan dan berat, kalau salah satu di antara kalian (telah) menunaikan witir, maka ruku’lah dua rakaat, kalau dia dapat bangun (dia dapat shalat malam). Kalau tidak, maka dua rakaat tadi cukup baginya.”

Di antara sunnahnya, membaca di (dua rakaat) tadi : idza zulzilatil ardhu (surat Az-Zalzalah) dan qul yaa ayyuhal kafirun (surat Al-Kafirun).

Disalin dari islamqa

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Ibadah3 Shalat...
  4. /
  5. Keutamaan Qiyam Ramadhan