Fitnah Syubhat Dan Sebab-Sebabnya

FITNAH SYUBHAT DAN SEBAB-SEBABNYA

Oleh
Ustadz Fariq Gasim Anuz

Al Imam Muhammad bin Aslam At-Thusi rahimahullah (242 H) berkata : “Dan barangsiapa mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam hal wahyu dan dengan apa-apa yang ahli syirik dan ahli bid’ah berada di atasnya pada hari ini, maka dia mengetahui perbedaan yang sangat jauh antara orang-orang salaf dan orang-orang khalaf, lebih jauh antara jarak timur dan barat, mereka berdiri di atas sesuatu dan orang-orang salaf berdiri di atas sesuatu yang lain, sebagaimana dikatakan :

Dia pergi ke timur dan engkau pergi ke barat
Jauh sekali perbedaannya antara timur dan barat

Dan perkara ini -demi Allah- lebih dahsyat dari apa yang telah kami sebutkan.

Imam Al Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya (2/115)[1] dari Ummi Darda Radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Abu Darda masuk ke rumah dengan keadaan marah, maka aku tanyakan kepadanya, “Ada apa engkau?” Maka ia berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun pada diri mereka tentang urusan (Nabi) Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, kecuali mereka semuanya shalat”.

Dan Imam Az-Zuhri berkata, “Saya masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus yang sedang dalam keadaan menangis, maka aku tanyakan kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Maka ia menjawab, “Aku tidak mengetahui sesuatu pun dari apa-apa yang aku ketahui, kecuali shalat ini, dan shalat pun sekarang telah disia-siakan”. Disebutkan oleh Al-Bukhari no. 530.[2]

Dan ini adalah fitnah yang terbesar di mana Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berbicara mengenainya, “Bagaimana keadaan kalian apabila fitnah menyelimuti kalian, orang-orang dewasa menjadi tua di dalamnya, anak-anak kecil tumbuh dewasa di dalamnya pula, bid’ah telah memasyarakat, mereka telah menjadikannya sebagai sunnah, apabila (bid’ah) itu dirubah, maka dikatakannya ‘sunnah (Rasullah shalallahu ‘alaihi wasallam) telah dirubah’ atau ‘ini adalah perbuatan mungkar’.”[3]

Dan hal ini merupakan sebagian bukti yang menunjukkan bahwa suatu amalan jika dilakukan bertentangan dengan As-Sunnah maka janganlah dianggap, dan janganlah ditoleh karena amalan yang bertentangan dengan As-Sunnah tersebut telah dilakukan sejak zaman Abu Darda dan Anas.”[4]

Imam Syathibi rahimahullah (wafat tahun 790 H) berkata : “Dan pada waktu itu saya telah tampil di masyarakat dengan berkhutbah, menjadi imam dan yang semisalnya, maka ketika saya menginginkan istiqamah di jalan yang lurus, saya dapatkan diri saya asing di tengah masyarakat pada waktu itu, dikarenakan gerak langkah mereka banyak dilandasi oleh adat istiadat[5] dan tata cara mereka telah dimasuki bid`ah-bid`ah dan tambahan-tambahan (dalam dien ini ), di mana di zaman dahulu hal ini bukan merupakan barang yang aneh,lebih-lebih di zaman sekarang ini!!”[6] sampai beliau berkata, “Maka ada dua pertimbangan, yaitu pertimbangan pertama mengikuti As Sunnah dengan syarat menyalahi kebiasaan masyarakat, maka haruslah menerima resiko yang biasa diterima oleh orang-orang yang menyalahi adat, terlebih lagi jika masyarakat mengakui bahwa kebiasaan mereka itu satu-satunya sunnah, tetapi meskipun memikul beban yang berat terdapat pahala yang besar padanya dan pertimbangan kedua mengikuti mereka dengan syarat menyalahi As Sunnah dan As-Salafus Shalih, maka kalau begitu saya menjadi orang-orang yang sesat – saya berlindung kepada Allah dari hal yang demikian – hanya saja saya sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dan saya dianggap sebagai pendukung, bukan sebagai oposan.

Maka saya berpendapat bahwa binasa dalam mengikuti As-Sunnah itulah sukses namanya, sedangkan manusia tidaklah dapat menguntungkanku sedikitpun di sisi Allah, maka keputusan itu saya terapkan meskipun secara bertahap dalam beberapa perkara, maka kiamatlah menimpa saya, bertubi-tubi celaan datang kepada saya, caci makian dialamatkan kepada saya bagaikan anak panah, saya dicap sebagai ahli bid`ah dan orang sesat, dan kedudukan saya diturunkan sejajar dengan orang tolol dan bodoh.”[7] Sekarang ini pun kita hidup di zaman fitnah, fitnah syubhat dan syahwat.

Al Imam Ibnu Qayim Al Jauziyyah rahimahullah berkata dalam bukunya Ighatsatul Lahafan[8] : “Fitnah itu dua macam: fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Fitnah syubhat lebih besar bahayanya dari yang kedua. Maka fitnah syubhat ini terjadi disebabkan lemahnya bashirah dan sedikitnya ilmu.”[9]

Apalagi kalau dibarengi rusaknya niat, dan berperannya hawa nafsu maka akan timbul fitnah yang lebih besar dan musibah yang lebih berat, maka katakanlah sekehendakmu mengenai kesesatan yang ditimbulkan buruknya niat, pengendalinya hawa nafsu bukannya hidayah, disertai bashirahnya yang lemah dan sedikit ilmunya mengenai apa-apa yang Allah utus RasulNya dengannya, maka dia itu termasuk orang-orang yang Allah sebut mengenai mereka:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.” [An-Najm/53 : 23]

Sampai beliau berkata : “Fitnah syubhat ini, nanti ujungnya sampai kepada kekufuran dan kemunafikan, dan ini merupakan fitnahnya orang-orang munafik dan fitnahnya ahli bid’ah menurut tingkatan kebid’ahan mereka masing- masing, semuanya berbuat bid’ah disebabkan syubhat-syubhat yang meracuni mereka sehingga menjadi kabur tidak dapat membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang petunjuk dan mana yang sesat.”[10]

Sampai beliau berkata : “Fitnah syubhat ini kadang timbul disebabkan pemahaman yang rusak, atau nukilan yang dusta, atau dari kebenaran yang tegak, tetapi tidak nampak oleh orang tersebut sehingga ia belum mencapainya, dan kadang dari tujuan yang buruk dan mengikuti hawa nafsu maka syubhat tersebut dari kebutaan dalam bashirah dan kerusakan dalam hal keinginan.”[11]

Dalam halaman lain, beliau berkata : “Dan pokok dari segala fitnah hanya terjadi dengan jalan mengutamakan ra’yu (pikiran) atas syariat, dan mengutamakan hawa nafsu dari pada mengikuti akal sehat. Maka yang pertama merupakan pokok fitnah syubhat, dan yang kedua pokok fitnah syahwat.”[12]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyyah rahimahullah berkata : “Sedangkan ahli bid’ah, mereka itu ahli hawa dan syubhat, mereka mengikuti hawa nafunya dalam hal yang mereka sukai dan yang mereka benci, mereka memutuskan perkara dengan dzan (persangkaan) dan syubhat-syubhat, maka sesungguhnya mereka itu mengikuti persangkaan dan hawa nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka.

Setiap kelompok dari mereka telah membuat fondasi bagi dirinya fondasi dien yang ia buat sendiri, bisa dengan ra’yunya dan qiyas (analogi)-nya yang ia namakan menggunakan akal, atau bisa juga menggunakan perasaannya dan hawa nafsunya yang ia namakan “wangsit” atau dengan cara memalingkan arti dari Al-Qur’an dan merubah kata- kata dari tempat semestinya dalam Al-Qur’an, dan ia berkata: sesungguhnya ia mengikuti Al-Qur’an, seperti kaum Khawarij, atau dengan mengaku menggunakan dalil hadits padahal hadits tersebut dustaatau dhaif sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Syi’ah rafidhah dalam membawakan nash, dan kebanyakan dari orang-orang yang membuat diennya dengan ra’yunya atau perasaannya berhujjah dengan Al-Qur’an di mana ia mengartikan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya, ia menggunakan Al-Qur’an sebagai kedok dan kamuflase belaka, sesungguhnya yang dijadikan asas untuk berpijak adalah ra’yunya.”[13]

Baca Juga  Penyelewengan Makna Ayat Kami Panggil Tiap Umat Dengan Pemimpinnya

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu ketika memberi nasehat kepada Kumail bin Ziyad dengan nasehat yang panjang, di awalnya mengenai macam-macam manusia yang terbagi menjadi tiga kelompok : Ulama rabbani, penuntut ilmu yang menuju jalan keselamatan, dan orang yang hina dan rendah, mereka tidak belajar, lalai terhadap diri mereka sendiri. Kemudian setelah itu beliau menjelaskan tentang keutamaan ilmu dibandingkan harta, lalu menjelaskan macam-macam orang yang memiliki ilmu, tetapi mereka itu orang-orang yang tercela, di antaranya adalah orang-orang yang tunduk kepada ahli kebenaran tetapi ia tidak memiliki bashirah, sedikit saja syubhat datang kepada dia langsung membekas di hatinya, tidak memiliki filter untuk menyaring kebenaran, ia merupakan fitnah bagi orang yang terfitnah disebabkan dia. Setelah selesai menceritakan mereka, lalu beliau menjelaskan tentang hilangnya ilmu dengan meninggalnya ulama, namun meskipun demikian ulama yang haq tetap saja ada meskipun sedikit jumlahnya. Setelah itu menyebutkan pujian kepada mereka.[14]

Al Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam syarah wasiat Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu ketika sedang menjelaskan tipe yang kedua dari orang-orang yang memiliki ilmu, yaitu orang-orang yang tunduk kepada ahli kebenaran tetapi ia tidak memiliki bashirah, sedikit saja syubhat datang kepada dia langsung membekas dihatinya, bingung dalam mencari kebenaran, beliau berkata dalam bukunya Miftah Daaris Sa’adah juz pertama :
“Ia orang yang tunduk kepada ahli kebenaran, tetapi dadanya belum lapang dalam menerimanya, begitu pula hatinya belum tentram, bahkan dia itu lemah bashirah dalam menilai kebenaran, hanya saja dia itu tunduk dan patuh kepada ahli kebenaran.  Ini adalah keadaan pengikut kebenaran dari kalangan muqalliddin, dan mereka ini-meskipun meniti di atas jalan keselamatan-tetapi mereka bukan dari juru da’wah bagi dien ini, mereka itu hanya menambah jumlah tentara, mereka bukan komandannya atau tokohnya.”[15]

Di halaman yang lain, beliau berkata[16]: “(Sedikit saja syubhat datang kepada dia, langsung membekas di hatinya). Hal ini disebabkan sedikit ilmunya dan kelemahan bashirahnya sehingga ketika syubhat yang paling kecil pun masuk kedalam hatinya langsung saja membekas berupa keraguan dan kebimbangan, berbeda dengan orang yang kokoh ilmunya, meskipun syubhat-syubhat sebesar gelombang di lautan menerpanya ia tetap kokoh (bagaikan batu karang) tidak berubah keyakinannya, dan tidak terbersit keraguan sedikit pun, karena telah kokoh ilmu yang ia miliki. Maka syubhat-syubhat tersebut tidak dapat menggoncangkannya, bahkan apabila syubhat datang kepadanya langsung saja para pengawal dan tentaranya berupa ilmu yang ia miliki, menyerangnya sehingga syubhat tersebut langsung jatuh terkapar tidak berkutik sedikit pun.

Dan syubhat yang datang lalu masuk kedalam celah hati sehingga menghalangi dia untuk menyingkapnya agar mengetahui kebenaran, tetapi bila hati telah lekat dengan hakekat ilmu, maka syubhat yang datang tidaklah berdampak apa-apa, bahkan semakin kuat ilmu dan keyakinannya dengan jalan membantah dan menyingkap kebatilannya. Apabila hatinya belum lekat dengan hakekat ilmu yang benar, maka ia akan mudah terpengaruh berupa keraguan sejak dini, bisa jadi ia meralatnya (lalu ruju’ kepada kebenaran) dan apabila tidak berbuat demikian maka syubhat yang semisalnya datang secara berturut-turut, lalu ia menjadi orang yang ragu-ragu dan bimbang. Ada dua jenis tentara dari kebatilan yang selalu masuk kedalam hati manusia, yaitu para tentara syahwat yang durjana dan para tentara syubhat yang batil. Siapa saja yang hatinya condong dan tentram kepada syubhat, maka ia menyerapnya sehingga hati dia penuh berisi syubhat, konsekuensinya yang keluar dari lisannya begitu pula yang diamalkan oleh anggota tubuhnya berupa keraguan, syubhat-syubhat dan tendensi-tendensi hawa nafsu. Adapun orang yang jahil menyangka bahwa orang tersebut memiliki ilmu yang sangat luas! Padahal sesungguhnya kosong dari ilmu dan keyakinan.”[17]

Sampai beliau berkata : “Asy-Syubhat, dinamakan demikian karena di dalamnya terdapat kesamaran antara yang haq dengan yang batil, karena sesungguhnya syubhat tersebut memakai pakaian yang haq menutupi badan yang batil, dan kebanyakan manusia adalah orang-orang yang baik dari segi zhahir sehingga orang yang melihat pakaian yang ia pakai, meyakininya sebagai kebenaran.

Sedangkan orang-orang yang memilki ilmu dan keyakinan dia tidak tertipu, bahkan pandangannya dapat menembus sampai ke dalam sehingga dia mengetahui apa yang ada di balik pakaiannya, maka dia dapat menyingkap hakikatnya. Analoginya seperti uang dirham yang palsu, maka orang yang bodoh akan tertipu melihat kepada zhahirnya karena memakai pakaian berupa (sepuhan) perak, tetapi orang yang ahli dalam hal ini lagi memiliki pandangan yang tajam dapat menembus apa yang ada di balik itu sehingga ia dapat mengungkapkan kepalsuannya.

Kata-kata yang manis lagi fasih dalam hal syubhat sama kedudukannya dengan pakaian (sepuhan) berupa perak dari uang dirham palsu, padahal isinya mungkin dari tembaga atau dari jenis lain di bawahnya.

Betapa banyaknya manusia menjadi korban dari penipuan dengan cara seperti ini. Hanya Allah saja yang tahu jumlah orang-orang yang tertipu!

Dan orang yang berakal lagi cerdas apabila memperhatikan hal ini secara seksama, dia akan melihat bahwa kebanyakan manusia memegang satu pendapat dan menyampaikannya dengan satu ungkapan, dalam kesempatan yang lain ia membantah pendapat yang dipeganginya tadi dengan ungkapan yang lain[18]. Saya sendiri sering melihat yang seperti ini dalam buku-buku manusia, Masya Allah banyaknya!! Betapa sering kebenaran itu ditolak dengan cara kecaman sehingga tertutup dengan pakaian, yaitu berupa kata-kata yang buruk !

Dalam hal seperti ini, para imam ahli sunnah, seperti Imam Ahmad dan yang lainnya berkata, “Janganlah kita membuang satu sifat pun dari sifat-sifat Allah dikarenakan kecaman yang dilakukan oleh orang lain, mereka kaum Jahmiyyah menuduh bahwa penetapan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah seperti sifat hidup, ilmu, kalam, pendengaran, penglihatan dan segala sifat lainnya yang Allah sifatkan diriNya dengan sifat tersebut mereka katakan sebagai tajsim dan tasybih (penyerupaan) dengan makhluk. Barangsiapa yang menetapkan sifat-sifat tersebut dituduhnya sebagai musyabbih.”[19]

Hanya orang yang berakal picik lagi mempunyai pandangan sempit, jika ia lari dari pemahaman yang benar disebabkan adanya tuduhan dengan penamaan yang batil ini.

Dan setiap pendukung aliran atau ajaran batil menutupi hakekat aliran dan ajaran mereka dengan ungkapan semanis mungkin. Sedangkan untuk menjatuhkan lawan, mereka menggunakan ungkapan seburuk mungkin.

Adapun orang-orang yang diberi karunia oleh Allah berupa bashirah dapat menyingkap hakekat di balik kata-kata tadi, berupa kebenaran atau kebatilan dengan menggunakan bashirah tersebut, dia tidak tertipu dengan ucapan lisan, sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:

“Engkau katakan ini adalah hasil dari lebah“[20]
Dan apabila engkau menghendaki engkau katakan ini adalah muntahnya zanabir[21]

Ungkapan pertama berupa pujian dan kedua berupa celaan, engkau tidak berlebihan dalam mensifati keduanya Dan kebenaran itu terkadang tertutup oleh buruknya ungkapan.”

Maka dari itu apabila engkau hendak menelaah mengenai hakekat suatu pengertian, apakah dia itu haq atau batil? Maka lepaskanlah semua dari pengaruh ungkapan kata-kata, lepaskan hatimu dari sikap apriori atau simpati, kemudian setelah itu berilah akal haknya untuk mempertimbangkan hal tersebut dengan pertimbangan yang obyektif, janganlah engkau termasuk oarang-orang yang subyektif dalam menilai, yaitu apabila ia melihat tulisan atau ucapan sahabat-sahabatnya atau orang-orang yang ia selalu berprasangka baik kepadanya, ia memandangnya dengan pandangan sempurna dengan sepenuh hati sehingga ditelannya bulat-bulat. Sebaliknya, apabila ia melihat tulisan atau ucapan lawanya atau orang-orang yang yang ia berprasangka buruk kepadanya, maka ia memandangnya dengan memicingkan mata, penuh koreksian. Akibatnya orang yang melihat dengan pandangan permusuhan apabila dia melihat kebaikan, yang terlihat adalah keburukan, sebaliknya orang yang melihat dengan pandangan percintaan apabila dia melihat keburukan, yang terlihat adalah kebaikan .

Baca Juga  Hukum Pernyataan Peristiwa-Peristiwa Zaman Dulu

Dan tidak ada orang yag selamat dari sikap subyektifitas ini, kecuali orang yang Allah kehendaki mendapatkan kemuliaanNya dan Ia ridha kepadanya untuk menerima kebenaran, dan telah dikatakan : “Mata yang penuh ridha akan memejamkan matanya dari segala aib yang ia lihatsebagaimana mata yang penuh kebencian yang ia lihat hanyalah keburukan”

Dan yang lain berkata pula : “Mereka melihat dengan mata permusuhan, kalau saja mata tersebut mata keridhaan tentu mereka akan menganggap baik apa yang tadinya mereka anggap buruk.

Apabila yang demikian tadi berkenaan dengan pandangan mata panca indra yang hanya sampai kepada benda-benda fisik, masih saja ia belum bisa menahan dirinya agar tidak sombong, maka bagaimana jadinya dengan pandangan mata hati yang dapat menembus makna-makna yang sangat dalam yang tidak dapat dijangkau oleh mata panca indra, mata hati itu merupakan ujian yang lebih berat lagi, sehingga lebih besar lagi kemungkinannya untuk berbuat sombong.

Dan hanya Allah saja yang diminta pertolonganNya guna mengetahui kebenaran dan agar kita dapat mengikutinya, dan guna menolak kebatilan dan agar kita tidak tertipu dengannya”[22]

Wahai Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran, dan karuniakanlah kepada kami kekuatan untuk dapat mengikutinya, dan perlihatkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya.

[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
_______
Footnote
[1] Ilmu Ushulil Bida’, hal.276
[2] Ilmu Ushulil Bida’, hal.276
[3] H.R. Ad-Darimi (1/64), dan Al-Hakim. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hal. 276
[4] Ilmu Ushulil Bida’, hal.275-277
[5] Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam bukunya Ighatsatul Lahafan, “Kebanyakan agama-agama manusia hanyalah adat istiadat yang mereka ambil dari bapak-bapak mereka dan nenek moyang mereka, lalu mereka menirunya secara taqlid buta, baik di dalam menetapkan dan menolak, dalam cinta dan benci, dalam loyalitas dan permusuhan “(juz 2 hal 193)
[6] Al-I’tisham, hal.33
[7] Al-I’tisham hal.34-35
[8] Penyusun menukilnya dari buku Mawaridul Amaan
[9] Syaikh Ali Hasan berkata, “Dan dari pintu sedikitnya ilmu, syetan masuk kepada orang- orang yang cetek ilmunya, ia menghiasi ‘kebatilan’ dengan hal yang indah-indah, sehingga mereka terjerumus dalam perangkapnya, maka ilmu yang bermanfaat merupakan kunci bagi segala kebaikan dan penolak segala kejahatan.” (Mawaridul Amaan, hal 412, Catatan kaki no.1)
[10] Mawaridul Amaan, hal. 412
[11] Mawaridul Amaan, hal. 413
[12] Mawaridul Amaan, hal. 414
[13] Syaikh Ali Hasan menukil dari kitab An-Nubuwah hal.95. (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ , hal.292)
[14] Wasiat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu kepada Kumail bin Ziyad secara lengkapnya dapat dilihat dalam buku-buku berikut ini: (1). Min Washayaa As-Salaf, hal. 11-18 (2). Al-Ifadah min Miftah Daar As-Sa’adah, hal.192-193 dari juz pertama (3). Miftah Daar As-Sa’adah, juz 1 hal.493-494, dan syarah wasiat ini terdapat pada hal. 405-474
[15] Miftah Daar As-Sa’adah, juz 1 hal 441
[16] Miftah Daar As-Sa’adah, juz 1 hal 442
[17] Syaikh Ali Hasan dalam ta’liqnya mengatakan, “Dan ini yang terjadi pada ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang seperti (Muhammad Zahid) Al-Kautsari itu yang telah binasa, begitu pula si pendusta “Al-Khassaaf” dari Balqa (nama tempat di Yordania, pent) orang yang hina dina !. Dan jauh berbeda antara keduanya dari segi ilmu meskipun semuanya ahli bid’ah.” Penyusun mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Syaikh Ali dengan “Al-Khassaf” pendusta dari Balqa adalah Hasan Assaqqaf, seorang ahli bid’ah dari Yordania penulis buku Tanaqudhaat Al- Albani. Buku-bukunya penuh berisi kecaman dan cacian terhadap da’wah salafiyyah dan para ulamanya dahulu dan sekarang, ia seorang yang tolol, ta’ashshub dan penuh dendam. Syaikh Masyhur Hasan Salman menyebutkan dalam sebuah bukunya Kutubu hadzdzara minha Al-Ulama (buku-buku berbahaya yang diperingatkan oleh para ulama), juz 1 hal.300-301, beliau berkata, “Beberapa masyayikh yang terhormat, dalam rangka membela aqidah salafiyyah telah membantah Hasan Assaqqaf ini, banyak peringatan-peringatan keras mereka lontarkan (kepada ahli bid’ah), begitu pula jakan penuh kasih sayang kepada para penuntut ilmu yang masih goyah, yang masih dalam keadaan bingung dan goncang, mudah-mudahan mereka mengetahui hakekat buku-buku Hasan Assaqqaf ini dan bahayanya terhadap manhaj ahlul haq.
Di antara masyayikh tersebut adalah :
1. Al-Akh Syaikh Sulaiman Nashir Al-Ulwan dalam buku-bukunya :
Al-Kasysyaf ‘an dhalalaat Hasan As-Saqqaf, dicetak oleh Daar Al-Manar,Riyadh.
Al-Qaul Mubin fi Itsbati Ash-Shuroh li rabbil ‘Alamin bantahan terhadap tulisan Assaqqaf Aqwaalul Huffadz Al-mantsuroh libayanil wadh’i hadits “roaitu rabbi fi ahsani shuroh.” Buku (Al-Qoul Mubin) ini dicetak oleh Daar Al-Anshar, Buraidah.
Dan dia (Syaikh Sulaiman) juga mempunyai bantahan yang panjang lebar terhadap buku Daf’u syubahi At-Tasybih dan komentar- komentar Assaqqaf terhadap buku itu yang beliau beri nama “Ithafu Ahlil fadhli wal inshafi binaqdhi kitab daf’i syubahit tasybih wa ta’liqaat Assaqqaf.”
2. Al-Akh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam dua bukunya :
Al-Anwar Al-Kasyifah litanaqudhaat Al-khassaf Az-Zaaifah wa Kasyfu ma fiiha minaz ziyagh wat tahrif wal Mujazafah, diterbitkan oleh Daar Al-Ashaalah.
Al-Iiqaafu ‘ala abatil qamus syataaim Assaqqaf, Daar Al-Ashaalah.
Berupa bantahan terhadap kitab Assaqqaf Qaamus Alfadz Al-Albani.
3. Syaikh Abdul Karim bin Shalih Al-Humaid dalam bukunya :
Al-Ithafu bi Aqidatil Islam wat Tahdzir min Jahmiyatis Saqqaf
4. Al-Akh Syaikh Kholid Al-‘Anbari dalam bukunya :
Al-Iftiraa”aatus Saqqaf Al-Atsim’alal Albani Syaikhil Muhadditsin
Dan selain mereka masih banyak lagi.
[18] Syaikh Ali mengatakan, “Hal ini bukan metode yang benar dan bukan jalannya ahli kebenaran.” (Miftah Daar As-Sa’adah, juz 1, hal.443, catatan kaki no.2)
[19] Syaikh Ali mengatakan, “Dan cara seperti ini dilakukan oleh Ahli Bid’ah dan Ahli hawa dahulu dan sekarang.” (Miftah Daar As- Sa’adah, juz 1, hal.444, catatan kaki)
[20] Hasil dari lebah maksudnya adalah madu
[21] Zanabir bentuk jama’ dari zanbur yaitu serangga yang memiliki sengat seperti lebah, hanya badannya lebih besar dari lebah. Zanbur ini suka mencuri madu dari sarang lebah, apabila muntah, maka muntahnya yang keluar mirip madu
[22] Miftahu Daar As Sa’adah, juz1 hal 443-445

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Dakwah Fitnah...
  4. /
  5. Fitnah Syubhat Dan Sebab-Sebabnya