Kewajiban Ittiba’ Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

KEWAJIBAN ITTIBA’ KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas  حفظه الله

Agama Islam yang mulia ini dibangun di atas dua prinsip.
Pertama : Kita tidak boleh beribadah, melainkan hanya kepada Allah saja dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun.

Allah berirman :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.[Ali Imran/3: 64].

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan kepada Ahlul Kitab :

  1. Agar mereka kembali kepada kalimat yang sama. Di dalam Taurat dan Injil, manusia diperintahkan untuk beribadah hanya kepada Allah saja, tidak kepada yang lain. Inilah kalimat yang sama, yang dibawa dan diserukan oleh seluruh nabi dan rasul yang Allah utus ke muka bumi ini, yaitu mentauhidkan Allah.
  2. Kita tidak boleh mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun juga. Para nabi, mulai dari Nuh hingga Muhammad, dari Adam hingga Muhammad, semua mengajarkan kepada tauhid dan melarang dari perbuatan syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah, bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.[an-Nahl/16:36].

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan tidak Kami utus kepada kalian seorang rasul, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah yang wajib diibadahi dengan benar kecuali hanya Aku, maka sembahlah Aku. [al-Anbiyaa/21: 25].

  1. Tidak boleh pula, sebagian menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Islam”. Dalam ayat yang lain disebutkan :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. [al-Isra/17: 23].

Kedua : Kita tidak boleh beribadah melainkan dengan apa yang telah Allah syariatkan di dalam kitabNya, atau yang telah disyariatkan dalam Sunnah NabiNya yang terpelihara, tidak dengan bid’ah dan tidak dengan hawa nafsu.

Allah berfirman:

 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.[al-Hasyr/59 :7][1]

Ayat-ayat al Qur`an yang menjelaskan tentang wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak. Menurut Imam Ahmad, ada 33 ayat. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XIX/83), bahwa Allah telah mewajibkan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sekitar 40 ayat dalam al-Qur`an.

Kita perlu membahas masalah ittiba’ karena masalah ini sangat penting, sudah banyak dilalaikan (diabaikan) oleh kaum Muslimin dan juga oleh para da’i. Baik ittiba’ dalam masalah aqidah, syariah (ibadah), akhlaq, dakwah, siyasah syar’iyyah, maupun yang lainnya. Karena dengan ittiba’, Allah menjamin kebahagiaan, kemenangan dan surga. Allah akan menjadikan kebinasaan, kehinaan, kerendahan, kehancuran bagi orang-orang yang tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ayat-ayat mulia dalam al Qur`an al Azhim yang berkenaan dengan ittiba, di antaranya :

1. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[ali-Imran/3:31].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[2]

Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh Allah.

Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua Allah mencintai kita. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah. Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan, sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya, namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam, Th. 1413 H].

Ayat ini mengandung fadhilah (keutamaan) jika kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu Allah akan mencintai kita, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.

2. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya. Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir’’[Ali-Imran/3:32].

Ayat ini mengandung makna, jika seseorang menyalahi perintah RasulNya atau tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah kufur; dan Allah tidak menyukai orang yang memiliki sifat demikian, meskipun dia mengaku dan mendakwahkan kecintaannya kepada Allah, sampai ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh jin dan manusia wajib untuk ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga seandainya Nabi Musa ditakdirkan hidup pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia pun wajib ittiba’ kepada Nabi Muhammad. Demikian juga dengan Nabi Isa ketika turun ke bumi pada akhir zaman nanti, maka Nabi Isa wajib ittiba` kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian ini menunjukkan, bahwa seluruh manusia wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir,”Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh makhlukNya, baik golongan jin dan manusia. Kalau seandainya seluruh nabi dan rasul, bahkan seluruh Ulul ’Azmi dari para rasul, mereka hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengikuti syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir, I/384].

Sebagaimana yang terjadi pada zaman Umar bin Khaththab, ketika itu beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang dan membaca lembaran Taurat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَمُتَهَوِّكُوْنَ فِيْهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةًً ، لاَ تَسْأَلُوْهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوْكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوْا بِهِ ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوْا بِهِ ، وَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى كَانَ حَيّاً مَا وَسِعَهُ إِلاَّأَنْ يَتَّبِعَنِيْ

Apakah engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi yang diri Muhammad ada di tangan Allah, sungguh aku telah membawa kepada kalian agama ini dalam keadaan putih bersih. Janganlah kalian tanya kepada mereka tentang sesuatu, sebab nanti mereka kabarkan yang benar, namun kalian mendustakan. Atau mereka kabarkan yang bathil, kalian membenarkannya. Demi yang diri Muhammad berada di tanganNya, seandainya Nabi Musa itu hidup, maka tidak boleh bagi dia, melainkan harus mengikuti aku[3].

Hadits ini memuat kandungan :

  • Wajib bagi para nabi untuk ittiba’ kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya mereka hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
  • Jika para nabi saja wajib berittiba’ kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,, maka terlebih lagi bagi kaum muslimin, mereka harus berittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,.
  • Umar yang tidak diragukan keimanannya dan dijamin pasti masuk surga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetap menegur ketika beliau Radhiyallahu ‘anhu memegang kitab Taurat.
  • Hendaknya kita lebih mengutamakan untuk mempelajari al Qur`an dan as Sunnah, memahami dan mengamalkannya, siang dan malam. Adapun untuk membantah Ahlul Kitab, cukup dengan al Qur`an, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para sahabatnya. Bagi mereka yang telah hafal dan memahami al Qur`an dengan benar, maka boleh bagi mereka membantah Ahlul Kitab dengan tujuan untuk mengajak mereka masuk ke dalam agama yang selamat ini, bukan dengan tujuan supaya dikatakan bahwa dia hebat, dapat mengalahkan orang lain, untuk berbangga diri. Namun tujuan kita dibolehkan mendebat mereka, agar mereka mendapatkan hidayah (masuk ke dalam Islam).

Allah berfirman :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan Katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepadaNya berserah diri”.[al-Ankabut/29 :46].

3. Allah berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[an-Nisaa/4 :65].

Kandungan ayat :

  • Seseorang tidak dikatakan beriman, sehingga mereka menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim terhadap apa-apa yang diperselisihkan di antara sesama manusia.
  • Diantara ciri-ciri orang yang beriman, mereka tidak merasa keberatan (kesempitan) terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menerima keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lapang dada.
  • Orang yang beriman tunduk kepada keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan setunduk-tunduknya.
  • Syaikh Abdurrahman Nashir bin as Sa’di menjelaskan, bahwa di sini, tahkim (menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim), kedudukannya sama dalam Islam. Menghilangkan kesempitan hati dalam menerima putusan hukum, kedudukannya sama dengan iman. Dan taslim (tunduk) kepada keputusan tersebut, kedudukannya sama dengan ihsan[4].

4. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah (berhati-hati) orang-orang yang menyalahi perintah Rasulullah, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.[an-Nuur/24:63].

Al Hafizh Ibnu Katsir menerangkan: “Menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menyalahi jalan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manhaj (cara beragama), sunnah, syariatnya. Maka seluruh perkataan dan seluruh amal, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan diterima oleh Allah. Dan apa yang tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan ditolak oleh Allah, siapapun yang melakukan perkataan dan perbuatan itu, serta apapun perkataan dan perbuatan itu. Meskipun dia ulama, atau seorang yang alim, jika perkataan dan perbuatannya menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia wajib ditolak dengan dasar hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak[5].

Hendaknya berhati-hati orang yang menyelisihi syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin. Mereka akan ditimpa fitnah di dalam hatinya, berupa kekufuran, kemunafikkan dan bid’ah, atau ditimpa dengan fitnah di dunia dengan dibunuh, diberi hukuman haad, dipenjara atau yang lainnya.

Yang dimaksud “menyalahi perintah” adalah, menyelisihi sunnah, jalan, manhaj, syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua perkataan dan perbuatan kita, harus ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang yang tidak berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingkarinya dan menolaknya, akan terjatuh pada kekufuran, baik kufur yang besar (akbar) ataupun kufur yang kecil (ashghar), atau kemunafikan, atau bid’ah; dan ini merupakan pengaruh dari perbuatan dosa dan maksiat; maksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang besar terhadap hati manusia, berupa kekufuran, kemunafikan, bid’ah; atau fitnah yang besar di dunia, yaitu berupa ancaman dibunuh, diberi hukuman had ataupun di penjara oleh Ulil Amri. [Tafsir Ibnu Katsir, III/338].

Baca Juga  Iman Kepada Takdir Membawa Sukses Dunia-Akhirat

5. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.[al-Ahzaab/33:21].

Al Hafizh Ibnu Katsir mengatakan,”Ayat yang mulia ini sebagai prinsip yang besar untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkataan, perbuatan dan segala keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa aqidah, syariah atau ibadah, akhlaq, dakwah, politik atau yang lainnya. Kita wajib berittiba’, tidak hanya dalam hal ibadah atau akhlaq beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi harus menyeluruh.”[Tafsir Ibnu Katsir, III/522].

6. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.[al-Ahzaab/33:36].

Ayat ini berlaku umum untuk seluruh kaum Mukminin terhadap setiap urusan mereka. Jika Allah dan RasulNya telah memutuskan suatu ketetapan, maka wajib baginya untuk mendengar dan taat.

7. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.[an-Nisaa/4:115].

Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang wajibnya bagi setiap kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya dalam masalah ibadah, namun juga wajib berittiba’ dalam masalah-masalah yang lain. Dengan ittiba’ ini, kita akan mendapatkan kemuliaan, kebahagiaan dan kemenangan.

Para sahabat, mereka mendapatkan kemuliaan, kemenangan, izzah, dengan sebab mereka ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekali saja, maka mereka mendapatkan kekalahan, sebagaimana yang masyhur kita ketahui tentang kisah Perang Uhud. Pada Perang Uhud tersebut para sahabat mendapatkan kekalahan, karena pasukan pemanah tidak taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan itu disebabkan karena perbuatan mereka.

Allah berfirman:

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[Ali-Imran/3:165].

Yang lebih menyedihkan lagi, umat Islam saat ini sudah sangat jauh dari ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengerjakan syirik dengan bangga, mereka melakukan perbuatan bid’ah, melakukan kemaksiatan dan lainnya, yang menjadi sebab kehinaan bagi mereka. Maka tarbiyah (pendidikan) yang harus diutamakan kepada ummat ini, yaitu harus mengikuti perkataan Allah dan perkataan RasulNya, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat.

Sebagai contoh, Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu anhu, seorang sahabat yang dijamin oleh Allah masuk surga, mengatakan :

لَسْتُ تَارِكاً شَيْئاً كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ ، فَإِنِّيْ أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah lakukan kecuali untuk aku amalkan, karena aku khawatir, jika aku tinggalkan perintah Rasulullah, maka aku akan sesat.[6]

Imam Abu Abdillah bin Ubaidillah bin Muhammad bin Baththah yang wafat pada tahun 387H dalam kitabnya al Ibanah pada juz pertama, berkata: “Wahai saudara-saudaraku, Abu Bakar ash Shiddiq, ash shiddiqul akbar, beliau takut apabila kesesatan menimpa dirinya. Kalau dia menyalahi sesuatu dari salah satu saja dari perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana nanti akan ada satu zaman, yang orang yang ada di zaman tersebut, mereka memperolok-olok Nabi mereka, mereka memperolok-olok perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berbangga menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita mohon kepada Allah dari ketergelinciran, dan kita mohon keselamatan dari amal yang jelek”.[al-Ibaanah, I/246].

Kita sekarang berada pada abad ke-15 Hijriah. Ibnu Baththah yang hidup pada abad ke-4 Hijriah telah mengingatkan, bahwa nanti akan ada di tengah ummat Islam yang mencela Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini telah terbukti pada zaman sekarang ini. Dan yang membenci serta mencela Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan saja dari golongan orang-orang yang awam, tetapi juga para ustadz, da’i dan kyai. Jika mereka sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka mereka wajib memenuhi konsekuensi dari kalimat tersebut, yaitu mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi mengapa mereka masih melecehkan dan meninggalkan sunnah-sunnah Nabi yang mulia, dengan mencela dan menghina sebagian dari penuntut ilmu yang mengamalkan sunnah-sunnah, baik dalam tulisan maupun ceramah-ceramah mereka? Hal ini akan menyebabkan kekufuran, kemunafikan, sebagaimana yang termaktub dalam surat an Nuur/24 ayat 63.

Menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyebabkan kesesatan, sakitnya hati, bahkan matinya hati seseorang, dan akan membawa pada kebinasaan, kehinaan, adzab yang pedih.

Orang yang sibuk dengan perbuatan sia-sia, tidak ada manfaatnya dan berbuat bid’ah, tidak mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang terhina.

Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang orang-orang yang membenci dan tidak mau mengikuti Sunnah, tidak menyampaikan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; di antara mereka ada yang sebelumnya telah hafal al Qur`an kemudian lupa, karena yang disampaikan bukan perkataan Allah dan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi menurut pendapat fulan, sibuk dengan pendapat fulan. Kata Syaikhul Islam,”Wahai saudaraku, berhati-hatilah jika engkau membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau engkau menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengikuti hawa nafsumu, atau membela madzhabmu, atau membela syaikhmu, membela gurumu, atau kalian menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena engkau sibuk dengan dunia, mementingkan dunia, mengikuti syahwat. Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan ketaatan kepada seorang pun, melainkan taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita wajib berpegang dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau seandainya seorang hamba menyalahi seluruh makhluk dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah tidak akan bertanya kenapa engkau menyalahi seluruh makhluk. Justru yang akan ditanya, kenapa seseorang tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi malah mengikuti madzhab, syaikh, guru (kyai). Jika ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, justru ini yang akan membawa pada keselamatan dunia dan akhirat. Dan sebaliknya, jika dia menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia akan celaka dan binasa di dunia dan di akhirat. Ketahuilah, hendaknya engkau dengar dan taat, ikuti dan jangan berbuat bid’ah, nanti engkau akan tersesat, tidak akan barokah hidup dan amalmu, dan tidak ada kebaikan dari amal yang terputus, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang melakukannya.” [Majmu’ Fatawa, XVI/527-529]

Di dalam ayat-ayat al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih disebutkan tentang amal-amal yang diterima Allah dan ditolak. Supaya amal kita diterima Allah, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Dan kedua, ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika salah satu di antara keduanya tidak dipenuhi, maka tidak akan diterima amal tersebut oleh Allah. Orang ikhlas tetapi tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau sebaliknya dia berittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas dalam beramal, maka tidak akan diterima amal ibadahnya.

Kita wajib taat dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semua ummat Islam dijamin masuk surga, semuanya, dengan syarat mereka harus taat dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى ، قِيْلَ : وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى

Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya,”Siapa yang enggan, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dialah yang enggan”[7]

Barangsiapa yang menghendaki dimasukkan ke dalam surga, maka wajib baginya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh membuat yang baru dalam Islam, karena Islam sudah sempurna. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada golongan jin dan manusia, agar mereka semua ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada aqidah, syariat dan hakikat, kecuali yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Tidak ada jalan yang selamat, kecuali jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang tidak akan masuk ke surga dan mendapat keridhaan Allah, tidak mendapatkan kemuliaan, melainkan dengan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Abil ’Izzi al Hanafi (wafat tahun 792H), beliau mengatakan: “Tidak ada jalan, kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada hakikat, kecuali hakikat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada syariat, kecuali syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Tidak ada aqidah, kecuali aqidah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang makhluk, setelah diutusnya Nabi Muhammad, mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah, tidak akan sampai ke surga dan kemuliannya, melainkan dengan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lahir dan batin. Barangsiapa yang tidak membenarkan apa yang diberitakan dan disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak berpegang dan tidak taat terhadap apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam perkataan yang batin (yang ada dalam hati) maupun perkataan yang lahir (dengan lisan dan anggota tubuh), maka dia tidak termasuk orang yang beriman. Kalau dia tidak membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak tunduk, tidak taslim hatinya, dan anggota tubuhnya tidak melaksanakan sesuai dengan ketentuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia bukan termasuk orang yang mukmin, apalagi dikatakan sebagai wali, meskipun dia terbang di udara atau berjalan di atas air”[8]

Demikian ini adalah bantahan terhadap thariqah Shufiyah, yang mereka membuat syariat dan hakikat serta ma’rifat sendiri; sebab di antara yang merusak agama Islam ini adalah firqah-firqah yang sesat, yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada 72 golongan. Ummat Islam terpecah menjadi 73 golongan, satu golongan yang masuk surga dan 72 golongan masuk neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ.

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam), akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al Jama’ah.[9]

Dalam riwayat lain disebutkan :

“…كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.”

Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.[10]

Dua firqah terbesar di dunia ini, di antara 72 golongan yang merusak tersebut adalah thariqah Shufiyah dan Syi’ah Rafidhah. Mereka merusak aqidah Islam, tauhid, syariat Islam. Mereka membuat cara-cara sendiri untuk sampai kepada Allah, padahal semua cara-cara yang mereka bikin tersebut, tidak akan dapat membuat mereka sampai kepada yang diinginkan, melainkan mereka wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak sekali di antara kaum Muslimin yang mengadakan cara-cara baru berupa bid’ah-bid’ah yang dikerjakan kaum Muslimin, yang jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai angka ribuan sampai hari ini. dan bid’ah tersebut bukan berkurang, tetapi justru kian bertambah seiring dengan perjalanan waktu. Hal ini terus dilakukan oleh kaum Muslimin, serta sangat sedikit da’i yang mengingatkan bahaya ini; karena dakwah mereka juga tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika dilihat dari manhaj dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka banyak da’i yang tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah. Mereka tidak memulai dakwahnya dengan tauhid. Jika mereka menyatakan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka harus memulai dakwahnya dengan tauhid, sedangkan banyak sekali da’i yang tidak memulai dakwahnya dengan tauhid. Dakwah tauhid ini harus terus diulang-ulang, supaya ummat ini ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentauhidkan Allah. Mereka telah menyimpang dari manhaj para nabi dalam berdakwah di jalan Allah. Mereka juga tidak mengingatkan orang dari bahaya kesyirikan. Kesyirikan adalah sesuatu yang telah dianggap biasa di masyarakat, padahal kesyirikan adalah dosa besar yang paling besar, yang tidak akan diampuni oleh Allah.

Baca Juga  Allah Maha Mengetahui

Banyak khutbah Jum’at dan ceramah yang tidak mengingatkan terhadap pentingnya tauhid kepada Allah. Mereka justru banyak membahas masalah politik, yang terus diulang-ulang, yang tidak membawa manfaat bagi da’i itu sendiri dan tidak bermanfaat bagi ummat sama sekali, bahkan membawa mudharat bagi ummat ini. Seseorang yang telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas dia telah membawa mudharat. Ummat dicekoki dengan masalah politik, yang ummat tidak tahu sama sekali. Mestinya da’i dan khatib memberikan ilmu yang bermanfaat, agar ummat dapat membawa pulang ilmu yang disampaikan dan mengamalkannya. Seringkali ummat dibangkitkan emosinya dengan menyampaikan masalah politik, agar mereka marah kepada penguasa, untuk memberontak kepada penguasa. Hal ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Dan ini menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka harus introspeksi, menggunakan akalnya kembali, apakah mereka sudah ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah belum?

Pembenahan ini harus dimulai dari para da’i, untuk ittiba’ dalam dakwah ini, jangan disibukkan dengan masalah-masalah politik, filsafat atau yang lainnya, yang tidak membawa manfaat. Hal ini berbahaya bagi ummat. Berikanlah ilmu kepada ummat agar mereka bisa beramal sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saat ini, fenomena kesyirikan banyak merebak di tengah kaum Muslimin. Di antaranya adalah, kubur-kubur yang dibangun dan disembah semakin banyak adanya, setiap tahun bertambah, baik jumlah maupun pengunjungnya. Dan yang menganjurkan untuk ziarah dan menyembah kubur itu adalah para da’i, ustadz, kyai. Padahal ini merupakan perbuatan syirik akbar. Ini sudah jelas, bahwa mereka tidak hanya berbuat bid’ah, tapi telah berbuat syirik akbar, mereka tidak ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berlebih-lebihan dalam ziarah kubur, sampai ada yang sujud, thawaf terutama di bulan-bulan Rabi’ul Awwal, Rajab, Sya’ban dan lainnya. Kita wajib mengingatkan agar mereka ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh mereka melakukan yang demikian.

Di antara tujuan para peziarah kubur tersebut adalah untuk meminta, minta tolong, minta syafa’at dan berdoa kepada penghuni kubur. Maka perbuatan ini jelas-jelas merupakan syirik yang paling besar, menentang Allah dan RasulNya. Dosa syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah, sebagaimana firmanNya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[an-Nisaa/4:48].

Bid’ah yang banyak dilakukan di bulan Rabi’ul Awwal adalah peringatan Maulid Nabi. Dan sedikit sekali para da’i yang mengingatkan penyimpangan ini. Oleh mereka, hal ini dianggap termasuk syiar. Kita harus melihat, apakah hal ini dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah tidak? Beliau mencontohkan atau tidak? Jika Nabi tidak melaksanakan, maka kita tidak boleh melakukannya.

Demikian juga, apakah peringatan maulid itu dilakukan para sahabat Nabi atau tidak? Jika sahabat tidak melakukan, maka kita tidak boleh melakukan. Seandainya ibadah-ibadah ini dianggap baik, pasti mereka sudah melaksanakannya terlebih dahulu. Bid’ah-bid’ah semacam ini sudah banyak berkembang di tengah masyarakat karena para da’inya tidak ittiba’ dalam berdakwah di jalan Allah, justru mereka meninggalkan amalan-amalan Sunnah dan mereka membiarkan kaum muslimin melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah.

Agama Islam telah sempurna, sebagaimana firman Allah dalam surat al Maidah/5 ayat 3 :

 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.

Ibnu Katsir (wafat 774 H) berkata,”Ini merupakan nikmat yang terbesar atas ummat ini. Yakni Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka. Mereka tidak membutuhkan agama selain dari agama Islam. Mereka tidak butuh pada Nabi selain daripada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu Allah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penutup para nabi. Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada golongan jin dan manusia. Tidak ada yang halal, kecuali yang dihalalkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang haram, kecuali yang diharamkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,. Tidak ada agama, melainkan yang disyariatkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan tidak ada penyalahan janji, sebagaimana firman Allah “Telah sempurna kalimat Rabb-mu dengan jujur dan adil”. Jujur dalam masalah berita, dan adil dalam perintah dan larangan. Tatkala Allah telah menyempurnakan agama ini, Allah sempurnakan nikmat ini, karena itu Allah berfirman “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu“.

Ayat ini turun pada sore hari saat Hari Arafah, yang bertepatan dengan hari Jum’at. Orang-orang Yahudi mengakui tentang kesempurnaan agama Islam, dengan turunnya ayat ini. Sampai mereka berkata kepada Umar bin Khaththab: “Demi Allah, sesungguhnya kalian membaca ayat. Kalau seandainya ayat tersebut turun kepada kami, niscaya kami akan jadikan sebagai Hari Raya”.  Kata Umar bin Khaththab,”Sesungguhnya aku mengetahui kapan ayat ini turun, dimana ayat ini turun, dan dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ayat ini turun. Ayat ini turun pada Hari Arafah, dan aku dengan izin Allah ada di Arafah, dan hari itu Hari Jum’at (yaitu pada hajatul wada’)”.[Tafsir Ibnu Katsir, II/15-16]

Penjelasan tentang keterangan Ibnu Katsir adalah sebagai berikut:

  1. Ayat ini turun di Arafah.
  2. Dalam ayat ini, nikmat yang terbesar adalah nikmat Islam. Hal ini wajib kita syukuri. Kita bersyukur telah diberi oleh Allah, nikmat di atas Islam. Namun yang perlu kita ingat lagi, kita harus memohon kepada Allah agar kita diberikan hidayah di atas Sunnah. Sebab kalau dikatakan Islam saja, hal ini tidak cukup, karena banyak orang-orang yang mengaku Islam. Firqah-firqah yang sesatpun mengaku Islam. Yang terbaik bagi kita adalah, meminta kepada Allah agar diberikan hidayah di atas Sunnah, setelah kita diberi hidayah di atas Islam ini. Sebagaimana kata Imam Abu Aliyah : “Aku tidak tahu, dari dua nikmat Allah yang mana yang paling besar. Yang pertama, aku diberikan hidayah di atas Islam. Yang kedua, Allah menunjuki aku di atas Sunnah, dan tidak dijadikan aku sebagai orang Khawarij”[11].
  3. Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diutus kepada jin dan manusia.
  4. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau merupakan penutup para nabi dan rasul.

Tidak ada agama, melainkan yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Islam satu-satunya agama yang haq. Semua orang Yahudi dan Nasrani, mereka harus masuk ke dalam agama Islam. Kalau mereka tidak masuk ke dalam agama Islam, maka pasti mereka menjadi penghuni neraka. Setelah diutusnya Nabi Muhammad, maka orang Yahudi, Nasrani dan juga yang lainnya harus masuk ke dalam Islam, sebab Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.[Ali Imran/3:85]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ! لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَ لاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi yang diri Muhammad ada di tangan Allah, tidaklah mendengar seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya Muhammad, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni neraka.[12]

Setiap orang yang mendakwakan adanya kenabian sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang demikian itu adalah sesat dan kufur. Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَٰكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[al-Ahzab/33:40].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan akan adanya ad-Dajjal yang mengaku nabi, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَ أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ

Mereka semua mengaku sebagai nabi, dan aku adalah penutup para nabi, dan tidak ada nabi sepeninggalku.[13]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لِيْ خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ : أَنَا مُحَمَّدٌ ، وَ أَحْمَدُ ، وَ أَنَا المَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللهُ بِيَ الكُفْرَ . وَ أَنَا الحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِيْ ، وَ أَنَا العَاقِبُ  لَيْسَ بَعْدِي نَبِيّ

Aku memiliki lima nama. Aku, Muhammad (yang terpuji). Aku adalah Ahmad (yang banyak memuji). Aku adalah al Mahi (penghapus), yaitu dengan perantaraanku, Allah menghapus kekufuran. Aku adalah al Hasyr (pengumpul), yaitu manusia akan dikumpulkan di hadapanku. Aku mempunyai nama juga al ‘Aqib (makna belakangan atau penutup), (yaitu tidak ada lagi nabi yang datang sesudahku).[14]

  1. Kesempurnaan agama Islam ini diakui oleh orang-orang Yahudi. Bahwa agama Islam ini sudah sempurna, tidak boleh lagi ditambah-tambah atau dikurang-kurangi. Maka ketika ayat ini turun, Umar bin Khaththab menangis. Ketika beliau ditanya kenapa menangis, beliau menjawab: “Aku menangis, (karena) tidak ada yang sesuatu yang sempurna melainkan pasti akan berkurang”. Berkurang yang beliau maksud adalah dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. karena selang beberapa waktu antara turunnya ayat ini dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 81 hari.
  2. Tidak boleh orang menambah sesuatu dalam agama ini. Agama Islam sudah sempurna, dan kewajiban kita adalah ittiba’.
  3. Semua yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar dan jujur. Karena Allah telah berfirman :

    وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى – اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ

    Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. [an-Najm/53 : 3-4]

  4. Bahwa inti ajaran Islam adalah tauhid dan menjauhkan syirik.
  5. Kewajiban kaum muslimin adalah ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam.

Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Dinukil dari Iqtidha’ ash Shirathul Mustaqiim (II/373); al Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, halaman 179 dengan sedikit tambahan.
[2] HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha
[3] HR Ahmad, III/387; ad Darimi, I/115; dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah, no. 50, dari sahabat Jabir bin Abdillah. Dan lafazh ini milik Ahmad. Derajat hadits ini hasan, karena memiliki banyak jalur yang saling menguatkan. Lihat Hidayatur Ruwah, I/136 no. 175
[4] Taisir al Kariim ar Rahman fi Tafsir Kalamil Mannaan, hlm. 149, Cet. Mu’assasah ar Risalah, Th. 1417 H
[5] HR Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha
[6] HR Bukhari, no. 3093, dan diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya, al Ibanah, I/245-246 no. 77
[7] HR Imam Bukhari no. 7280 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[8] Syarah Aqidah Thahawiyah, hlm. 107, takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani
[9] HR Abu Dawud no. 4597; Ahmad (IV/102); al Hakim (I/128); ad Darimi (II/241), al Ajuri dalam asy Asyari’ah (I/no. 29); al Laalikaiy dalam as Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al Hakim dan disepakati oleh Imam adz Dzahabi, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Lihat Silsilah Ahaadits Shahiihah, no. 203-204.
[10] HR at Tirmidzi, no. 2641 dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 5343. Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadits ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabii oleh Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Cet. Daarul Raayah, 1410 H.
[11] Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya, X/153; al Laalikaiy dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah no. 230. Disebutkan pula oleh Imam adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala`, IV/212
[12] HR Muslim no 153 dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[13] HR Ahmad (V/278); Abu Dawud no. 4252; dan Ibnu Majah no. 3952 dari sahabat Tsauban. Lihat Silsilah Ahaadits Shahihah, no. 1683 oleh Syaikh al Albani.
[14] HR Bukhari, no. 3532; Muslim no. 2354, dan Tirmidzi no. 2840 dari sahabat Jubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘anhu. Penjelasan dalam tanda kurung adalah penjelasan dari Imam az Zuhri yang terdapat dalam riwayat Tirmidzi. Lihat Fathul Baari (VI/557), Cet. Daar Fikr.

  1. Home
  2. /
  3. A3. Aqidah Makna dan...
  4. /
  5. Kewajiban Ittiba’ Kepada Rasulullah...