Ru’yatullah Dalam Pandangan Ahlus Sunnah dan Mu’tazilah
RU’YATULLAH (MELIHAT ALLAH) DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH DAN MU’TAZILAH
Oleh
Ustadz Nurul Mukhlishin Asyraf.
Ru’yah menurut bahasa berarti,”Annazar bil aini au bil-qalbi”(melihat dengan mata atau dengan hati).Ru’yatullah berarti melihat Allah dengan penglihatan mata atau penglihatan hati.
Apakah Allah bisa dilihat?, bisakah itu terjadi? dan di manakah Ia bisa dilihat? Semua ini merupakan perbincangan antara Ahlussunnah dan Mu’tazilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam masalah ini .
Pendapat Pertama
Mu’tazilah dan berbagai kelompok yang sepaham dengannya, seperti Jahmiyah, Khawarij, Syiah Imamiyah, dan sebagian Murjiah mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala, dan itu mustahil dan mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada Allah .
Di antara argumentasinya adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah ;
لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [Al An’aam/6 :103]
Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini.
Qadhi Abdul Jabbar berkata dalam kitabnya Syarah Ushul al-Khamsah hal.232: “Allah menafikan al-idrak (pencapaian) dengan penglihatan mata, ini menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh pandangan mata kapanpun dan di manapun juga.
Juga ayat ini dalam kontek al-madh (pujian) kepada Allah, bahwa Dia tidak bisa dilihat mata. Kalau dikatakan bahwa Dia bisa dilihat, maka akan berlawanan dengan kontek ayat itu sehingga tidak ada makna dari pujian itu.
2. Firman Allah.
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Rabb berfirman:”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman”. [Al A’raf/7 :143]
Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini.
- Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata “lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku) yang berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid” (peniadaan untuk selamanya), kalau tidak dapat dilihat oleh Musa, juga selamanya tidak bisa dilihat oleh orang lain.
- Firman Allah Azza wa Jalla, “Dan Musapun jatuh pingsan“, seandainya ru’yatullah boleh terjadi, kenapa Musa lansung pingsan sebelum melihat Allah?.
- Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.”
- Perkataan Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” menunjukkan bahwa permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.
3. Permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap sebuah kezaliman. Seperti yang dialami oleh Bani Israil sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
“…..mereka berkata: ”Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kezalimannya…” [An Nisa/4:153.]
Di sini Allah Azza wa Jalla mengadzab orang yang meminta melihat-Nya, bila hal itu diperbolehkan niscaya Dia tidak akan mengazabnya. Ayat senada juga ada pada surat Al Baqarah/2 ayat 55.
4. Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Quran surat Assyura ayat:51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [As-Syura/42:51]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla berbicara dengan manusia hanya lewat wahyu, atau di balik tabir [hijab], atau lewat utusan-Nya. Kalau Allah Azza wa Jalla boleh dilihat, niscaya Dia tampakkan diriNya lansung dan tidak perlu lewat perantara atau di balik tabir.
5. Secara akal bahwa semua yang dilihat mesti akan berbekas di penglihatan dalam bentuk atau rupa, sedangkan yang demikian mustahil bagi Allah Azza wa Jalla dan Maha Suci Allah Azza wa Jalla dari yang demikian.
Pendapat Kedua
Menurut Ahlus Sunnah bahwa Allah boleh dilihat dan bisa dilihat dengan mata kepala di akherat kelak.
Diantara dalil-dalil yang menguatkan tentang yang demikaian adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah dalam surat Al A’raf/7 ayat 143 yang telah lewat.
Wajhuddilalah (pengambilan dalil)dari ayat ini, adalah:
- Di sini Musa meminta untuk melihat Allah, kalau yang demikian itu tidak diperbolehkan, apalagi sesuatu yang mustahil, maka tidak mungkin dilakukan oleh seorang Nabi.[1]
- Dalam ayat ini tidak ada yang menunjukkan larangan meminta melihat Allah,karena kalau itu sesuatu yang tidak boleh niscaya Allah akan melarang Musa untuk melakukannya, sebagaimana Allah melarang Nabi Nuh yang meminta supaya anaknya diselamatkan dari banjir.[2]
- Allah mengatakan, ”Lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku), bukan menunjukkan Allah tidak bisa dilihat, justru sebaliknya. Sebab kalau ru’yatullah suatu yang tidak mungkin, terjadi niscaya Allah akan memakai lafaz nafi yaitu,”La tarani” (Kamu sekali-kali tidak akan melihat-Ku).
- Abu Said Ad Darimi dalam kitab bantahannya terhadap Jahmiyah mengatakan: ”Tidak bisa dilihat”, yaitu di dunia, karena mata kepala manusia yang tercipta dari sesuatu yang akan binasa tidak sanggup memandang sesuatu yang baqa’[kekal], tetapi pada hari kiyamat Allah akan memberikan penglihatan yang abadi, agar mampu melihat yang Maha Abadi (Allah) di tempat yang abadi (SurgaNya)”.
- Sesungguhnya dalam ayat ini Allah mengaitkan ru’yatullah dengan sesuatu yang mubah [boleh], atau mungkin terjadi, yaitu tetapnya gunung. Mengaitkan sesuatu yang boleh atau mungkin, menunjukkan sesuatu yang dikaitkan (Ru’yatullah) boleh atau mungkin.
- Allah Azza wa Jalla mengatakan ,”Tajalla” yang berarti menampakkan diri,
Al Qurthubiy dalam tafsirnya Juz IV/ 278 mengatakan: ”Maksudnya Allah Azza wa Jalla ingin memberikan pelajaran kepada Musa, bahwa dia tidak mampu untuk melihat Allah, karena gunung yang begitu kokoh saja bergetar akibat Allah menampakkan diriNya. Kalau kepada gunung yang benda mati saja Allah bisa menampakkan diriNya maka kenapa kepada hambaNya yang shalih tidak bisa? apalagi tidak mungkin dilakukanNya?.
2. Firman Allah Azza wa Jalla.
قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
Allah berfirman: “Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara lansung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang yang-orang yang bersyukur [Al-A’raf/7 : 144]
Imam Ismail Al Barusuni dalam tafsirnya Ruhul Bayan Juz III halaman 239 mengatakan: “Allah memerintahkan Musa untuk menjadi orang-orang yang bersyukur, seperti firman-Nya: “Hendaklah kamu termasuk orang yang-orang yang bersyukur”, karena bersyukur akan memberikan tambahan, sebagaimana firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Sesungguhnya jika kamu bersyukur,pasti Kami menambah (nikmatKu) dan jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih. [Ibrahim/14 : 7]
Dan tambahan yang akan diberikan Allah adalah bisa melihat Allah, sebagaimana firman-Nya.
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Bagi mereka yang berbuat kebaikan surga dan tambahan.[Yunus/10 : 26]
Dan tambahan yang dimaksud dalam ayat ini adalah melihat Allah.
3. Firman Allah dalam surat Al An’am ayat 103 (telah disebutkan di atas).
Al Alusiy dalam tafsirnya Ruhul Maani Juz IV halaman 244 mengatakan: “Kalimat ”Al-Abshar” dalam ayat ini adalah jamak dari “Bashar” yang berarti penglihatan, dapat dipakai untuk penglihatan mata atau penglihatan hati. Sedangkan kata ”Al idrak” artinya pencapaian terhadap sesuatu, dan kata ”Al idrak” mengandung makna lebih dalam dari kata melihat dan inilah yang dinafikan oleh Allah.
Ayat ini juga dalam kontek pujian yang menunjukkan bahwa melihat Allah boleh dan mungkin, sebab kalau sesuatu itu tidak mungkin, untuk apa dipuji. Di sini Allah bisa dilihat, tetapi mampu menghijab pandangan untuk mencapainya merupakan sebuah kekuasaan yang patut dipuji. Sebab sesuatu yang dari asalnya tidak bisa dilihat, maka ketika tidak dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang istimewa yang perlu di puji.
Ibnu Qayyim menambahkan: “Memakai ayat ini sebagai dalil bahwa Allah bisa dilihat lebih tepat dan benar, bahkan ayat ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengatakan Allah tidak bisa dilihat. Karena ayat ini dalam kontek pujian, dan itu diberikan kepada sesuatu yang ada (maujud), karena sesuatu yang tidak ada sama sekali (ma’dum mahdah) tidak layak untuk diberikan pujian, karena itu bukan termasuk kesempurnaan (al-kamal) bagi Allah.”
Dan al idrak (pencapaian) maksudnya adalah al ihathah (mengetahui semuanya dari segala aspek), dengan demikian al idrak adalah sesuatu yang mempunyai arti lebih dari ru’yah.
Sebagaimana firman Allah.
فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ .
Maka setelah dua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa; ”Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. [As Syuaraa/26 : 61]
4. Firman Allah.
لَهُم مَّايَشَآءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahan. [Qaaf/50 : 35]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Juz VIII/330 mengatakan: “Sesungguhnya “Al Mazid” (tambahan) yang Allah berikan kepada hambaNya di atas segala yang dikehendakinya seperti yang dimaksud dalam ayat di atas adalah nampaknya Allah bagi mereka.”
5. Firman Allah.
وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. [Al-Qiyamah/75 : 22-23]
Abu Hasan Al Asyari dalam kitabnya Al-Ibanah hal.12 mengatakan: “Kata “Nazhirah” yaitu ‘Raiyah” yang berarti melihat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ,bahwa Rasulullah dalam menafsirkan ayat “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu “Nadhirah”, yaitu berseri-seri, “Kepada Tuhannyalah Nazhirah (melihat), Yaitu melihat wajah Allah.
6. Ayat-ayat yang memakai kata –kata “Liqa’” (pertemuan). Seperti firman Allah.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mepersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya. [Al-Kahfi/18 :110]
Ayat-ayat yang menyatakan “Liqa’” (pertemuan) juga ada pada surat Al Baqarah/2 : 223, 249, dan Al Ahzab/33 : 44
Liqa (pertemuan) yaitu bertemu dengan Allah, dengan cara mereka akan melihat Allah dan Allah akan melihat dan mengucapkan salam kepada mereka, dan Allah akan berbicara dengan mereka.[3]
Adapun Dalil-dalil Dari Al Hadis Adalah Sebagai Berikut.
1. Jarir bin Abdullah berkata.
قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِالهِi كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا لاَ تُضَامُّونَ أَوْ لاَ تُضَاهُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا ثُمَّ قَالَ فَ ( سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ) (كتاب :كتاب مواقيت الصلاة باب :باب فضل صلاة الفجر رقم الحديث :547 الجزء :1 الصفحة 209 ,صحيح البخاري
Jarir bin Abdullah berkata: “Kami duduk bersama Rasulullah, kemudian beliau memandang bulan yang sedang purnama, lalu beliau bersabda: ”Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat bulan, tidak ada yang menghalangimu untuk melihat-Nya, kalau kamu mampu tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya maka lakukannlah. [HR.Bukhari Muslim]
2. Sabda Nabi yang maksudnya.
Sesungguhnya engkau akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala sendiri,”[HR.Bukhari Muslim]
3. Sabda Nabi yang berbunyi.
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ الهُe تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ (صحيح مسلم باب :باب إثبات رؤية المؤمنين في الآخرة ربهم سبحانه (كتاب :كتاب الإيمان )) رقم الحديث : الجزء 1: الصفحة : 163
Apabila penduduk surga telah masuk ke surga, Allah Taala berfirman: ”Apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan Aku tambahkan?”. Mereka berkata: “Bukankah Engkau telah memutihkan muka kami dan memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?”. Kemudian Allah membuka tabir, dan tidak ada sesuatu yang telah diberikan kepada mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat Tuhannya Yang Maha Tinggi. [HR.Muslim, dari Shuhaib)]
Jawaban Terhadap Argumentasi Mu’tazilah dan Kelompoknya
Sebagian dalil mereka sudah dijawab dengan dalil-dalil dari Ahlus Sunnah sebagaimana di atas. Adapun tambahannya adalah sebagai berikut.
- Pingsannya Nabi Musa disebabkan karena ketidakmampuannya melihat Allah, dan ini bukan berarti Allah tidak bisa dilihat.
- Tasbihnya Musa setelah sadar dari pingsannya, bukan menunjukkan penyucian dari kekurangan Allah, justeru menunjukkan kekurangan dan kelemahan Nabi Musa yang yang tidak mampu melihat Allah di dunia, dan tidak semua yang bisa dilihat berarti tidak baik atau kurang.
- Nabi Musa mengatakan: ”Saya bertobat”, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya JuzVII/27 mengatakan: “Sudah disepakati oleh semua umat bahwa perkataan ini bukan disebabkan karena Musa melakukan maksiat.”
- Kaum Nabi Musa diadzab ketika mereka meminta melihat Allah, karena permintaan mereka adalah sebuah tantangan kepada nabinya dan itu dilakukannya dengan penuh kesombongan dan keingkaran dan menganggap semua itu suatu yang mustahil.[4]
- Perkataan mereka yang mengatakan bahwa setiap yang terlihat akan memberikan bekas yang berbentuk dan berwarna adalah “Qiyas ma’al fariq” yaitu kiyas yang terdapat banyak perbedaan karena membandingkan Al -Khaliq [pencipta] dan makhluk-Nya dan kiyas seperti ini adalah bathil, karena Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya [As-Syuraa/42 : 11]
Bisakah Allah Dilihat Di Dunia?
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan kelompok Musyabbihah(orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga sebagian As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan) dan mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab Sirajut Thalibin hal.133. Mereka mengatakan: ”Orang-orang yang ikhlas akan bisa melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan!!.
Orang-orang Shufi menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan membayang-bayanginya, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.
Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul wal Washilah hal.28 berkata: ”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat, dan menganggap gambar itu adalah Allah, padahal itu adalah syaitan. Seperti ini sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau bercerita: ”Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya melihat arsy yang agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu semua yang Aku haramkan sebelumnya.”
Syaikh Abdul Qadir Jailani balik bertanya, apakah Engkau Allah yang tiada Tuhan selain Engkau? Hengkanglah Wahai musuh Allah!.Kemudian cahaya tadi terpencar dan berobah menjadi kegelapan kemudian keluar suara yang mengatakan, “Wahai Abdul Qadir engkau telah selamat dari tipudayaku dengan pengetahuanmu tentang agama, saya sudah berhasil memperdayakan tujuh puluh orang dengan tipu daya ini.” Ketika beliau ditanya bagaimana anda mengetahui bahwa itu adalah syaitan, ia menjawab karena dia mengatakan bahwa Allah sudah menghalalkan kepadaku semua yang diharamkan sebelumnya kepada yang lain, dan saya berpendapat bahwa syariat Muhammad tidak mungkin dirobah dan diganti”.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat Allah dengan mata kepala di dunia,beliau menjawab: “Barangsiapa di antara manusia yang mengatakan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’ yang menyesatkan,yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah, apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa, maka dia harus disuruh taubat kalau mau,kalau dia menolak maka boleh dibunuh,wallahu A’lam.[5]
Maka tidak boleh seseorang cepat terkecoh dengan orang yang bergelar wali atau ahli shufi.
Imam As-Syaukani dalam kitabnya Al-Wali mengingatkan: ”Tidak boleh seorang wali beranggapan bahwa semua yang terjadi padanya, berupa kejadian atau mukassyafat (pembukaan tabir) adalah semuanya karamah dari Allah, karena bisa saja semua itu datang dari syaitan, maka wajib menilai dan mengukur semua perkataan dan perbuatannya dengan Kitab dan Sunnah, kalau sesuai maka itu adalah kebenaran dan karamah dari Allah,kalau itu bertentangan dengan Kitab dan Sunnah maka hendaklah menyadari bahwa ia tertipu oleh syaitan.”
Adapun dalil jumhur yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia adalah sebagai berikut:
- Firman Allah surat Al-A’raaf/7 ayat 143 terdahulu. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa penafian ru’yatullah khusus di dunia, karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.”
- Firman Allah dalam surat Al An’am/6 ayat 153 . Imam Ahmad dalam kitab bantahannya kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14, berkata: “Makna ayat ini adalah tidak ada yang bisa melihat Allah di dunia kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam kitab tauhidnya hal.185 menambahkan: “Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.
- Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara/26 ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah hanya berbicara dengan para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan malaikat. Kalau melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi pada manusia yang lain.
- Firman Allah dalam surat Al Baqarah/2 ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan jelas diazab oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh kesombongan dan penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin terjadi. Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada yang lainnya.
Adapun Dalil Dari Sunnah
Hadits-hadits yang lewat menyebutkan bahwa Allah hanya bisa dilihat pada hari kiyamat. Itulah sebabnya pertanyaan sahabat juga memakai kata ”Apakah Allah bisa dilihat pada hari kiyamat?” dalam pertanyaannya kepada Rasulullah, seperti hadis berikut:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,para Sahabat berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari Kiamat? [HR.Bukhari dan Muslim]
Riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari Kiamat? [HR.Bukhari Muslim]
Juga hadits Rasulullah yang mengingatkan umatnya terhadap Dajjal, beliau bersabda:
مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٍ وَغَيْرِ كَاتِبٍ
Sesungguhnya di antara dua mata Dajjal tertulis kata “kafir” yang bisa dibaca oleh setiap orang mukmin, yang dapat menulis, atau buta huruf.
Dan beliau berkata: ”Ketahuilah bahwasanya tidak ada seorangpun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati. [HR.Muslim]
Di sini Rasulullah sedang berbicara dengan para sahabat bahwa mereka tidak bisa melihat Allah sampai mati ,kalau sahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat Allah sebelum mati, apalagi manusia yang lain.
Apakah Rasulullah Pernah Melihat Allah Di Dunia
Qadhi Iyyad dalam kitabnya ”Assyifa fi ta’rifi huququl Musthafa” juz.I/119-124, menyebutkan beberapa perbedaan ulama’dalam masalah ini.
Pertama : Ibnu Abbas dan riwayat dari Ka’ab bin Malik, juga dinisbahkan kepada Anas bin Malik, Ikrimah, Hasan, Rabi’, dan juga Abu Hasan Al Asy’ari dan Qadhhi Abu Ya’la dari Hanabilah mengatakan: “Rasulullah pernah melihat Allah (Ketika menerima perintah shalat diwaktu mi’raj), mereka berhujah dengan hadits-hadits tentang ru’yah yang tidak mengkhususkan dengan mata tetapi secara mutlak (umum) seperti:
- Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya melihat Tuhanku”. [HR.Ahmad]
- Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah: “Dia benar-benar dan pernah melihatnya dalam bentuk yang lain, ia berkata: “Nabi sudah melihat Allah dua kali, di Sidharatul Muntaha, kemudian diwahyukan kepadanya perintah shalat.. [HR Thurmudzi, hasan]
- Hadits tentang Isra’ miraj Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Dhamir (kata ganti) pada kata-kata dana ( mendekat ), auha (mewahyukan ) dan raahu (melihat) kembali kepada Allah. Dengan demikian maka Rasulullah pernah melihat Allah.
- Al-Haitsami dalam Majmu’ Az-zawaid juz 1 hal 79, meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Muhammad melihat Rabb-Nya dua kali, pertama dengan mata kepalanya, dan kedua dengan mata hatinya”.
- Beliau juga berkata: “Muhammad melihat Allah”, Ikrimah bertanya: “Apakah beliau bisa melakukannya?”, ia menjawab: “Ya, Allah menjadikan Kalam (berbicara) dengan Musa, hullah (persaudaraan) dengan Ibrahim dan An-nazhar (melihat) kepada Nabi Muhammad. Diriwayatkan juga oleh At-Thabrani di Al-Awsath, tetapi di dalamnya isnadnya ada perawi bernama Hafs bin Amru yang dilemahkan oleh Imam Nasai)
- Imam Nawawi mengatakan, inilah pendapat yang kuat, menurut kebanyakan Ulama. Yaitu Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya di malam Isra mi’raj. Sesuai dengan hadits Ibnu Abbas terdahulu. Beliau juga menyebutkan beberapa alasan penguatannya, di antaranya masalah ini termasuk masalah yang tidak dapat dicerna oleh akal. Maka apabila hadits Ibnu Abbas itu shahih, ia harus dipegang. Juga Ibnu Abbas menetapkan bisanya ru’yatullah bagi Nabi, sedangkan hadits Aisyah menafikan (meniadakan) dalam kaidah al-mutsbat muqaddamun ala annafi (penetapan lebih dahulukan dari peniadaan). Dan shahabat apabila menetapkan satu pendapat, kemudian ada shahabat yang lain yang berbeda, maka perbedaan itu tidak dijadikan hujjah.
Kedua: Rasulullah tidak pernah melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia.
Inilah pendapat yang dipegang Aisyah dan yang masyhur dari Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abi- Dzar juga sebagian muhadditsin, fuqaha, dan mutakalimin. [Llihat Syarah Thahawiyah oleh Abi al-izzi hal 137].
Diantara dalil- dalilnya adalah
- Hadits Aisyah yang diriwayatkan Masyruq, ia berkata:
مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ
“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad melihat Tuhannya, maka ia telah berdusta besar pada Allah. [HR. Bukhari Muslim]
- Hadits Abi Dzar -yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq-, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ الهِ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah engkau telah melihat Allah”, beliau menjawab: “Cahaya yang menghalangi-ku untuk melihatNya. [HR.Muslim]
Dalam riwayatkan lain dikatakan:
رَأَيْتُ نُورًا
Saya hanya melihat cahaya. [HR. Muslim]
- Hadits Abu Musa, di dalamnya disebutkan.
حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
HijabNya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka niscaya terbakar-lah di antara makhlukNya oleh cahaya mukaNya sejauh pandangan. [HR Muslim]
Sedangkan yang pernah dilihat oleh Rasulullah adalah Jibril Aliahissallam, bukan Allah sebagaimana Hadits Abu-Hurairah dan Aisyah.
- Hadits riwayat Abu Hurairah dalam firman Allah:
وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى
Dan ia telah melihatnya dalam bentuk yang lain (An-Najm:13), Rasulullah mengatakan bahwa belaiu melihat Jibril. [HR. Muslim]
- Diriwayatkan oleh Asybani, dia bertanya kepada Dzur bin Hubaysih tentang tafsir ayat 13 surat An-Najm , dia berkata: Ibn Masud memberitahukannya bahwa Nabi melihat Jibril mempunyai 600 sayap.
Juga hadits Aisyah, ia menyatakan, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Jibril yang sebelumnya tidak pernah saya lihat dalam bentuk aslinya kecuali dua kali. Saya melihatnya turun dari langit yang keagungan penciptaanya memenuhi langit dan bumi.”
- Dua hadits ini cukup untuk menjelaskan bahwa Nabi tidak pernah melihat Allah di dunia, karena kedua hadits tersebut shahih dan sharih. Berbeda dengan hadits yang dipakai pendapat pertama, haditsnya mutlak. juga seperti hadits Syuraiq masih dipertanyakan sanad maupun matan, karena Syuraiq sendiri menurut Ahlul Hadits tidak hafidz (kuat hafalannya) (Lihat Fathul- Bari juz 13, hal 484). Adapun tarjih (pendapat yang dianggap kuat) Imam Nawawi termasuk tarjih tanpa hujjah yang kuat dan tepat.
Ketiga : Tawaquf (tidak mengatakan Rasulullah telah melihat Allah). Ini yang dilakukan oleh Qadhi ‘Iyadh.
Sebagian Ulama mencoba untuk mempertemukan dua pendapat tersebut, dengan mengatakan bahwa orang yang meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri. Dan yang menetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan mata hatinya. Karena tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan Rasulullah sendiri tidak pernah memberitahukan kepada shahabatnya, seandainya beliau pernah melihat Allah dengan matanya niscaya akan menceritakan shahabatnya. [Lihat Majmu’Fatawa juz 6, hal 509-510). Juga tafsir Ibn Katsir juz 6, hal 452]
Melihat Allah Dengan Mata Hati
Ulama sepakat bahwa Rasulullah n pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]
Abu Dzar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hatinya dan tidak pernah melihatnya dengan mata kepalanya.
Ibrahim At-Taimi meriwayatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatnya dengan hatinya dan tidak pernah melihat dengan matanya.
Imam Nawawi berkata: “Melihat Allah dengan hatinya adalah penglihatan yang benar, yaitu Allah menjadikan penglihatannya dihatinya atau menjadikan hatinya mempunyai penglihatan sehingga dia bisa melihat Tuhannya dengan benar, sebagaimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. [Syarah Shahih Muslim juz3, hal 6].
Adapun selain Nabi, seperti Shahabat dan tabi’in, maka salaf sepakat bisa terjadi bagi hati seorang mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat (persaksiaan), yang sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang yang mencintai sesuatu akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu dekat dalam hatinya. Sebagaimana jawaban Rasulullah tentang ihsan:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.[HSR. Bukhari, Muslim, dan lainnya-red]
Syaikhul Islam meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Syaikhul Islam menambahkan sesungguhnya Allah dilihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan inilah pendapat saya, dan pendapat imam-imam kita. Berbeda dengan pendapat orang-orang yang jahil yang ada di sekitar kita.[6]
Seperti Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan hati dan bukan melihat-Nya tapi mengetahui-Nya dengan hati.[7]
Melihat Allah Lewat Mimpi
Para sahabat dan tabiin dan salaf mengatakan bahwa ru’yatullah lewat mimpi adalah hak dan bisa terjadi. Sebagaimana hadits tentang mimpi Rasulullah melihat Allah dengan lafaz yang berbeda di antaranya:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ,Rasulullah bersabda:
رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Saya pernah melihat Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Juga di dalam hadits yang lain.
أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Semalam saya didatangi oleh Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya [HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulullah bersabda.
فَإِذَا أَنَا بِرَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Tiba-tiba aku bertemu dengan Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Syaikh Islam berkata: ”Terkadang seorang mukmin bisa melihat Allah ketika tidurnya dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan kafasitas keimanan dan keyakinannya. Apabila keimanannya kepada Allah kuat dan benar, maka ia akan melihat Allah dalam bentuk yang baik, tapi bila imannya kurang maka ia akan melihat Allah sebatas imannya itu. Dan penglihatan lewat mimpi berbeda dengan penglihatan ketika tidur[8]
Namun demikian bukan berarti orang yang pernah bermimpi melihat Allah boleh melanggar syari’ah atau dijamin masuk surga, karena tidak ada ketentuan yang demikian dari Rasulullah. Adapun perkataan Ibnu Sirin yang diriwayatkan Ad-Darimi no 249, yang menyatakan: ”Barang siapa yang bermimpi melihat Allah maka akan masuk surga”, tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak adanya sanad yang bersambung kepada Rasulullah, dan tidak seorangpun dari sahabat yang menyatakan demikian.
Ruyatullah Pada Hari Kiamat
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Ahlussunah sepakat bahwa ru’yatullah pada hari kiyamat adalah hak menurut Al-Quran dan Sunnah. Tetapi apakah ru’yatullah pada hari ini khusus bagi orang mukmin saja atau yang lainnya juga?. Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.
Pertama. Ruyatullah pada hari kiyamat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menjelaskan pertemuan dengan Allah seperti ayat:
يَا أَيُّهاَ اْلإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلىَ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاَقِيهِ
Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh memuja Tuhanmu,maka pasti kamu akan menemui-Nya. [Al-Insyiqaq/84 : 6]
Kata”Insan” dalam ayat di atas menunjukkan jenis yaitu anak Adam. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al Qurthubi. Mereka berdalil dengan hadis Abi Said terdahulu, yang menyatakan bahwa manusia akan melihat Allah pertama kali, kemudian dikatakan kepadanya supaya setiap kaum mengikuti apa yang dia sembah di dunia. Dan ini adalah ru’yah yang umum kepada semua manusia.
Kedua. Melihat Allah hanya bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.
Ketiga. Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:
كَلآَّ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhannya. [Al Mutaffifin/83 :15]
Dan pendapat inilah yang paling kuat. Adapun pendapat pertama yang menyatakan bahwa semua manusia bisa Ru’yatullah, yang dimaksud adalah yang pertama kali yaitu Ru’yatullah yang umum, tetapi kemudian dihijabi/dihalangi. Ru’yatullah itu juga berbeda. Yang paling hakiki adalah Ru’yatullah di dalam surga yang menjadi tambahan bagi orang mu’min, inilah yang dikuatkan oleh hadits Sa’id Al Khudri: “Kemudian Al Jabbar (Allah) mendatanginya dalam bentuk yang berbeda dengan bentuk awal mereka melihatNya.[9] ”.
Kesimpulan
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat, tetapi tidak pernah dilihat dengan mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat mimpi sesuai dengan kapasitas keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru’yatullah yang hakiki yang menjadi tambahan kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam surga.
Ya Allah! perkenankan kami untuk bisa merasakan kenikmatan untuk melihat wajah-Mu yang agung, Amin!
Rujukan:
1. Majmu’ Fatawa,Syaikh Islam Ibnu Taimiyah,Matbaah Riyad tahun 1382 H.
2. Attawassul wal Washilah, Ibnu Taimiyah cet.Daar Arabiyah Tahun 1390H
3. Tafsir Ibnu Katsir,cet.Daar Fikr 1389H
4. Ru’yatullah , DR.Ahmad bin Nashr Al Hamd, cet.Ummul Quram1411H
5. Sirah Ibnu Hisyam, ,cet.Daar Fikr 1389H
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab Haadul Arwah oleh Ibnu Al Qayyim hal.223
[2] Baca QS. Hud/11 : 46-47
[3] Lihat kitab As-Syari’ah oleh Imam Al Ajurri hal.252
[4] Lihat Al Ibanah hal.15
[5] Majmu’ Fatawa VI/512
[6] Majmu’Fatawa V/79
[7] Maqalaat Islamiyah I/118
[8] Majmu’Fatawa juz III/390
[9] Majmu’ Fatawa VI/503
- Home
- /
- A3. Aqidah Makna dan...
- /
- Ru’yatullah Dalam Pandangan Ahlus...