Kaidah Ke. 5 : Syari’at Berdiri Diatas Dua Hal, Yaitu Ikhlas dan Meneladani Rasul

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima :

الشَّرِيْعَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَصْلَيْنِ : الإِخْلاَصُ لِلْمَعْبُوْدِ وَالْمُتَابَعَةُ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Syari’at berdiri diatas dua hal, yaitu ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan lahiriyah, seperti perkataan dan perbuatan anggota badan; dan juga amalan bathiniyah, seperti amalan hati.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. [al-Bayyinah/98 : 5].

Kata الدِّينَ dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, bahwa makna الدِّينَ adalah rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam, dan ihsan, yang merupakan inti amalan hati.[1]

Oleh karena itu, semua perkara tersebut harus dikerjakan dengan ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, ridha-Nya, dan pahala dari-Nya.

Selain itu, amalan tersebut harus dilaksanakan dengan landasan hukum dari Al-Qur`ân dan Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59 : 7].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan eksistensi kedua syarat diterimanya amal ibadah tersebut dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. [an-Nisâ`/4 : 125].

Dalam ayat tersebut, pengertian أَسْلَمَ وَجْهَهُ adalah mengikhlaskan amalan-amalan yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan yang dimaksud dengan وَهُوَ مُحْسِنٌ , adalah ia berbuat ihsan dengan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam amal-amal ibadah yang ia kerjakan tersebut.

Sehingga amalan yang diterima, yaitu amalan yang terkumpul di dalamnya dua sifat tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25 : 23].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya`:

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2:265].

Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ketika menjelaskan tentang hijrah yang termasuk amalan utama:

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin unjuk keberanian, berperang karena fanatisme kesukuan, dan karena bertujuan untuk mendapatkan ghanimah, siapakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Baca Juga  Kaidah Ke-51: Barangsiapa Bersungguh-Sungguh, Dianggap Mengerjakan Amalan Secara Sempurna

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ

Barang siapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi, maka dia lah yang berperang di jalan Allah.[3]

Oleh karena itu, barang siapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan diniatkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menolong kebenaran maka ia adalah seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barang siapa yang meniatkan selain hal itu, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan sedangkan amalannya tidaklah diterima.

Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman ketika menjelaskan tentang amalan yang dilaksanakan tanpa meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [al-Kahfi/18 : 103-104].

Oleh karena itu, amalan shalih yang dikerjakan seseorang karena riya`, maka amalan tersebut batil, karena tidak ada keikhlasan di dalamnya. Dan amalan yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala namun amalan tersebut tidak ada landasan hukumnya secara syar’i, maka amalan tersebut batil pula, karena tidak disertai mutâba’ah. Demikian pula, keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya dalam Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti keyakinan ahlul bid’ah yang menyelisihi apa yang dilandasi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, semuanya itu masuk dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap perbuatan dilaksanakan dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.[4]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak.[5]

Hadits pertama tersebut menjadi timbangan amalan dari sisi batinnya, dan hadits kedua menjadi timbangan amalan dari sisi lahirnya.

Mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata merupakan perkara yang telah disinggung nash-nash Al-Qur`ân dan Sunnah yang memerintahkannya, menjelaskan keutamaannya, dan batilnya suatu amalan jika tidak disertai dengannya. Adapun niat untuk mengerjakan amalan itu sendiri, maka meskipun hal itu harus ada dalam setiap amalan, akan tetapi hal tersebut dipastikan keberadaannya dalam setiap amalan yang dikerjakan oleh orang yang memiliki akal dan kesadaran. Karena niat dalam makna tersebut merupakan suatu keinginan untuk mengerjakan suatu perbuatan, dan setiap orang yang berakal pasti meniatkan amalan yang ia kerjakan tersebut.

Sebagaimana kaidah ini masuk dalam permasalahan ibadah, maka masuk pula dalam permasalahan muamalah. Maka setiap muamalah baik berupa jual beli, ijarah (sewa-meyewa), syirkah (persekutuan dagang), atau selainnya yang terdapat larangannya dalam syari’at, maka muamalah tersebut batil dan haram dilaksanakan, meskipun pelaku muamalah tersebut saling ridha. Dikarenakan keridhaan dalam masalah ini disyaratkan setelah terpenuhinya keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya

Oleh karena itu, praktek-praktek muamalah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain dalam pemberian, wasiat, dan warisan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Baca Juga  Kaidah Ke-63 : Pertengahan Dalam Ibadah Termasuk Sebesar-Besar Tujuan Syari'at

Tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.[6]

Demikian pula, dalam permasalahan wakaf, syarat yang diberikan oleh orang yang mewakafkan haruslah tidak menyelisihi syari’at. Jika ternyata menyelisihi syari’at maka syarat tersebut tidaklah dianggap. Dalam hal ini, yang menjadi timbangan dalam penentuan syarat tersebut secara umum adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.[7]

Berkaitan dengan masalah pernikahan, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, bentuk-bentuk nikah yang dihalalkan dan yang diharamkan, masalah talaq, ruju’, dan seluruh hal yang berkaitan dengannya, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i, jika tidak demikian maka hal tersebut tertolak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4 : 59].

Demikian pula tentang permasalahan sumpah. Seseorang tidak boleh bersumpah dengan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , atau nama-nama-Nya, atau sifat-sifat-Nya, karena hal tersebut tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Dan dalam permasalahan nadzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ , وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللهَ فَلاَ يَعْصِهِ

Barang siapa yang bernadzar untuk melaksanaakan ketaatan kepada Allah maka hendaklah ia menunaikan nadzarnya, dan barang siapa yang bernadzar untuk berbuat maksiat kepada Allah maka janganlah ia menunaikan nadzarnya.[8]

Bahkan masalah fiqih dari awal sampai akhir tidak terlepas dari kaidah ini. Karena sesungguhnya, hukum-hukum syar’i diambil dari empat landasan, yaitu: Al-Kitâb, as-Sunnah, yang keduanya menjadi pokok dalil syar’i; kemudian Ijma’ yang disandarkan pada keduanya, dan Qiyas berdasarkan istimbat dari keduanya.

Wallahu alam.[9]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhâri dalam kitab al-Iman, Bab: Su`alu Jibril an-Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (no. 50), Muslim dalam kitab al-Iman, Bab: Bayanul-Iman (no. 9)
[2] HR al-Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam al-Imârah, Bab: Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[3] HR Bukhâri dalam kitab al-‘Ilm, Bab: Man Sa`ala wa Huwa Qaim (no. 123). Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab: Man Qatala li Takuna Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya (no. 1904).
[4] HR Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab: Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[5] HR Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, Bab: Naqdhil-Ahkamil-Bathilah, no. 1718.
[6] HR Ahmad (5/267), Abu Dawud dalam kitab al-Washaya, Bab: Mâ Ja`a fil-Washiyyati lil-Warits (no. 2870), Tirmidzi dalam kitab al-Washaya, Bab: Lâ Washiyyata li Waritsin (no. 2121).
[7] HR Tirmidzi, no. 1370
[8] HR Bukhari dalam kitab al-Aiman wan-Nudzur, Bab: an-Nadzr fith-Tha’ah, no. 6696.
[9] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M