Pemungutan Pajak Dalam Perspektif Hukum Islam

PEMUNGUTAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc

Merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya berdasarkan bimbingan al-Qur’ân dan as-Sunnah yang shahîhah. Diantara larangan Allâh Azza wa Jalla ialah melakukan kezhaliman kepada sesama manusia dengan mengambil harta benda mereka dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at, seperti mencuri, korupsi, riba, mewajibkan bayar pajak bagi seluruh rakyat, terutama kaum Muslimin, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, pada edisi kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pajak menurut pandangan Islam,  bagaimana kaum Muslimin menyikapinya,  dan apa saja syarat-syarat dibolehkannya pemungutan pajak ? Mudah-mudahan pembahasan ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

A. Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama adh-dharibah atau bisa juga disebut al-maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” [1]

Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan Muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di Baitul Mal.”[2]

Sedangkan menurut istilah kontemporer, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Ada beberapa istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah, diantaranya :

  1. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
  2. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
  3. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non Muslim yang masuk ke negara Islam)

B. Beberapa Jenis Pajak di Zaman Sekarang
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:

  1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang
  2. Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  4. Pajak Barang dan Jasa
  5. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
  6. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya
  7. Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.

C. Hukum Pajak Dalam Fiqih Islam
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-jizyah, al-kharaj, dan al-‘usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi non Muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum Muslimin, para Ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama : Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum Muslimin, karena kaum Muslimin sudah dibebani kewajiban zakat.

Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:

  1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. [an-Nisâ’/4:29]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at. Dan pajak adalah salah satu cara yang batil untuk memakan harta sesamanya.

  1. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang Muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya. [HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh al-Albâni dalam Shahîh wa Dha’îf Jâmi’ush Shagîr no.7662, dan dalam Irwâ’ul Ghalîl no.1761 dan 1459]

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais Radhiyallahu anha , bahwa dia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ

Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat.  (HR Ibnu Mâjah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dha’if (lemah) oleh syaikh al-Albâni karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal  rahimahullah, dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhâri, ‘Dia lemah’)

Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansûkh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah)

  1. Hadits Buraidah Radhiyallahu anhu dalam kisah seorang wanita Ghâmidiyah yang berzina, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya :

فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ

Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” [HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah hlm. 715-716]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.”[3]

  1. Hadits Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu , berkata: Saya mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” [HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dha’îf oleh syaikh al-Albani rahimahullah]

Dari beberapa dalil di atas, banyak para Ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum Muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Marâtibil Ijmâ, Imam adz-Dzahabi dalam bukunya al-Kabâir, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az- Zawâjir ‘an Iqtirâfil Kabâir, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi dalam Aunul Ma’bûd dan selainnya.

  1. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu pernah menarik pajak dari kaum Muslimin. Beliau menjawab, “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.”[4]
  2. Syaikh Abdul Aziz bin Bâz rahimahullah dalam kitabnya, Huqûqur Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”
Baca Juga  Membelanjakan Zakat Untuk Pembangunan Masjid ? Siapakah Orang Fakir Itu?

Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum Muslimin, jika memang  negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan. Inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para Ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum Muslimin adalah imam al-Juwaini di dalam kitab Ghiyâts al-Umam hlm. 267, Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi dalam al-I’tishâm II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya.

Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut :

  1. Firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat al-Baqarah ayat ke-177. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara : (a) pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) iman kepada Allâh Azza wa Jalla , hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.

Point-point dalam group (a) di atas, bukanlah hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga pada piont (b).

  1. Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari kiamat, dan terkecuali jika tamunya bertamu lebih dari tiga hari, maka hari ke-3 dianggap sebagai sedekah.
  2. Ayat al-Qur’ân yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat al-Mâ’ûn, dimana Allâh Azza wa Jalla manganggap celaka bagi orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat riya’.
  3. Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalihul Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau kaidah yang artinya ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah yang artinya ‘Lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum’.

Kas Negara yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik dengan munculnya ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.

  1. Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân (At-Taubah/9:41, Al-Hujurat/49:51, As-Saff/61:11, dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulil amri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.
  2. Syaikh Izzuddin rahimahullah memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata, “Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum Muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka. Namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara dicukupi dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (an-Nujum az-Zahirah fi Muluki Mishr wa al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).

Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para Ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang Muslim selain zakat. Namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Mâlik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syâthibi, Mahmûd Syaltut, dan lain-lain[5].

Diperbolehkannya memungut pajak menurut para Ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak cukup untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, padahal jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan atau bahaya besar. Sementara mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh :

مَا لاَيَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib

Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan Muslim) hendak menyiapkan satu pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul mal (kas Negara) kaum Muslimin  jika memang ada harta yang mencukupinya, dan tidak boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di baitul mal tidak ada harta yang bisa mencukupi penyiapan pasukan perang, maka dibolehkan bagi penguasa atau pemerintah Muslim menetapkan kebijakan kepada mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.”[6]

D. Syarat-Syarat Pemungutan Pajak
Para Ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum Muslimin, menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
  2. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
  3. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, seperti zakat, jizyah, al ‘usyur
  4. Harus ada persetujuan dari para Ulama dan tokoh masyarakat
  5. Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
  6. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, yaitu ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
  7. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang lebihan dan yang menghambur-hamburkan uang saja.
  8. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhâts Fiqhiyyah Fi Qadhâyâ az-Zakât al-Mu’âshirah II/621-623)
Baca Juga  Zakat Hasil Pertanian dan Perkebunan

E. Apakah Pajak di Zaman Ini Sesuai Dengan Syariah Islam?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para Ulama di atas? Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas sudah bisa ditebak yaitu tidak sesuai, karena beberapa sebab:

  1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
  2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
  3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya. Ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
  4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
  5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
  6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para Ulama dan tokoh masyarakat.
  7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.

Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Shawab.

F. Bagaimana Sikap Kaum Muslimin Terhadap Pajak?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari al-Qur’ân dan as-Sunnah bahwa setiap Muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori Muslim dan selama yang diperintahkannya bukan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa menyuruh rakyatnya melakukan kemaksiatan maka rakyat (kaum Muslimin) tidak boleh mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.

Di dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja. [HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840].

Akan tetapi, bagaimana sikap kaum Muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?

Dalam keadaan demikian kaum Muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada umatnya :

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” [HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman  Radhiyallahu anhu]

Syaikh Shâlih Al-Fauzan hafidzahullâh memberi alasan yang sangat tepat dalam  masalah ini. Beliau mengatakan, “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum Muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum Muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).”[7]

Demikian penjelasan kami tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini datangnya dari Allâh Azza wa Jalla semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
_______________
Sumber : abufawaz
[1] Lihat Lisânul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahîh Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202
[2] Lihat Syifâ’ul Ghalîl hlm. 234, dan Ghiyats al-Umam min Iltiyâts azh-Zhulmi hlm. 275
[3] Lihat Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi rahimahullah
[4] Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31
[5] Lihat al-Fatâwâ al-Kubrâ, Syaikh Mahmud Syaltut hlm.116-118 cetakan al-Azhar).
[6] Lihat as-Sair al-Kabîr beserta syarahnya I/139
[7] Lihat al-Fatâwâ as-Syar’iyah fi al-Qadhâyâ al-ashriyyah, hlm. 93)

  1. Home
  2. /
  3. A9. Fiqih Muamalah8 Zakat
  4. /
  5. Pemungutan Pajak Dalam Perspektif...