Makna Syahadat
MAKNA SYAHADAT
Oleh
Syaikh DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr
Pembicaraan saya kepada Anda semua[1], seputar rukun pertama dari rukun-rukun Islam, rukun yang terbesar dari rukun-rukun Islam yang lima. Iman seseorang tidak akan tegak, kecuali dengannya. Barangsiapa yang tidak mewujudkannya, maka dia bukanlah seorang muslim. Dan barangsiapa yang membatalkannya, maka sesungguhnya Allah mengharamkan surga baginya, tempat kembalinya adalah neraka, dan orang-orang zhalim tidak memiliki para penolong.
Rukun Islam pertama itu adalah syahadat Laa ilaaa illa Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ini adalah kalimat thayyibah (yang baik), yang lebih berat dalam timbangan daripada seluruh langit dan bumi. Ini adalah kalimat pembuka (kunci) Islam. Kita mengajarkannya kepada anak-anak kita, pertama kali yang dia katakan, dan lafazh-lafazhnya mengetuk pendengaran-pendengaran mereka pada waktu pertama kali dia turun dari perut ibunya. Kita juga mengajarkannya kepada orang-orang yang akan mati di antara kita pada waktu sakaratul maut. Kita terus berjalan di atasnya, kita mengamalkannya disertai konsekuensi-konsekuensinya, agar kita selamat pada hari Kiamat.
Kita semua menghafalnya, baik orang Arab maupun non Arab, orang kulit putih maupun orang kulit hitam, orang buta huruf maupun orang ‘alim. Kita semua hafal kalimat ini. Akan tetapi, apakah kita mengetahui maknanya? Apakah kita memahami konsekuensinya? Apakah kita mengenal yang dimaksud dengan Laa ilaah illa Allah, dan apakah yang dimaksud dengan perkataan Laa ilaaha illa Allah Muhamadar Rasulullah?
Bagian pertama dari syahadat itu berkaitan dengan Allah, dengan rububiyahNya (kekuasaanNya), uluhiyahNya (hakNya untuk diibadahi), dan asma’ dan sifatNya, dengan tauhid yang murni yang dibawa oleh para nabi Allah semua, semenjak Nuh Alaihissallam sampai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bagian yang kedua, berkaitan dengan Muhammad utusan Allah, pembawa rahmat dan orang yang diberi petunjuk (oleh Allah). Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh makhluk. Allah meninggikan namanya di kalangan orang-orang dahulu dan kemudian. Tidaklah Allah disebut, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebut bersamaNya. Kita menyebut nama Rasulullah jika kita menyebut Allah, yaitu pada shalat, adzan, ucapan takbir dan tahlil, khutbah-khutbah, dan sebelum kajian-kajian dan pada tasyahhud yang kita lakukan dalam shalat kita. Dan kita bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membaca shalawat dan salam untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau adalah pemberi syafa’at bagi kita dengan idzin Allah pada waktu kita menghadapNya.
Di dalam bagian pertama dari syahadat, yaitu kalimat Laa ilaaha illa Allah, mengandung makna : mengikhlaskan agama dan mengikhlaskan tauhid bagi Allah. Sedangkan (syahadat) Muhammad utusan Allah, mengandung makna mengikhlaskan mutaba’ah (keteladanan) dan memurnikannya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Agama ini tegak di atas dua landasan tersebut ini. Oleh karena itulah, para ulama dan para imam kita mengatakan: “Agama tegak di atas dua dasar. Dasar yang pertama, bahwa tidak ada yang diibadahi kecuali Allah. Dan dasar kedua, Allah diibadahi dengan cara yang Dia syari’atkan”.
Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah adalah makna Laa ilaaha illa Allah. Maka Laa ilaaha illa Allah maknanya adalah, tidak ada yang berhak diibadahi yang ada di alam ini, kecuali Allah. Jadi, ada unsur nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan).
Nafi terhadap seluruh sesembahan yang batil, dan itsbat bahwa ilaah yang haq dan ma’bud (sesembahan) dengan haq, adalah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Harus ada nafi dan itsbat, harus ada bara’ (sikap berlepas diri) dan wala’ (kecintaan dan pembelaan). Bara’ dari seluruh sesembahan selain Allah, dan itsbat ubudiyah (penghambaan diri) bagi Allah.
Maka, seandainya kita beribadah kepada Allah dengan nafi saja, yaitu Laa ilaaha, maka kita belum beribadah, karena telah menafikan dan mengingkari bahwa dalam alam ini ada ilaah. Dan seandainya kita beribadah kepada Allah dengan itsbat saja, yaitu illa Allah, maka itu hal tersebut tidak meniadakan keberadaan sekutu. Maka harus ada nafi dan itsbat, harus ada bara’ dan wala’. Sebagaimana firman Allah :
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadahlah kepadaKu“. [al Anbiya/21: 25]
Firman Allah “maka beribadahlah kepadaKu”, maknanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Sesungguhnya Allah telah mengutus para rasul sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas mereka semua mengatakan satu perkataan yang sama : “Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah, kamu tidak punya ilaah kecuali Dia”. Mereka semua mengatakan: “Wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah, dan jauhilah thaghut”. Thaghut adalah seluruh yang diibadahi selain Allah.
Inilah tauhid yang dibawa oleh para Rasul, hak Allah yang menjadi kewajiban hamba, sebuah kewajiban paling besar yang telah Allah wajibkan, dan perintah terbesar yang Allah perintahkan. Dengan alasan ini, Allah mengutus Rasul, menurunkan kitab, dan pedang-pedang dihunus di kalangan para mujahid untuk meninggikan kalimat Allah. Setiap orang yang menginginkan masuk Islam, wajib mengucapkan Laa ilaaha illa Allah. Kalimat ini maknanya, tidak ada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya di bumi dan dilangit, kecuali satu ilaah , yaitu Allah. Oleh karena itulah, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada orang-orang musyrik untuk mengatakannya, hal itu berat bagi mereka, sebab mereka mengetahui maknanya. Juga karena di antara konsekuensinya adalah berlepas diri dari tuhan-tuhan mereka, dan dari berhala-berhala mereka yang mereka sembah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, mereka mengatakan:
أَجَعَلَ اْلأَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَىْءٌ عُجَابٌ
Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah Yang Satu saja. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. [Shad/38 : 5].
Kalimat Laa ilaaha illa Allah memuat tiga jenis tauhid yang dibawa oleh para rasul. Tauhid rububiyah, yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatanNya. Seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menurunkan rizqi, dan selain itu. Dan memuat tauhid uluhiyah atau ibadah, yaitu mentauhidkan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba. Seperti shalat, puasa, haji, zakat, menyembelih binatang, nadzar, istighatsah, isti’anah, inabah, thawaf di Ka’bah, bersumpah dengan nama Allah, dan jenis-jenis ibadah lainnya. Barangsiapa mempersembahkan satu jenis ibadah ini kepada selain Allah, maka dia telah terjerumus ke dalam syirik uluhiyah, atau syirik ubudiyah. Dan tauhid yang ketiga, tauhid asma’ was sifat, yaitu menetapkan hal-hal yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diriNya, dan meniadakan apa yang telah ditiadakan oleh Allah dari diriNya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidaklah ada sesuatupun yang serupa denganNya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syura/42 : 11].
Firman Allah “tidaklah ada sesuatu pun yang serupa denganNya”, adalah bantahan terhadap (yaitu) golongan musyabbihah ; yaitu orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya. Sementara firmanNya “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” adalah bantahan terhadap golongan mu’aththilah ; (yaitu) orang-orang yang menolak sifat Allah. Allah Yang Maha Agung memiliki asmaul husna (nama-nama yang indah) dan sifatul ‘ulya (sifat-sifat yang tinggi atau sempurna).
Demikian juga kalimat Laa ilaaha illa Allah, memuat sikap berlepas diri dari hal yang bertentangan dengannya, yang berupa kesyirikan; syirik rububiyah, syirik uluhiyah, atau syirik sifat.
Barangsiapa menafsirkan Laa ilaaha illa Allah dengan arti tidak ada Rabb (Pencipta, Penguasa) kecuali Allah, maka dia tidak mentauhidkan Allah, dan tidak mengenal tauhid. Sebab, tauhid rububiyah telah tertanam di dalam fithrah (manusia), dan hanya diingkari oleh sedikit manusia. Yaitu orang-orang Majusi dan orang-orang Dahriyah (orang-orang yang menisbatkan segalanya kepada dahr atau masa). Sedangkan mayoritas manusia mengakui jenis tauhid ini. Adapun tauhid yang menjadi ajang permusuhan antara para nabi dengan para pengikut mereka adalah tauhid uluhiyah, atau tauhid ibadah.
Para ulama mendefinisikan ibadah dengan: satu istilah yang meliputi seluruh yang dicintai dan diridhai oleh Allah, yang berupa perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan, yang lahir maupun yang batin.
Maka, barangsiapa membatalkan tauhid ini, Laa ilaaha illa Allah, maka dia bertemu dengan Allah dalam keadaan musyrik, surga haram baginya, dia kekal dan dikekalkan di dalam neraka. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [az Zumar/39 : 65].
Dan berdasarkan firmanNya:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Seandainya mereka (para Nabi) mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al An’am/6 : 88].
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَقِيَ اللَّهَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Barangsiapa bertemu Allah, sedangkan dia menyekutukan Allah, maka Allah haramkan surga baginya.[2]
Setiap orang yang mengatakan Laa ilaaha illa Allah, dia berkewajiban mengucapkan dan bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah. Karena tauhid dan syahadat tidaklah sempurna, kecuali dengan pengakuan terhadap risalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ittiba’ (mengikuti) beliau, dan (pengakuan) bahwa beliau adalah penutup seluruh Nabi dan Rasul, tidak ada nabi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga dengan pengakuan bahwa syariat beliau adalah syari’at yang diridhai oleh Allah sampai hari pembalasan, sebuah syari’at yang menghapus seluruh syariat para nabi yang telah lalu. Juga meyakini sabda beliau :[3]
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dia (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya. Tidaklah seorang pun dari umat ini, baik seorang Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada risalah yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka. [HR Muslim, no. 153; Ahmad; dari sahabat Abu Hurairah, Pent]
Kalau demikian, maka apakah hak Rasulullah n atas umatnya? Apakah hak beliau atas umat Islam di belahan bumi bagian timur dan barat? Sungguh, hak beliau sangat besar. Karena setiap satu orang Islam yang ada, itu merupakan salah satu dari kebaikan-kebaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm adalah penyebab kaum muslimin mendapatkan petunjuk, dan beliau menjadi faktor penyebab keselamatan mereka. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa agama ini kepada kita, dan beliau adalah orang yang dicintai oleh Rabbul ‘alamin, beliau adalah utusan Rabbul ‘alamin.
Seandainya bukan melalui beliau, kita tidak mendapatkan petunjuk, kita tidak berpuasa, dan tidak shalat.
Oleh karena itulah, hak beliau atas kita adalah besar. Dan kewajiban kita kepada beliau kuat. Kita harus mencintai beliau secara lahir dan batin. Kita menghormatinya, mengagungkannya, memuliakannya. Kita berlaku sopan terhadap beliau, pada waktu hidup dan setelah mati. Kita mencintai orang yang mencintai Allah dan RasulNya. Kita memusuhi orang yang memusuhi Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa meremehkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita memusuhi orang itu, dan berlepas diri darinya, dan memusuhinya, walaupun dia adalah orang yang paling dekat (dengan kita). Karena ini merupakan tuntutan tauhid, tuntutan iman, tuntutan wala’ wal bara` (pembelaan dan permusuhan karena Allah, Pent). Allah Ta’ala berfirman :
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwasanya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [al Mujadilah/58 : 22][4]
.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. [al Mumtahanah/60 : 4].
Nabi Ibrahim Alaihissallam memusuhi bapaknya –karena Allah- tatkala bapaknya terus-menerus di atas kemusyrikan. Nabi Nuh Alaihissallam memusuhi anaknya –karena Allah- dan berlepas diri darinya, ketika dia terus-menerus di atas kekafiran. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memusuhi pamannya, Abu Lahab, tatkala dia berkeras kepala di atas kemusyrikan. Kemudian Allah menurunkan al Qur`an tentang Abu Lahab yang terus dibaca sampai hari Pembalasan. Demikian juga para sahabat memusuhi kerabat-kerabat mereka –karena Allah- . Abu Ubaidah membunuh bapaknya –karena Allah- karena dia memusuhi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ‘Asiyah, seorang wanita mukminah istri Fir’aun berlepas diri dari Fir’aun, dia mengatakan:
رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Ya, Rabb-ku. Bangunlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. [at Tahrim/66 : 11].
Demikianlah, kita mesti mencintai orang yang mencintai Allah dan RasulNya, dan membenci orang yang membenci Allah dan RasulNya. Kita memusuhi orang yang dimusuhi oleh Allah dan RasulNya. Inilah Islam, dan ujian iman. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَوْثَقُ عُرَى الإِيْمَانِ اَلْحُبُّ فِيْ اللهِ وَ الْبُغْضُ فِيْ اللهِ
Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.[5]
Oleh sebab itu, kita mencintai para sahabat, karena mereka adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah, dan orang-orang yang dicintai oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. wafat dalam keadaan ridha terhadap mereka dan Allah yang berada di atas ‘ArsyNya meridhai mereka. Kita mencintai mereka dan kita membenci orang yang melaknat mereka dan membenci mereka. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai wali-waliNya yang shalih. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai orang-orang yang bertauhid. Kita mendekatkan diri kepada Allah dengan membenci orang-orang musyrik, dan ahli-ahli bid’ah, ahli kesesatan, dan pengikut hawa-nafsu, dan membenci firqah-firqah yang membuat-buat perkara baru dalam agama Islam yang Allah tidak menurunkan keterangan dan hujjah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita membenci firqah-firqah yang sesat, seperti Rafidhah, Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Jahmiyah, dan seluruh firqah sesat. Kita membenci mereka, karena mereka menyimpang dari jalan yang lurus dan tidak mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Sesungguhnya Allah telah menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah. Allah menguji mereka melalui ittiba’ kepada Rasulullah. Dia menguji mereka dengan mencintai Rasulullah. Telah datang beberapa orang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mencintai Rabb kami,” maka Allah menurunkan ayat ini, tentang mereka:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran/3 : 31][6]
Jika anda benar-benar mencintai Allah, maka wajib mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Karena jika anda menyimpang dari jalannya, berarti dusta dalam kecintaan anda kepada Allah. Jika anda menyimpang dari jalannya, maka anda bukanlah orang-orang yang dicintai oleh Allah. Anda menjadi bagian dari musuh-musuh Allah, jika menyimpang dari jalan Allah dan RasulNya. Jika anda menginginkan kecintaan Allah, maka kecintaan Allah akan ada, dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. secara lahir dan batin. Anda mengagungkannya, mencintainya, beradab terhadap beliau, tidak memperolok-olok sunnahnya, tidak memperolok-olok pribadi beliau, dan tidak melakukan perkara yang menyelisihi syariatnya, niscaya Allah akan mencintai dan mangampuni dosa-dosa anda.
Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. adalah wajib, dan mengikuti beliau hukumnya wajib, menghormatinya wajib, memuliakannya wajib, mengagungkan sunnahnya wajib. Barangsiapa meremehkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada waktu hidup atau setelah wafat melalui ungkapan, atau dengan isyarat, atau dengan cerita, maka dia telah kafir kepada Allah dan amalannya terhapuskan. Dan dia berhak mendapatkan hukuman yang menghentikannya (dari perbuatan itu), darahnya pun menjadi halal.
Oleh karena itulah para ulama kita, ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah menetapkan, bahwa barangsiapa memperolok-olok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau melecehkannya, atau merendahkannya, maka dia kafir, dia boleh dibunuh. Dan para ulama berselisih, apakah dia punya kesempatan bertaubat dan dimintai untuk bertaubat atau tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan dalam Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, bahwa orang itu tidak berhak bertaubat setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hak beliau tetap berlaku. Adapun hak Allah, seandainya seseorang mencela Rabb atau agama, kemudian bertaubat, maka ini antara dia dengan Allah. Adapun berhubungan dengan orang yang mencela Rasul, maka dia, walaupun bertaubat, tidaklah gugur hak Rasul. Sebab dia telah melontarkan gangguan kepada beliau. Menyakiti Rasul sudah ada sejak dahulu, bahkan menyakiti para nabi juga terjadi sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلُُ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَاكُذِّبُوا وَأُوذُوا
Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka. [al An’am/6 : 34]
Allah memberitakan istihza’ (olokan) kaum Nuh terhadap beliau:
وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلأٌ مِّن قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِن تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ
Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Nuh berkata : “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami)”. [Huud/11 : 38].
Allah memberitakan tentang mujrimin (orang-orang yang banyak berbuat dosa) yang mengedipkan mata dan mencela kaum mukminin.
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ . وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. [al Muthaffifin/83 : 29-30]
Celaan ini terjadi. Orang Islam di masa sekarang menjadi komunitas asing di antara manusia. Jika engkau berpegang teguh dengan Sunnah, terkadang orang yang paling dekat denganmu memperolok-olokmu. Engkau mungkin mendapatkan cemoohan dari keluargamu, kerabatmu, dan saudara-saudaramu. Akan tetapi, ada perbedaan antara yang diperolok-olok dan dicemooh itu seorang manusia biasa, dengan yang diperolok-oloknya itu adalah Allah, kitab Allah, agama Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan bentuk kekafiran. Dalil hal ini adalah firman Allah (di dalam surat at Taubah). Yaitu ketika ada sekelompok orang-orang munafik membicarakan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentang para sahabat beliau, maka Allah menurunkan tentang mereka al Qur`an, lalu mereka datang meminta ma’af (beralasan): “Sesungguhnya kami hanyalah berbincang dan bersendau gurau, maka Allah membantah mereka dengan firmanNya:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ﴿٦٥﴾لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. [at Taubah/9 : 65-66].
Karenanya, hendaklah berhati-hati. Jangan sampai engkau memperolok-olok agama, al Qur`an, Allah dan Rasulullah. Karena semua tindakan ini merupakan kekafiran.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih dari hadits Anas:
Dahulu ada di antara kami seorang laki-laki dari Bani Najjar yang menyusul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu duduk kepadanya, untuk menghafal surat al Baqarah dan Ali Imran, dan dia menulis untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia bergabung dengan orang-orang Romawi, -yaitu menjadi kafir- dan mulai membuat-buat kebohongan atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan: “Muhammad tidak mengetahui apa-apa dari al Qur`an, sesungguhnya akulah yang menuliskan untuknya”. Namun tidaklah dia hidup, kecuali sehari atau dua hari saja, dia mati, Allah membunuhnya.
Orang-orang Romawi menghendaki untuk menguburnya, di dalam bumi. Mereka menggali lubang kubur baginya. Kemudian bumi memuntahkannya dari dalam tanah. Mereka mengatakan: “Mungkin kawan-kawan Muhammad mengeluarkannya”. Mereka menggali lubang kubur lagi baginya dengan dalam. Namun bumi memuntahkannya lagi. Mereka lalu mengatakan: “Mungkin kawan-kawan Muhammad mengeluarkannya”. Mereka membuat lubang kubur yang ketiga baginya dengan sangat dalam. Namun bumi memuntahkannya lagi. Maka mereka mengetahui bahwa perkara ini bukanlah dari para sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum. Mereka meninggalkannya terlantar.[7]
Karena dia mencela Rasulullah, menuduh beliau berdusta, menuduh Rasul membuat-buat al Qur`an ini, dan bahwa tidak ada sesuatu pada Muhammad kecuali yang dia tulis untuknya. Maka lihatlah, apa yang Allah lakukan terhadapnya? Allah membunuhnya, kemudian Dia menjadikannya sebagai ayat (tanda kekuasaan Allah) dan ‘ibrah (pelajaran), sebagaimana Dia menjadikan Fir’aun sebagai ayat dan ‘ibrah.
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ ءَايَة ً
(Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu. – [Yunus/10 : 92]- akan tetapi, mereka tidak mengambil pelajaran dan nasihat.
Inilah akibat buruk orang yang mencela Rasulullah, membuat-buat kedustaan dan memperolok-olok beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kisah tentang ini banyak, bahkan sangat banyak. Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul berkata:
لَأَخْرَجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ َ
(Sesungguhnya orang yang kuat [mulia] akan mengusir orang-orang yang lemah [hina] dari kota Madinah).[8]
Yang dia maksudkan dengan “orang yang kuat (mulia)” adalah dirinya sendiri, dan “orang yang lemah (hina)” adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. maksudnya dia akan mengusir beliau dari Madinah.
Maka datanglah Abdullah (seorang sahabat yang beriman, anak Abdullah bin Ubay Si Munafik) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai, Rasulullah. Telah sampai berita kepadaku, bahwa engkau hendak membunuh Abdullah bin Ubay (yakni bapaknya sendiri, seorang munafik). Sesungguhnya orang-orang Anshar telah mengetahui, bahwa aku adalah orang yang paling berbakti di antara mereka kepada kedua orang tuanya. Jika engkau benar-benar harus membunuhnya, maka perintahkan aku untuk membunuhnya. Karena aku khawatir, jika orang lain yang membunuhnya, aku tidak akan membiarkan pembunuh itu berjalan (bebas), sehingga aku akan membunuh seorang muslim dengan sebab membunuh orang kafir.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”justru kita akan bersahabat dengannya dengan sebaik-baiknya.”
Tatkala bapaknya, bapak Abdullah, telah datang untuk masuk kota Madinah, dia (Abdullah si anak) menghadangnya di jalan, dia mengatakan:
“Berhentilah di tempatmu! Hari ini aku benar-benar akan mengetahui, siapakah yang paling mulia, dan siapakah yang paling hina?”.
Bapaknya berkata,”Celaka engkau, kenapa kau?”
Anaknya mengatakan: “Engkau mengatakan begini dan begini? Hari ini aku benar-benar akan mengetahui, siapakah yang paling mulia, dan siapakah yang paling hina. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah paling mulia, dan engkau yang paling hina”. Dia menghalanginya masuk, sehingga bapaknya itu mengutus seseorang untuk mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah bersabda: “Biarkan dia,” Abdullah berkata,”Adapun setelah datang perintah Rasulullah, maka ya,” diapun mengizinkannya masuk setelah ada izin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian tidaklah Abdullah, Si Munafik itu, hidup beberapa hari sampai akhirnya sakit perut lalu mati. Demikianlah sunatullah (ketetapan Allah) terhadap orang yang mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika salah seorang penguasa Mongol menghendaki untuk masuk Kristen, dia mengumpulkan banyak sekali manusia. Seorang uskup Nashrani datang untuk mengkristenkan penguasa itu. Uskup itu mulai mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat itu ada seekor anjing yang diikat, anjing itu mulai menggonggong, dan memutuskan talinya, dan menyerang orang Nashrani tersebut. Maka orang-orang pun melindunginya dan mengeluarkan anjing itu, dan kembali mengikatnya.
Mereka mengatakan : “Anjing itu menyalak kepadamu, karena engkau mencela Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam“.
Dia mengatakan: “Tidak, itu hanyalah seekor anjing seperti anjing-anjing yang lain. Ia menyalak kepadaku dan kepada orang selainku”.
Kemudian mereka mengikat anjing itu lagi dan mengencangkan ikatannya. Kemudian Nashrani itu mengulangi mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anjing itu menyalak lagi dan memutuskan talinya. Kemudian menuju ke arah orang Nashrani tadi dan menggigitnya pada bagian lehernya, sampai anjing itu membunuhnya. Maka masuk Islamlah -sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani- empat puluh ribu orang Nashrani setelah peristiwa ini. Tatkala mereka melihat apa yang Allah lakukan terhadap orang Nashrani yang mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang-orang kafir sekarang ini yang mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ingin melecehkan dan merendahkan umat Islam. Karena mereka melihat – sangat disayangkan – umat Islam saling berpecah-belah dan terbelakang. Mereka melihat banyak negara-negara Islam saling berperang. Setiap negara mengikuti negara-negara lain dan berusaha menjadikan mereka ridha melebihi usaha mereka dalam menggapai ridha Allah.
Sebabnya, umat Islam tidak memiliki keteguhan, kehendak, dan mereka itu orang-orang yang lemah. Walaupun umat Islam memiliki potensi yang sangat besar, harta benda, minyak bumi, dan lainnya, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk memerangi musuh-musuh mereka.
Lantaran itu, orang-orang kafir itu berani menulis, menggambar karikatur Nabi, dan koran-koran Eropa menerbitkan pelecehan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi, ketika mereka melihat reaksi masyarakat dan umat ini –segala puji bagi Allah- masih tetap merasa memiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan cinta kepada Rasulullah, memuliakan Rasulullah, dan tatkala mereka telah melihat dilakukannya pemutusan hubungan bilateral, yang menimbulkan akibat-akibat (yang buruk) pada mereka, menyaksikan antusiasme manusia untuk mengingkari, saat mereka melihat bangsa-bangsa tidak meridhainya, dan melakukan pemutusan hubungan terhadap negaranya, dan berhasil mendatangkan pengaruh, mereka takut dan gelisah. Sebab mereka adalah bangsa yang menyembah dolar (uang), menyembah harta. Mereka pun mulai minta ma’af.
Sebenarnya, mereka ingin menguji hati umat ini, apakah umat ini memiliki kelezatan ruh keimanan, semangat untuk agamanya, atau apakah umat ini telah mati, tidak hidup, dengan demikian mereka akan berpindah menuju fase setelahnya.
Dan –segala puji hanya bagi Allah- kemenangan adalah bagi pemimpin orang-orang Muhajirin dan Anshar, bagi Nabi yang terpilih, beliau seorang yang mulia di seluruh alam. Adanya pemutusan hubungan, menampakkan (kemarahan), dan protes, ini semua menunjukkan bahwa umat ini tetap memiliki kebaikan dan mencintai agamanya.
Sesungguhnya agama merupakan garis merah, iman merupakan garis merah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah garis merah, tidak boleh dilangkahi dan dan tidak boleh dilanggar.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ
Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu, dialah yang terputus. [al Kautsar/108 : 3]
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah meninggikan kedudukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di seluruh alam. Dan Allah dari atas ‘ArsyNya menjamin (pembalasan) terhadap orang-orang yang memperolok-olok, sebagaimana firmanNya :
إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِءِينَ
Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokan (kamu). [al Hijr/15 : 95].
Dan firmanNya:
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Maka Allah akan memelihara kamu (wahai Rasul) dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al Baqarah/2 : 137].
Maka jika ada orang yang mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan atau dengan perbuatan, atau dengan isyarat, maka Allah yaang akan menanganinya. Allah akan menyiksanya di dunia, sebelum di siksa di akhirat. Karena Allah telah menjanjikan siksaan pedih terhadap orang-orang yang memperolok-olok, dengan laknat, dijauhkan dari rahmatNya. Allah yang menjamin (siksaan) terhadap mereka, dan Dia telah melakukan pada setiap waktu.
Oleh sebab itu, kita berharap kepada Allah untuk membalas terhadap orang-orang yang memperolok-olok beliau, orang-orang Denmark, orang-orang Perancis, orang-orang Norwegia, dan dan lain-lain. Kita berharap agar Allah membalas mereka semua untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia mengembalikan umat Islam dengan sebaik-baiknya kepada agama mereka. Dan ini merupakan reaksi terbesar terhadap mereka, yaitu kita berpegang teguh kepada agama kita, kita berpegang teguh kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang dipilih oleh Allah. Kita menghidupkan sirah (perjalanan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah-rumah kita, dan di antara anak-anak kita. Kita ajarkan sirah kepada anak-anak kita. Kita keluarkan harta kita untuk menyebarkan Islam, dan untuk menerjemahkan sirah Nabi kepada bahasa-bahasa yang lain di seluruh dunia ini. Agar kita mengenalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akhlak beliau kepada manusia, dan kita memperkenalkan kepada orang-orang yang bodoh itu, siapakah orang yang mereka cela dan perolok-olok itu.
Tidaklah mengherankan, jika kita dapati sebagian orang-orang yang insyaf dari orang-orang Barat yang mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga salah seorang dari mereka menyusun sebuah buku 100 Tokoh di Dalam Sejarah, dia menjadikan tokoh yang pertama kali adalah Nabi Muhammad, Rasul agama Islam Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]
Karenanya, termasuk kesalahan, apabila kita menzhalimi orang-orang lain yang tidak bersalah, membakar gereja-gereja, mengebom dan merobohkan kantor-kantor kedutaan, ini merupakan kesalahan.
Konsistensi kita terhadap Islam, pengagungan kita terhadap Sunnah, ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tahkiim (berhukum) terhadap syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan reaksi paling penting. Juga kita mempergunakan anugerah yang Allah berikan kepada kita yang berupa kekuatan dan kemampuan serta harta, dalam memutuskan hubungan dengan mereka merupakan reaksi penting terhadap mereka.
Kita mohon kepada Allah agar menampakkan kekuatanNya kepada musuh-musuh kita, dan agar Dia menolong Islam dan umat Islam, menghinakan musuh-musuh agama, menerima syafa’at Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita, penghulu orang-orang dahulu dan kemudian, dan shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad dan keluarga beliau.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr, di masjid kampus ITS (Institut Tehnologi Sepuluh November) Surabaya, Kamis, 16 Februari 2006 M. Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim Atsari
[2] Yang kami dapati dengan lafazh :
مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ
Barangsiapa bertemu Allah, dia tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah, dia pasti akan masuk surga. Dan barangsiapa bertemu denganNya, dia menyekutukan Allah, dia pasti akan masuk neraka. (HR Muslim, no. 93; Ahmad, dari sahabat Jabir. (Pent).
[3] Lafazh hadits yang disampaikan Syaikh secara makna, maka yang kami muat disini lafazh hadits yang tertulis di dalam kitab. (Pent).
[4] Syaikh membaca ayat ini dengan tidak lengkap, tetapi kami memuatnya secara lengkap. (Pent).
[5] HR Thabarani, dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahihah, no. 1728; Shahih al Jami’, no. 2539 (Pent).
[6] Syaikh membaca ayat ini dengan tidak lengkap, tetapi kami memuatnya secara lengkap. (Pent).
[7] Syaikh meriwayatkannya dengan makna, inilah lafazh hadits tersebut:
كَانَ مِنَّا رَجُلٌ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ قَدْ قَرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ وَكَانَ يَكْتُبُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ هَارِبًا حَتَّى لَحِقَ بِأَهْلِ الْكِتَابِ قَالَ فَرَفَعُوهُ قَالُوا هَذَا قَدْ كَانَ يَكْتُبُ لِمُحَمَّدٍ فَأُعْجِبُوا بِهِ فَمَا لَبِثَ أَنْ قَصَمَ اللَّهُ عُنُقَهُ فِيهِمْ فَحَفَرُوا لَهُ فَوَارَوْهُ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ قَدْ نَبَذَتْهُ عَلَى وَجْهِهَا ثُمَّ عَادُوا فَحَفَرُوا لَهُ فَوَارَوْهُ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ قَدْ نَبَذَتْهُ عَلَى وَجْهِهَا ثُمَّ عَادُوا فَحَفَرُوا لَهُ فَوَارَوْهُ فَأَصْبَحَتْ الْأَرْضُ قَدْ نَبَذَتْهُ عَلَى وَجْهِهَا فَتَرَكُوهُ مَنْبُوذًا
Dahulu ada di antara kami seorang laki-laki dari Bani Najjar telah menghafal surat al Baqarah dan Ali Imran, dan dia menulis untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kabur dan bergabung dengan Ahli Kitab. Maka mereka mengagungkannya. Mereka mengatakan: “Orang ini dahulu menulis untuk Muhammad”. Mereka dibuat kagum dengannya. Namun tidaklah dia hidup lama sampai Allah menghancurkan lehernya di tengah-tengah mereka. Maka mereka menggali lubang kubur baginya, lalu menimbunnya. Tetapi pada waktu pagi, bumi telah memuntahkannya di atas permukaan tanah.
Kemudian mereka mengulangi. Mereka menggali lubang kubur baginya, lalu menimbunnya. Tetapi pada waktu pagi, bumi telah memuntahkannya di atas permukaan tanah. Kemudian mereka mengulangi. Mereka menggali lubang kubur baginya, lalu menimbunnya. Tetapi pada waktu pagi, bumi telah memuntahkannya di atas permukaan tanah. Maka mereka meninggalkannya terlantar. [HR Muslim, no. 2781; Ahmad]. (Pent).
[8] Perkataan orang munafik ini Allah abadikan di dalam al Qur`an, surat al Munafiqun ayat 8. (Pent).
[9] Penyusun buku tersebut adalah Michael H. Hart dari Amerika. (Pent).
- Home
- /
- A3. Aqidah Makna dan...
- /
- Makna Syahadat