Al Qur`an Menurut Pandangan Lima Firqah

AL-QUR’AN MENURUT PANDANGAN LIMA FIRQAH

Al Qur`an, adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad n sebagai mukjizat bagi beliau, yang dibaca untuk ibadah. Setelah munculnya ahli bid’ah dengan segala sepak-terjangnya yang keliru dalam memandang al Qur`an, maka Ahli Sunnah wal Jama’ah merasa perlu mendefiniskan al Qur`an, sehingga ‘aqidah mereka tentang al Qur`an berbeda dengan pandangan ahli bid’ah.

Ahli Sunnah wal Jama’ah meyakini, al Qur`an adalah Kalamullah. Berasal dari Allah, berupa perkataan tanpa dapat diketahui caranya. Al Qur`an diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Sebagai Kalamullah, maka al Qur`an bukan makhluk, tidak seperti halnya ucapan manusia. Barangsiapa mendengar al Qur`an dan menyangkanya sebagai perkataan manusia, sungguh ia telah kafir.[1]

Ahli Sunnah wal Jama’ah menjadikan Kitabullah dan wahyu dari-Nya sebagai landasan utama dalam menetapkan ‘aqidah dan dalam pengambilan dalil. Tidak ada masalah ‘aqidah atau masalah lain yang mempunyai dalil dari Kitabullah, kecuali mereka menyampaikannya, mengutamakan di atas segalanya, dengan mengagungkan Kalamullah dan bergantung kepadanya. Tidak bertumpu kepada manusia yang lemah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

 Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. [al Ahzab/33 : 36].

Aspek lain yang membuat mereka memberi perhatian sangat besar kepada al Qur`an, karena Allah telah memudahkan al Qur`an untuk dipahami. Tidak ada ayat-ayat yang sulit dipahami. Juga tidak ada ungkapan yang janggal di dalamnya. Al Qur`an tidak memuat sesuatu yang ditolak oleh akal dan pikiran yang sehat. Tidaklah mustahil siapa pun dapat menguasainya, karena kandungan al Qur`an dapat dijangkau kemampuan akal manusia. Tidak menjadi monopoli segelintir orang, atau strata tertentu saja. Di dalam al Qur`an tidak ada kata-kata yang mengandung teka-teki atau rahasia. Setiap orang dapat menguasai sesuai dengan kemampuannya.

Ini berbeda dengan kebohongan yang digulirkan ahli bid’ah. Mereka beranggapan, adanya kontradiksi antara akal dengan naql. Berkaitan dengan kedudukan al Qur`an ini, berikut kami paparkan pandangan beberapa firqah dalam menempatkan al Qur`an pada diri mereka. Tulisan ini bersumber dari Tanaqudhi Ahlil-Ahwa wal-Bida’i fil ‘Aqidah, karya Dr. ‘Afaf binti Hasan bin Muhammad Mukhtar, Cetakan I, Th. 1421H/ 2000M, Penerbit Maktabah Rusyd, Riyadh.

Golongan Khawarij
Firqah Khawarij, sesungguhnya mengagungkan al Qur`an dan berkeinginan mengikuti kandungannya. Akan tetapi, jika melihat keberadaan mereka, ternyata sangat jauh dari angan-angan.  Mereka tidak mengaplikasikannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pemikiran mereka adalah mengagungkan al Qur`an dan ingin mengikutinya. Hanya saja, mereka keluar dari lingkaran Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Mereka tidak mengikuti Sunnah yang dianggap menyelisihi al Qur`an. Misalnya, seperti hukum rajam dan nishab pencurian”.

Mereka mengakui keberadaan al Qur`an dan hujjahnya, tetapi tidak memahami layaknya generasi Salafush-Shalih. Dari sinilah kesesatan mereka bermula. Mereka, seperti diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengikuti ayat-ayat mutasyabih dan mentakwilkannya, padahal tidak mengerti maknanya, tidak memiliki ilmu yang luas, tidak mengikuti Sunnah, dan juga tidak mengikuti pemahaman Salafush-Shalih dalam memahami al Qur`an.

Baca Juga  Keutamaan Membaca Dan Merenungkan Surat Al-Baqarah

Sangat jelaslah pendirian mereka, yaitu tidak menjadikan al Qur`an sebagai hujjah sebagaimana menurut cara yang shahih (dibenarkan). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan tentang keberadaan mereka:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“(Mereka) membaca al Qur`an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Keluar dari Islam, seperti melesatnya anak panah (menembus) sasaran”.

Hadits ini menjelaskan, mereka membaca al Qur`an, namun tidak mengamalkan ajaran-ajarannya.

Golongan Syi’ah
Pendirian Syi’ah terhadap al Qur`an sudah diketahui, yaitu meyakini bahwa al Qur`an telah mengalami tahrif (perubahan), baik dengan penambahan ataupun pengurangan. Oleh karenanya, mereka tidak memandang al Qur`an sebagai hujjah.

Bukit-bukti yang menunjukkan pandangan mereka seperti itu, dapat disaksikan dalam kitab-kitab karangan para ulama penganut Syi’ah. Misal, coretan dalam kitab al Kafi, yang mereka angkat selevel dengan Shahih Bukhari.

Kaum Syi’ah menukil pernyataan yang dinisbatkan kepada Ja’far ash Shadiq:[2] “Kami mempunyai Mush-haf Fathimah[3]. Apa yang mereka ketahui tentang Mush-haf Fathimah? Mush-haf Fathimah, (besarnya) seperti al Qur`an kalian tiga kali lipat. Tidak ada satu huruf pun dari al Qur`an kalian yang ada di sana”.[4]

Jadi menurut Syi’ah, al Qur`an yang berada di tangan kaum Muslimin saat ini, sudah tidak otentik lagi, kecuali yang berasal dari riwayat imam-imam mereka. Bahkan untuk menguatkan klaim, mereka pun membuat periwayatan untuk menyokong kedustaan yang mereka buat.

Misalnya, diriwayatkan dari Jabir,[5] ia berkata: Aku mendengar Abu Ja’far al Baqir ‘alaihis salam berkata: “Tidak ada seorang pun yang mengaku telah menghimpun al Qur`an secara keseluruhan sebagaimana diturunkan, selain ia seorang pendusta. Tidak ada seorang yang berhasil menghimpun dan memeliharanya sebagaimana diturunkan oleh Allah, kecuali Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam dan para imam sepeninggalnya”.[6]  

Kalangan Qadariyah (Mu’tazilah)
Secara global, kalangan Qadariyah memasukkan al Qur`an sebagai bagian dari dalil-dalil prinsip mereka. Hanya saja, mereka memandang kepastian hukum dan petunjuk yang akurat, lebih menggunakan akal. Menurut pemikiran Qadariyah, akal sajalah yang mengantarkan seseorang menjadi memiliki keyakinan dan hasil yang shahih.

Salah seorang tokoh Qadariyah, yaitu al Jahizh[7] berkata: “Tidak ada hukum yang pasti, melainkan milik akal. Dan tidak ada penjelasan yang shahih, selain milik akal.”[8]

Oleh karena itu, mereka mempunyai empat jenis pegangan, yaitu akal, al Qur`an, Sunnah dan Ijma’. Dalam hal ini, mereka lebih mendahulukan nalar (akal) ketimbang al Qur`an dan Sunnah. Ini merupakan bukti kepuasaan mereka dengan kaidah yang mengatakan, bergantung kepada akal pikiran lebih kuat dan utama daripada berlandaskan syari’at, yang nash-nashnya tidak menghasilkan keyakinan dan ilmu yang pasti. Mereka mendewakan akal pikiran dan meyakini, bahwa manusia dapat mengenal Allah dan hikmah-Nya melalui akal semata. Bahkan Ibrahim Nazhzham, salah seorang pentolan Mu’tazilah berkata: “Sesungguhnya kekuatan hujjah akal terkadang dapat menghapuskan nash-nash (hukum)”.[9]

Dengan demikian, dapat diketahui apresiasi mereka dalam menempatkan al Qur`an. Yaitu, mereka mendahulukan akal sebagai rujukan utama, setelah itu menempatkan al Qur`an sebagai sumber berikutnya. 

Baca Juga  Inilah Al-Qur'an Wahai Ummat Islam

Kelompok Murji’ah
Murji’ah juga menduhulukan akal ketimbang nash (naql). Menurut mereka, akal menjadi sumber untuk mengetahui dalam masalah ‘aqidah. Ringkasnya, mereka menggantungkan kepada apa yang dihasilkan oleh akal pikiran, dan antipati dengan al Qur`an dan Sunnah. Atau memaksakan al Qur`an dan Sunnah untuk tunduk dengan argumentasi yang mereka bawa.

Pandangan seperti ini, telah mendorong mereka untuk menetapkan akal sebagai tumpuan memahami nash-nash syari’at. Padahal, mereka hanya menerjemahkannya sebatas kemampuan yang dimiliki akal mereka, namun tetap menjadikannya sebagai dasar hukum pada segala aspek.

Apabila terjadi kontradiksi antara dalil syar’i dengan akal, maka mereka memenangkan akal. Akhirnya, mereka melakukan takwil yang kemudian menjadi ciri khas kelompok Murji’ah ini.

Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, bahwa para ahli kalam memegangi pandangan-pandangan yang mereka yakini dengan dasar akal mereka. Setelah itu baru membaca-baca al Qur`an. Jika (kandungan ayat) bertentangan dengan qiyas atau bertolak belakang dengan kaidah yang sudah mereka bakukan, maka mereka pun mencari-cari takwil yang tidak etis, lagi sangat jauh dari maksud yang benar.[10]

Kelompok Jahmiyah
Sikap Jahmiyah sama dengan kelompok Murji’ah dalam memandang al Qur`an, yaitu lebih mendahulukan akal daripada naql. Akal dijadikan sebagai asas dan landasan utama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, Jahmiyah dan orang-orang yang berpikiran seperti mereka dari kalangan Asy’ariyah dan lainnya, mengatakan tidak sah beristidlal (berdalil) dengan al Qur`an mengenai ilmu Allah, kekuasaan-Nya, beribadah kepada-Nya, dan tentang Allah beristiwa di atas Arsy.[11]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun X/1428/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
____
Footnote
[1] Syarhul-‘Aqidatith-Thahawiyah.
[2] Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, adalah seorang dari kalangan Tabi’in. Kaum Rafidhah (Syi’ah) mencatutnya sebagai salah satu dari imam dua belas mereka. Banyak ucapan kotor dan kufur yang dialamatkan kepadanya oleh Syi’ah. Padahal, beliau sangat murka dan membuka kedok kebusukan mereka. Biografi ringkasnya pernah kami angkat dalam Majalah As-Sunnah dengan judul Imam Ja’far ash Shadiq, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi’ah.
[3] Fathimah az-Zahra adalah putri Rasulullah.
[4] Diriwayatkan al Kulaini dalam al Kafi, salah satu kitab Syi’ah.
[5] Jabir bin Yazid al Ju’fi Abu Abdillah al Kufi dari kalangan ulama Syi’ah Rafidhah. Dia termasuk pembohong besar. Syi’ah menganggapnya seorang perawi terkenal di kalangan mereka. Para ulama hadits dari Ahli Sunnah tidak menoleh kepada riwayat-riwayatnya, karena adanya faktor kedustaan yang melekat pada dirinya. Lihat Taqribut-Tahdzib, hlm. 137.
[6] Al Kafi (5/360). Sudah tentu perkataan ini merupakan dusta.
[7] Dia adalah ‘Amr bin Mahmub Abu Utsman al Jahizh al Bashri al Mu’tazili. Para pengagumnya tertipu dengan kepiawaiannya dalam sastra Arab, sehingga kesesatannya tertutup dari pandangan mereka.   
[8] Risalah at-Tarbi’ wat-Tadwir karyanya, hlm. 14. 
[9] Syarhul-Ushilil-Khamsah.
[10] Lihat penjelasan ini di dalam kitab al Ikhtilaf fil-Lafzhi war-Raddi ‘alal-Jahmiyah wal-Musyabbihah,  karya Ibnu Qutaibah, hlm. 15.
[11] Qaidah fil-Mu’jizat wal-Karamat.

  1. Home
  2. /
  3. A8. Qur'an Hadits1 Keutamaan...
  4. /
  5. Al Qur`an Menurut Pandangan...