Shalat Raghaib

SHALAT RAGHAIB

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Membicarakan tentang shalat Raghaib, tidak bisa dipisahkan dengan bulan Rajab. Karena, orang-orang yang mengamalkan shalat Raghaib, mereka melakukannya pada bulan Rajab. Sebagaimana kita ketahui, dahulu orang-orang Arab Jahiliyah memandang bulan Rajab ini memiliki arti penting dan keistimewaan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, sehingga mereka memberi nama bulan tersebut dengan kata “rajab”.

Rajab berasal dari kata : رَجَبَ الرجل رَجَبًا وَ رَجَبَهُ يَرْجُبُ رَجلْبًا رُجُوْبًا , maknanya menghormati dan mengagungkan. Sehingga bulan Rajab ini bermakna bulan yang agung.

Bulan Rajab memiliki 14 nama, yaitu Rajab, Al Asham, Al Ashab, Rajm, Al Harm, Al Muqim, Al Mu’alla, Manshal Al Asinnah, Manshal Al Aal, Al Mubri’ , Al Musyqisy, Syahru Al ‘Atirah dan Rajab Mudhar.

Bulan Rajab tidak memiliki keistimewaan, kecuali sebagai salah satu dari empat yang menyandang sebagai bulan haram. Satupun tidak ada dalil yang sah, yang menunjukkan keutamaan dan pengkhususan bulan Rajab ini dengan melakukan amal ibadah tertentu. Namun, sangat disesalkan berkembang banyak kebid’ahan pada bulan ini, diantaranya bid’ah shalat Raghaib.

WAKTU PELAKSANAANNYA
Shalat Raghaib dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab diantara shalat Maghrib dan Isya’ didahului dengan puasa hari Kamis, yaitu pada Kamis pertama bulan Rajab.[1]

Ibnu Utsaimin berkata: “Pada bulan Rajab terdapat shalat yang dinamakan dengan Shalat Raghaib. Dikerjakan malam Jum’at pertama antara Maghrib dan Isya’, sebanyak 12 raka’at dengan sifat yang aneh, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam kitab Tabyinul ‘Ajab Bima Warada Fi Fadhli Rajab”.[2]

TATA CARANYA
Tata cara shalat ini mengambil hadits yang dihukumi oleh ulama sebagai hadits palsu, diriwayatkan dari Anas bin Malik:

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَان شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرأَمَّتِيْ : وَمَا مِنْ أَحَدٍ يَصُوْمُ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوَّلَ خَمِيْسٍ فِيْ رَجَبٍ ثُمَّ يًُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَتَمَةِ يَعْنِيْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ وَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ مَرَّةً و (إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) ثَلا َثَ مَرَّاتٍ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ مَرَّةً يُفْصَلُ بَيْنَ كَلِّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِمَتَيْنِ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ صَلِّيْ عَلَيَّ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَقُوْلُ اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيْ الأمِيْ وً عًلًى آلِهِ ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُوْلُ فِيْ سُجُدِهِ سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئكَةِ وَ الرُّوْحِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُوْلُ رَيِّ اغْفِرْلِيْ وارْحَمْ وَ تَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الأَعْظَمُ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَ فِيْ السَجْدَةِ الأُولَى ثُمَّ يَسْأَلُ اللهَ حَاجَتَهُ فَإِنَّهَا تُقْضَى قَالَ رَسُوْل الله : وَالَّذِيْ تَفْسِيْ بيَدِهِ مَا مِنْ عَبْدٍ وَلا َ لأ أَمَةٍ صَلَّى هَذِهِ الصَلاَةَ إِلاَّ غَفَرَ الله لَهُ جَمِيْعَ ذُنُوْبِهِ وَ إنْ كَانَ مِثْلَ زَيَدِ الْبَحْرِ وَ عَدَدَ وَرَقِ الأَشْجَارِ و شَفَعَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ سَبْعِمِائَةِ مِنْ أَهْلَ بَيْتِهِ . فَإِذَا كَانَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فِيْ قَبْرِهِ جَاءَ ثَوَّابُ هَذِهِ الصَّلاَةِ فَيُجِيْبُهُ بِوَجْهٍ طَلِقٍ وَلِسَانٍ ذَلِقٍ فَيَقُوْلُ لَهُ حَبِيْبِيْ أَبْشِرْ فَقَدْ نَجَوْتَ مِنْ كُلِّ شِدَّةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ أَنْتَ فَوَ اللهِ مَا رَأَيْتُ وَجْهًا أَحْسَنَ مِنْ وَجْهِكَ وَلاَ سَمِعْتُ كَلاَمًا أَحْلَى مِنْ كَلاَمِكَ وَلاَ شَمَمْتُ رَائِحَةُ أَطْيَبُ مِنْ رَائِحَتِكَفَيَقُوْلُ لَهُ يَا حَبِيْبِيْ أَنَا ثَوَابُ الصَلاَةِ الَّتِيْ صَلَّيْتَهَا فِيْ لَيْلَةِ كَذَا فِيْ شَهْرِ كَذَا جِئْتُ الليْلَة َ لأَ قْضِيْ حَقَّكَ وَ أُوْنِِسَ وَحْدَتَكَ وَ أَرْفَعَ عَنْكَ وَحْشَتَكَ فَإِذَا نُفِخَ فِيْ الصُوْرِ أَظْلَلْتُ فِيْ عَرَصَةِ الْقِيَامَةِ عَلَى رَأْسِكَ وَ أَبْشِرْ فَلَنْ تَعْدَمَ الْخَيْرَ مِنْ مَوْلاَكَ أَبَدًا

Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhon bulan umatku. Tidak ada seorang berpuasa pada hari Kamis, yaitu awal Kamis dalam bulan Rajab, kemudian shalat diantara Maghrib dan ‘Atamah (Isya) -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali dan surat Al Qadr tiga kali, serta surat Al Ikhlas duabelas kali. Shalat ini dipisah-pisah setiap dua raka’at dengan salam. Jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa alihi, kemudian sujud, lalu menyatakan dalam sujudnya “Subuhun qudusun Rabbul malaikati wa ar ruh” tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma ta’lam, inaka antal ‘Azizul a’zham” tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama. Lalu memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasululloh bersabda,”Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidak ada seorang hamba lali-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Jika berada pada malam pertama, di kuburnya akan datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian, sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari maulamu (Allah) selama-lamanya’.”[3]

Baca Juga  Hukum Jama'ah Kedua Dalam Satu Masjid(1)

Dari hadits ini, dapat diketahui secara ringkas tata cara shalat Raghaib, yaitu sebagai berikut:

  1. Jumlah raka’at dua belas dibagi setiap dua rakaat satu salam.
  2. Bertakbir dengan mengucapkan Allahu Akbar.
  3. Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali, surat Al Qadar tiga kali dan surat Al Ikhlash dua belas kali.
  4. Kemudian ruku’ dan sujud.
  5. Usai shalat Raghaib mengucapkan shalawat kepada Nabi sebanyak tujuh puluh kali dengan lafadz Allahhumma shlli ‘Ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa ‘alihi
  6. Kemudian sujud dengan membaca Subuhun qudusun Rabul malaikati wa ar ruh.
  7. Lalu bangun dan duduk dengan mengucapkan Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma ta’lam, innaka antal ‘Azizul a’hzam.
  8. Lalu sujud lagi dan mengucapkan sebagaimana ucapan yang sama dengan sujud yang pertama.
  9. Kemudian berdo’a kepada Allah sesuai dengan hajat kebutuhannya.

Demikianlah tata cara shalat Raghaib. Namun hadits di atas merupakan hadits palsu yang di atas namakan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

PERTAMA DILAKSANAKAN
Shalat Raghaib ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah ada dan tidak pernah dilaksanakan, demikian juga tidak pernah dikenal pada zaman tabi’in dan tabi’it tabi’in. Shalat Raghaib ini mulai dikenal dilakukan di Baitul Maqdis setelah tahun 480H.[4]

HUKUM SHALAT RAGHAIB
Hukum shalat Raghaib adalah bid’ah, karena tidak didasarkan dengan dalil-dalil yang shahih, menyelisihi tata cara shalat sunnah yang sudah dikenal. Pada zaman salaf al shalih, shalat Raghaib ini tidak pernah dikenal, dan mereka tidak ada yang melakukannya. Oleh karena itu, Al ‘Izz bin Abdussalam menegaskan bid’ahnya shalat Raghaib, dengan memberikan argumentasi, yang secara khusus ditujukan kepada ulama, dan secara umum bagi kalangan awam.

Adapun yang khusus ditujukan untuk para ulama terdapat dua catatan, yaitu:

  1. Seorang ulama, jika melakukan shalat tersebut, ia dapat mempengaruhi opini kepada masyarakat umum, bahwa shalat ini sebagai sunnah, sehingga ia berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan amalannya, yang terkadang mewakili lisannya.
  2. Ulama yang mengamalkan shalat ini, menjadi penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan “Ini adalah salah satu sunnah Beliau”, padahal seseorang tidak diperbolehkan menjadi penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan bagi kalangan awam, secara umum sebagai berikut:

  1. Orang awam yang melakukan perbuatan bid’ah, dapat memotivasi para pembuat bid’ah untuk membuat kebid’ahan dan kebohongan (hadits palsu). Padahal memotivasi berbuat batil dan menolongnya, termasuk perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Sedangkan meninggalkan kebid’ahan dan hadits-hadits palsu, dapat mencegah munculnya kebid’ahan ataupun hadits palsu. Mencegah dan memperingatkan kemungkaran termasuk ajaran penting dalam syari’at.
  2. Shalat ini menyelisihi Sunnah tidak gerak dalam shalat. Dalam shalat ini, terdapat pengulangan surat Al Ikhlash dan Al Qadr. Menghitungnya, tidak dapat dilakukan secara umum, kecuali dengan menggerakkan sebagian anggota tubuh.
  3. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah yang berkaitan dengan khusu’, merendahkan diri, menghadirkan hati dalam shalat, konsentrasi kepada Allah, merasakan keagungan Allah dan memahami makna bacaan dan dzikir. Maka jika ia memperhatikan jumlah surat dengan hatinya, maka ia telah berpaling dari Allah dan meningalkanNya dengan satu perkara yang tidak disyari’atkan dalam shalat. Memalingkan wajah dalam shalat dicela oleh syari’at, apalagi berpaling dengan hati yang merupakan tujuan besar dalam shalat.
  4. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan yang sunnah dalam shalat nafilah (sunnah). Karena shalat-shalat nafilah disunnahkan dan lebih utama dikerjakan di rumah dari pada masjid, kecuali shalat-shalat nafilah yang telah dijelaskan syari’at, seperti shalat Istisqa’ dan Kusuf. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي الْمَسْجِدِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَة

Shalatnya seseorang di rumahnya, lebih baik dari shalatnya di masjid, kecuali shalat fardhu.[5]

  1. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan sunnah. Bahwasanya pelaksanaan shalat sunnah, tidak dilakukan secara berjama’ah, tetapi disunnahkan secara sendiri-sendiri, kecuali yang telah ditetapkan syari’at. Dan kebid’ahan yang dibuat-buat atas nama Rasulullah ini tidak termasuk dalam kategori sunnah tersebut.
  2. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah mengkonsentrasikan hati dari hal-hal yang menyibukkannya sebelum masuk dalam shalat; karena shalat Raghaib ini dilakukan dalam keadaan lapar dan haus, apalagi pada hari-hari yang sangat panas; padahal shalat tidak dilaksanakan dengan adanya hal-hal yang menyibukkannya yang dapat dihilangkan.
  3. Kedua sujud (setelah selesai shalat tersebut) dilarang, karena dalam syari’at tidak terdapat adanya sujud secara tersendiri tanpa sebab sebagai amalan mendekatkan diri kepada Allah Subahnahu wa Ta’ala ; padahal mendekatkan diri kepada Allah dengan sesusatu ibadah memiliki sebab, syarat, waktu dan rukun-rukun tertentu, sehingga tidak dianggap sah tanpanya. Misalnya, seperti tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan wukuf di Arafah, Mudzdalifah, melempar jumrah dan sa’i antara Shafa dan Marwa, dengan tanpa melakukan manasik (haji atau umrah) pada waktunya dengan sebab dan syarat-syaratnya. Maka, demikian juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sujud semata, walaupun sujud merupakan ibadah, kecuali jika memiliki sebab. Juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan shalat dan puasa setiap waktu dan setiap saat. Terkadang, tanpa disadari, orang bodoh mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang menjauhkannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
  4. Seandainya kedua sujud tersebut disyari’atkan, tentu menyelisihi perintah khusyu’ dan khudhu’, disebabkan sibuknya menghitung jumlah tasbih dengan batin, atau lahiriyah, atau dengan batin dan lahir.
  5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Baca Juga  Shalat Witir

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari yang lain dengan shalat malam. Janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari yang lain dengan puasa, kecuali puasa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian[6]

  1. Dalam shalat Raghaib ini, terdapat sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdzikir ketika sujud, karena ketika turun firman Allah سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى Beliau berkata ”Jadikanlah dalam sujud kalian”.

Pernyataan ‘سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ’ seandainya benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak benar disendirikan tanpa pernyataan (سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى ), dan tidak pula Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya. Padahal sudah dimaklumi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya, kecuali yang terbaik.

Juga dalam pernyataan سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى , terdapat pujian yang tidak ada dalam pernyataan .[7] سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.[8]

Dan Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam agama, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.”[9]

Dengan demikian menjadi jelas larangan mengerjakan shalat Raghaib, karena merupakan shalat yang bid’ah, sebagaimana pendapat Al ‘Izz bin Abdussalam, An Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Al Qayim dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin serta yang lainnya.

Demikianlah penjelasan dari kami, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004 M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Al Bida’ Al Hauliyah, karya Abdullah bin Abdul Azis Ahmad At Tuwaijiri, Cetakan Pertama, Tahun 1421 H, Dar Al Fadhilah, Riyadh, KSA, hlm. 240.
[2] Lihat Rubrik Mabhats Beberapa Kesalahan Yang Terjadi Pada Bulan Rajab https://almanhaj.or.id/3089-beberapa-kesalahan-yang-terjadi-pada-bulan-rajab.html
[3] HR Ibnu Al Jauzi dalam kitab Al Maudhu’at, 2/124-125. Beliau berkata,”Hadits ini palsu. Para ulama hadits menuduh Ibnu Juhaim pemalsu.” Menurut para ulama, hadits ini palsu, diantaranya Imam Ibnu Taimiyah, Asy Syaukani, Al Fairuzabadi, Al Maqdisi Al Iraqi dan Abu Syamah. (Lihat keterangan lengkapnya dalam Majmu’ Fatawa, hlm. 23/133 dan 134; Al Bida’ Al Hauliyah, hlm. 241 dan Rubrik Mabhats Koreksi Terhadap Penyimpangan Umat Dalam Bulan Rajab
https://almanhaj.or.id/3088-koreksi-terhadap-penyimpangan-umat-dalam-bulan-rajab.html
[4] Al Bid’ah Al Hauliyah, hlm 242.
[5] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, hadits no. 731 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Shalat Al Musafirin, hadits no. 781 dengan perbedaan lafazh.
[6] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 1957.
[7] HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Ash Shaum, no. 1144.
[8] Semua pernyataan Al ‘Iz bin Abdussalam ini diambil dan diterjemah bebas dari kitab Musajilah ‘Ilmiyah Baina Al ‘Izz bin Abdulsalam Wa Ibnu Shalah Haula Shalat Ar Raghaib Al Mubtada’ah. dengan tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan Muhammad Zuhair Asy Syawis, Cetakan kedua, Tahun 1405, Al Maktab Al Islami, Bairut, hlm. 5-9.
[9] Majmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah, disusun Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, hlm. 23/132.