Wabah Dalam Sejarah Islam

WABAH DALAM SEJARAH ISLAM

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, silih berganti musibah besar melanda. Wabah Thaun, bencana kelaparan, banjir, gempa bumi, kemarau panjang, dll. Tentu musibah-musibah ini membuat manusia menderita. Tidak terkecuali kaum muslimin. Hanya saja kita mengingat firman Allah,

إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [An-Nisa/4: 104].

Kita mendapat pahala dari derita yang kita dapatkan jika kita bersabar. Sementara orang-orang nonmuslim hanya mendapat derita saja. Mereka tak mendapatkan pahala.

Sekarang masyarakat dunia dilanda Wabah Corona. Wabah yang berasal dari Wuhan, Cina ini disebabkan oleh virus Covid 19. Terhitung setelah 100 hari kemunculannya, pada tanggal 8 April 20202, wabah ini telah menewaskan 88.338 warga dunia. Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Menerima taubat kita. Dan segera mengangkat musibah ini. Amin.

Dalam sejarah panjang umat Islam, wabah yang menewaskan manusia dalam skala besar pun pernah beberapa kali menimpa umat ini. Di Mesir, Syam, Maroko, Irak, Andalusia. Wabah-wabah ini menghilangkan ribuan nyawa penduduk kota-kota besar tersebut.

Para sejarawan semisal al-Maqrizi, Abu al-Mahasin Yusuf Ibnu Taghribirdi, Ibnu Katsir, Ibnu Iyas, Ibnu Batutah, Ibnu Idzari al-Marakisyi, dll. mencatat bagaimana musibah ini menimpa kaum muslimin. Catatan-catatan mereka saling melengkapi sehingga gambaran kejadian terasa semakin detil. Tidak ketinggalan, para ahli fikih semisal Ibnu Rusyd juga membahas peristiwa ini dari sudut pandang fikih.

Sebagaimana yang kita rasakan pada hari ini, wabah di masa itu juga berdampak buruk pada kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan bidang-bidang lainnya.

Pengertian Thaun
Thaun (Arab: الطاعون) ditinjau secara bahasa. Missal dikatakan kepada seseorang tha’in (Arab: طعين) jika dia terkena thaun. Kata thaun (Arab: الطاعون) adalah sebuah kata yang dalam bahasa Arab memiliki pola kata فاعول dari kata الطعن. Kemudian digunakan bukan dengan makna aslinya. Namun memberi pengertian yang berdekatan. Yang intinya menunjukkan kematian yang melanda pada sejumlah besar orang. Kematian menyebar di tengah masyarakat seperti wabah (Bahjat, 2011. Hal: 99).

Adapun makna thaun secara istilah artinya adalah luka-luka di badan. Berada di tempat yang berbeda-beda di tubuh. Seperti di tangan, siku, ketiak, dll. dan rasa sakitnya luar biasa. Selain luka-luka di sekujur tubuh, orang yang terserang wabah ini juga akan muntah-muntah dan merasakan jantung yang berdebar-debar.

Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan pengertian thaun, “Thaun adalah sakit yang mengganggu pernafasan, melemahkan badan, dan jantung. Sebuah virus mematikan yang terletak di rongga mulut. Kemudian menyebabkan rusaknya pembuluh darah.” Orang-orang yang terjangkiti virus Thaun ini akan menderita benjolan-benjolan di badannya. Dan ini sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الطَاعُوْنَ غُدَّةٌ كَغُدَّةِ الإِبِلِ

Thaun itu berupa daging tumbuh bagaikan daging tumbuh yang menimpa onta.” [Riwayat At Thobrani dan dihasankan oleh Al Albani]

Sebagian ulama membedakan antara thaun dan wabah. Menurut mereka, thaun merupakan bagian dari wabah. Sebagian lainnya menyamakan antara thaun dan wabah. Jadi, menurut mereka setiap wabah adalah thaun.

Wabah sendiri berarti penyakit tertentu yang menyebar ke wilayah yang luas bahkan menyebar dunia (pandemi). Atau bisa juga diartikan dengan epidemi yaitu penyakit yang menyebar luas di satu Kawasan.

Wabah Dalam Sejarah Islam
Pertama: Thaun Amwas
Wabah yang paling terkenal dalam sejarah Islam adalah wabah Thaun Amwas. Wabah besar yang terjadi di masa pemerintah Umar bin al-Khattab. Tepatnya tahun 18 H atau 640 M, terjadi wabah di Syam yang menewaskan puluhan ribu orang. Wabah tersebut dikenal dengan nama Wabah Thaun Amwas.

Mengapa dinamakan Thaun Amwas? Amwas adalah satu wilayah kecil di Palestina. Antara Ramallah dan Al-Quds. Di wilayah inilah wabah Thaun tersebut pertama kali muncul. Kemudian menyebar dan melanda banyak wilayah. Serta merenggut banyak nyawa.

Wilayah Amwas di masa sekarang dihancurkan oleh Zionis pada tahun 1967 sehingga penduduknya pun mengungsi. Kemudian tempat tersebut dijadikan hutan dengan modal dari para Zionis Kanada. Sekarang dinamai Canada Park.

Wabah Thaun di masa itu menyebabkan kematian sekitar 25000 jiwa. Di antara mereka yang wafat adalah tokoh para sahabat Nabi. Seperti:

  1. Abu Ubaidah bin al-Jarrah,
  2. al-Fadhl bin Abbas bin Abdul Muthalib,
  3. Muadz bin Jabal,
  4. Abdurrahman bin Muadz bin Jabal,
  5. Syurahbil bin Hasanah,
  6. Amr bin Suhail al-Amiri,
  7. Abu Jandal bin Amr bin Suhail,
  8. al-Harits bin Hisyam al-Makhzumi,
  9. ‘Inabah bin ‘Amru bin Suhail,
  10. Amir bin Ghailan Ats-Tsaqafi,
  11. Ammar bin Ghailan Ats-Tsaqafi,
  12. Nashr bin Ghanim Al-‘Adawi,
  13. Hudzafah bin Nashr Al-‘Adawi,
  14. Salamah bin Nashr Al-‘Adawi,
  15. Shakhr bin Nashr Al-‘Adawi,
  16. Shukhair bin Nashr Al-‘Adawi,
  17. Hamthath bin Syuraiq Al-‘Adawi,
  18. Wail bin Riab Al-‘Adawi,
  19. Ma’mar bin Riab,
  20. Habiib bin Riab

Dan tahun terjadinya wabah Thaun Amwas ini juga dikenal dengan ‘Am Ramadah (tahun abu). Dinamakan tahun abu karena kemarau yang panjang menyebabkan tanah menjadi gosong dan debunya seperti abu. Keadaan ini semakin membuat tahun tersebut berat. Dan masyarakat menderita kerugian materi yang amat besar.

Kedua: Thaun al-Jarif
Thaun al-Jarif terjadi di Bashrah pada tahun 69 H, pada masa pemerintahan Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu. Dinamakan al-Jarif (Arab: الجَارِفُ) dari kata jarafa (Arab: جَرَفَ) yang artinya menyapu bersih. Karena begitu banyak orang yang wafat karena wabah ini, maka dia disebut thaun al-jarif. Walaupun wabah ini berlangsung singkat, hanya tiga hari, namun mereka yang meninggal karena wabah ini digambarkan bagaikan sungai yang mengalir.

Ketiga: Thaun al-Fatayat
Pada tahun 87 H terjadi wabah di Irak dan Syam. Wabah ini dinamakan wabah al-Fatayat yang berarti perempuan. Dinamakan demikian karena wabah ini awalnya menyerang para wanita. Kemudian baru laki-laki. Ada juga yang menamakannya wabah asyraf (orang-orang mulia). Karena wabah ini banyak menewaskan orang-orang mulia dan para tokoh.

Keempat: Thaun Muslim bin Qutaibah
Wabah ini dinamakan Muslim bin Qutaibah, karena dia adalah orang pertama yang wafat karena wabah ini. Wabah ini adalah virus yang menyebar pada masyarakat di Era Bani Umayyah pada tahun 131 H/748 M. Wabah ini melanda Kota Basrah selama tiga bulan. Dimulai dari bulan Rajab dan memuncak di bulan Ramadhan. Sampai-sampai dalam satu hari seribu lebih orang meninggal karenanya (al-Hafizh Ibnu Hajar: Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun. Tahqiq: Ahmad Isham Abdul Qadir al-Katib. Darul Ashimah, Riyadh. Hal: 363).

Baca Juga  Sabar Saat Tertimpa Bencana Meluruskan Aqidah

Abu al-Mahasin Yusuf Ibnu Taghribirdi mengatakan, “Pada tahun 131 H, terjadi wabah Thaun yang dahsyat. Membinasakan sejumlah besar makhluk. Sampai-sampai satu hari 7000 orang meninggal karenanya. Wabah ini dinamakan dengan Thaun Aslam bin Qutaibah (Ibnu Taghribirdi: an-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah, 1/369).

Sebenarnya banyak wabah yang menimpa kaum muslimin di masa Bani Umayyah. Dan wabah ini adalah wabah terakhir yang terjadi di masa itu. Wilayah yang sering terkena wabah adalah Syam. Wilayah dimana ibu kota Bani Umayyah berada, Damaskus. Karena wabah ini sebagian khalifah umayyah sampai mengasingkan diri di padang pasir. Adapun Khalifah Hisyam bin Abdul Malik menyiapkan sebuah tempat khusus di Irak (al-Hafizh Ibnu Hajar: Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun. Hal: 363).

Sejarawan juga mencatat, di antara faktor yang membantu berhasilnya revolusi Abbasiyah terhadap Bani Umayyah adalah wabah Muslim bin Qutaibah ini. Wabah ini mengakibatkan begitu besar kerugian materi yang diderita Bani Umayyah. Dan tentunya mereka juga kehilangan banyak orang-orang penting mereka (Ahmad al-Adawi: ath-Thaun fi al-Ashri al-Umawi)

Di masa Abbasiyah, Thaun ini mulai mereda. Lalu sebagian pembesar Abbasiyah berkhutbah di tengah masyarakat, “Pujilah Allah yang telah mengangkat wabah ini dari kalian sejak pemerintahan kami.” Lalu ada yang mengatakan, “Allah lebih adil dari pada menguasakan kalian dan menimpakan wabah ini.” (al-Hafizh Ibnu Hajar: Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun. Hal: 364).

Kelima: wabah-wabah di masa pemerintahan Abbasiyah, Dinasti Mamluk, dan Dinasti Ayyubiyah di belahan timur wilayah Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan bahwa pada saat Mongol menghancurkan Kota Baghdad pada tahun 656 H/1258 M, “Masjid-masjid kosong dari shalat Jumat dan jamaah selama beberapa bulan di Baghdad… …setelah kekacauan berlalu yaitu empat puluh hari berikutnya, Baghdad tetap kosong dari kepemimpinan. Kota itu hanya dihuni oleh orang-orang bodoh saja. sementara mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan bagaikan gundukan. Jasad-jasad mereka terkena hujan hingga merubah fisik mereka. Dan bau anyir bangkai manusia semerbak di penjuru kota. Udara pun berubah dan membawa penyakit. Hingga berhembus ke negeri Syam. Lalu wabah itu menyebabkan banyak orang mati karena cuaca dan udara yang rusak. Bertumpuklah musibah, wabah, dan thaun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun (Ibnu Katsir: al-Bidayayah wa an-Nihayah, 13/203).

Sementara wabah di masa Dinasti Mamluk yaitu sebuah wabah yang merata di sebagian besar daerah Syam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 748 H. Wabah ini dikenal dengan nama Thaun al-A’zham (besar). Dinamakan demikian karena penyebarannya yang dahsyat dan membinasakan. Wabah ini mengakibatkan wafatnya penghuni kota Aleppo, Damasku, al-Quds, dan daerah-daerah pinggiran Syam. Dan pada tahun 795 H, di Aleppo juga tersebar wabah yang disebut al-Fana al-Azhim. Wabah ini mengakibatkan 150.000 orang wafat di Aleppo (Mubarak Muhammad ath-Tharawunah: al-Awbi-ah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakasah, 2010. Hal: 47-48).

Wabah lainnya terjadi di Maroko dan Andalusia tahun 571 H, pada masa pemerintah Daulah Muwahhidun. Wabah ini sangat mengerikan. Seolah tak membiarkan seorang pun selamat. Empat orang pucuk pimpinan Muwahhidun yang merupakan saudara Khalifah Yusuf bin Ya’qub wafat karenanya. 100 sampai 190 orang wafat dalam satu hari (Abdul Ilah Banmalih: jawai’ wa Awbi-ah al-Maghrib fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, 2002. Hal: 124).

Pada tahun 1798 M, Maroko juga dilanda wabah. Wabah ini dibawa oleh pedagang yang datang dari Iskandariyah menuju Tunisia. Kemudian Aljazair. Lalu Maroko. Kota Fes, Menkes, hingga Rabath terpapar wabah ini. Setidaknya 130 orang wafat per harinya (Muhammad al-Amin al-Bazaz: Tarikh al-Awbi-ah wa al-Maja’at bil Maghrib fi al-Qarnain ats-Tsamin ‘Asyr wa at-Tasi’ ‘Asyr, 1992. Hal: 92).

Setelah kita mengetahui bahwa wabah corona ini bukanlah wabah pertama yang menimpa dunia secara umum. Dan dunia Islam secara khusus. Bahkan dalam perjalanan sejarah umat Islam yang telah kita baca di artikel sebelumnya, wabahnya beragam. Ada yang disebabkan bangkai manusia akibat genosida Mongol, kelaparan, kekeringan, dll. Lalu bagaimana pengaruh wabah tersebut terhadap kehidupan kaum muslimin di zaman itu dan bagaimana cara mereka menyikapi wabah-wabah tersebut?

Dampak Wabah Terhadap Kondisi Sosial Masyarakat, Politik, dan Psikologis
Ketika thaun dan wabah melanda suatu negeri, dapat dipastikan dampak buruk yang besar akan dihadapi negeri tersebut. Ini adalah musibah dari Allah yang Dia timpakan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan akan Dia angkat juga dengan kehendak-Nya.

وَإِن يَمْسَسْكَ ٱللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضْلِهِۦ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yunus/10: 107].

Di antara wabah yang berdampak besar pada kaum muslimin adalah wabah Thaun Amwas. Sekitar 25000 nyawa kaum muslimin hilang. Di antara mereka adalah tokoh-tokoh terbaiknya. Wabah ini menimbulkan kerugian dari sisi politik, ekonomi, dan militer. Seandainya saat itu Romawi melakukan penyerangan terhadap garis depan kaum muslimin, tentu saja kaum muslimin akan sangat kesulitan menghadapi mereka. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap menjaga kaum muslmin dengan memberikan rasa takut di hati mereka. Ya, mereka pun takut tertular wabah tersebut (Ali Muhammad ash-Shalabi : Sirah Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab Syakhshiyatihi wa ‘Ashrihi, 2005. Hal: 232).

Dampak sosial kemasyarakatan begitu terasa ketika wabah melanda wilayah-wilayah Daulah Mamluk. Kondisi demografi berubah drastis. Jumlah kepadatan penduduk di kota dan di desa sangat jomplang. Sebagian desa bahkan kosong sama sekali karena kehilangan penduduknya. Akibatnya, jumlah petani sangat sedikit. Hasil pertanian dan peternakan pun merosot drastis. Lalu dampak buruk itu menular pada sisi perekonomian.

Baca Juga  Pengobatan Tekanan Batin Dan Stress

Kekacauan pun kian menjadi. Yang memiliki komoditi yang dibutuhkan menaikkan harga. Mereka memonopoli perdagangan dan mencari kesempatan untuk memperkaya diri. Adapun orang-orang yang tidak mampu meresponnya dengan negatif pula. Mereka melakukan pencurian dan perampokan. Semakin rusaklah tatanan masyarakat.

Dalam kondisi kacau tersebut, negara pun telah kehilangan para ulama dan orang-orang shalih yang memberi nasihat. Mereka wafat karena wabah. Suara mereka yang dianggap masyarakat tak lagi terdengar. Masyarakat awam pun beralih ke para dukun dan peramal untuk mengisi kekosongan spiritual mereka (Mubarak Muhammad ath-Thurawanah: al-Awbiah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakisah, 2010. Hal: 46-54).

Bagaimana Mereka Menyikapi Wabah
Dalam menghadapi Thaun Amwas, langkah yang diambil kaum muslimin sesuai dengan arahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi wabah. Yaitu mengadakan isolasi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذا سَمِعْـتُم به بأَرْضٍ فلا تَـقْدَمُوا عليه، وإذا وَقَعَ بأَرضٍ وأنتُم بها، فلا تَخْرُجوا فِـرارًا منه

Apabila kalian mendengar wabah ada di suatu negeri, janganlah kalian mendatanginya. Dan apabila wabah tersebut berada di suatu negeri sementara kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar untuk melarikan diri darinya.” [HR Bukhari]

Rasulullah tidak hanya mencukupkan jangan memasuki daerah yang terkena wabah. Tapi beliau juga menyatakan agar orang yang daerahnya terkena wabah untuk tidak keluar dari daerah tersebut. Inilah yang dikenal dengan isolasi. Kalau kita renungkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup 15 abad yang lalu sudah mengenal teknik ini. Padahal belum pernah ada yang melakukan sebelumnya. Ilmu kedokteran pun belum sepesat sekarang kemajuannya. Tapi beliau telah mengenal teknik ini untuk pencegahan penyebaran wabah. Hal ini tidak lain datang dari wahyu. Dan ini secara logika saja, sudah membuktikan kalau Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi.

Dan Umar mengamalkan apa yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Ubaidah bin al-Jarah dan sahabat-sahabat lainnya yang tinggal di Syam, mereka tetap berdiam di sana.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa wabah tersebut hilang saat Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu diangkat sebagai gubernur Syam. Ia berkhotbah di hadapan masyarakat, “Sekalian masyarakat, sesungguhnya penyakit ini kalau terjadi, ia akan menyala bagai nyala api. Karena itu, pergilah kalian menuju gunung-gunung.” Amr pun keluar dan diikuti oleh masyarakat. Mereka menyebar di pegunungan. Sampai akhirnya Allah angkat wabah tersebut dari mereka. Apa yang dilakukan Amr pun sampai kepada Umar, Umar tak menyalahkan kebijakannya tersebut.

Ini juga yang dikenal sekarang dengan istilah social distancing. Itu pun sudah pernah dilakukan oleh kaum muslimin. Kebijakan ini ditempuh oleh Amr sehingga orang yang sakit bisa terpisah dari mereka yang sehat. Mereka tidak berkumpul untuk mengurangi penularan. Dan tidak membinasakan semua penduduk Syam (Ali Muhammad ash-Shalabi: Sirah Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab Syakhshiyatihi wa ‘Ashrihi, 2005. Hal: 231-232).

Di masa berikutnya, metode yang dilakukan kaum muslimin dalam menghadapi wabah terus berkembang. Di masa Mamluk, selain menggunakan teknik isolasi, para pembesar kerajaan juga menyiapkan badan khusus untuk mengurusi jenazah yang terjangkiti wabah. Karena sebagian orang takut tertular ketika bersentuhan dengan korban. Ditambah korban yang jatuh sangat banyak jumlahnya dan dalam waktu yang bersamaan. Terkadang sampai tiga hari, jenazah belum juga diurus. Sehingga dibutuhkan pelatihan khusus dan Lembaga khusus untuk mengurusi prosesi jenazah agar kehormatan mereka tetap terjaga (Mubarak Muhammad ath-Thurawanah: al-Awbiah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakisah, 2010. Hal: 55).

Salah satu catatan sejarah yang menarik dalam penanggulan wabah di masa Islam adalah selain membuat kebijakan dan usaha riil, masyarakat terus diingatkan untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, berdoa dan berharap hanya kepada-Nya di waktu tersebut, mengajak masyarakat untuk bertaubah dan beristighfar kepada Allah dan terus meningkatkan ibadah. Aksi nyata yang dilakukan sebagian masyarakat adalah menutup tempat-tempat khomr diperjual-belikan. Dan menjauhi perbuatan keji dan mungkar (Mubarak Muhammad ath-Thurawanah: al-Awbiah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakisah, 2010. Hal: 57).

Pelajaran
Pertama : Banyak menentang isolasi dan social distancing atau peraturan tetap di rumah. Dengan alasan sakit dan kematian itu di tangan Allah. Kalau mau sakit atau mati, ya tetap akan sakit dan mati walaupun di rumah. Orang-orang seperti ini diingatkan dengan firman Allah:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Baqarah/2: 195].

Kita mengamalkan ayat ini disertai sikap ridha dan pasrah terhadap takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.

Kedua : Wajib melakukan usaha pencegahan. Dengan keyakinan kita lari dari takdir Allah menuju takdir yang lainnya.

Ketiga: Kita meyakini bahwa dalam musibah wabah ini terdapat pahala jika kita bersabar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Dan kita pun berhadap bagi mereka yang wafat karena virus covid-19 ini, terutama dari kalangan medis dan pihak-pihak yang berjasa, diganjar sebagai syuhada.

Keempat: wajib menjauhi tempat-tempat yang terdapat wabah. Apalagi tempat tersebut sudah divonis sebagai zona merah. Bagi mereka yang tempatnya terdampak wabah, maka tidak diperbolehkan keluar dari sana.

Kelima: Mempercayakan informasi terkait wabah ini kepada pihak-pihak yang berwenang. Baik dari pemerintah ataupun tim medis. Jangan mudah menyebarkan informasi yang tidak diketahui asal-usulnya.

Sumber:
– https://islamonline.net/34109
– https://lite.islamstory.com/ar/artical/10942/طاعون-مسلم-بن-قتيبة?fbclid=IwAR2HCi7iBHwiFTjPJL39ncSAL97ehop1C-1YtPF7uplmGWoOTIJ_V2to4l4
https://www.theguardian.com/world/ng-interactive/2020/apr/09/how-coronavirus-spread-across-the-globe-visualised?fbclid=IwAR2gY95ez1yH7rAkdtm7BapLYUnOZCMCTd_dPNMxT785vdXdbUTN6L57l0Q

Disalin dari KisahMuslim

  1. Home
  2. /
  3. A7. Wabah Penyakit dan...
  4. /
  5. Wabah Dalam Sejarah Islam