Kaidah Ke. 18 : Barang Mitsliyat Diganti Dengan Barang Semisalnya
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedelapan Belas :
تُضْمَنُ الْمِثْلِيَّاتُ بِمِثْلِهَا وَالْمُتَقَوَّمَاتُ بِقِيْمَتِهَا
Barang mitsliyat diganti dengan barang semisalnya dan mutaqawwamat diganti dengan harganya
Kaidah ini berkaitan dengan kasus seseorang yang mempunyai tanggungan untuk mengganti barang orang lain dikarenakan barang tersebut ia rusakkan, ia hilangkan, atau karena sebab lainnya. Dalam hal ini, timbul permasalahan, apakah ia mengganti dengan barang yang semisal ataukah cukup mengganti dengan harga tertentu senilai barang yang harus diganti tersebut.
Maka, kaidah ini menjelaskan bahwa apabila barang yang dirusakkan tersebut berupa mitsliyat maka diganti dengan barang yang semisal dengannya. Dan apabila barang yang dirusakkan tersebut berupa mutaqawwamat maka diganti dengan nilai barang tersebut.
Namun, para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batasan mitsliyat dan mutaqawwamat. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mitsliyat adalah semua barang yang diperjual-belikan dengan ditakar atau ditimbang. Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang yang diperjual-belikan selain dengan ditakar atau ditimbang.[1]
Para Ulama’ yang lain berpendapat bahwa mitsliyat itu lebih umum daripada batasan di atas. Mereka berpendapat bahwa mitsliyat adalah segala sesuatu yang mempunyai misal yang serupa atau mirip dengannya. Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang selain kategori tersebut. Pendapat inilah yang benar dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor onta, kemudian beliau ingin mengembalikan ganti onta tersebut kepada pemiliknya. Namun, beliau tidak mendapatkan onta yang semisal. Maka beliau memberikan ganti berupa onta yang lebih baik dari onta tersebut.[2]
Hadits ini menunjukkan bahwa mitsliyat tidak terbatas pada barang-barang yang diperjual-belikan dengan ditimbang atau ditakar semata.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Aisyah Radhiyallahu anhuma untuk menganti piring Zainab binti Jahsy, dikarenakan Aisyah Radhiyallahu anhuma telah memecahkan piringnya.[3]
- Karena memberikan ganti dengan barang yang semisal atau serupa terkandung di dalamnya dua hal bagi pemilik barang, yaitu didapatkannya nilai barang yang diganti dan terealisasinya maksud pemilik barang dalam manfaat barang tersebut. Maka, inilah pendapat yang benar berkaitan dengan batasan mitsliyat dan mutaqawwamat.
Di antara implementasi dan penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
- Berkaitan dengan perusakan barang. Seseorang yang merusakkan barang orang lain dan sedangkan barang tersebut termasuk kategori mitsliyat, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa. Namun, apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup mengganti dengan nilai harga barang tersebut.
- Berkaitan dengan kasus pinjam meminjam. Seseorang yang meminjam barang orang lain untuk dimanfaatkan, misalnya ia meminjam sejumlah makanan atau selainnya untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia wajib mengembalikan barang tersebut. Apabila barang itu termasuk kategori mitsliyat maka ia wajib mengembalikan dengan barang yang serupa. Dan apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup mengembalikan dengan nilai harga barang tersebut.
- Seseorang yang dititipi barang oleh orang lain. Kemudian barang tersebut hilang dikarenakan keteledorannya, atau ia berlebih-lebihan dalam menggunakan barang tersebut. Maka, ia wajib mengganti barang tersebut. Apabila barang tersebut termasuk kategori mitsliyat maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa. Dan apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup mengganti dengan nilai harga barang tersebut.
- Seseorang yang menyembelih udhiyah (hewan kurban). Kemudian ia memakan semua daging hewan kurbannya tersebut tanpa menyedekahkan sedikitpun. Maka, dalam hal ini ia wajib bersedekah dengan daging hewan sejenis sekedar jumlah yang wajib sebagai ganti atas kewajibannya bersedekah dengan daging hewan kurban tersebut.
Demikianlah kaidah ini diterapkan pada permasalahan-permasalahan lain yang serupa.
Wallâhu a’lam.[4]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Al Inshaf Ma’a Asy Syarh Al Kabîr 5/257.
[2] HR. Muslim dalam kitab Al Musaqaat, Bab Man istaslafa syai-an fa qadha khairan minhu, no. 1600 dari Abu Rafi’ Radhiyallahu anhu
[3] HR. al-Bukhâri dalam kitab Al-Mazhâlim, Bab Man kasara qash’atan au syai-an lighairihi, no. 2481.
[4] Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M
- Home
- /
- A5. Panduan Qawaid Fiqhiyah
- /
- Kaidah Ke. 18 :...