Hukum Mempelajari Undang-Undang Buatan Manusia
MEMPELAJARI UNDANG-UNDANG BUATAN MANUSIA
Pertanyaan.
Lajnatud Dâimah lil Buhûtsil ‘ilmiyyah Wal Iftâ ditanya : Kami tersibukkan oleh banyak hal diantara sibuk mempelajari undang-undang buatan manusia di fakultas hukum. Permasalahan ini telah menimbulkan perselisihan pendapat diantara beberapa teman. Saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar memberikan taufîq kepada para Ulama untuk menjelaskan beberapa hal berikut ini :
1. Hukum memplejari undang-udang buatan manusia
2. Hukum bekerja pada lembaga kehakiman
Jawaban.
الحمد لله وحده والصلاة و السلام على رسوله وآله وصحبه , وبعد
Pertama : Jika orang yang hendak mempelajari undang-undang buatan manusia itu adalah orang yang memiliki daya analisa kuat serta memiliki kapabelitas keilmuan yang cukup untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil; Dia juga memiliki kemampuan untuk membentengi diri dari penyimpangan dan tidak mudah terpedaya dengan kebathilan; Tujuannya dalam mempelajari undang-undang itu adalah untuk membandingkan antara hukum-hukum Islâm dengan hukum-hukum karya manusia dan juga bertujuan menjelaskan keunggulan hukum-hukum Islâm dibandingkan hukum-hukum buatan manusia, serta menjelaskan kandungan hukum Islâm yang lengkap dan mencakup segala yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia mereka; dalam upaya membela yang haq dan menghancurkan kebathilan serta membantah orang gandrung kepada undang-undang buatan manusa yang diklaim layak, lengkap dan cukup; Jika dia mempelajari undang-undang karya manusia itu dengan tujuan seperti ini, maka itu boleh. Jika tidak, maka tidak boleh. Dia mestinya cukup mempelajari hukum-hukum Islâm yang terkandung dalam al-Qur’ân dan sunnah-sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dengan menempuh metode yang telah dipraktekkan oleh para imam dan para Ulama salaf dalam belajar dan menyimpulkan hukum.
Kedua : Tentang bekerja di lembaga kehakiman, jika tujuannya untuk membela sesuatu yang dipandang haq dalam syari’at dan menghancurkan kebathilan, maka bekerja disana disyari’atkan. Karena mengandung unsur tolong-menolong dalam kebaikan dan takwaan. Jika tidak seperti itu kondisinya, maka dia tidak boleh bekerja disana. Karena mengandung unsur tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [al-Mâidah/5:2]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
al-Lajnatud Dâimah lil Buhûtsil ‘ilmiyyah Wal Iftâ’
Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz; Wakil : Syaikh Abdurrazzâq ‘Afîfy; Anggota : Syaikh Abdullâh bin Ghadyân dan Syaikh Abdullah bin Qu’ûd
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
- Home
- /
- A8. Politik Pemikiran Salafiyyun...
- /
- Hukum Mempelajari Undang-Undang Buatan...