Telaga Kemuliaan Rasûlullâh Pada Hari Kiamat

TELAGA KEMULIAAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM PADA HARI KIAMAT

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Iman kepada hari akhir atau hari kemudian, berarti mengimani semua peristiwa yang terjadi setelah kematian yang diberitakan dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Iman kepada hari akhir atau hari kemudian merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kebenaran agama-Nya.

Bahkan karena tingginya kedudukan iman kepada hari akhir, dalam banyak ayat al-Qur’an Allâh Azza wa Jalla sering menggandengkan antara iman kepada Allâh Azza wa Jalla dan iman kepada hari akhir. Karena orang yang tidak beriman kepada hari akhir maka tidak mungkin dia beriman kepada Allâh Azza wa Jalla . Oleh sebab itu, orang yang tidak beriman kepada hari akhir dia tidak akan mengerjakan amal shaleh. Karena seseorang tidak akan mengerjakan amal shaleh kecuali dengan mengharapkan balasan kemuliaan dan juga terdorong rasa takut terhadap siksaan-Nya pada hari pembalasan kelak.

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menggambarkan sifat orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhir dalam firman-Nya :

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ

Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa (waktu)”[al-Jâtsiyah/45 :24][1]

Kewajiban Mengimani Keberadaan Telaga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Di antara perkara yang wajib diimani sehubungan dengan iman kepada hari akhir adalah keberadaan al-haudh (telaga) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kemuliaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada hari kiamat nanti orang-orang yang beriman dan mengikuti petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya di dunia, mereka akan mendatangi dan meminum air telaga yang penuh kemuliaan tersebut. Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita untuk meraih kemuliaan tersebut, amin.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani (keberadaan) telaga milik Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat, yang nanti akan didatangi oleh umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam … sebagaimana yang disebutkan dalam banyak hadits yang shahih (dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”[2].

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata, “al-Haudh (telaga) yang dengannya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , untuk diminum (airnya) oleh umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti) adalah hak (benar adanya)”[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan perkara-perkara yang wajib diimani pada hari kiamat, beliau berkata[4], “Pada hari kiamat (ada) telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan didatangi (oleh umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) … barangsiapa meminum (air) telaga tersebut maka dia tidak akan merasakan haus lagi selamanya”[5]

Imam an-Nawawi rahimahullah mencantumkan hadits-hadits dalam Shahîh Imam Muslim” yang menyebutkan tentang telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bab, “Penetapan (keberadaan) telaga Nabi kita (Muhammad) Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti)…”[6].

Dalil-Dalil yang Menjelaskan Keberadaan Telaga Raasulullah Shallallahu ‘Alaiahi wa Sallam.
Hadits-hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ini banyak sekali, bahkan mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan sehingga tidak mungkin diingkari kebenarannya).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Penjelasan tentang telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam – semoga Allâh memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat – (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang berkeraskepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini …”[7].

Senada dengan ucapan di atas, imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menjelaskan, “Hadits-hadits (shahih) yang menyebutkan (keberadaan) telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai derajat mutawatir, diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh orang sahabat Radhiyallahu anhum (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)…”[8].

Di antara hadits-hadits tersebut adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوْضًا وَإِنَّهُمْ يَتَبَاهَوْنَ أَيُّهُمْ أَكْثَرُ وَارِدَةٍ وَإِنِّي أَرْجُوْ اللهَ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرَهُمْ وَارِدَةً

Sesungguhnya setiap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki telaga (pada hari kiamat nanti), dan mereka saling membanggakan siapa di antara mereka yang paling banyak orang yang mendatangi telaganya (dari umatnya). Dan sungguh aku berharap (kepada Allâh Azza wa Jalla ) bahwa akulah yang paling banyak orang yang mendatangi (telagaku)[9].

Baca Juga  Wajib Memahami Dua Kalimat Syahadat Dan Konsekuensinya

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits lain :

إِنَّي فَرَطٌ لَكُمْ وَأَنَا شَهِيْدٌ عَلَيْكُمْ وَإِنِّي وَاللهِ لَأَنْظُرُ إِلَى حَوْضِي الآنَ

Sesungguhnya aku akan berada di depan kalian (ketika mendatangi telaga pada hari kiamat nanti) dan aku akan menjadi saksi bagi kalian, demi Allâh, sungguh aku sedang melihat telagaku saat ini.[10]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Sesungguhnya aku akan berada di depan kalian ketika mendatangi telaga (pada hari kiamat nanti), barangsiapa yang mendatanginya maka dia akan meminum airnya, dan barangsiapa yang meminumnya maka dia tidak akan merasakan haus lagi selamanya.”[11]

Gambaran Tentang Telaga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Dalam Hadits-Hadits yang Shahih.

  • Barangsiapa meminum air telaga tersebut maka dia tidak akan merasakan haus lagi selamanya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut di atas.
  • Sumber air telaga tersebut adalah sungai al-Kautsar di surga yang Allâh Azza wa Jalla peruntukkan bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

هَلْ تَدْرُوْنَ مَا الْكَوْثَرُ ؟ قُلْنَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ . قَالَ وَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيْهِ رَبِّي عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Apakah kalian mengetahui apa al-Kautsar itu? Para sahabat menjawab, “Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahuinya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya al-Kautsar adalah sungai yang Allâh Azza wa Jalla janjikan kepadaku, padanya terdapat banyak kebaikan, dan (airnya akan mengalir ke) telagaku yang akan didatangi oleh umatku pada hari kiamat (nanti)[12]

Dalam hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Dialirkan pada telaga itu dua saluran air yang (bersumber) dari (sungai al-Kautsar) di surga …[13]

  • Adapun gambaran air telaga tersebut adalah sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ، وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ المِسْكِ

Airnya lebih putih dari susu dan baunya lebih harum dari (minyak wangi) misk (kesturi)[14]

Dalam hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Dan (rasanya) lebih manis dari madu[15].

  • Gayung dan timba untuk mengambil air telaga tersebut sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ

Gayung-gayungnya adalah seperti bintang-bintang di langit[16].

Artinya: jumlahnya sangat banyak dan berkilauan seperti bintang-bintang di langit[17].

  • Bentuk telaga tersebut adalah persegi empat sama sisi[18], sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih.[19]

Siapakah Orang-Orang yang Mendatangi Telaga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?
Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selalu mengikuti petunjuk yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan, adapun orang-orang yang berpaling dari petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu mereka masih hidup di dunia, maka mereka akan diusir dari telaga tersebut.[20]

Dalam sebuah hadits shahih Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ada orang-orang yang terhalangi dan diusir dari telaga yang penuh kemuliaan ini[21]. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah. Sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka[22].

Imam Ibnu Abdil Barr[23] rahimahullah berkata, “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allâh Azza wa Jalla dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jamâ’ah kaum Muslimin, seperti orang-orang Khawarij, Syi’ah rafidhah dan para pengikut hawa nafsu. Demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim, yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan. Mereka semua ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam)[24].

Terlebih lagi orang-orang yang mengingkari keberadaan telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, seperti kelompok Mu’tazilah [25], mereka termasuk orang yang paling terancam diusir dari telaga ini.

Baca Juga  Beberapa Tanda Kiamat

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Penjelasan tentang telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam – semoga Allâh memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat – (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang berkeraskepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada hari kiamat) [26], sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf, “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut…”[27].

Imam Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata, “Semoga Allâh membinasakan orang-orang yang mengingkari keberadaan telaga ini, dan alangkah pantasnya mereka ini untuk dihalangi dari mendatangi telaga tersebut pada hari (ketika manusia mengalami) dahaga yang sangat berat (hari kiamat)”[28]

Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang telaga kemuliaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kewajiban mengimaninya merupakan perkara penting yang berhubungan dengan iman kepada hari akhir dan merupakan salah satu prinsip dasar akidah Ahlus sunnah wal jamaah, yang tercantum dalam kitab-kitab akidah para imam Ahlus sunnah.

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk dapat meraih semua kebaikan dan kemuliaan yang dijanjikan-Nya di dunia dan di akhirat kelak, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah (2/528).
[2] Kitab Ushûlus Sunnah (hlm. 3-4).
[3] Kitab Syarhul ‘Aqîdatith Thahâwiyyah (hlm. 227).
[4] Kitab Syarhul ‘Aqîdatith Thahâwiyyah (2/572).
[5] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan insya Allah.
[6] Kitab Shahih Imam Muslim (4/1791).
[7] Kitab an-Nihâyah fiil Fitani wal Malâhim (hlm. 127).
[8] Kitab Syarhul ‘Aqîdatith Thahâwiyyah (hlm. 227).
[9] HR at-Tirmidzi (no. 2443) dan ath-Thabarani dalam an-Mu’jamul Kabîr (no. 6881), juga dari jalur lain (no. 7053) dari sahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu . Hadits ini sanadnya lemah, akan tetapi diriwayatkan dari beberapa jalur yang saling menguatkan, sehingga hadits ini mencapai derajat hasan atau bahkan shahih, sebagaimana penjelasan syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâditsish Shahîhah (no. 1589).
[10] HSR al-Bukhari (no. 6218) dan Muslim (no. 2296) dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
[11] HSR al-Bukhari (no. 6643) dan Muslim (no. 2290) dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Saa’idi Radhiyallahu anhu.
[12] HSR Muslim (no. 400) dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[13] HSR Muslim (no. 2300) dari sahabat Abu Dzar al-Gifâri Radhiyallahu anhu.
[14] HSR al-Bukhari (no. 6208) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu.
[15] HSR Muslim (no. 2301) dari sahabat Tsauban Radhiyallahu anhu.
[16] HSR al-Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu.
[17] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah (2/573).
[18] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah (1/463).
[19] HSR Muslim (no. 2292) dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu.
[20] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah (2/573).
[21] Riwayat imam al-Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
[22] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah (1/468).
[23] Beliau adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul huffâzh (3/1128).
[24] Kitab Syarh az Zarqâni ‘ala Muwaththa-il Imâmi Mâlik (1/65).
[25] Lihat keterangan syaikh Shaleh Alu syaikh dalam Syarhul ‘Aqîdatil Wâsithiyyah (1/468).
[26] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih di atas
[27] Kitab an-Nihâyah fiil Fitani wal Malâhim (hal. 127).
[28] Kitab Syarhul ‘Aqîdatith Thahâwiyyah (hlm. 229).

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Makna dan...
  4. /
  5. Telaga Kemuliaan Rasûlullâh Pada...