Suka Memaafkan Serta Keutamaannya
SUKA MEMAAFKAN SERTA KEUTAMAANNYA
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Ta’ala semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du:
Memaafkan merupakan sifat terpuji dan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan oleh Allah Shubhanahu wa Ta’alla pada para nabi serta hamba -Nya. Berdasarkan irman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
قال الله تعالى: خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. [al-A’raaf/7: 199].
Dijelaskan lebih tegas lagi dalam bentuk perintah kepada nabiNya, dan umatnya secara umum, Allah berfirman:
قال الله تعالى: وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْمِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka”. [al-Imraan/3: 159].
Demikian juga perintah Allah ta’ala pada hamba -Nya yang beriman secara umum, seperti ditegaskan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [an-Nuur/24: 22].
Definisi al-‘Afwu:
Berkata al-Kafawi menjelaskan, “al-‘Afwu artinya ialah tidak menyakiti (orang yang telah berbuat jahat padanya) walaupun mampu untuk membalasnya”. Dan setiap orang yang berhak mendapat balasan yang setimpal atas perilakunya, kemudian yang disakitinya tidak menuntut balas dan dirinya ikhlas dan mampu untuk itu, dan ia membiarkannya maka itulah yang dinamakan al-‘Afwu (memaafkan). Dan perbedaan antara al-‘Afwu dengan ash-Shafhu (berlapang dada) sangat tipis, dan keduanya mempunyai kemiripan dalam makna, akan tetapi, bila dikatakan misalkan, “Aku berlapang dada”, yakni bilamana ada orang yang menyakiktiku lalu dia aku maafkan dan biarkan kesalahan dan celaan yang ditujukan padaku”.
Dan ash-Shafhu itu cakupan maknanya lebih luas dari hanya sekedar memaafkan, karena bisa jadi ada orang yang dapat memaafkan namun belum bisa menerimanya, seperti dikatakan, “Aku berlapang dada atasnya”, yaitu manakala dia memprioritaskan untuk membiarkan sambil menerimanya dengan ikhlas. Hal itu, seperti telah disinggung oleh Allah ta’ala dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: فَٱصۡفَحۡ عَنۡهُمۡ وَقُلۡ سَلَٰمٞۚ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam (selamat tinggal).” kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk)”. [az-Zukhruf/43: 89].[1]
Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah Shubhanahu wa Ta’alla dalam surat an-Nuur diatas dengan mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu, yaitu manakala beliau bersumpah tidak akan memberi apa-apa lagi kepada Misthah bin Atsatsah setelah terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah. Maka tatkala turun firman Allah Shubhanahu wa Ta’alla yang menyatakan kesucian umul mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha, melegakan semua orang dari kaum mukminin, dan merasa bahagia serta tentram atasnya, kemudian Allah Shubhanahu wa Ta’alla menerima taubatnya orang-orang yang ikut serta menyebarkan berita bohong tersebut dari kalangan mukminin. Dan memerintahkan supaya ditegakan hukuman bagi mereka sebagai balasannya.
Dan atas anugerah dan keutamaan yang Allah Shubhanahu wa Ta’alla berikan, pada Abu Bakar yang biasa menyambung kekerabatan bersama sanak keluarga dan kerabat, dan diantara mereka ada yang bernama Misthah bin Atsatsah anak dari bibinya, dia seorang yang fakir yang tidak mempunyai harta. Dan ketika itu dirinya terlibat di dalam menyiarkan berita bohong tersebut dan telah bertaubat serta ditegakan hukuman cambuk baginya.
Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang terkenal dengan kedermawanannya, beliau banyak membantu pada sanak kerabat dan juga orang lain, maka tatkala turun firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
قال الله تعالى: أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [an-Nuur/24: 22].
Artinya balasan yang mereka lakukan setimpal dengan perbuatannya. Sebagaimana Engkau telah mengampuni hamba yang berbuat dosa pada-Mu, Kami juga telah mengampunimu. Dan sebagaimana engkau memaafkan, Kami juga memaafkan kesalahanmu.
Maka tatkala mendengar hal tersebut Abu Bakar langsung mengatakan, “Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai Rabb kami”. Kemudian beliau kembali untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhan kerabatnya yang bernama Misthah. Dan beliau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut sedekah untuknya selama-lamanya. Demi Allah, aku tidak akan menuntut balas pamrih darinya selama-lamanya”.
Ibnu Katsir mengomentari ucapan Abu Bakar tadi dengan mengatakan, “Oleh karena itulah dirinya dijuluki ash-Shidiq karena kejujuran dan keimanannya”.[2] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, berkata; “Uyainah bin Hishan pernah datang menemui Umar bin Khatab. Kemudian dia berkata, “Inilah wahai Ibnu Khatab, demi Allah kamu tidak pernah memberi pemberian pada kami, tidak pula menghukumi kami secara adil”. Mendengar hal itu, Umar langsung naik pitam, marah sampai dirinya berkeinginan buruk padanya.
Lalu budak beliau berkata mengingatkan, “Wahai Amirul mukminin, (ingatlah) sesungguhnya Allah Ta’ala berkata pada Nabi-Nya Muhammad Shalallahu ‘alaih wa sallam:
قال الله تعالى:خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. [al-A’raaf/7: 199].
Sikap seperti ini adalah sikapnya orang jahiliyah”. Sang rawi mengatakan,
وَاللهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللهِ
“Demi Allah tidak sampai sempurna ayat tersebut dibacakan pada Umar melainkan dirinya langsung redam emosinya. Dan beliau adalah orang yang paling memuliakan terhadap firman Allah“. [HR Bukhari no: 4642].
Imam Syafi’i mengatakan dalam lantunan bait syairnya:
Mereka menghardik agar aku diam, sedang mereka yang memulai permusuhan.
Aku katakan, ‘Sesungguhnya membalas kejelakan pintunya sangat terbuka lebar’
Namun, memaafkan orang bodoh lagi pandir itu memiliki kemuliaan
Didalamnya ada kebaikan serta menjaga kehormatan orang
Seekor singa akan tetap diam dan tenang bila tidak diganggu
Sedang anjing bila dilemparin batu ia menyalak dengan suara yang keras
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ . ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. [al-Imraan/3: 133-134].
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriyawatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah , bahwa Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ » [أخرجه مسلم]
“Tidaklah sedekah itu mengurangi dari harta sedikitpun. Tidaklah ada seseorang yang memberi maaf pada orang lain melainkan itu kemulian baginya, dan tidaklah ada seorang hamba yang tawadhu kecuali Allah akan angkat derajatnya“. [HR Muslim no: 2588].
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling pemaaf dan berlapang dada. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ رَجُلاً أَتَانِى وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَ السَّيْفَ فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِى فَلَمْ أَشْعُرْ إِلاَّ وَالسَّيْفُ صَلْتًا فِى يَدِهِ .فَقَالَ لِى: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّىّ. قَالَ قُلْتُ: اللَّهُ. ثُمَّ قَالَ فِى الثَّانِيَةِ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّى. قَالَ قُلْتُ: اللَّهُ . قَالَ فَشَامَ السَّيْفَ فَهَا هُوَ ذَا جَالِسٌ. ثُمَّ لَمْ يَعْرِضْ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم» [أخرجه البخاري و مسلم]
“Ada seseorang yang datang padaku dan ketika itu aku sedang tertidur, lalu dirinya menghunuskan pedang, aku pun terbangun, dan dia berdiri tepat diatas kepalaku namun aku tidak merasakannya dengan pedang terhunus yang berada ditangannya. Kemudian dia berkata padaku, “Siapakah sekarang yang akan membelamu? Aku menjawab, “Allah”. Kemudian dia mengulangi kembali, “Siapakah yang akan menolongmu? Aku menjawab kembali, “Allah”. Beliau mengatakan, “Seketika itu ia menyarungkan pedangnya, lalu dirinya duduk dan Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalasnya”. [HR Bukhari no: 2910. Muslim no: 843]. Dalam redaksi lain, “Kemudian Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyakiti orang tersebut”. [HR Bukhari no: 4135].
Suatu ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para pembesar Quraisy yang dahulu pernah menyakiti dirinya, serta membunuh para sahabat dan mengeluarkan beliau dari negeri yang beliau cintai, beliau mengatakan pada mereka, “Pergilah karena kalian semua bebas”.[3]
Didalam musnadnya Imam Ahmad diriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, beliau menceritakan, “Tatkala peperangan Uhud ada enam puluh dari kalangan sahabat Anshar yang mati syahid, sedangkan dari kalangan Muhajirin ada enam orang. Maka para sahabat Rasulallah berkata, “Kalau seandainya nanti kita mendapati hari seperti hari ini atas kaum musyrikin (bertemu kembali), benar-benar kami akan membunuh mereka lebih banyak lagi”.
Manakala datang hari penaklukan kota Makah, berkata seorang yang tidak dikenali namanya, “Habis sudah riwayat Quraisy pada hari ini”. lalu terdengar suara lantang dari muadzinnya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menyeru, “Semuanya aman, jangan ada diantara kalian yang membunuh seorang pun kecuali fulan dan fulan”, lalu disebut beberapa nama pesohor orang-orang kafir. Maka turunlah firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖۗ وَلَىِٕنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. [an-Nahl/16: 126].
Maka Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم: ” نَصْبِرُ وَلَا نُعَاقِبُ
“Bahkan kami memilih untuk bersabar dan tidak membalas kejelekan mereka“. [HR Ahmad 35/152 no: 21229].
Pemaaf ini juga merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tercantum didalam Taurat. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhuma, bahwa Atha bin Yasar pernah meminta pada dirinya untuk mengabarkan tentag sifat Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tercantum didalam Taurat?
قَالَ: أَجَلْ إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ صِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا، وَمُبَشِّرًا، وَنَذِيرًا، وَحِرْزًا لِلْأُمِّيِّينَ، أَنْتَ عَبْدِي وَرَسُولِي، سَمَّيْتُكَ المُتَوَكِّلَ، لَيْسَ بِفَظٍّ، وَلَا غَلِيظٍ، وَلَا سَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَدْفَعُ بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ، وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ
Beliau menjawab, “Tentu, sesungguhnya dirinya disifati didalam Taurat dengan beberapa sifat yang ada didalam al-Qur’an. Wahai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, dan peringatan serta penjaga bagi para kaum yang umi (tidak bisa baca tulis). Engkau adalah hamba dan utusan –Ku, Aku beri nama dirimu al-Mutawakil, tidak kasar lagi berperangai buruk, tidak berteriak-teriak dipasar, tidak membalas perbuatan buruk dengan yang semisalnya, akan tetapi memaafkan dan memohonkan ampun“. [HR Bukhari no: 2125].
Pemaaf juga merupakan sifatnya para nabi yang terdahulu, seperti yang dijelaskan oleh Allah ta’ala tentang nabi -Nya Yusuf ketika dirinya berkata pada saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya, Allah Shubhanahu wa Ta’alla mengkisahkan:
قال الله تعالى: قَالَ لَا تَثۡرِيبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡيَوۡمَۖ يَغۡفِرُ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara Para Penyayang”. [Yusuf/12: 92].
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, berkata, “Seakan-akan aku pernah melihat Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seorang nabi dari kalangan para nabi Bani Israil yang dipukul oleh kaumnya sampai berdarah, lantas dirinya mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَايَعْلَمُونَ» [أخرجه البخاري و مسلم]
“Ya Allah ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui”. [HR Bukhari no: 3477. Muslim no: 1792].
Disamping itu, sifat pemaaf juga merupakan ahklaknya para ulama dan orang-orang sholeh. Di kisahakan pada zamannya Khalifah al-Mu’tashim, dirinya pernah menjebloskan Imam Ahmad ke dalam penjara dan memukulnya dengan cemeti sampai dirinya pingsan, serta darah mengalir disekujur tubuhnya, akan tetapi, Imam Ahmad berkata, “Aku jadikan kehormatanku halal untuk Abu Ishaq –yakni Mu’tashim- dan aku telah maafkan dirinya”.
Imam Malik, beliau pernah dimasukan kedalam penjara dan dipukul dengan pecut sampai tangannya patah, namun beliau memaafkan orang yang menyiksanya. Dan bila mau dikumpulkan kisah-kisah mereka akan sangat banyak sekali kisah para ulama yang menunjukan bagaimana mereka dalam melazimi sifat memaafkan ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Aku tidak senang bila membela diriku semata dari seseorang dengan sebab karena kedustaan yang ditimpakan padaku, atau kedzaliman serta permusuhan terhadapku. Sesungguhnya aku telah menghalalkan setiap muslim (yang pernah menyakitiku). Dan saya mencintai kebaikan bagi setiap muslim, dan ingin bagi setiap mukmin melakukan kebaikan seperti yang aku cintai bagi diriku. Adapun orang-orang yang mendustakan dan berbuat dholim atasku maka mereka semua telah aku maafkan”.[4]
Diantara perkara yang perlu dingatkan disini, bahwa memaafkan harus ada ketentuannya yaitu bisa memperoleh kebaikan. Allah ta’ala menjelaskan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”. [asy-Syuura/42: 40].
Dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Sa’di ketika menafsirkan ayat diatas, “Allah Shubhanahu wa Ta’alla akan membalas dengan pahala yang besar, dan ganjaran yang agung. Dan Allah memberikan syarat ketika memaafkan dengan adanya perbuatan baik didalamnya, ini menunjukan bahwasanya seorang pelaku kejahatan tidak layak untuk dimaafkan, karena maslahat syar’iyah mengharuskan dirinya untuk dihukum, oleh karena itu dalam kasus seperti ini tidak mungkin perintah untuk memaafkan diterapkan, kemudian Allah Shubhanahu wa Ta’alla menjadikan pahala orang yang memaafkan di atas tanggungan -Nya, sehingga hal ini membangkitkan semangat orang untuk senang memaafkan. Dan hendaknya seorang hamba berinteraksi dengan sesama makhluk yang ia sukai sebagaimana dirinya suka bila Allah Shubhanahu wa Ta’alla memperlakukannya dengan baik. Sebagaimana dirinya senang bila Allah Shubhanahu wa Ta’alla memaafkan kesalahannya maka begitu pula maafkanlah kesalahan mereka. Sebagaimana pula dirinya mencintai bila Allah Shubhanahu wa Ta’alla memberi udzur padanya maka begitulah hendaknya dia juga memberi udzur pada mereka, karena sesungguhnya balasan tersebut setimpal dengan amal perbuatannya”.[5]
Dan barangsiapa yang mampu menerapkan dalam kondisi semacam ini maka hendaknya ia memuji -Nya atas karunia nikmat yang demikian besar baginya, atas ketentraman jiwa yang dirasakan, dan begitu banyak buah kebaikan yang bisa ia petik. Dan dianjurkan bagi tiap muslim untuk banyak memohon agar dirinya dimaafkan oleh Allah azza wa jalla. Sebagaimana tertera dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Aku pernah bertanya, “Ya Rasulallah, apa yang hendaknya aku ucapkan manakala aku mengira bahwa diriku mendapati malam lailatul Qodar? Beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني » [أخرجه الترمذي]
“Ucapkan, Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pemurah, Engkau mencintai untuk memaafkan maka maafkan hamba -Mu”. [HR at-Tirmidzi no: 3513. Beliau berkata, “Hadits Hasan Shahih”].
Seorang penyair mengatakan dalam lantunan bait syairnya:
Duhai Rabbku, sungguh banyak dosa yang ku perbuat
Dan aku mengetahui Engkau adalah Maha Pemaaf
Bila hamba –Mu tidak mengharap dari kemurahan –Mu
Lantas pada siapa hamba yang penuh dosa ini harus mengadu
Tidak ada wasilah yang bisa ku haturkan pada –Mu, melainkan
Hamba seorang muslim dan harapan indah kiranya Engkau sudi memaafkan
Pelajaran dari menekuni sifat memaafkan ini:
- Memenuhi perintah Allah azza wa jalla.
- Menghilangkan penyakit hati dari kedengkian dan kebencian pada sesama.
- Ketenangan jiwa dan ketentraman bathin.
- Memperoleh pahala besar dari Allah subhanahu wa ta’ala.
- Mencapai derajat yang tinggi didunia maupun diakhirat kelak.
- Menyebarkan kecintaan serta mempererat persaudaraan diantara kaum muslimin.
- Dengan memaafkan maka itu sebagai sarana yang akan mengantarkan dirinya masuk ke dalam surga.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa Ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa Ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[Disalin dari فضائل العفو Penulis Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad.Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2014 – 1435]
______
Footnote
[1] Bashairu Dzawi Tamyiiz 3/421.
[2] Tafsir Ibnu Katsir 10/198. Adapun haditsnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari no: 4757.
[3] Sirah Ibnu Hisyam 4/27.
[4] Majmu’ Fatawa 28/55.
[5] Taisirul Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan hal: 727.
- Home
- /
- A9. Fiqih Dakwah Akhlak...
- /
- Suka Memaafkan Serta Keutamaannya